BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ternak Sapi Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging terbesar setelah ternak unggas di Indonesia, namun produksi daging dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan produktivitas ternak rendah. Bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole, sapi bali dan sapi Madura disamping bangsa sapi peranakan hasil persilangan lainnya seperti Limosin Ongole (limpo) dan Simental Ongole (Simpo). Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan di wilayah Indonesia.(9) Sapi Bali adalah bangsa sapi lokal yang paling tahan terhadap cekaman panas, di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, presentase karkas tinggi (56%) dan kualitas daging baik. Adanya tata laksana pemeliharaan yang baik, sapi potong dapat tumbuh kembang dengan laju kenaikan bobot hidup harian 750 g, sementara pada kondisi pedesaan kecepatan pertumbuhan hanya mencapai rata-rata 250/g/ekor/hari. Banyak faktor yang turut mendukung menentukan berpotensi atau tidaknya suatu wilayah untuk pengembangan peternakan. Faktor-faktor yang dimaksut antara lain: (1) potensi daerah meliputi keadaan alam, sumberdaya manusia dan sarana prasarana serta perkembangan perekonomian daerah; (2) potensi usaha ternak sapi potong yang meliputi populasi ternak, bahan makanan ternak, potensi pasar dan potensi peningkatan populasi ternak sapi potong.(10) Kondisi alam atau lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan makhluk hidup termaksut juga ternak sapi. Oleh karena itu dalam usaha menentukan strategi pengembangan sapi potong perlu diperhatikan faktor lingkungan (keadaan alam). Faktor lingkungan yang sangat menentukan
5
dalam pengusahaan atau pengembangan sapi potong adalaha kondisi lahan dan iklim. Kondisi lahan yang dimaksut adalah luas lahan, jenis dan kesuburan lahan sedangkan yang dimaksut iklim adalah curah hujan yang hubungannya dengan ketersediaan air dan suhu.(10) 1. Sistem Pencernaan Sapi adalah hewan ruminansia yang mempunyai 4 kompartemen perut, yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Keempat lambung tersebut terletak di depan usus halus. Retikulum dan rumen secara bersama-sama sering disebut sebagai retikulo-rumendan bersama-sama dengan omasum ketiganya disebut perut depan (fore stomach) abomasums dikenal dengan lambung sejati karena baik anatomis maupun fisiologinya sama dengan lambung non ruminansia. Pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (di dalam mulut), fermentatif (oleh mikroba di dalam rumen) dan hidrolisis (oleh enzim pencernaan di abomasums dan usus).
Gambar 2.1 Lambung hewan ruminansia Sumber : 16
6
Pada saat pedet lahir, volume retikulorumen hanya sekitar 30% dari kapasitas total perut dan rumennya masih belum berfungsi. Pada saat anak sapi minum susu dari induknya, susu mengalir dari mulut langsung ke omasum, tanpa melewati rumen. Susu tersebut akan masuk melalui sebuah saluran yang disebut esophageal groove. Saluran ini menghubungkan esophagus dan reticular omasal orifice. Seiring dengan pertumbuhan sapi, volume retikulo-rumen meningkat pula. Volume retikulo rumen mulai berkembang setelah sapi mulai makan hijauan. Pada sapi dewasa volume rumen mencapai 81%, retikulum 3%, omasum 7% dan abomasums 9% dari volume total perut. Perut sapi mengalami 3 fase perkembangan, yaitu fase non-ruminansia, fase transisi dan fase ruminansia. Sampai umur 2 minggu setelah lahir, anak sapi mendapatkan nutrisi hanya dari susu induknya.pada fase ini, lamina rumen belum berfungsi dan susu mengalir langsung ke omasum melewati esophageal groove. Setelah berumur 2 minggu, anak sapi mulai belajar memakan pakan kasar (hijauan), rumen juga mulai berkembang lebih cepat daripada kompartemen perut yang lain dan mikroba mulai tumbuh di dalamnya. Fase ini merupakan fase transisi, yaitu rumen mulai berfungsi sebagai tempat fermentasi karbohidrat. Setelah sapi berumur 6 minggu, proporsi kompartemen perut sudah mulai stabil; papilla, lamina dan spike di dinding rumen sudah berfungsi sepenuhnya. a. Mulut Di dalam mulut, pakan mengalami penghancuran pertama secara mekanis oleh gigi. Di dalam mulut, pakan juga mengalami pencampuran dengan saliva agar makanan mudah ditelan. Saliva disekresikan ke dalam mulut oleh 3 pasang glandula saliva, yaitu glandula parotid yang terletak di depan telinga, glandula submandibularis yang terletak pada rahang bawah dan glandula sublingualis yang terletak di bawah lidah.
7
Saliva terdiri atas 99% air dan 1% sisanya terdiri atas mucin, garamgaram anorganik, dan lisozim kompleks. Saliva pada sapi juga mengandung urea, fosfor (P), dan natrium (Na) yang dapat dimanfaatkan oleh mikrobia rumen. Saliva pada sapi tidak mengandung enzim aamilase, sehingga proses pencernaan hanya berlangsung secara mekanis. Saliva memiliki sifat buffer atau penyangga karena adanya kandungan bikarbinat sehingga saliva yang masuk ke dalam rumen sangan berguna dalam menjaga pH rumen agar tidak naik atau turun terlalu tajam. b. Rumen Setelah mengalami pengunyahan di dalam mulut, pakan ditelan melalui pharynx dan melalui oesophagus menuju rumen. Rumen merupakan kantong yang besar sebagai tempat persediaan dan pencampuran bahan pakan untuk fermentasi oleh mikroorganisme. Fungsi utama rumen adalah tempat untuk mencerna serat kasar dan zatzat pakan dengan bantuan mikrobia. Mikroba tersebut hidup di dalam suasana anaerob dan sebagian dapat hidup dalam suasana fakultatif anaerob. Mikroorganisme dalam rumen mempunyai kemampuan membentuk vitamin B komplek dan vitamin A, yang pada gilirannya berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi ternak induk semang. Secara garis besar, mikroorganisme rumen dapat dibagi menjadi 5 kelompok besar, yaitu bakteri, protozoa, jamur (fungi), bakteriofage (virus) dan amoeba. Aktifitas mikroorganisme rumen dapat berlangsung dengan baik pada pH 6,7-7,0. Kondisi ini akan dipertahankan oleh salifa yang masuk ke dalam rumen dan berfungsi sebagai penyangga. Agar fermentasi berjalan nyaman, tempertaur rumen dipertahankan pada kisaran 38-39° C. Saluran pencernaan sapi tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa yang merupakan bagian terbesar dari pakan berserat, yaitu sekitar 30-60% dari total bahan kering. Meskipun demikian, proses 8
degradasi selulosa menjadi glukosa dapat berlangsung dengan cara hidrolisis asam atau secara biologis melalui hidrolisis enzimatis. Enzim selulase dihasilkan oleh mikroba dalam rumen. Enzim selulose merupakan enzim yang mampu menghidrolisis komponen serat yang difermentasi oleh mikroba rumen. Hasil fermentasinya berupa volatile fatty acids (VFA) berguna sebagai sumber energy terutama bagi ternak (induk semang). Ruminansia mensintesis asam-asam amino dan zat-zat yang mengandung
nitrogen
yang
lebih
sederhana
melalui
kerja
mikroorganisme dalam rumen. Mikroba rumen mempunyai kemampuan mengubah protein pakan yang berkualitas rendah dan non-protein nitrogen (NPN) menjadi protein penyusun tubuh mikroba yang mempunyai komposisi asam amino ideal. Mikroba ruman yang mati hanyut bersama digesta masuk kedalam usus halus dan oleh ternak digunakan sebagai sumber protein yang berkualitas tinggi. Agar mikroorganisme di dalam rumen dapat hidup dan berfungsi dalam menjalankan proses fermentasi diperlukan adanya suplai pakan secara teratur; hasil fermentasi harus disalurkan dan diserap; hasil sisa harus dikeluarkan, pH rumen dalam batas 5,5-7,0; dan temperatur rumen dalam batas 38-42° C. c. Retikulum Retikulum terletak di belakan rumen. Pada dinding retikulum terdapat papiliae yang membentuk alur atau garis-garis yang saling berhubungan sehingga berbentuk seperti sarang lebah. Secara fisik, tidak terdapat batas yang jelas antara retikulum dengan rumen sehingga kedua kompartemen tersebut sering disebut sebagai satu bagian, yaitu retikulorumen atau rumino-retikulum. Retikulum berfungsi mengatur aliran digesta dari rumen ke omasum.
9
d.
Omasum Permukaan dinding omasum berlipat-lipat dan kasar. Terdapat 5 lamina (daun) yang mempunyai duri (spike). Semakin mendekati abomasum, ukuran spike semakin kecil. Fungsi lamina adalah menyaring artikel digesta yang akan masuk ke abomasums. Partikel digesta yang masih terlalu besar akan dikembalikan ke retikulum. Selanjutnya, partikel digesta tersebut akan mengalami regurgitasi (dikeluarkan kembali ke mulut) dan remastikasi (dikunya lagi).
e. Abomasum Abomasums atau perut sejati pada ternak ruminansia (termasuk sapi) berfungsi seperti perut pada ternak non-ruminansia. Pada dinding abomasums terdapat kelenjar-kelenjar pencernaan yang menghasilkan cairan lambung yang mengandung pepsinogen, garam anorganik, mikosa, asam hidrokholat dan faktor intrinsik yang penting untuk absorpsi vitamin B12 secara efisien. Pepsinogen merupakan bentuk inaktif dari pepsin yang menghidrolisis protein. Kondisi asam di lambung mangaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Pada lambung anak sapi terdapat rennin yang berfungsi mengumpulkan susu agar menjadi lebih mudah dicerna. Hasil utama pencernaan protein di dalam abomasums adalah polipeptida dengan panjang rantai yang bervariasi dan sedikit asam amino. e. Intestine (usus halus) Intestine terdiri atas 3 bagian, yaitu duodenum, jejunum dan ilinum. Panjang intestine pada sapi 20- 30 kali panjang tubuhnya. Duodenum merupakan kelanjutan dari abomasums. Digesta yang masuk ke dalam duodenum mengalami pencampuran dengan hasil sekresi dari duodenum itu sendiri, hati dan pankreas. Kelenjar duodenum menghasilkan cairan alkali yang berguna sebagai pelumas dan melindungi dinidng duodenum dari asam hidrokholat yang masuk dari abomasum. 10
f. Usus besar Ada 3 organ pokok yang terdapat di dalam kelompok usus besar, yaitu colon, caecum dan rectum. Pada saat digesta masuk ke dalam colon, sebagian besar digesta yang mengalami hidrolisis sudah terserap sehingga materi yang masuk ke dalam colon adalah materi yang tidak tercerna. Hanya sedikit sekali digesta yang terserap lewat dinding usus besar. Materi yang tidak terserap kemudian dikeluarkan lewat anus sebagai feces. Materi yang keluar sebagai feces meliputi air, sisa-sisa pakan yang tidak dicerna, sekresi saluran pencernaan, sel-sel ephitelium saluran pencernaan, garam-garam anorganik, bakteri dan produk-produk dari proses dekomposisi oleh mikroba.(11)
Gambar 2.2 Saluran Pencernaan ruminansia Sumber: 16
11
B. Fasciola hepatica 1. Klasifikasi Fasciola hepatica Kingdom
: Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Class
: Termatoda
Subclass
: Digenea
Family
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
: Hepatica(18)
2. Ciri-Ciri Fasciola hepatica Fasciola hepatica hidup pada saluran empedu hewan ternak. Tubuh berbentuk seperti daun yang membulat pada ujung depan dan lancip pada ujung belakang. Panjang tubuh sekitar 30 mm. Alat hisap depan dikelilingi oleh mulut. Mulut dilengkapi dengan faring dan esophagus. Cacing ini memiliki saluran pencernaan yang hanya memiliki satu lubang sebagai mulut dan sekaligus sebagai anus. Alat eksresi fasciola hepatica berupa sel api (flame cell). Sistem saraf dilengkapi sepasang ganglion dengan saraf longitudinal dan saraf transversal. Alat reproduksi pada Fasciola hepatica jantan memiliki sepasang testis dan penis. Testis bercabang-cabang yang terletak di bagian tengah tubuh. Alat reproduksi pada cacing betina adalah ovarium. Ovarium yang bercabang ini memiliki kelenjar kuning telur. Setiap telur yang telah mengalami fertilisasi bercampur dengan kuning telur dan diberi pelindung berupa cangkang. Telur yang keluar dari tubuh cacing akan melewati saluran empedu yang kemudian sampai di usus halus (intestin). Telur keluar dari tubuh hewan ternak melalui feses. Telur yang berada pada lingkungan yang ideal akan menetas pada waktu 9 hari. Jika suhu dingin, telur dapat bertahan untuk beberapa tahun.(12)
12
3. Daur Hidup Fasciola hepatica Kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia berkaitan dengan daur hidup cacing. Ternak terinfeksi karena memakan hijauan yang mengandung metaserkaria (larva infektif cacing hati). Sekitar 16 minggu kemudian cacing tumbuh menjadi dewasa dan tinggal di saluran empedu. Cacing Fasciola dewasa berada di dalam saluran empedu mamalia sebagai induk semangnya, cacing dewasa tersebut menghasilkan telur-telur yang terbawa oleh cairan empedu, masuk ke dalam lumen usus dan keluar bebas bersama tinja. Mirasidium yang berhasil masuk ke dalam siput akan berkembang dan memperbanyak diri menjadi larva selanjutnya menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya serkaria menempel di tanaman air, menanggalkan ekornya membentuk metaserkaria yang merupakan stadium infektif dari cacing hati. Hewan akan terinfeksi bila memakan tanaman yang mengandung metaserkaria. Di dalam tubuh hewan, metaserkaria mengalami ekskistasi di dalam usus halus. Cacing muda yang keluar dari kista selanjutnya akan menembus usus dan bermigrasi ke hati. Di dalam hati cacing akan berkembang menjadi dewasa di dalam saluran empedu. Cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah pada saat masih muda, dan makanan utama setelah dewasa adalah darah. Pada pemeriksaan hati sapi di rumah potong hewan, luas kerusakan hati tergantung pada hebatnya infeksi dan lamanya hewan sakit. Pada infeksi yang parah terlihat adanya perubahan berupa pembengkakan yang berair dan penyumbatan saluran empedu, jaringan hati mengeras karena terbentuk jaringan parut (cirrhosis) dan hati mengecil (atrophi) (12).
13
Gambar 2.3 Daur Hidup Fasciola Hepatica Sumber : www.dpd.cdc.htm
C. Uji Tapis (Screening Test) Uji tapis adalah usaha untuk mengidentifikasi penyakit yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan pemeriksaan atau prosedur tertentu suatu (alat). Uji tapis merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik. Bila hasil positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya penyakit.(14) 1. Tujuan Uji Tapis Tujuan uji tapis adalah untuk mendapatkan keadaan penyakit dalam keadaan dini untuk memperbaiki prognosis, karena pengobatan dilakukan sebelum penyakit mempunyai manifestasi klinis. Program uji tapis sangat dibutuhkan karena adanya isu yang mendasari: a. Penemuan gejala penyakit secara dini akan lebih baik dibandingkan dengan dalam waktu yang lama
14
b. Pencegahan sebelum terjadinya penyakit akan lebih baik dibandingkan dengan ketika menjadi tersebut sudah terjadi c. Pencegahan membutuhkan biaya yang ringan 2.
Kriteria Evaluasi Untuk menilai hasil uji tapis dibutuhkan krtiteria tertentu seperti berikut. a. Validitas Uji tapis merupakan tes awal yang baik untuk memberikan indikasi individu mana yang benar-benar sakit dan mana yang tidak sakit, disebut validitas. Validitas mempunyai dua komponen yaitu: 1) Sensitifitas Kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat, dengan hasil tes positif dan benar-benar sakit 2) Spesifisitas Kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat, dengan hasil tes negatif dan benar tidak sakit. secara ideal, hasil tes untuk uji tapis harus 100% sensitif dan 100% spesifik, tetapi dalam praktik hal ini tidak pernah ada dan biasanya sensitifitas berbanding terbalik dengan spesifitas.(17)
Tabel 2.1 Uji Tapis Sakit (+)
Sakit (-)
Total
Hasil pemeriksaan (+)
TP a
FP b
a+b
Hasil pemeriksaan (-)
FN c
TN d
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
Total
15
Dari table diatas dapat dihitung nilai-nilai yang dimaksud yaitu : a. Sensitifitas: Sensitifitas adalah hasil dari true positif dibagi dengan true positif ditambah false negatif b. Spesifisitas: Spesifisitas adalah hasil dari true negatif dibagi dengan false positif ditambah true negatif c. True positif: a True positif menunjukan banyaknya kasus yang benar-benar menderita penyakit dengan hasil test yang positif pula. d. False positif: False positif menunjukan pada banyaknya kasus yang sebenarnya tidak sakit tetapi test menunjukan hasil positif. e. True negatif: d True negatif menunjukan pada banyaknya kasus yang tidak sakit dengan hasil test yang negatif pula. f. False negatif: false negatif menunjukan pada banyaknya kasus yang sebenarnya menderita penyakit tetapi hasil test adalah negatif.(15) b. Reliabilitas Tes dikatakan reliabel apabila tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukan hasil yang konsisten. Realibilitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh stabilitas reagen dan stabilitas alat ukur yang digunakan. Hal tersebut sangat penting karena makin stabil reagen dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan.
16
2) Variabilitas individu yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis dan stadium penyakit. Umumnya, variasi ini sulit diukur terutama faktor psikis. 3) Variabel pemeriksa, terdiri atas: -
Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama;
-
Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang.
c. Yield Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari uji tapis. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut. 1) Sensitifitas alat uji tapis 2) Prevalensi penyakit yang tidak tampak 3) Uji tapis yang dilakukan sebelumnya Bila alat yang digunakan untuk uji tapis mempunyai sensitifitas yang rendah, akan dihasilkan banyak negatif semu yang berarti banyak penderita yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa uji tapis dengan yield yang rendah. Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai sensitifitas yang tinggi, akan menghasilkan yield yang tinggi. Makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat akan meningkatkan yield, terutama pada penyakit-penyakit kronis. Bagi penyakit-penyakit yang jarang dilakukan uji tapis akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat. Sabaliknya, bila suatu penyakit telah dilakukan uji tapis sebelumnya maka yield akan rendah karena banyak penyakit tanpa gejala yang telah terdiagnosis.(17)
17
D. Uji Diagnostik Uji diagnostik merupakan suatu uji penelitian yang bertujuan yaitu untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan penyakit, untuk skrining, pengobatan pasien dan untuk studi epidemiologi. Uji diagnostik baru harus memberi manfaat yang lebih dibanding uji yang sudah ada, meliputi beberapa hal yaitu: 1. nilai diagnostik tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar 2. memberi kenyamanan bagi pasien (tidak invasif) 3. lebih mudah atau sederhana 4. lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase lebih dini Struktur uji diagnostik memiliki variabel prediktor yaitu hasil uji diagnostik dan variabel hasil akhir atau outcome yaitu sakit tidaknya seorang pasien yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas. Apabila hasil uji merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong (cut off point) untuk menentukan apakah hasil tersebut normal atau abnormal. Bila variable prediktor (hasil uji) maupun variabel efek (hasil baku mas) dilakukan dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif, maka tidak diperlukan titik potong.(25,26) Struktur uji diagnostik memiliki variabel prediktor yaitu hasil uji diagnostik dan variabel hasil akhir atau outcome yaitu sakit tidaknya seorang pasien yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas. Apabila hasil uji merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong (cut off point) untuk menentukan apakah hasil tersebut normal atau abnormal.(21,22,23) Baku emas atau gold standard adalah standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada pasien, dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada. Baku emas yang ideal selalu memberikan hasil positif pada semua 18
subjek dengan penyakit dan hasil negatif pada semua subjek sehat. Dalam praktek hanya sedikit baku emas yang ideal, sehingga kita sering memakai uji diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas. Kata terbaik memiliki makna bahwa uji diagnostik tersebut mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.(21,22,25) Receiver operating characteristic curve (ROC) ROC merupakan suatu cara untuk menentukan titik potong dalam uji diagnostik berupa grafik yang menggambarkan tawar menawar antara sensitifitas dan spesifisitas. Sensitifitas digambarkan pada ordinat Y sedangkan (1spesifisitas) digambarkan pada absis X. Semakin tinggi nilai sensitifitas akan makin rendah nilai spesifisitas dan sebaliknya. Kurva ROC berguna untuk respon diagnosis (screening test) yang kontinyu atau mempunyai lebih dari dua nilai (jenis respon) dan menghubungkan sensitifitas dengan 1- spesifisitas. Area bawah kurva ROC dapat digunakan untuk menilai keakuratan suatu diagnosis.
19
E. Kerangka Teori
Keberadaan metaserkaria pada hijauan
Keberadaan metaserkaria yang masuk bersama makanan sapi Keberadaan metaserkaria pada saluran pencernaan
Keberadaan cacing dewasa pada saluran empedu
Lama infeksi
Cacing hati dewasa di dalam hati
Keberadaan telur cacing pada saluran empedu Temperatur
Umur
Keberadaan telur fasciola di tinja
Gambar 2.1 Kerangka Teori1,8
F. Kerangka Konsep Variabel Bebas Variabel Bebas Keberadaan telur
Variabel Terikat Variabel Ter Kejadian fasciolosis
fasciola di tinja
20
G. Hipotesis 1. Pemeriksaan telur pada tinja sensitif untuk deteksi kejadian fasciolosis pada ternak sapi 2. Pemeriksaan telur pada tinja spesifik untuk deteksi kejadian fasciolosis pada ternak sapi 3. Ada hubungan antara keberadaan telur fasciola di tinja sapi dengan kejadian fasciolosis
21