BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Telah terhadap tesis dan jurnal yang terkait dengan variabel penelitian yang berlandaskan teori Zeithaml et.al ditinjau dari dimensi tangiable, reliability, responsiveness, assurance and emphaty dengan maksud penelitian yang penulis lakukan fokus terhadap sejumlah variabel yang mengacu kepada teori yang sama mengenai kualitas pelayanan. Dari hasil telaah tersebut diharapkan dapat menjadi gambaran bagi penulis dalam rangka mempertegas teori-teori yang telah ada, sekaligus menjadi acuan untuk kemudian diturunkan ke dalam butir-butir pernyataan yang nantinya akan disebarkan kepada responden. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang relevan dan dapat dijadikan perbandingan oleh peneliti dalam memahami kualitas pelayanan diantaranya sebagai berikut : Azharuddin (2006), Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Layanan Pada Direktor Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Penelitian ini bertujuan
untuk
mengidentifikasi
dan
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kualitas layanan pegawai dengan menggunakan konsep Servqual melalui dimensi tangiable, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty di Ditjen AHU, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil analisis berdasarkan perhitungan statistic kelima pada dimensi kualitas pelayanan, dapat diasumsikan pelanggan menyatakan cukup puas. Sementara menurut perhitungan servqual score kualitas pelayanan belum memenuhi harapan pelanggan. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
terdapat hubungan yang signifikan antara harapan pegawai dengan kualitas pelayanan pegawai. Toto Bondan (2005), penelitian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan masyarakat di kantor-kantor lurah se-Kotamadya Jakarta Timur dilihat dari dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima dimensi tersebut masih memiliki nilai kepuasan yang negative. Dengan kata lain bahwa kualitas pelayanan masyarakat di kantor lurah se-Kotamadya Jakarta Timur belum memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai penerima layanan, sehingga perlunya ditanamkan sikap kepada aparat kelurahan bahwa kesediaan membantu kesulitan yang dihadapi masyarakat merupakan hal yang perlu dilakukan, namun yang harus diingat bahwa hal ini tidak terlepas dari peran pimpinan. Lidya Erika (2003), penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis komponen yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan nasabah bank. Hasil analisis menyatakan terdapat kesenjangan antara persepsi dan harapan terhadap pelayanan secara keseluruhan dan terbukti bahwa kualitas pelayanan yang diberikan belum optimal. Kemudian pada dimensi reliability dan tangibility mempunyai hubungan tinggi terhadap kepuasan pelanggan, sehingga diharapkan adanya dukungan pengetahuan dan keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Muhammad RIdha (2001), faktor-faktor yang berdampak pada kualitas pelayanan pelanggan di Matahari Departemen Store Group, ditinjau dari 5 (lima) dimensi, yaitu tangible, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. Hasil analisis menyatakan tingkat kompetensi sumber daya manusia internal sangat signifikan dalam menentukan kualitas layaan terhadap pelanggan. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
kualitas pelayanan ditentukan juga oleh waktu, kondisi ruangan, keteraturan dan keamanan. Manajemen sumber daya manusia dan budaya organisasi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kualitas pelayanan. 2.2. Komunikasi Istilah komunikasi (bahasa inggris; communication) mempunyai banyak arti. Asal katanya (etimologi), istilah komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communis, yang berarti sama (common). Dari kata communis berubah menjadi kata kerja kommunicare, yang berarti menyebarkan atau memberitahukan. Jadi menurut asal katanya, komunikasi berarti menyebarkan atau memberitahukan informasi kepada pihak lain guna mendapatkan pengertian yang sama. (Indrawan, 2006: 143) Umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti kedua belah pihak. Komunikasi juga dapat dilakukan secara non verbal jika bahasa verbal tidak dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Komunikasi non verbal dapat dilakukan dengan gerak-gerik badan, menunjukan sikap misalnya, tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu, mengangguk dan masih banyak lagi. Komunikasi adalah suatu proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka. Menurut Handoko (2006: 272) komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke-orang lain. Dalam perpindahan pengertian tersebut tidak hanya sekedar kata-kata yang digunakan dalam sebuah percakapan, tetapi juga dibutuhkan ekspresi wajah, intonasi, titik putus vocal dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hovland dalam Effendy (2005:10) komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Seseorang dapat mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku orang lain apabila terjalin komunikasi yang komunikatif. Sementara paradigma Lasswell menjelaskan komunikasi meliputi unsur-unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukkan (Who says, what in, which channel, to whom, with what effect?) diantaranya: komunikator, pesan, media, komunikasi, dan efek. Komunikasi merupakan sarana untuk mengadakan koordinasi antara berbagai subsistem dalam organisasi. Menurut Kohler ada dua model komunikasi dalam rangka meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan perkantoran ini. Pertama, komunikasi koordinatif, yaitu proses komunikasi yang berfungsi untuk menyatukan interaktif,
bagian-bagian ialah
proses
(subsistem) pertukaran
perkantoran. informasi
Kedua,
yang
komunikasi
berjalan
secara
berkesinambungan, pertukaran pendapat dan sikap yang dipakai sebagai dasar penyesuaian di antara sub-sub sistem dalam perkantoran, maupun antara perkantoran dengan mitra kerja. Frekuensi dan intensitas komunikasi yang dilakukan juga turut mempengaruhi hasil dari suatu proses komunikasi tersebut. Kompetensi komunikasi yang baik akan mampu memperoleh dan mengembangkan tugas yang diembannya, sehingga tingkat kinerja suatu organisasi menjadi semakin baik. Dan sebaliknya, apabila terjadi komunikasi yang buruk akibat tidak terjalinnya hubungan yang baik, sikap yang otoriter atau acuh, perbedaan pendapat atau konflik yang berkepanjangan, dan sebagainya, dapat berdampak pada hasil kerja yang tidak maksimal. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seseorang komunikator kepada komunikan atau pengirim pesan dari satu pihak kepada pihak lain untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan saling pengertian. Komunikasi dengan orang lain kadang sukses atau efektif mencapai maksud yang dituju, namun terkadang juga gagal. Adapun makna komunikasi yang efektif menurut Effendy (2005:11) adalah komunikasi yang berhasil menyampaikan pikiran dengan menggunakan perasaan yang disadari. Walter Lippman dalam Effendy (2005:11) juga menjelaskan komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berusaha memilih cara yang tepat agar gambaran dalam benak dan isi kesadaran dari komunikator dapat dimengerti, diterima bahkan dilakukan oleh komunikan. Menurut Suranto (2005: 107) ada beberapa indikator komunikasi efektif, yaitu: a. Pemahaman Ialah kemampuan memahami pesan secara cermat sebagaimana dimaksudkan oleh komunikator. Tujuan dari komunikasi adalah terjadinya pengertian bersama, dan untuk sampai pada tujuan itu, maka seorang komunikator maupun komunikan harus sama-sama saling mengerti fungsinya masing-masing. Komunikator mampu menyampaikan pesan sedangkan komunikan mampu menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. b. Kesenangan Yakni apabila proses komunikasi itu selain berhasil menyampaikan informasi, juga dapat berlangsung dalam suasana yang menyenangkan kedua belah pihak. Suasana yang lebih rilex dan menyenangkan akan lebih enak untuk berinteraksi bila dibandingkan dengan suasana yang tegang. Karena komunikasi bersifat fleksibel. Dengan adanya suasana semacam itu, maka akan timbul kesan yang menarik. c. Pengaruh pada sikap Tujuan berkomunikasi adalah untuk mempengaruhi sikap. Jika dengan berkomunikasi dengan orang lain, kemudian terjadi perubahan pada perilakunya, maka komunikasi yang terjadi adalah efektif, dan jika tidak ada perubahan pada sikap seseorang, maka komunikasi tersebut tidaklah efektif. d. Hubungan yang makin baik Bahwa dalam proses komunikasi yang efektif secara tidak sengaja meningkatkan kadar hubungan interpersonal. Seringkali jika orang telah memiliki persepsi yang sama, kemiripan karakter, cocok, dengan sendirinya hubungan akan terjadi dengan baik. e. Tindakan Komunikasi akan efektif jika kedua belah pihak setelah berkomunikasi terdapat adanya sebuah tindakan. Alexis Tan
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan bahwa perlu ada daya tarik dengan similarity (kesamaan), familiarity (keakraban) dan proximity (kesukaan). Seseorang biasanya akan cenderung lebih tertarik dengan orang lain karena memiliki faktor kesamaan (sama hobi, sama sifat), keakraban (keluarga, teman karib), dan kesukaan. Dengan kondisi seperti itu orang tidak merasa sungkan untuk berbicara, yakni menceritakan masalah hidupnya secara jujur tanpa adanya kecanggungan berkomunikasi dintara kedunya. Jika sudah demikian, maka antara satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi dan dengan sendirinya komunikasi akan berlangsung secara efektif. Adapun komunikasi bisa disebut efektif jika suara pesan: a) Diterima oleh pendengar yang dimaksud. b) Diinterpretasikan dengan cara yang pada dasarnya sama oleh penerima dan si penerima. c) Diingat dalam jangka waktu yang cukup lama, dan d) Digunakan jika timbul keadaaan yang tepat (Gellerman, 1999: 66) Keempat dari unsur ini penting sekali, dan jika salah satu tidak ada, maka komunikan tidaklah efektif. Dengan demikian, komunikasi hanya akan efektif jika memberikan pengaruh bagi perilaku. Menurut Sentoso (2007: 103) prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi dapat dirangkum dalam satu kata, yaitu REACH (Respect, Empathy, Audible, Clarity, Humble), yang berarti merengkuh atau meraih. a) Hukum pertama dalam berkomunikasi adalah Respect. Respect merupakan sikap hormat dan sikap menghargai terhadap lawan bicara kita. Dengan sikap ini kita belajar untuk berhenti sejenak agar tidak mementingkan diri kita sendiri akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Dengan informasi yang telah disampaikan kita berusaha untuk memahami orang lain dan menjaga sikap bahwa kita memang butuh akan informasi tersebut. b) Hukum kedua adalah Empathy Yaitu kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Dalam hal ini kita berusaha untuk memahami sikap seseorang serta ikut dalam kondisi yang sedang dialami oleh seseorang tersebut, sehingga hubungan emisional pun akan lebih mudah terjalin. Biasanya orang akan lebih senang berkomunikasi dengan orang yang bisa membuat perasannya nyaman. Arti nyaman di sini adalah lebih pada perhatian dan pengertian seseorang dalam memahami sikap orang lain.
Universitas Sumatera Utara
c) Hukum ketiga adalah Audible Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Kunci utama untuk dapat menerapkan hukum ini dalam mengirimkan pesan adalah: (1) Buat pesan Anda mudah untuk dimengerti (2) Fokus pada informasi yang penting (3) Gunakan ilustrasi untuk membantu memperjelas isi dari pesan tersebut (4) Taruhlah perhatian pada fasilitas yang ada dan lingkungan di sekitar Anda (5) Antisipasi kemungkinan masalah yang akan muncul (6) Selalu menyiapkan rencana atau pesan cadangan(backup). Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif memerlukan kemampuan seseorang dalam menyampaikan pesan, menganalisis, serta cepat tanggap tehadap situasi dan kondisi yang ada. d) Hukum keempat adalah kejelasan dari pesan yang kita sampaikan (Clarity) Kejelasan dari pesan dibutuhkan adanya simbol atau isyarat, bahasa yang baik dan penegasan kata. Cara untuk menyiapkan pesan agar jelas yaitu: (1) Tentukan tujuan yang jelas (2) Luangkan waktu untuk mengorganisasikan ide kita (3) Penuhi tuntutan kebutuhan format bahasa yang kita pakai (4) Buat pesan anda jelas, tepat dan meyakinkan (5) Pesan yang disampaikan harus fleksibel. Untuk menunjang uraian di atas juga perlu diperhatikan, bahwa untuk menyampaikan pesan tidak bisa hanya sekali saja, akan tetapi harus berulang kali, karena sifat dari pesan atau informasi biasanya informasi yang lama akan kalah dengan informasi yang baru. Agar pesan yang lama tersebut tidak dilupakan maka perlu diingatkan kembali. Maka dari itu, ketika menyampaikan sebuah pesan diusahakan semenarik mungkin, sehingga kesan dari epsan tersebut mampu bertahan lama. e) Hukum kelima dalam komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati (Humble) Sikap seperti ini berarti juga tidak sombong, karena dengan kerendahan hati, seseorang akan lebih menghargai seseorang baik sikap, tindakan serta perkatannya. Dengan sikap seperti ini juga akan lebih memudahkan seseorang untuk menyampaikan pesan, karena pada dasarnya sikap seperti ini lebih mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri. Karena sikap ini lebih kepada bagaimana memahami orang lain, bukannya bagaimana orang lain memahami kita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi dikatakan efektif apabila dalam suatu proses komunikasi itu, pesan yang disampaikan seorang komunikator dapat diterima dan dimengerti oleh komunikan, persis seperti yang dikehen-daki oleh komunikator, dengan demikian, dalam komunikasi itu komunikator berhasil menyampaikan pesan yang dimaksudkannya, sedang komunikan berhasil
Universitas Sumatera Utara
menerima dan memahaminya. Efektifnya sebuah komunikasi adalah jika pesan yang dikirim memberikan pengaruh terhadap komunikan, artinya bahwa informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik sehingga menimbulkan respon atau umpan balik dari penerimanya. Contohnya; adanya tindakan, hubungan yang makin baik dan pengaruh pada sikap.
2.3. Komunikasi Interpersonal Pada dasarnya, setiap orang memerlukan komunikasi interpersonal sebagai salah satu alat bantu dalam kelancaran bekerja sama dengan orang lain dalam bidang apapun. Komunikasi interpersonal merupakan aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dan merupakan cara untuk menyampaikan dan menerima pikiran-pikiran, informasi, gagasan, perasaan, dan bahkan emosi seseorang, sampai pada titik tercapainya pengertian yang sama antara komunikator dan komunikan. Secara umum, definisi komunikasi interpersonal adalah “Sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti apa yang dimaksud oleh penyampaian pikiran-pikiran atau informasi. Secara kontekstual, komunikasi interpersonal digambarkan sebagai suatu komunikasi antara dua individu atau sedikit individu, yang mana saling berinteraksi, saling memberikan umpan balik satu sama lain. Namun, memberikan definisi kontekstual saja tidak cukup untuk menggambarkan komunikasi interpersonal karena setiap interaksi antara satu individu dengan individu lain berbeda-beda. Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang mempunyai efek besar dalam hal mempengaruhi orang lain terutama perindividu. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
disebabkan, biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi bertemu secara langsung, tidak menggunakan media dalam penyampaian pesannya sehingga tidak ada jarak yang memisahkan antara komunikator dengan komunikan (face to face). Oleh karena saling berhadapan muka, maka masing-masing pihak dapat langsung mengetahui respon yang diberikan, serta mengurangi tingkat ketidak jujuran ketika sedang terjadi komunikasi. Sedangkan apabila komunikasi interpersonal itu terjadi secara sekunder, sehingga antara komunikator dan komunikan terhubung media, efek komunikasi sangat dipengaruhi oleh karakteristik intepersonalnya. Misalnya dua orang saling berkomunikasi melalui media telepon selular, maka efek komunikasi tidak semata-mata dipengaruhi oleh kualitas pesan dan kecanggihan media, namun yang lebih penting adalah adanya ikatan interpersonal yang bersifat emosional. Meskipun komunikasi interpersonal ini merupakan aktivitas yang rutin kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari, namun kenyataan menunjukkan bahwa proses komunikasi interpersonal tidak selamanya mudah. Pada saat tertentu, kita menyadari bahwa perbedaan latar belakang sosial budaya antar individu telah menjadi faktor potensial menghambat keberhasilan komunikasi. Muhammad (2005: 159) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Sedangkan Mulyana (2005: 73) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian informasi, pikiran dan sikap tertentu
Universitas Sumatera Utara
antara dua orang atau lebih yang terjadi pergantian pesan baik sebagai komunikan maupun komunikator dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, mengenai masalah yang akan dibicarakan yang akhirnya diharapkan terjadi perubahan perilaku. Komunikasi interpersonal diistilahkan sebagai komunikasi yang terjadi antara beberapa individu (bukan banyak individu) yang saling kenal satu sama lainnya dalam periode waktu tertentu. Dengan kata lain, seseorang akan memandang individu lain sebagai seorang yang unik, tergantung dari kualitas hubungan interpersonal dengan orang tersebut. Fakta yang harus di perhatikan, bahwa dalam berkomunikasi perhatian seseorang justru lebih tertuju kepada figure orang yang berkomunikasi dengannya. Dari perbedaan latar belakang pendidikan, latar belakang budaya, perbedaan kemampuan, perbedaan karakter dari tiap orang dan faktor-faktor lainnya akan mempengaruhi tingkat keefektifan komunikasi. Devito (2007: 271) menggambarkan proses komunikasi interpersonal sebagai berikut: 1 Sensasi
2 Asosiasi
3 Persepsi
4 Memori
5 Berpikir Gambar 2.1. Proses Komunikasi Interpersonal Berdasarkan gambar di atas, proses komunikasi interpersonal dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Sensasi Sensasi adalah proses pencerapan informasi (energy/stimulus) yang datang
dari luar melalui panca indra. Sebagai contoh: Ketika kita sedang mendengarkan
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang disampaikan oleh seseorang. Di sini terjadi proses pencerapan informasi dengan melalui indera pendengaran. 2. Asosiasi Asosiasi adalah pengalaman dan kepribadian yang mempengaruhi proses sensasi. Thorndike dalam Devito (2007: 272) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respons ini megikuti hukum-hukum berikut: a. Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respons sering terjadi, asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respons dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. b. Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan, maka asosiasi akan semakin meningkat. Ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sering terjadinya pengalaman yang terjadi terhadap suatu peristiwa, maka semakin menguatkan asosiasi dan pada gilirannya akan semakin menguatkan sensasi kita terhadap peristiwa tersebut. Selain itu penguatan asosiasi juga terbentuk karena akibat dari suatu peristiwa (asosiasi stimulus dan respon). 3. Persepsi Persepsi adalah pemaknaan/arti terhadap informasi yang masuk ke dalam kognisi manusia. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Sensasi adalah bagian dari persepsi. Menurut Desiderato dalam Devito (2007: 274) menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi (perhatian), ekspektasi, motivasi, dan memori.
Universitas Sumatera Utara
4. Memori Memori adalah stimuli yang telah diberi makna, direkam, dan kemudian disimpan dalam otak manusia. Menurut Devito (2007: 276) memori meliputi 3 proses, yaitu: a. Perekaman (encoding) yaitu pencatatan informasi melalui reseptor indra dan sirkuit syaraf internal. b. Penyimpanan (storage) yang menentukan berapa lama informasi itu berada beserta kita, dalam bentuk apa, dan di mana. Penyimpanan bisa bersifat aktif atau pasif. c. Pemanggilan (retrieval), yang dalam sehari-hari disebut mengingat kembali adalah menggunakan informasi yang disimpan. 5. Berpikir Berpikir adalah akumulasi dari proses sensasi, asosiasi, persepsi, dan memori yang dikeluarkan untuk mengambil keputusan. Selain itu berpikir juga diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan sesuatu yang baru (creativity). Salah satu fungsi berfikir adalah menetapkan keputusan. Keputusan yang kita ambil sangatlah beraneka ragam. (Devito, 2007: 276) Bagi seorang komunikator, melakukan komunikasi interpersonal amat penting sebelum berkomunikasi dengan orang lain. Dengan komunikasi interpersonal seseorang komunikator berupaya untuk memformulasikan pesan yang akan disampaikan kepada komunikan, sehingga komunikasi akan efektif sesuai dengan tujuan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun memiliki pengetahuan tentang teknik komunikasi yang efektif, tetapi ternyata kepribadian yang buruk temperan, sombong, sinis, merupakan salah satu faktor internal yang
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh pada proses komunikasi interpersonal. Kepribadian berpengaruh terhadap proses ideasi seseorang (pemikiran, perencanaan dan pengorganisasian) pesan yang akan disampaikan kepada lawan bicara. Kepribadian yang buruk akan berpengaruh terhadap proses ideasi yang pada akhirnya akan menghasilkan pesan yang buruk. Menurut Suranto (2011:9) komponen-komponen komunikasi interpersonal yaitu: 1) Sumber/komunikator Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain. Dalam konteks komunikasi interpersonal komunikator adalah individu yang menciptakan, memformulasikan, dan menyampaikan pesan. 2) Encoding Encoding adalah suatu aktifitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan symbol-simbol verbal dan non verbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan. 3) Pesan Pesan merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat symbolsimbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan diintepretasi oleh komunikan. 4) Saluran Merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum. Dalam konteks komunikasi interpersonal, penggunaan saluran atau media semata-mata karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara tatap muka. 5) Penerima/komunikan Adalah seseorang yang menerima, memahami, dan menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi interpersonal, penerima bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah seorang komunikator akan dapat mengetahui keefektifan komunikasi yang telah dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara bersama oleh kedua belah pihak yakni komunikator dan komunikan.
Universitas Sumatera Utara
6) Decoding Decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima. Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah ke dalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna. Secara bertahap dimulai dari proses sensasi, yaitu proses di mana indera menangkap stimuli. 7) Respon Yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral, maupun negative. Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki komunikator. Netral berarti respon itu tidak menerima ataupun menolak keinginan komunikator. Dikatakan respon negative apabila tanggapan yang diberikan bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator. 8) Gangguan (noise) Gangguan atau noise atau barrier beraneka ragam, untuk itu harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi di dalam komponenkomponen manapun dari system komunikasi. Noise merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk yang bersifat fisik dan psikis. 9) Konteks komunikasi Komunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu dan nilai. Konteks ruang menunjuk pada lingkungan konkrit dan nyata tempat terjadi komunikasi, seperti ruangan, halaman dan jalanan. Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan, misalnya: pagi, siang, sore, malam. Konteks nilai, meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi suasana komunikasi, seperti: adat istiadat, situasi rumah, norma pergaulan, etika, tata karma, dan sebagainya. Komunikasi interpersonal merupakan suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Orang yang saling berkomunikasi tersebut adalah sumber dan penerima. Sumber melakukan encoding untuk menciptakan dan memformulasikan menggunakan saluran. Penerima melakukan decoding untuk memahami pesan, dan selanjutnya menyampaikan respon atau umpan balik. Tidak dapat dihindari bahwa proses komunikasi senantiasa terkait dengan konteks tertentu, misalnya konteks waktu. Hambatan dapat terjadi pada sumber, encoding, pesan, saluran, decoding, maupun pada diri penerima.
Universitas Sumatera Utara
Pada institusi pemerintahan, proses komunikasi adalah prose yang pasti dan selalu terjadi. Komunikasi adalah sarana untuk mengadakan koordinasi antara berbagai subsistem dalam instansi tersebut. Instansi pemerintah yang berfungsi baik, ditandai oleh adanya kerjasama secara sinergis dan harmonis dari berbagai komponen. Komunikasi interpersonal antara aparatur dengan masyarakat ditandai dengan adanya pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap dan tindakan, dan hubungan yang semakin baik. semakin baik komunikasi interpersonal antara aparatur dan masyarakat, diperkirakan dapat meningkatkan kualitas pelayanan pada instansi pemerintahan tersebut.
2.4. Kompetensi Komunikasi Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, fakta, pikiran dan perasaan, dari satu orang ke orang lain. Kehidupan organisasi, komunikasi menjadi sesuatu yang sangat penting karena komunikasi dapat meningkatkan saling pengertian antara karyawan dan atasan, dan meningkatkan koordinasi dari berbagai macam kegiatan/tugas yang berbeda. Robbins (2002:57), mengemukakan konflik antar perseorangan yang mungkin paling sering dikemukakan adalah buruknya komunikasi, sebab kita menggunakan hampir 70% dari waktu aktif kita untuk berkomunikasi, menulis, membaca, berbicara, mendengar sehingga beralasan untuk menyimpulkan bahwa satu dari kekuatan yang paling menghalangi suksesnya pekerjaan kelompok adalah kelangsungan komunikasi efektif. Komunikasi diperlukan agar karyawan mengetahui kewajiban dan tanggung jawabnya, hal ini berarti karyawan mengetahui posisinya dalam organisasi. Jadi mekanisme komunikasi dapat membuat keterpaduan perilaku setiap karyawan dalam kelompoknya, agar mencapai satu tujuan.
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kerja, sebab komunikasi yang tidak baik mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan organisasi, misalnya konflik antar karyawan, dan sebaliknya komunikasi yang baik dapat meningkatkan saling pengertian, kerjasama dan juga kepuasan kerja. Mengingat yang bekerjasama dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan merupakan sekelompok sumber daya manusia dengan berbagai karakter, maka komunikasi yang terbuka harus dikembangkan dengan baik.Karyawan yang mempunyai kompetensi komunikasi yang baik akan mampu memperoleh dan mengembangkan tugas yang diembannya, sehingga tingkat kinerja karyawan menjadi semakin baik. Adanya penelitian empiris yang menghubungkan antara kompetensi komunikasi dengan berbagai hasil organisasi termasuk mobilitas pekerjaan, tingkat pekerjaan, gaji, kemampuan memimpin dan kemampuan mental umum serta kinerja karyawan (Ferris, et.al, 2003: 21). Sejumlah penelitian-penelitian tersebut menekankan pentingnya kompetensi komunikasi, namun hanya sedikit penelitian yang membahas dampak dari kompetensi komunikasi, yang beranjak di luar keterampilan sosial dengan disertakannya elemen-elemen afektif, kognitif, dan perilaku. Menurut Slocum dan Hellriegel (2009: 114) kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk memilih perilaku komunikasi yang sesuai dan efektif dalam situasi tertentu. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan berkomunikasi secara pribadi dan efektif dan dengan cara sosial. Sedangkan menurut Spitzberg dalam Yusuf (2010: 208) bahwa kompetensi komunikasi adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Spitzberg dalam Lane (2000: 23) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial. Pengertian yang lebih lengkap diungkapkan oleh Friedrich dalam Lane (2000: 204) yang mengatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan suatu kemampuan situasional untuk menetapkan tujuan yang realistis dan tepat untuk memaksimalkan kemampuan seseorang dengan menggunakan pengetahuan akan dirinya, orang lain, isi pesan, dan teori komunikasi dalam mengembangkan kemampuan komunikasinya. Menurut Richard D. Rowley (1999: 271) kompetensi komunikasi adalah kemampuan menyampaikan berita dan mempromosikan pencapaian tujuan secara sosial. Komunikator mencoba meluruskan satu sama lain sehingga mengahasilkan dialog yang mulus, produktif dan seringkali disenangi. Kompetensi ini meliputi sikap dan kemampuan yang penting: (1) komitmen dan keyakinan (commitment and good faith), (2) empathy: kemampuan melihat situasi dari pandangan orang lain. (3) flexibility: kemampuan komunikator mengembangkan berbagai kemampuan komunikasi. (4) sensitivity to consequences: pemilihan komunikasi dapat memberikan hasil dalam satu situasi dan mungkin tidak berhasil dalam hal yang lain. Melalui pengalaman, kompetensi komunikasi mendapatkan keakuratan yang lebih besar dalam memahami pengaruh potensial dari berbagai keterampilan dalam situasi yang kompleks. (5) adeptness: dengan pengalaman yang kita peroleh, kita akan lebih tangguh. Efektifitas pilihan komunikasi sebahagian dihubungkan dengan bagaimana kita menerimanya secara spontan. Waktu, pilihan-kata, penekanan, infleksi, dan ritma semuanya harus terintegrasi dengan baik dan secara spontan, jika keterampilan komunikasi diterima sebagaimana dimaksudkan.
Universitas Sumatera Utara
Jablin dan Sias (dalam Payne, 2005: 11) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai sejumlah kemampuan, selanjutnya, disebut resources, yang dimiliki seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi. Definisi ini merupakan pendekatan strategik, berorientasi tujuan terhadap kompetensi yang menekankan pengetahuan dan kemampuan. Konsep kompetensi saat ini terus bergantung pada kriteria orisinil dari Spitzberg dan Cupach yaitu: ketepatan (appropriatness) dan efektivitas (effectiveness). Salleh (207: 304) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai sejumlah kemampuan, selanjutnya, disebut resources, yang dimiliki seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi. Definisi ini merupakan pendekatan strategik, berorientasi tujuan terhadap kompetensi yang menekankan pengetahuan dan kemampuan. Jelas definisi-definisi ini melampaui komunikasi yang hanya merupakan keberhasilan dengan menekankan dua komponen utama: pengetahuan akan komunikasi dan konteks serta kemampuan untuk meraih tujuan (keterampilan). Kompetensi ini mencakup hal-hal seperti pengetahuan tentang peran lingkungan (konteks) dalam mempengaruhi isi (konten) dan bentuk pesan komunikasi (misalnya, pengetahuan bahwa suatu topik mungkin layak dikomunikasikan kepada pendengar tertentu di lingkungan tertentu, tetapi mungkin tidak layak bagi pendengar dan lingkungan yang lain). Pengetahuan tentang tatacara perilaku nonverbal (misalnya, kepatutan sentuhan, suara yang keras, serta kedekatan fisik) juga merupakan bagian dari kompetensi komunikasi. Secara singkat, komunikasi yang dilakukan oleh seseorang komunikator yang kompeten mencakup dua hal, yaitu: efektifitas dan kesesuaian (Salleh, 2007: 42).
Universitas Sumatera Utara
Kompetensi sendiri memiliki pengertian kemampuan seseorang yang meliputi keterampilan, pengetahuan, dan sikap dalam melakukan sesuatu kegiatan atau pekerjaan tertentu sesuai dengan standar-standar yang telah ditetapkan. Kata kunci dari kompetensi adalah kemampuan yang sesuai standar. Sedangkan kompetensi komunikasi memiliki pengertian kemampuan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan non-verbal berdasarkan patokan-patokan tertentu. Menurut Canary dan Cody dalam Lane (2000) ada tujuh kriteria untuk menentukan kompetensi komunikasi yaitu: 1. Adaptabilitas atau fleksibilitas (kemampuan mengubah perilaku dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan interaksi), adaptibilitas terdiri dari enam faktor: a. Pengalaman sosial yaitu partisipasi dalam interaksi sosial, b. Hubungan sosial,yaitu ketenangan dan persepsi yang akurat, c. Konfirmasi sosial, yaitu pengakuan teman d. Sensitifitas, yaitu kepekaan terhadap jumlah dan jenis informasi, e. Artikulasi yaitu kemampuan menyatakan ide melalui bahasa, dan f. Kemampuan menggunakan humor. 2. Keterlibatan berbicara (conversational involvement), meliputi: a. Kegiatan kognitif, dan perilaku, b. Keterlibatan kognitif melalui interaksi perilaku, dan itentukan melalui tiga faktor; responsiveness – yaitu mengetahui apa yang akan dibicarakan, mengetahui peran dan interaksi; perceptiveness – menyadari bagaimana orang lain melihat/memandang kamu, dan attentiveness – mendengarkan tanpa berpraduga.
Universitas Sumatera Utara
3. Manajemen pembicaraan (conversational management), meliputi a. Bagaimana komunikator mengatur interaksinya, b. Mengadaptasi dan mengontrol situasi sosial, c. Siapa yang mengontrol interaksi, alir, dan jalannya interaksi, dan d. Bagaimana topik dimulai dan berubah. 4. Empati (empahty), meliputi a. Kemampuan untuk menunjukkan pemahaman dan berbagi emosi, b. Tidak perlu diarahkan untuk membantu orang lain, c. Pemahaman kognitif, dan d. Emosi parallel 5. Kesesuaian (appropriateness) yakni : a. Menentukan harapan dalam situasi tertentu b. Kriteria dasar untuk menentukan kompetensi. 6. Sensitivity to Consequences: pemilihan komunikasi dapat memberikan hasil dalam satu situasi dan mungkin tidak berhasil dalam hal yang lain. Melalui pengalaman, kompetensi komunikasi mendapatkan keakuratan yang lebih besar dalam memahami pengaruh potensial dari berbagai keterampilan dalam situasi yang kompleks. 7. Adeptness: dengan pengalaman yang diperoleh, kita akan lebih tangguh. Efektifitas pilihan komunikasi sebahagian dihubungkan dengan bagaimana kita menerimanya secara spontan. Waktu, pilihan-kata, penekanan, infleksi, dan ritma semuanya harus terintegrasi dengan baik dan secara spontan, jika keterampilan komunikasi diterima sebagaimana dimaksudkan. Meskipun para peneliti telah mengkaji kompetensi komunikasi atau keterampilan sosial dalam organisasi, namun ada kesenjangan yang nyata dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian tersebut. Satu masalah mendasar adalah kurangnya instrumen pengukuran yang memadai yang mengoperasikan konstruk dalam organisasi. Kesenjangan kedua yang lebih substansial dalam literatur adalah kurangnya konseptualisasi yang jelas atas kompetensi yang memasukkan elemen afektif, kognitif dan perilaku. Pendekatan relasional Spitzberg dan Cupach menyajikan sebuah model yang bermanfaat bagi pengukuran kompetensi komunikasi interpersonal. Spitzberg dan Cupach dalam Saleh (2007: 54) dimensi-dimensi dari kompetensi komunikasi adalah antara lain sebagai berikut : 1) Motivasi komunikasi. Sering kali terkait dengan kesediaan seseorang untuk mendekati atau menghindari interaksi dengan yang lain. Kebanyakan penelitian motivasi komunikasi masuk dalam kerangka karakteristik, kejengahan seperti rasa takut komunikasi atau rasa malu. Skala motivasi dirancang untuk mengukur kesediaan seseorang untuk memperluas empati, mengatur interaksi, dan menyesuaikan komunikasi di dalam organisasi. 2) Pengetahuan komunikasi. Untuk membuat rencana tindakan, sering kali disebut sebagai skenario komunikasi. Para komunikator yang kompeten memiliki pengetahuan prosedural untuk menyusun dan menjalankan skenario ini didalam situasi sosial yang berbeda dan harus memiliki kemampuan perseptif untuk “membaca” situasi sosial. Menurut Spitzberg dan Cupach pengetahuan prosedural adalah “mengetahui bagaimana bukan isi dari mengetahui bahwa atau mengetahui apa”. Pengetahuan ini diraih melalui pendidikan, pengalaman, dan dengan pengamatan apa yang disebut prototipe dari kompetensi interpersonal sebuah role model. sekaligus mengetahui standar organisasi untuk komunikasi. 3) Keterampilan komunikasi. Mencakup kinerja aktual dari perilaku. Hal ini sering kali merupakan bagian yang sulit bagi komunikator mengubah motivasi
Universitas Sumatera Utara
dan rencana menjadi tindakan. Individu sering kali termotivasi untuk berkomunikasi dan memiliki pengetahuan, namun kurang keterampilan dalam pengkomunikasiannya secara aktual. Banyak ukuran ketrampilan mencakup variabel-variabel
terkait
seperti
orientasi
lain,
kejengahan
sosial,
keekspresifan, manajemen interaksi. Pendekatan-pendekatan ketrampilan lain fokus pada kemampuan psikomotor kemampuan seseorang untuk berbicara, mendengar, melihat dan mengungkapkan pesan secara non-verbal dalam situasi tertentu. Keterampilan yang dibutuhkan oleh organisasi termasuk pembinaan hubungan, menyimak dan mengikuti instruksi, memberikan umpan balik, bertukar informasi, mencari umpan balik, dan penyelesaian masalah Maes dkk dalam Payne (2005: 2). Menurut Slocum dan Hellriegel (2009: 385) bahwa indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kompetensi komunikasi dalam organisasi adalah sebagai berikut: a. Bijaksana dan kesopanan Bijaksana dan kesopanan yaitu sikap keseharian berupa tingkah laku, cara berbicara, kerapihan. b. Penerimaan umpan balik Umpan balik adalah mengomunikasikan kepada seseorang atau kelompok tentang bagaimana prilaku orang telah mempengaruhi kita atau orang lain. Komunikasi yang bisa dilakukan dalam memberikan umpan balik dapat berupa kata-kata yang diucapkan, sikap, atau tindakan. Umpan balik dapat digunakan untuk membangun orang lain (konstruktif) atau merusak (destruktif), hal ini tergantung pada apakah umpan balik itu berasal dari kebutuhan penerima atau kebutuhan si pemberi yang diberikan. Salah satu fungsi umpan balik adalah untuk membuat seseorang menyadari efek dari perilakunya pada orang lain sehingga ia dapat mengubah atau membuang perilaku yang kurang baik. Umpan balik memungkinkan seseorang tahu di mana keberadaan posisinya dalam satu kelompok dan bagaimana ia dilihat oleh anggota lain. Agar umpan balik yang diberikan memiliki kegunaan bagi orang yang menerima umpan balik tersebut, maka si pemberi umpan balik harus (1) mampu menggambarkan reaksinya sendiri terhadap perilaku tersebut, (2) menggambarkan prilaku yang spesifik atau kejadian yang membangkitkan reaksi (3) umpan balik hendaknya dikakukan sesegera mungkin setelah
Universitas Sumatera Utara
perilaku terjadi dan mempertimbangkan ujung penerimaan umpan balik yang diberikan.
kebutuhan
orang
di
c. Berbagi informasi Berbagi informasi dalam hal ini yaitu instruksi yang disampaikan oleh pimpinan kepada bawahan mengenai berbagai informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan instruksi tersebut di informasikan kepada masyarakat sesuai dengan instruksi atasannya. d. Memberikan informasi tugas Memberikan informasi tugas adalah instruksi yang diberikan oleh pimpinan kepada para aparatur tentang tugas-tugas yang akan dilakukan. Informasi yang diberikan berkaitan dengan kecepatan, ketepatan, kemudahan dan keadilan dalam melayani masyarakat. e. Mengurangi ketidakpastian tugas Ketidakpastian tugas sebagai ketidakmampuan individu dalam memprediksi sesuatu secara tepat sehingga mengalami ambiguitas struktur dalam tugas-tugasnya. Situasi ketidakpastian tugas yang rendah (low task uncertainty), merupakan ukuran terbaik untuk menilai prestasi seseorang dan membawa akibat yang baik terhadap prestasi seseorang. Sebaliknya dalam situasi ketidakpastian tugas tinggi (high task uncertainty), maka akan membawa akibat yang kurang baik terhadap prestasi seseorang dan dapat menimbulkan perilaku negatif (disfunction behavior) bawahan. Adam (2005) menyebutkan bahwa ketidakpastian itu sendiri sering dijabarkan dalam dua hal yaitu ketidakpastian lingkungan (environmental uncertainty) dan ketidakpastian tugas (task uncertainty). Environmental uncertainty terkait dengan kondisi lingkungan organisasi sebagai sebuah sistem dan harus bisa dihadapi oleh perusahaan. Task uncertainty mencakup environmental uncertainty apabila faktor lingkungan merupakan bagian yang terkait dengan tugas-tugasnya (Gerrloff et al. 1991). Pernyataan ini didukung oleh Marsudi dalam Meildawati (2001) yang mendefinisikan ketidakpastian tugas sebagai volatilitas lingkungan yaitu perubahan atau variabilitas dalam lingkungan eksternal organisasi, sehingga menunjukkan bahwa dalam ketidakpastian tugas terdapat unsur yang sama dengan ketidakpastian lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi telah di konsep untuk mencakup unsur-unsur pengetahuan, motivasi, keterampilan, perilaku, dan efektivitas. Spitzberg dan Cupach menyatakan bahwa “interaksi kompeten dapat dilihat sebagai bentuk pengaruh interpersonal, dimana seorang individu dihadapkan dengan tugas memenuhi fungsi dan tujuan (efektivitas) komunikatif dan tetap menjaga norma-norma percakapan dan interpersonal (kesesuaian)”. Dari perspektif ini, semakin banyak pimpinan termotivasi untuk berinteraksi dengan karyawan, berpengetahuan luas dalam
Universitas Sumatera Utara
keterampilan komunikasi yang memfasilitasi keterbukaan, negosiasi, dan kerja sama tim, terampil dalam menggunakan teknik, dan sensitif terhadap konteks komunikasi. Menurut Spitzberg & Cupach dalam Fajar (2009: 152) kompetensi komunikasi meliputi tiga komponen: 1) pengetahuan, 2) keterampilan dan 3) motivasi. Pengetahuan berarti mengetahui perilaku apa yang paling baik dalam satu situasi. Keterampilan adalah kemampuan menggunakan perilaku itu di dalam situasi tertentu. Motivasi adalah keinginan berkomunikasi dengan cara yang kompeten. Model tiga komponen Spitzberg & Cupach menyatakan bahwa seorang komunikator harus 1) mengenal komunikasi apa yang sesuai (knowledge), 2) mempunyai kemampuan melakukan komunikasi (skill) dan 3) mau berkomunikasi dengan cara yang efektif dan sesuai (motivation). Untuk menjadi seorang komunikator yang kompeten, seseorang itu harus dapat mengenal keterampilan mana yang diperlukan di dalam situasi tertentu, dengan keterampilan yang dimiliki, termotivasi untuk menggunakan keterampilan dengan baik. Komunikasi terjadi secara transaksional, artinya setiap orang yang berkomunikasi mengirim dan menerima komunikasi secara simultan. Komunikasi dapat dinadang sebagai suatu proses, yaitu perubahan kejadian dan hubungan merupakan alir yang kontinu. Setiap pengalaman komunikasi merupakan hasil akumulasi pengalaman yang sebelumnya. Pengalaman baru mempengaruhi pengalaman yang akan datang. Jadi komunikasi berarti berbagi pengertian dengan orang lain. Sedangkan ukuran kompetensi komunikasi ada 3, yaitu: 1) pemahaman terhadap berbagai proses komunikasi dalam berbagai konteksnya, 2) kemampuan perilaku komunikasi verbal dan non-verbal secara tepat, dan 3) berorientasi pada
Universitas Sumatera Utara
sikap positif terhadap komunikasi. Seseorang dikatakan kompeten dalam berkomunikasi, bila memenuhi tiga komponen tersebut. Menurut William Howel dalam Griffin (2003: 425) ada 4 tingkatan kompetensi dalam berkomunikasi, yaitu : 1. Unconscious Incompetence Tidak sadar dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dimaksud tidak sadar adalah telah salah menafsirkan pesan atau perilaku komunikasi pihak lain secara tidak sadar. Sedangkan tidak bisa melakukan apa-apa adalah tidak cukup peduli dengan perilaku komunikasinya sendiri. Bentuk kompetensi ini adalah yang paling rendah dari bentuk lainnya. 2. Conscious Incompentence Sadar dalam berkomunikasi, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Dimaksud sadar adalah komunikasi yang dilakukannya tidak efektif dan seringkali terjebak pada salah paham, seperti penanganan konflik yang tidak produktif. Meskipun begitu, mampu melakukan apapun untuk memperbaikinya. 3. Conscious Competence Sadar dalam hal berkomunikasi dan mampu melakukan sesuatu. Orang pada bentuk ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi komunikasi yang lebih efektif. 4. Unconscious Competence Tidak sadar karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan mampu melakukan sesuatu. Bentuk ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam kompetensi komunikasi. Orang pada tingkatan ini memiliki kemampuan untuk menyatukan tindakan komunikasi menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari. Dia tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
lagi sibuk untuk mengatur perilakunya terus menerus karena secara otomatis dirinya telah menyesuaikan. Kompetensi komunikasi adalah istilah yang kompleks dengan struktur internal dan eksternal. Mengenai struktur internal, kita harus menghubungkannya dengan istilah subordinasi seperti efektivitas dan kesesuaian. Efektivitas menggambarkan
hasil
kompetensi
komunikatif,
sedangkan
kesesuaian
menghubungkan kondisi situasional dari interaksi sosial yang sebenarnya. Kompetensi komunikatif harus berkaitan dengan sistem aturan yang menghasilkan situasi yang ideal, bukan mengenai kode linguistik yang menghubungkan bahasa dan pragmatik yang universal dengan sistem peran yang sebenarnya. Dell Hymes memanfaatkan kompetensi komunikasi sebagai istilah sosiolinguistik terbatas. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi tidak hanya untuk tujuan ilmiah, tetapi juga untuk aplikasi praktis. Kualitas kompetensi komunikasi diperlukan tidak hanya dalam interaksi sosial di tingkat interpersonal, tetapi juga pada tingkat organisasi dan masyarakat, serta untuk pertukaran antar budaya. Banyaknya masalah individu dan sosial dalam masyarakat, karena orang tidak cukup kompeten sehubungan dengan aspek-aspek tertentu
dari
komunikasi.
Konsekuensi
tersebut
menyangkut
hubungan
interpersonal, keberhasilan akademik dan profesional, tetapi juga masalah psikologis dan kesehatan. Tingginya tingkat kemahiran komunikatif memfasilitasi kehidupan sosial, psikologis, dan fisik yang lebih baik. Untuk menjelaskan konsep kompetensi komunikasi, terlebih dahulu perlu melihat dasar perilaku yang terdiri dari keterampilan komunikasi tersebut. Oleh karena itu, hubungan antara
Universitas Sumatera Utara
kompetensi dan keterampilan harus diklarifikasi. Kemudian dua kriteria yang paling penting dari kompetensi komunikatif, yaitu efektivitas dan kesesuaian.
2.4.1. Efektivitas Mengingat bahwa komunikasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu, kriteria utama untuk kompetensi komunikatif adalah efektivitas. Ini adalah atribut fungsional, yang mungkin berhubungan dengan kemampuan untuk mencapai atau untuk menyimpulkan makna pembicara (misalnya bahwa ucapan dimaksudkan ironis), atau pencapaian tujuan dibalik maksud tersebut (misalnya, bahwa ironi ini dimaksudkan sebagai kritik atau sebagai lelucon). Spitzberg dan Cupach (1989) menunjukkan bahwa efektivitas berasal dari kontrol dan didefinisikan sebagai pencapaian tujuan yang berhasil atau tugas prestasi. Dari berbagai situasi, penting untuk mengetahui bahwa tidak hanya tindakan tertentu yang dicapai, tetapi juga berapa banyak waktu dan konsumsi energi telah diambil. Gagasan efisiensi mengacu pada suatu tingkat efektivitas yang lebih tinggi. 2.4.2. Kesesuaian Seperti yang telah diusulkan oleh Dell Hymes (1972), komunikasi yang kompeten harus dinilai tepat sesuai dengan faktor-faktor sosial dalam situasi tertentu. Namun, disini kita harus sangat berhati-hati untuk tidak menyamakan faktor sosial dengan norma-norma, karena dalam beberapa situasi mungkin sangat tepat untuk mengubah norma-norma dan aturan yang ada atau untuk membuat aturan baru. Dengan demikian, kriteria kesesuaian cukup untuk menutup berbagai macam hubungan antara tindakan komunikatif dan lingkungan sosial yang fleksibel. Spitzberg dan Cupach (1989: 7) menyebutkan bahwa kesesuaian mencerminkan
kebijaksanaan
atau
kesopanan
dan
didefinisikan
untuk
Universitas Sumatera Utara
menghindari pelanggaran norma-norma sosial atau interpersonal, aturan, atau harapan. Setelah meninjau beberapa kriteria lain dari kompetensi komunikatif yang dibahas sebelumnya, Spitzberg (2003: 98) menyimpulkan: “Namun, menggabungkan ketepatan dan efektivitas menyediakan kerangka kerja yang kebanyakan teori kompetensi yang layak secara umum. Kompetensi, sesuai dengan kriteria ganda kesesuaian dan efektivitas, adalah sejauhmana sebuah interaksi mencapai hasil yang diinginkan dengan cara menjunjung tinggi standar legitimasi yang muncul dari nilai interaksi”. 2.5. Proses Menyiratkan Kompetensi Komunikatif Komunikasi adalah interaksi sosial dan karena itu dapat dijelaskan dan dipelajari dalam hal aksi kolektif dan kerja sama. Unit utama analisis dalam jenis penelitian adalah kelompok sosial. Suatu pendekatan yang memungkinkan untuk menganalisis mutualitas (misalnya, Clark dan Brennan 1993), proses kelompok dan dialektika yang terlibat. Pada saat yang sama, komunikasi yang terjadi dalam hal proses kognitif yang terlibat, seperti yang mendasari produksi pesan untuk mencapai tujuan, pemahaman niat orang lain, serta generasi dan interpretasi perilaku nonverbal. Proses-proses kognitif berimplikasi pada kompetensi komunikatif individu; yang menentukan sebagian besar kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan tepat, yang penting proses-proses kognitif yang terkait dengan pengolahan emosi dan motivasi. Bidang penelitian yang ditujukan untuk keadaan mental internal dan proses
yang
terkait
dengan
kompetensi
komunikatif
meliputi
dialog
psikolinguistik, pendekatan psikologis teori komunikasi, kognisi sosial dan pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson, 2002: 201).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa proses yang spesifik untuk produksi pesan dan untuk penerimaan pesan; sementara banyak representasi yang mendasari dan struktur pengetahuan yang digunakan untuk menyampaikan dan membaca niat. Pada tahap komunikasi, keduanya dipengaruhi oleh perilaku nonverbal. Proses tambahan yang terlibat dalam situasi dimana masalah sosial timbul, yang perlu diselesaikan dengan cara komunikatif dan memerlukan keterampilan komunikasi yang sangat baik. Keduanya akan dibahas dibawah ini. 2.5.1. Produksi Pesan: Menyampaikan Niat dan Mencapai Tujuan Pembicara menghasilkan bahasa untuk menyampaikan ide-ide tertentu untuk lawan bicaranya, yang berarti ada sesuatu dengan yang diucapkannya dan ingin mitra komunikasinya memahami niat yang disampaikannya. Sebuah cara khas untuk mengungkapkan keprihatinan ini adalah ungkapan yang sangat sering disebutkan dengan kalimat “tahu apa yang saya maksud”. Dengan demikian, komunikatif makna atau niat pembicara dikonseptualisasikan sebagai efek bahwa produsen bahasa bermaksud untuk memiliki pikiran penerima tersebut. Jadi misalnya, kalimat “Saya mencoba untuk berkonsentrasi” bisa berarti keinginan untuk ketenangan dan dimaksudkan untuk membuat seseorang berhenti berbicara. Pengakuan penerima tentang makna yang disampaikan adalah efek yang diinginkan pada pikiran penerima yang mendefinisikan kriteria dasar untuk komunikasi yang sukses. Ide-ide tentang komunikasi menyampaikan dan menyimpulkan makna komunikatif telah sangat dipengaruhi oleh “teori komunikasi-niat” yang berarti sebagai konsep sentral komunikasi. Perbedaan yang diusulkan antara pembicarayang berarti makna kalimat telah diterima secara luas di bidang komunikasi, meskipun asumsi tentang sifat yang tepat dari hubungan antara keduanya mungkin
Universitas Sumatera Utara
berbeda. Menurut Sperber dan Wilson (2002: 3), hal ini adalah tujuan pragmatik untuk menjelaskan bagaimana menjembatani kesenjangan antara arti kalimat dan makna pembicara. Intensionalitas terletak pada beberapa pendekatan kognitif untuk komunikasi dan bahasa manusia. Hörmann (2004: 233) menekankan bahwa “pendengar tidak mengerti ucapan; ia memahami pembicara. Lebih tepatnya, ia memahami apa yang dibicarakan, dalam situasi ini, pembicara ingin pendengar untuk berpikir”. Menurut Tirassa (2005: 419), “pragmatik kognitif berkaitan dengan proses mental yang terlibat dalam komunikasi yang disengaja”. Canary dan Cody (1993) menekankan pentingnya tujuan untuk komunikasi antarpribadi, khususnya tujuan representasi diri, tujuan relasional, dan tujuan instrumental. Salah satu tugas model kognitif produksi pesan adalah untuk menggambarkan bagaimana pembicara berhasil menyampaikan makna komunikatif yang dimaksudkan. Suatu permintaan atau penawaran dapat ditolak, oleh karena itu, pencapaian tujuan dapat dianggap sebagai kriteria lain untuk menilai bagaimana komunikasi telah sukses. Hubungan antara tujuan dan niat telah dibahas oleh Tomasello (2005: 676) yang mengusulkan bahwa “niat adalah rencana aksi organisme memilih dan berkomitmen dalam mengejar tujuan”. Mengenai komunikasi yang disengaja, ucapan dimaksudkan untuk menjadi ironis dapat melayani tujuan untuk mengkritik pendengar, atau hanya untuk menjadi lelucon atau menggoda penerima. Tujuan ironis harus diakui di satu sisi, tujuan di balik itu adalah aspek lain dari komunikasi yang disengaja. Untuk memberikan contoh lain, ucapan “ada draft” dapat dipahami sebagai permintaan langsung untuk menutup jendela (komunikasi yang sukses dalam hal menyampaikan niat); pertanyaan lain adalah
Universitas Sumatera Utara
apakah penerima akan memenuhi permintaan ini (komunikasi yang sukses dalam hal pencapaian tujuan). Model kognitif produksi pesan menggambarkan beberapa tahapan yang berbeda dari proses, seperti (1) pengaturan-situasi tergantung tujuan, (2) perencanaan atau “tindakan”, dan (3) diberlakukannya (Berger, 2007: 61). Sejumlah proses kognitif yang terkait telah diusulkan dan sebagian didukung oleh bukti empiris. Pembicara sering mengejar beberapa tujuan secara simultan. Di satu sisi, tujuan yang tertanam secara hirarki: bergerak turun hirarki, tujuan dibagi lagi menjadi subtujuan-bergerak naik hirarki, tujuan yang lebih tinggi-order dan motif menjelaskan mengapa seseorang mencoba untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam situasi tertentu. Di sisi lain, tujuan utama yang mendasari ucapan (misalnya menghilangkan kebisingan yang mengganggu) sering disertai dengan tujuan sekunder (misalnya, bersikap sopan, menetapkan contoh yang baik, menjaga hubungan baik dengan tetangga atau rekan kerja). Beberapa tujuan dapat dianggap sebagai metagoals, seperti kesesuaian sosial atau efisiensi (Berger, 2007: 82). Menurut aturan kognitif model Wilson (1990), hubungan antara fitur situasional dan tujuan interaksi direpresentasikan dalam memori jangka panjang. Aturan kognitif diasumsikan memiliki bentuk implisit. Konsep kompetensi komunikatif mencapai ambang batas tertentu, memicu aturan kognitif, yang pada gilirannya membentuk suatu tujuan. Dengan cara itu, beberapa tujuan dapat dibentuk secara simultan tanpa tuntutan yang besar pada kapasitas pemrosesan. Proses pembentukan tujuan dapat menjelaskan variasi dalam kompetensi komunikatif antara pembicara dengan beberapa cara: pembicara yang berbeda mungkin bervariasi sehubungan dengan kemampuan mereka untuk membentuk tujuan yang tepat, yang diterima dan diakui oleh orang lain, tingkat kekhususan
Universitas Sumatera Utara
dimana tujuan komunikasi diwakili dalam memori kerja, aksesibilitas tujuan sekunder, kepekaan terhadap tujuan pasangannya dan fleksibilitas untuk mengubah tujuan dalam seluruh situasi (Wilson dan Sabee, 2003: 263). Sebuah tinjauan literatur menunjukkan bahwa proses kognitif yang terlibat dalam penetapan tujuan termasuk aktivasi tujuan tergantung pada representasi dari situasi saat ini dan dengan mengaktifkan struktur dalam memori jangka panjang, pemeliharaan tujuan dalam memori kerja, representasi tujuan orang lain berdasarkan teori pikiran, evaluasi dan koordinasi tujuan yang berbeda. Pada tahap proses perencanaan, tujuan komunikatif ditransformasikan ke dalam rencana aksi yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Rencana untuk mencapai tujuan komunikatif dapat bervariasi secara kompleksitas, yang mungkin terdiri dari sejumlah besar subtujuan hirarki yang terorganisir dan langkahlangkah yang terlibat dalam pengaturan pembicaraan. Selain itu, juga dapat terdiri dalam perencanaan sederhana jawaban singkat untuk permintaan. Perencanaan kompleksitas bervariasi tidak hanya dalam ketergantungan pada tuntutan situasional, tetapi juga antara pembicara. Perencanaan mencakup juga aspek memilih bagian dari potongan-potongan pengetahuan untuk verbalisasi eksplisit. Misalnya, untuk menyampaikan permintaan, pembicara dapat memilih untuk mengekspresikan kebutuhan sendiri, atau kemampuan penerima. Elaborasi dari struktur pengetahuan yang diaktifkan dapat mengakibatkan negasi, hiperbolik atau ekspresi ironis. Greene (2006: 71) mengasumsikan bahwa generasi rencana ucapan menggunakan proses aktivasi dan perakitan dapat didasarkan pada pengambilan lengkap dari memori jangka panjang (disebut “seleksi”) atau konstruksi baru (disebut “penciptaan”), atau campuran keduanya. Selanjutnya proses kognitif yang terlibat dalam perencanaan pesan termasuk proses antisipasi
Universitas Sumatera Utara
tentang implikasi dari tindakan dan hambatan potensial serta proses kontrol eksekutif yang diperlukan untuk perencanaan, khususnya mereka yang terlibat dalam pemantauan. 2.5.2. Penerimaan Pesan: Menyimpulkan Niat Kompetensi komunikatif tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk menghasilkan pesan dengan cara yang mereka maksud dapat disimpulkan oleh orang lain dan bahwa tujuan interpersonal mereka dapat dicapai, tetapi juga kemampuan untuk menerima pesan yang disampaikan oleh orang lain. Oleh karena itu, bagian penting dari proses kognitif yang terlibat dalam kesepakatan kompetensi komunikatif dengan menyimpulkan niat pembicara. Model kognitif dari penerimaan pesan biasanya mengasumsikan dua tahap utama dalam pengolahan pesan: (1) memahami makna literal, dan (2) memahami makna pembicara (Wyer dan Adaval, 2003: 352). Tahap ketiga menyangkut efek komunikatif pada penerima (seperti membentuk keyakinan baru), yaitu suatu ketergantungan pada proses evaluasi tingkat besar. Fase tambahan pengolahan tindakan komunikatif, termasuk reaksi (menghasilkan niat untuk respon) dan respon terbuka. Fase-fase ini tidak dibahas di sini, karena sebagian besar tumpang tindih dengan proses produksi pesan. Memahami makna harfiah atau arti kalimat tergantung pada sejumlah besar proses kognitif, yang tunduk pada teori pengolahan yang masing-masing merupakan daerah penelitian yang kompleks. Sehubungan dengan penerimaan pesan, sering ditekankan bahwa arti harfiah kebutuhan tidak ditularkan dengan cara linguistik, tetapi juga dapat disampaikan dalam komunikasi nonverbal (mengangguk atau tersenyum atau melambaikan tangan) atau dengan cara lain
Universitas Sumatera Utara
(seperti menggunakan gambar). Formulir ini bisa setara dengan sarana linguistik (untuk mengucapkan selamat tinggal, atau mengungkapkan kegembiraan atau afirmasi,
atau
memberikan
arah
rute);
interpretasi
yang
benar,
yaitu
menyimpulkan arti yang diinginkan, tergantung pada pengetahuan tentang konvensi menurut budaya (misalnya, apakah mengangguk digunakan untuk penegasan atau negasi). Dalam kasus lain, makna harfiah dimaksudkan hanya dapat disampaikan dengan menggunakan bahasa; mengartikan itu membutuhkan pengetahuan tentang aturan bahasa dan mungkin tergantung pada pengetahuan prosedural menyediakan aktivasi cukup cepat struktur pengetahuan yang dimaksudkan. Representasi linguistik kalimat tidak perlu selalu lengkap, rinci dan akurat (Ferreira, Bailey dan Ferraro 2002: 102). Pesan ditafsirkan dalam hal struktur konseptual dalam memori jangka panjang. Sebagaimana Wyer dan Adaval (2003: 362) menunjukkan, beberapa konsep alternatif mungkin ditugaskan untuk pesan, dan dari itu diaktifkan ketergantungan pada aksesibilitas dalam memori jangka panjang, yang pada gilirannya dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti aktivasi, frekuensi aktivasi, dan tujuan saat ini. Sebagaimana orang-orang sering tidak menyadari bahwa faktor-faktor yang menyebabkan untuk menerapkan salah satu bagian dari pengetahuan yang lain, bisa dapat terjadi dalam menafsirkan pesan. Untuk menyimpulkan niat komunikatif pembicara, mulai dari arti harfiah, penerima dapat mengambil keuntungan dari petunjuk nonverbal, prosodi, informasi kontekstual dan informasi dari memori jangka panjang (seperti pengetahuan tentang mitra atau sekitar konvensi budaya). Menggunakan jenis informasi, pendengar mungkin menafsirkan kalimat “Ini hujan”, sebagai nasihat untuk membawa payung atau memulai pembicaraan kecil atau sebagai respon
Universitas Sumatera Utara
terhadap argumen sebelumnya. Representasi pesan telah terbukti tergantung pada persepsi pendengar. Indikator penting bahwa makna literal menyimpang dari makna pembicara dan bahwa pernyataan tidak boleh diambil secara harfiah sama sekali akan menjadi pelanggaran terhadap harapan komunikasi. Harapan komunikasi adalah representasi individu norma-norma untuk perilaku nonverbal dan penggunaan bahasa. Teori pelanggaran harapan berasumsi bahwa komunikasi yang kompeten melibatkan harapan komunikasi. Oleh karena itu, pendengar akan menafsirkan pesan sebagai hiperbolik, ironis, sarkastik dan menyiarkan. Menurut teori pelanggaran harapan, keterlibatan dalam perilaku tak terduga dari teman bicara meningkatkan gairah, yang mengarah ke respon orientasi, di mana perhatian digeser dari topik wacana dengan lawan dan arti pelanggaran itu sendiri. Studi didasarkan pada harapan pelanggaran teori telah membahas terutama aspek efek komunikatif dan komunikasi nonverbal. Memahami makna pembicara ditularkan oleh ucapan dapat dianggap sebagai contoh membaca niat yang menurut Tomasello (2005: 234) disebut keterampilan sosial-kognitif yang paling dasar. Kemampuan untuk membentuk teori yang dikembangkan sepenuhnya, untuk menghargai keadaan mental orang lain dan untuk membentuk keyakinan tentang apa yang orang lain mungkin berpikir (disebut pengetahuan urutan pertama) atau bahkan tentang keyakinan orang lain untuk berpikir (pengetahuan disebut urutan kedua) tampaknya menjadi turunan dari keterampilan sosial-kognitif yang lebih mendasar. Yang penting, kemampuan dasar membaca niat ini tampaknya terkait dengan motivasi untuk berbagi keadaan psikologis dengan orang lain, niat bersama dan perhatian (intensionalitas bersama) serta emosi dan pengalaman. Peneliti lain mengusulkan bahwa ada yang spesifik, berbasis relevansi sub-modul, dalam modul membaca
Universitas Sumatera Utara
pikiran, yang didedikasikan untuk menyimpulkan makna pembicara (Sperber dan Wilson, 2002: 301). Secara umum, dapat diasumsikan bahwa memahami pesan yang dikomunikasikan sering membutuhkan penalaran tentang bahasa mental produsen. Sebuah pertanyaan yang berbeda dari pemahaman pesan dan menyimpulkan niat pembicara adalah efek komunikatif pesan yang telah diterima. Pendengar mungkin juga memahami maksud pembicara untuk meyakinkan mereka tentang sesuatu, pertanyaan lain adalah apakah mereka akan percaya itu benar dan apakah mereka percaya pada pembicara akan hal tersebut. Hal ini sangat tergantung pada pengetahuan pribadi dan motivasi, dan juga pada atribusi keadaan mental kepada produsen bahasa yang sesuai dengan pesan. Sekali lagi, proses inferensial memainkan peranan penting dalam aspek penerimaan pesan, yang termasuk dalam atribusi tujuan di balik niat komunikatif yang dirasakan (misalnya, mengapa seseorang mencoba untuk meyakinkan saya tentang sesuatu) dan mungkin juga berkaitan dengan tujuan sekunder, seperti memelihara hubungan sosial yang baik. Secara keseluruhan, kompetensi komunikatif dalam memahami pesan tergantung pada semua proses yang terlibat dalam memahami arti harfiah dari ucapan-ucapan atau perilaku nonverbal, menyimpulkan niat dan tujuan, dan mengaitkannya dengan situasi yang dirasakan, pengetahuan tentang dunia dan mungkin pengetahuan tentang penggunaan bahasa, serta dengan motivasi dan niat. 2.5.3. Pengetahuan yang Mendasari dan Representasi Kompetensi komunikatif didasarkan pada sejumlah pernyataan dan struktur pengetahuan komunikasi yang mendasari, yang digunakan untuk menyampaikan dan membaca niat. Untuk memahami dan menghasilkan pesan,
Universitas Sumatera Utara
kita tidak hanya mengandalkan pengetahuan kita tentang bahasa pada beberapa tingkatan (atau cara nonverbal untuk mengekspresikan ide-ide), pengetahuan umum tentang dunia, skema budaya dan mewakili kendala, model situasi tertentu, dan representasi mental kita dan keadaan fisik, tujuan dan niat, tetapi juga asumsi tentang orang lain yang terlibat dalam komunikasi dan tentang tujuan mereka, niat, perasaan, sikap, pendapat dan pengetahuan. Namun, hal itu adalah masalah kontroversi sampai sejauh mana kita perlu merepresentasi secara eksplisit dari keadaan mental lawan bicara kita dan pikiran dalam setiap kasus komunikasi. Menurut teori Grice, komunikasi yang sukses membutuhkan niat pembicara yang harus transparan. Artinya, pendengar tidak hanya harus mengakui konten
informatif
dari
ucapan,
tetapi
juga
maksud
pembicara
untuk
menginformasikan. Sebuah usulan alternatif berasal dari teori relevansi, yang membedakan antara niat informatif dan komunikatif dan mengasumsikan makna pembicara sepenuhnya terdiri dari metarepresentasi. Tipe lain dari pengetahuan saling terkait dengan akun komunikasi yang dibagi menjadi informasi atau kesamaan, yaitu latar belakang pengetahuan dan asumsi bersama antara pembicara dan penerima. Jadi, hal ini bukan pengetahuan tentang niat komunikatif, melainkan berbagi ilmu tentang sesuatu yang relevan dengan isi percakapan. Sebagai contoh, sebuah referensi tertentu seperti “film” mungkin tepat dan dapat dipahami jika kedua lawan bicara tahu bahwa penerima menonton film tertentu sebelumnya dan jika masing-masing dari mereka tahu bahwa yang lain tahu. Kesamaan mungkin berasal dari keanggotaan komunitas, fisik atau bahasa, dan akumulasi selama percakapan. Ini termasuk proses grounding, dimana kedua lawan bicara meyakinkan diri dari pemahaman yang cukup tentang apa yang telah dikatakan, sebagai dasar untuk memperbarui kesamaan mereka (Clark dan Krych, 2004: 32). Semua proses ini melibatkan representasi mental pikiran
Universitas Sumatera Utara
lawan mereka. Pemodelan pikiran pasangannya juga diasumsikan memberikan dasar bagi produksi pesan.
2.6. Pelayanan dan Kompetensi Komunikasi Implementasinya, ketika seseorang atau suatu lembaga bisnis melayani dan berhadapan dengan konsumen atau pelanggan, maka ada dua hal yang sangat penting yang harus disadari yaitu adanya dua hal yang tak bisa dihindarkan oleh semua orang baik dilevel operasional maupun manajerial
yakni keteribatan
pelayanan dan komunikasi. Komunikasi ibarat darah bagi sistem organisasi, sedangkan pelayanan ibarat zat-zat terpenting untuk kesehatan organisasi. Tetapi pelayanan dan komunikasi yang bagaimana yang membuat organisasi sehat sehingga
memiliki keunggulan dalam memenangkan persaingan?
Jawabnya
adalah pelayanan yang menekankan kepada kualitas dalam melahirkan kepuasan pelanggan yang disebut sebagai pelayanan prima
(service excellent) dan
kehandalan komunikasi yang mampu menumbuhkan efek positif. Joseph Devito (2001) menyebutnya sebagai kompetensi komunikasi. Pengertian pelayanan prima menunjukan karakteristik total dari suatu produk (barang/jasa) yang melebihi standar baku sehingga pelanggan merasa mendapat lebih dari yang semula diharapkan. Terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan keprimaan sesuatu barang/jasa. Indikasi itu adalah kesesuaian dengan persyaratan, kecocokan dipakai/digunakan, perbaikan
berkelanjutan,
bebas dari kerusakan dan kesalahan, memenuhi kebutuhan pelanggan, melakukan dengan cara benar, dan menyenangkan pelanggan. Sedangkan pengertian komunikasi prima merujuk kepada kompetensi komunikator dalam menjalankan dan memahami bagaimana komponen-komponen komunikasi berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat menghasilkan efek komunikasi yang berkualitas sesuai dengan apa yang diharapkan pada pelayanan prima tadi. Indikasinya berupa komunikasi efektif. Menurut Mulyana (2003: 102) komunikasi dikatakan efektif apabila terjadi efek pada komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Jadi apabila pelayanan prima didukung dengan komunikasi prima maka akan terjadi efek-efek seperti apa yang diindikasikan dalam pelayanan prima tadi terutama pelanggan (komunikan) menjadi senang karena adanya saling pengertian (mutual understanding). Dalam bidang jasa, misalnya pelayanan publik, bagaimana agar seorang public relations mampu memilki kompetensi komunikasi dalam menjalankan pelayanan primanya?, tentu saja pelayan jasa tersebut secara knowledge (kognitif) mampu memahami sistem komunikasi secara terpadu dari berbagai komponen komunikasi yang mendukung beserta pengaruhnya terhadap efek komunikasi yang ditimbulkannya,
serta secara
psikomotorik (prilaku)
pelayan jasa memilki communications skill baik secara verbal dan non verbal. Ia tidak hanya mampu memberikan pelayanan prima secara cerdik, tetapi ia juga mampu berkomunikasi secara bijak, paham terhadap penggunaan komunikasi yang baik, serta didukung dengan penampilan yang prima pula, sehingga terlihat sebagai pribadi yang utuh, professional dan penuh pesona. 2.7. Proses Pelayanan adalah Proses Komunikasi Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan atau informasi diantara dua orang atau lebih yang terdistorsi oleh nosie (hambatan/ganguan) dengan harapan terjadinya pengaruh yang positif atau menimbulkan efek tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan yang terjadi pada konteks atau lingkungan tertentu. Minimal ada lima bahkan bisa mencapai
Universitas Sumatera Utara
delapan komponen penting untuk diperhatikan dalam proses komunikasi, yaitu : 1) pengirim pesan (sender atau komunikator), 2) pesan yang dikirimkan (message), 3) bagaimana pesan tersebut disampaikan (delivery channel atau media), 4) penerima pesan (receiver atau komunikan), 5) umpan balik (feedback) 6) effect. 7) noise (gangguan), dan 8) konteks atau lingkungan. (Strohner, 2008: 123) Pengembangan kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif, baik secara personal maupun professional paling tidak kita harus menguasai empat jenis keterampilan dasar dalam berkomunikasi, yaitu: 1) menulis, 2) membaca, 3) berbicara dan 4) mendengar. Menurut Stephen Covey, komunikasi merupakan keterampilan yang penting dalam hidup manusia. Unsur yang paling penting dalam berkomunikasi adalah bukan sekedar apa yang ditulis atau yang dikatakan, tetapi karakter dan bagaimana menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Penerima pesan tidak hanya sekedar mendengar kalimat yang disampaikan tetapi juga membaca dan menilai sikap pemberi pesan. Jadi syarat utama dalam komunikasi yang efektif adalah karakter kokoh yang dibangun dari fondasi etika serta integritas pribadi yang kuat. Tidak peduli seberapa berbakatnya seseorang, betapapun unggulnya sebuah tim atau seberapapun kuatnya kasus hukum, keberhasilan tidak akan diperoleh tanpa penguasaan keterampilan komunikasi yang efektif.
Hovland & Weiss
dalam Rakhmat (2003: 109) menyebutnya
sebagai source credibility atau ethos. Keterampilan melakukan komunikasi yang efektif akan berperan besar dalam mendukung pencapaian tujuan dari seluruh aktivitas, apalagi dalam menjalan visi pelayanan prima. Melakukan
komunikasi
yang
efektif,
maka
kemampuan
untuk
mengirimkan pesan atau informasi yang baik, kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik, serta keterampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian yang sangat penting. Komunikasi seringkali
Universitas Sumatera Utara
terganggu atau bahkan dapat menjadi buntu sama sekali. Faktor hambatan yang biasanya terjadi dalam proses komunikasi, dapat dibagi dalam 3 jenis sebagai berikut : 1. Hambatan Teknis Hambatan jenis ini timbul karena lingkungan yang memberikan dampak pencegahan terhadap kelancaran pengiriman dan penerimaan pesan, dari sisi teknologi, keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi, akan semakin berkurang dengan adanya temuan baru di bidang teknologi komunikasi dan sistim informasi, sehingga saluran komunikasi dalam media komunikasi dapat diandalkan serta lebih efisien. 2. Hambatan Semantik Gangguan semantik menjadi hambatan dalam proses penyampaian pengertian atau idea secara efektif. Semantik adalah studi atas pengertian, yang diungkapkan lewat bahasa. Suatu pesan yang kurang jelas, akan tetap menjadi tidak jelas bagaimanapun baiknya transmisi. Untuk menghindari mis-komunikasi semacam ini, seorang komunikator harus memilih kata-kata yang tepat dan sesuai dengan karakteristik komunikannya, serta melihat dan mempertimbangkan kemungkinan penafsiran yang berbeda terhadap kata-kata yang digunakannya. Kemampuan emphatis diharapkan dapat menjembatani masalah ini. 3. Hambatan Manusiawi Hambatan jenis ini muncul dari masalah-masalah pribadi yang dihadapi oleh orang-orang yang terlibat dalam komunikasi, baik komunikator maupun komunikan. Biasanya dalam bentuk hambatan social psikologis. Menurut Cruden dan Sherman, hambatan ini mencakup : a) hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia, seperti perbedaan persepsi, umur, keadaan emosi, status,
Universitas Sumatera Utara
keterampilan mendengarkan, pencarian informasi, penyaringan informasi, b) hambatan yang ditimbulkan oleh iklim psikologis dalam organisasi atau lingkungan sosial dan budaya, seperti suasana dan iklim kerja serta tata nilai yang dianut. Disini Kemampuan emphatis diharapkan juga dapat menjembatani masalah ini.
2.8. Profesionalisme Tuntutan terhadap profesionalisme sebagai suatu faham dan konsep idealisme profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap keberadaan aparatur di lingkungan birokrasi pemerintahan. Namun pemahaman akan profesionalisme itu sendiri masih belum jelas dan belum ada standar penilaiannya. Sebutan “Profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan Menurut Tangkilisan (2005: 227) yang dimaksud dengan profesionalitas adalah: kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi dengan kebutuhan tugas. Terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesionalisme, artinya, keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Menurut Siagian dalam Kurniawan (2005:74) profesionalisme adalah “keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu yang baik, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan atau masyarakat”. Profesionalisme sangat mencerminkan keahlian seorang terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Menurut Abeng dalam Moeljono
Universitas Sumatera Utara
(2003:107) “pengertian profesional terdiri atas tiga unsur, yaitu knowledge, skill, integrity”. Knowledge dapat diartikan sebagai tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terhadap pekerjaan yang digelutinya, skill dapat diartikan sebagai kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang dalam menguasai pekerjaannya, dan integrity dapat diartikan sebagai integritas seseorang dalam menjalankan pekerjaannya di dalam suatu organisasi. Menurut Martin (Kurniawan, 2005:75), “profesionalisme aparatur memiliki beberapa karakteristik yang sesuai dengan tuntutan good governance, yaitu (a) equality, (b) equity, (c) loyality, dan (d) accountability”. (a) Equality secara bahasa diartikan sebagai kesamaan. Kesamaan yang dimaksud disini yaitu sikap pegawai yang selalu sama dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. (b) Equity secara bahasa yaitu kesetaraan. Kesetaraan adalah pemberian perlakuan yang adil, dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Menurut Tjandra (2005:11) “kesetaraan yaitu tidak diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan dan gender”. (c) Loyality atau loyalitas yaitu kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. (d) Accountability atau akuntabilitas merupakan tanggung jawab atas apa yang menjadi tugas pokok aparat pemerintah terhadap masyarakat sebagai para pengguna jasa layanan publik. Menurut Kumorotomo (2005:3), “akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan apakah pelayanan publik
tersebut
mampu
mengakomodasi
kebutuhan
masyarakat
yang
Universitas Sumatera Utara
sesungguhnya”. Karakteristik profesionalisme di atas merupakan profesionalisme yang sesuai dengan tuntutan good governance. Untuk menciptakan pemerintahan yang baik diperlukan profesionalisme pegawai yang baik. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan sejauh mana profesionalisme pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Pelayanan administratif merupakan salah satu bentuk dari pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pada pelayanan administratif, pelayanan yang diberikan lebih kepada pengurusan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sangat sulit menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat. Masyarakat sebagai pihak yang merasakan secara langsung pelayanan yang diberikan, memiliki peran penting dalam memberikan penilaian mengenai kualitas pelayanan. Sehingga untuk mengukur kualitas pelayanan, tentu saja dengan melihat apa yang dianggap penting dan apa yang dianggap perlu oleh masyarakat. Agar pelayanan yang diberikan dapat berjalan secara efektif dan efesien serta memuaskan masyarakat maka perlu adanya peningkatan kerja pegawai sebagai penyelenggara pelayanan publik. Keprofesionalan aparatur pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan administratif yang diberikan, sehingga pada akhirnya akan membuat masyarakat untuk tidak bosan berurusan dengan pegawai pemerintah. Dengan terciptanya profesionalisme pegawai diharapkan terciptanya pula hasil pelayanan yang berkualitas dimana kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama penyelenggara pelayanan publik. Sesuai yang dikemukakan oleh Tjokrowinoto (Tangkilisan, 2005:231) bahwa profesionalisme berkaitan dengan kemampuan aparat yang bekerja dengan memiliki inovasi, dan mempunyai etos kerja tinggi. Tentu akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap kualitas layanan kepada para pengguna jasa. Dengan adanya profesionalisme, kinerja
Universitas Sumatera Utara
individu secara langsung akan berpengaruh terhadap pemberian kualitas pelayanan kepada para pengguna jasa. Apa yang dikatakan oleh Siagian (Tangkilisan, 2005:231) bahwa “profesionalisme berkaitan dengan keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat”. Oleh sebab itu profesionalisme pegawai secara otomatis akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang dihasilkan. Terbentuknya aparatur profesional menurut pendapat diatas memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Dengan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh aparatur memungkinkan terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan pelayanan publik secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap tujuan yang ingin dicapai. Tjokrowinoto (1996:191) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah kemampuan untuk untuk menjalankan tugas dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang sederhana. Terbentuknya kemampuan dan keahlian juga harus diikuti dengan perubahan iklim dalam dunia birokrasi yang cenderung bersifat kaku dan tidak fleksibel. Sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi aparat untuk bekerja secara profesional serta mampu merespon perkembangan global dan
Universitas Sumatera Utara
aspirasi masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai pelayanan yang responsif, inovatif, efektif, dan mengacu kepada visi dan nilai-nilai organisasi. Menurut Hall dalam Herawati dan Susanto (2009:4) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: 1. Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi. 2. Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3. Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. 4. Keyakinan terhadap peraturan profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama 5. Hubungan dengan rekan seprofesi Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
Menurut Siagian (2000:164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan profesionalisme aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan. Pendapat tersebut meyakini bahwa sistem kerja birokrasi publik yang berdasarkan juklak dan juknis membuat aparat menjadi tidak
Universitas Sumatera Utara
responsif serta juga karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan pemberdaya bagi bawahan. Tjokrowinotono (1996:193) menyatakan bahwa profesionalisme tidak hanya cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh keahlian dan pengetahuan agar aparat dapat menjalankan tugas dan fungsi secara efektif dan efisien, akan tetapi juga turut dipengaruhi oleh filsafat-birokrasi, tata-nilai, struktur, dan prosedur kerja dalam birokrasi. Untuk mewujudkan aparatur yang profesional diperlukan political will dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam filsafat atau cara pandang organisasi dalam mencapai tujuan yang dimulai dengan merumuskan visi dan misi yang ingin dicapai dan dijalankan oleh organisasi, membangun struktur yang flat dan tidak terlalu hirarkis serta prosedur kerja yang tidak terlalu terikat kepada aturan formal. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan perubahan dalam organisasi dan meningkatkan profesionalisme aparatur maka penting untuk meredefinisikan kembali apa yang hendak di capai oleh organisasi, membangun sistem penggajian yang mengedepankan nilai keadilan serta membangun struktur organisasi yang memungkinkan untuk terjadinya proses pengambilan keputusan yang cepat. 2.9. Pelayanan Publik (Public Service) Menurut Pamudji (2004: 21) mengemukakan “pelayanan publik adalah berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barangbarang dan jasa-jasa”. Hal yang sama dikemukakan Widodo (2001: 269) bahwa :”Pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
Universitas Sumatera Utara
masyarakat
yang
mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan”. Boediono (2003: 12) menyatakan bahwa: “pelayanan pelanggan adalah upaya atau proses yang secara sadar dan terencana dilakukan organisasi atau badan
usaha
agar
produk/jasanya
menang
dalam
persaingan
melalui
pemberian/penyajian pelayanan kepada pelanggan sehingga tercapai kepuasaan optimal bagi pelanggan”. Sedangkan Djaenuri (2003: 15) mendefinisikan tentang pelayanan masyarakat adalah “ Suatu kegiatan yang merupakan perwujudan dari tugas umum pemerintahan mengenai bidang tugas pokok suatu instansi untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat secara maksimal”. Sedangkan Ndraha (2003: 64) mengemukakan bahwa : “Pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah terkait dengan suatu hak dan lepas dari persoalan apakah pemegang hak itu dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam hal ini dikenal adalah hak bawaan (sebagai manusia) dan hak berian. Hak bawaan itu selalu bersifat individual dan pribadi, sedangkan hak berian meliputi hak sosial politik dan hak individual. Lembaga yang berkewajiban memenuhi hak tersebut adalah pemerintah. Kegiatan pemerintah untuk memenuhi hak bawaan dan hak berian itulah yang disebut pelayanan pemerintah kepada masyarakat termasuk pribadi-pribadi pemilik hak bawaan”. Konteks hubungan pemerintah dengan masyarakat, menurut Saefullah (2005: 5), pelayanan publik (public service)
adalah pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Karenanya birokrasi publik (pemerintah) berkewajiban untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Perkembangan konsep pelayanan, seiring dengan reformasi di sektor publik/pemerintahan yang mulai mengadopsi pendekatan-pendekatan pelayanan
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan di sektor privat/bisnis dalam rangka kompetisi untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, masyarakat mulai ditempatkan bukan hanya sebagai penerima pelayanan mengikuti kemauan yang memberi pelayanan, tetapi masyarakat ditempatkan sebagai pelanggan atau konsumer, yang menjadi penentu kualitas pelayanan yang diberikan. Jika dihubungkan dengan hal tersebut, maka diskusi tentang pelayanan kepada masyarakat akan melibatkan 4 (empat) unsur yang terkait, yaitu : Pertama, adalah pihak pemerintah atau birokrasi yang melayani; Kedua, adalah pihak masyarakat yang dilayani; Ketiga, terjalin hubungan antara yang melayani dan yang dilayani, hubungan ini sangat menentukan tingkatan tingkatan pelayanan pemerintah dan pemanfaatan pelayanan tersebut oleh masyarakat; Keempat, adanya pengaruh lingkungan di luar birokrasi dan masyarakat, seperti : politik, social budaya, ekonomi dan sebagainya. Berdasarkan berbagai batasan konsep tersebut di atas, menunjukkan bahwa pelayanan publik berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik dan berkualitas sebagai konsekuensi dari tugas dan fungsi pelayanan yang diembannya, berdasarkan hakhak yang dimiliki oleh masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan dan pembangunan. 2.10. Kualitas Pelayanan Publik Berbicara mengenai pelayanan publik tentunya dapat dipahami bahwa sangat sulit menilai kualitas pelayanan yang sifatnya kualitatif pada organisasi nirlaba daripada menilai laba atau keuntungan yang lebih bersifat kuantitatif sifatnya pada organisasi profit. Sebagaimana dikemukakan Lovelock (dalam Widodo, 2001:272), bahwa lima prinsip yang harus diperhatikan bagi pelayan
Universitas Sumatera Utara
publik, agar kualitas layanan dapat dicapai meliputi: Pertama, Tangible (terjamah), seperti kemampuan pisik, peralatan, personil, dan komunikasi material. Kedua, Reliable (handal), kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki keajegan. Ketiga, Responsiveness (pertanggung jawaban), yakni rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan. Keempat, Assurance (jaminan), yakni pengetahuan, perilaku dan kemampuan pegawai. Kelima, Empathy (empati), yakni perhatian perorangan pada pelanggan. Selanjutnya menurut Sinambela, dkk (2011: 6) secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari: Pertama, transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Kedua, akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketiga, kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Keempat, partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Kelima, kesamaan hak, yaitu pelayanan tidak melakukan diskriminasi di lihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain. Keenam, keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga yang lebih
Universitas Sumatera Utara
strategis.
Definisi
konvensional
dari
kualitas
biasanya
menggambarkan
karakteristik langsung dari suatu produk, seperti: kinerja (Performance), keandalan (Reliability), mudah dalam penggunaan (ase of use), dan estetika (esthetic), dan sebagainya. Akhirnya perlu ditegaskan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan yang ditargetkan sebagai kepuasan bagi siapapun yang menerimanya. Sistem administrasi Negara yang efisien dan efektif bukan mencerminkan dari hasil koreksi dan pengaduan dari public, tetapi merupakan hasil ciptaan kreatif atas dasar pengelolaan pemerintahan yang proaktif terhadap berbagai keperluan publik. Aparatur pemerintahan seharusnya mampu mendorong aktivitas publik pada berbagai dimensi pembangunan yang meningkat kearah yang lebih baik. Untuk pelayanan publik wajib dikelola oleh aparatur Negara dalam manajemen birokrasi yang bersifat apolitik, mengefektifkan kualifikasi yang bersifat spesialisasi, dan mendorong terciptanya jangkar koordinasi yang lebih luas, efektif dan efisien, sehingga dapat menjadi pusat keunggulan pelayanan publik. Berdasarkan pengertian dasar tentang kualitas di atas, menunjukkan bahwa kualitas selalu berfokus pada pelanggan (masyarakat). Dengan demikian, produkproduk,
baik
barang
dan
jasa,
didesain,
diproduksi,
serta
pelayanan
diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Karena kualitas mengacu kepada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan persepsi, keinginan dan tuntutan, dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pelanggan. Oleh karena kualitas pelayanan ditentukan oleh tuntutan, keinginan, harapan atau kepuasan masyarakat, bukan pemerintah/birokrasi, maka organisasi pemerintah harus mengetahui dan memahami segala sikap dan perilaku, tuntutan, keinginan,kebutuhan, harapan atau tingkat kepuasan pelanggan. Strategi ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan cara yang terbaik dalam menciptakan dan mewujudkan kualitas pelayanan. Upaya untuk mendengar
suara masyarakat atau pelanggan
merupakan hal yang penting yang harus dilakukan organisasi birokrasi. Menurut Kotler (dalam Supranto, 2003: 231) mengemukakan dimensi kualitas pelayanan, meliputi : a. Keandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. b. Keresponsifan (Responsiveness), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan. c. Keyakinan (Confidence), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan assurance. d. Empati (Emphaty), yaitu syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan. e. Berwujud (Tangibles), yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media komunikasi. Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability, dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima. Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan, merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan. Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda. Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain. Maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai. Dalam hal ini yang dijadikan pertimbangan adalah kesulitan atau kemudahan konsumen dan produsen di dalam menilai kualitas pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Matrik Penilaian Pelayanan Tingkat kesulitan produsen di dalam mengevalusi kualitas
Tingkat kesulitan pengguna di dalam mengevaluasi kualitas Rendah
Rendah Mutual Knowledge Tinggi Consumer Knowledge Sumber : Kieron Walsh (1991)
Tinggi Producer Knowledge Mutual Ignorance
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan. Kualitas sering kali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan. Namun dalam proses pelaksanaan pelayanan public, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik antara lain disebabkan oleh : 1. Struktur Organisasi Menurut Islami (2004: 31), struktur adalah susunan berupa kerangka yang memberikan bentuk dan wujud, dengan demikian akan terlihat prosedur kerjanya. Dalam organisasi pemerintahan, prosedur merupakan sesuatu rangkaian tindakan yang ditetapkan lebih dulu, yang harus dilalui untuk mengerjakan sesuatu tugas. Lebih jauh Robbins mengatakan bahwa struktur organisasi mempunyai tiga komponen, yaitu : kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Berdasarkan uraian di atas, apabila komponen-komponen struktur organisasi yang mendukung disusun dengan baik antara pembagian kerja atau spesialisasi disusun sesuai dengan kebutuhan, dapat saling menunjang, jelas
Universitas Sumatera Utara
wewenang tugas dan tanggung jawabnya, tidak tumpang tindih, sebaran dan tingkatan dalam organisasi memungkinkan dilakukannya pengawasan yang efektif, struktur organisasi desentralisasi memungkinkan untuk diadakannya penyesesuaian atau fleksibel, letak pengambilan keputusan disusun dengan mempertimbangkan untuk rugi dari sistem sentralisasi dan desentralisasi, antara lain sentralisasi yang berlebihan bisa menimbulkan ketidakluwesan dan mengurangi semangat pelaksana dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan desentralisasi yang berlebihan bisa menyulitkan dalam kegiatan pengawasan dan koordinasi. Untuk struktur organisasi perlu diperhatikan apakah ada petugas pelayanan yang mapan, apakah ada pengecekkan penerimaan atau penolakkan syarat-syarat pelayanan, kerja yang terus-menerus berkesinambungan, apakah ada manajemen yang komitmen, struktur yang cocok dengan situasi dan kondisi dan apakah ada sumberdaya yang mapan. 2. Kemampuan Aparat Aparat negara atau aparatur pemerintah, diharapkan atau dituntut adanya kemampuan baik berupa pengetahuan, keterampilan serta sikap perilaku yang memadai, sesuai dengan tuntutan pelayanan dan pembangunan sekarang ini (Handayaningrat, 1996: 75). Sementara itu, konsep lain mendefinisikan kemampuan atau ability sebagai sifat yang dibawa lahir atau dipelajari yang memungkinkan seseorang melakukan sesuatu yang bersifat mental atau fisik (Bibson, 1991 : 39). Berkenaan dengan hal tersebut, maka kompetensi sangat penting dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Aparatur yang kompeten akan melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan
tersebut.
Kompetensi
sebagai
kemampuan
seseorang
untuk
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas professional dalam pekerjaan. 3. Sistem Pelayanan Sistem adalah suatu jaringan yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dalam suatu usaha atau urusan (Prajudi, 2003: 21), bisa juga diartikan sebagai suatu kebulatan dari keseluruhan yang kompleks teroganisisr, berupa suatu himpunan perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan dari keseluruhan yang utuh (Pamudji, 2004: 14). Untuk sistem pelayanan perlu diperhatikan apakah ada pedoman pelayanan, syarat pelayanan yang jelas, batas waktu, biaya atau tarif, prosedur, buku panduan, media informasi terpadu saling menghargai dari masing-masing unit terkait atau unit terkait dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan itu sendiri. Dengan demikian sistem pelayanan adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian pelayann yang saling terkait, bagian atau anak cabang dari suatu sistem pelayanan terganggu maka akan menganggu pula keseluruhan palayanan itu sendiri. Dalam hal ini apabila salah satu unsur pelayanan sepertinggi mahalnya biaya, kualitasnya rendah atau lamanya waktu pengurusan maka akan merusak citra pelayanan di suatu tempat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan kualitas pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan. Ketiga faktor ini saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dalam ikut menentukan tinggi rendahnya dan baik buruknya suatu pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Kualitas pelayanan publik mempunyai indikator ketepatan waktu, kemudahan dalam pengajuan, akurasi pelayanan yang bebas dari kesalahan dan biaya pelayanan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan. Semakin baik faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan maka kualitas pelayanan publik akan semakin baik pula dan semakin dapat memuaskan masyarakat sebagai pengguna hasil pelayanan. Sehingga kualitas pelayanan dapat meningkat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian tentang kualitas pelayanan publik ini adalah : 1) keandalan
(reliability),
2)
daya
tanggap
(responsiveness),
3)
Jaminan
(anssurance), 4) Empati (emphaty), 5) bukti langsung (tangibles). 2.11. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Kompetensi Komunikasi (X1) Indikatornya: 1. Bijaksana dan kesopanan 2. Penerimaan umpan balik 3. Berbagi informasi 4. Memberikan informasi tugas 5. Mengurangi ketidakpastian tugas
Profesionalisme Aparatur (X2) Indikatornya: 1. Pengabdian pada profesi 2. Kewajiban sosial 3. Kemandirian 4. Keyakinan profesi 5. Hubungan dengan rekan seprofesi
Kualitas Pelayanan (Y) Indikatornya: 1. Reliability (Keandalan) 2. Responsiveness (Daya tanggap) 3. Assurance (Jaminan) 4. Emphaty (Empati), 5. Tangibles (Bukti Langsung
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Kerangka Konsep 2.12. Kerangka Pemikiran Penyelenggaraan layanan barang dan jasa publik adalah tanggung jawab pemerintah, karena hubungan antara pemerintah dengan rakyat adalah hubungan antara produsen dan konsumen, yaitu pemerintah sebagai produsen dan rakyat sebagai konsumen, dalam hubungan ini rakyat berkepentingan, kemudian pemerintah mengakui, menghormati, memenuhi dan melindungi (Ndraha, 2003: 81). Sinambela (2011: 9) mengatakan tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat, untuk itu dituntut kualitas pelayanan public yang tercermin dari: 1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak; 2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan; kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan; 3. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan public; 4. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain; 5. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan. Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Menurut Tjiptono (2003: 51) bahwa konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk barang atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifik produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah
Universitas Sumatera Utara
suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan. Pada kenyataannya aspek ini bukanlah satu-satunya aspek kualitas. Kualitas layanan akan memberikan kepuasan total kepada pelanggan, yang untuk bias mencapainya diperlukan startegi, sistem manajemen dan sumber daya manusia. Gaspersz (dalam Lukman, 2004: 7) memberikan pengertian pokok kualitas, baik yang konvensional maupun yang lebih strategis sebagai berikut: a. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. b. Kualitas sendiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Ketika warga masyarakat berhadapan dengan petugas dari organisasi pemerintah maupun swasta, maka kualitas layanan yang diterimanya dapat dipahami sebagaimana dikemukana selanjutnya oleh Gaspersz (dalam Lukman, 2004: 9) yaitu “kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of consumers). Pelayanan yang lebih baik (service excellence) yang dilakukan oleh produsen (pelayan) akan meningkatkan loyalitas masyarakat (pelanggan) kepada produsen. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa atau layanan tergantung pada kemampuan penyediaan barang/jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada penilaian pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan penilaian penyedia layanan, tetapi didasarkan pada penilaian pelanggan, sebagaimana dikemukana Kotler (1994: 62) bahwa
Universitas Sumatera Utara
pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati layanan sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas pelayanan. Persepsi pelanggan terhadap layanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu layanan. Masalah kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pihak aparatur pemerintahan kepada masyarakat umum, sangat erat kaitannya dengan kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh aparat pemberi layanan, karena, disadari ataupun tidak dalam kesehariannya manusia selalu melakukan komunikasi, baik komunikasi dengan diri sendiri atau pun dengan orang lain. Komunikasi sudah seperti halnya manusia membutuhkan oksigen untuk bernafas, karena komunikasi adalah hal yang sudah biasa dilakukan, kebanyakan kita tidak menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan-kesalahan dalam berkomunikasi. Untuk itulah diperlukannya sebuah komunikasi yang mampu membangun kerjasama antara satu orang dengan orang lain, yakni dengan berkomunikasi efektif sehingga antara individu satu dengan yang lainnya akan saling memahami, saling toleransi, saling mengisi dan saling memberi. Komunikasi
yang
efektif
sangat
berperan
dalam
organisasi.
Berkomunikasi tidak hanya melalui penggunaan metode yang tepat, tetapi konten dari komunikasi yang disampaikan. Dimensi strategis komunikasi tidak sematamata mendengarkan tetapi juga pada proses kegiatan reflektif pada cara berkomunikasi yang profesional. Proses terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang memungkin sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima. Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi. Secara
Universitas Sumatera Utara
spesifik peran penting kompetensi komunikasi yang dimiliki baik oleh pimpinan maupun oleh anggota akan membantu pelayanan kepada masyarakat. Kinerja aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemberi layanan kepada masyarakat belum optimal, peningkatan kompetensi komunikasi aparatur birokrasi perlu mendapat perhatian. Kinerja aparatur birokrasi yang berorientasi pada kualitas unggul mensyaratkan peningkatan pendidikan, keahlian dan keterampilan sesuai dengan perkembangan yang dihadapi. Kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh aparatur birokrasi adalah 1) bijaksana dan kesopanan, 2) penerimaan umpan balik, 3) berbagi informasi, 4) memberikan informasi tugas, 5) mengurangi ketidakpastian tugas. Selain kompetensi komunikasi, faktor lain yang mempengaruhi masalah kualitas pelayanan adalah profesionalisme aparatur. Profesionalisme adalah kemampuan aparatur untuk merencanakan, mengkoordinasikan dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efisien, inovatif, lentur dan mempunyai etos kerja tinggi, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena ini dibutuhkan aparatur yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Keahlian dalam bidang tertentu diperoleh dari hasil pendidikan dan pelatihan atau hasil mengikuti program atau pengalaman secara khusus dalam pekerjaan atau bidang tertentu, serta kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang cepat berubah dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mengacu pada visi dan nilai-nilai organisasi. Profesionalisme sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masingmasing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi sesuai porsi, objek,
Universitas Sumatera Utara
bersifat terus-menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (Almasdi, 2000: 99). Hal di atas dipertegas kembali oleh Thoha (2000: 1) bahwa untuk mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi, setiap organisasi mau tidak mau harus adaptif terhadap perubahan organisasi. Birokrasi yang mampu bersaing dimasa mendatang adalah birokrasi yang memiliki sumberdaya manusia berbasis pengetahuan dengan memiliki berbagai keterampilan dan keahlian. Salah satu harapan masyarakat (selaku konsumen pelayanan) adalah menginginkan pelayanan yang adil dan merata. Bentuk pelayanan yang adil dan merata, hanya dimungkinkan oleh kesiapan psikologis birokrat pemerintah yang senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan sosial (social change) dan dinamika masyarakat sebagai sasaran pelayanannya. Pelayanan merupakan kewajiban dan tanggung jawab birokrasi dalam mengadopsi
perubahan
dan
kebutuhan
sosial
yang
berdasarkan
atas
profesionalisme dan nilai-nilai kemanusiaan, olah karena itu setiap aparatur dituntut untuk dapat melakukan tugas dan fungsinya secara professional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, penulis beranggapan bahwa kompetensi komunikasi (variabel X 1 ) dan profesionalisme (variabel X 2 ) memberikan pengaruh terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara (variabel Y) 2.13. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
Universitas Sumatera Utara
Ha
: Ada pengaruh kompetensi komunikasi terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara.
Ho
: Tidak ada pengaruh kompetensi komunikasi terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara.
Ha
: Ada pengaruh profesionalisme aparatur terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara.
Ho
: Tidak ada pengaruh profesionalisme aparatur terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara.
Ha
: Ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi komunikasi dan profesionalisme aparatur terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara
Ho
: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi komunikasi dan profesionalisme aparatur terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nias Utara
Universitas Sumatera Utara