BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kritis Teori kritis merupakan teori yang berasal dari teori kritik masyarakat, yang bermaksud untuk membebaskan masyarakat dari manipulasi ilmu modern. 1 Kecenderungan teori kritis mengarah pada determinisme ekonomi. 2 Determinisme ekonomi atau ekonomisme merupakan suatu penafsiran positivistik atas ajaran Marx dalam Das Kapital. 3 Fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) merupakan suatu organisasi yang diasosiasikan dengan teori kritis di Universitas Frankfurt yang dibentuk secara resmi di Frankfurt, Jerman pada 23 Februari 1923 (Wiggershaus, 1994) 4 oleh Theodor Wiesengrund Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Erick Fromm, Walter Benjamin, dan Jurgen Habermas. 5 Mereka mengembangkan teori dan penelitian kritis dengan tujuan untuk mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi sosial yang melatarbelakangi lahirnya masyarakat kapitalis pada masa itu maupun
1
Sardar, Ziauddin dan Van Loon, Borin. Loc.cit., Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Marxisme dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, Bantul: Kreasi Wacana. 2011 hal 103. 3 Hardiman, F.Budi. Kritik Ideoligi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Jakarta: Penerbit Kanisius. 2009 hal 11. 4 Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Op.cit., 5 Sardar, Ziauddin dan Van Loon, Borin. Op.cit., 35.
2
10
11
kerangka-kerangka ideologi umum untuk membangun sebuah kritik teoretis kapitalisme modern.6 Habermas menyebutkan bahwa teori kritis merupakan ideologiekritik (kritik ideologi), yaitu suatu yang refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia. Teori kritis juga mengemban tugas untuk membuka kedok ideologis positivisme. 7 Sosok tugas teori kritis di tengah-tengah filsafat dan ilmu-ilmu sosial dirumuskan Habermas sebagai berikut : Teori tindakan komunikatif (teori kritis) mengambil sikap kritis baik terhadap ilmuilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. Ia kritis terhadap masyarakat-masyarakat maju sejauh mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan kemampuan-kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu, melainkan membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan kompleksitas yang tak terkendali. Akan tetapi ia juga kritis terhadap pendekatanpendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis bidang objek mereka (dalam arti sosiologi reflektif).8 Kritik atas kapitalisme dan determinisme ekonomi menjadi kata kunci penting yang melatarbelakangi kemunculan teori kritis.9 Menurut Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja, yang hanya memiliki sedikit hak milik, memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan dari sejumlah kecil
6
Strinati, Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Sleman: Ar-Ruzz Media. 2009 hal 95. 7 Hardiman, F. Op.cit,. 33-34. 8 Boomore, T., The Frankfurt School, London, Tavistock Publications, 1984. 9 Halim, Syaiful. Op.cit,. 14.
12
kapitalis. Para pekerja itu mereka (kapitalis) beli melalui gaji. 10 Kapitalisme lebih dari sekedar sistem ekonomi, kapitalisme adalah sistem kekuasaan. Kapitalisme juga merupakan sistem politik, yaitu suatu cara untuk menjalankan kekuasaan dan suatu proses eksploitasi atas para pekerja. 11 Dalam studi media, determinisme ekonomi mewujud pada perspektif yang melihat media semata-mata sebagai bisnis baru kapitalis yang beresiko. Fungsi-fungsi ideologi di balik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder,” Oscar H. Gandy Jr dalam The Political Economy Approach: A Critical Challenge (1997: 87-106).12 Menurut peneliti, teori kritis merupakan sebuah teori yang bermaksud untuk membebaskan masyarakat dari manipulasi ilmu modern (masyarakat kapitalis). Kritik atas kapitalisme dan determinisme ekonomi merupakan sebuah faktor yang melatar belakangi munculnya teori kritis. Determinisme ekonomi merupakan kegiatan produksi dan distribusi suatu komoditas, dengan tujuan utamanya untuk memperoleh keuntungan secara maksimal (kapitalisme). Pada perkembangannya, teori kritis tidak hanya mempersoalkan kritik terhadap kapitalisme dan determinisme ekonomi, tetapi titik bidik teori kritik menyebar ke segala aspek kehidupan sosial dan intelektual. Berikut ini adalah tujuan
10
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Op.cit,. 44. Ibid. 45. 12 Sudibyo, Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: LKis. 2004 hal 6.
11
13
kritik teori yang dipilih oleh Ritzer dan Goodman yang menjadi titik bidiknya,13 yaitu: 1. Kritik atas teori Marxian, yang dianggap terlalu memusatkan perhatian pada determinisme ekonomi. Teori kritis berusaha memperbaiki kesenjangan itu dengan memutuskan perhatian pada ranah kultural. 14 2. Kritik atas positivisme, yang cenderung mereinfikasi dunia sosial dan melihatnya sebagai proses netral. Positivisme mengabaikan aktor (Hebermas, 1971), dan mengerdilkan menjadi entitas pasif yang ditentukan dengan kekuatan-kekuatan alamiah. 3. Kritik atas sosiologi, yang dianggap “saintisme”nya menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri dan menerima status quo. Sosiologi menghindar dari kewajibannya untuk membantu orang-orang yang tertindas oleh masyarakat kontemporer. Hebermas melukiskan teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi).15 4. Kritik atas masyarakat modern, yang dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis modern. Lokus dominasi di dunia modern bergeser dari ekonomi menuju ranah kebudayaan. Termasuk di dalamnya, teknologi modern. Menurut Marcuse (1964),
13
teknologi
di
Halim, Syaiful. Op.cit,. 104-112. Fuery. 2000. Schroyer, 1973:33 15 Hardiman, F. Budi. Op.cit,. 11.
14
masyarakat
kapitalis
modern
mengarahkan
pada
14
totalitarianisme dan metode kontrol eksternal terhadap individu yang baru, efektif, dari lebih menyenangkan. 5. Kritik atas kebudayaan (industri kebudayaan, struktur rasional, dan birokrasi), yang dianggap mengendalikan kebudayaan modern. Industri kebudayaan melahirkan budaya massa - kebudayaan yang di atur. Tidak spontan, terinfikasi dan palsu ketimbang sesuatu yang riil (Jay, 1973: 2016). Para pemikir mengkhawatirkan dua hal : kepalsuan dalam gagasan yang dikemas secara massal dan efek menaklukkan, represif dan membodohi masyarakat (D. Cook, 1966; Friedman, 1981; Tar, 1977; 83; Zipes, 1994). 6. Kritik atas “industri pengetahuan”, yang dianggap menjadi struktur opresif yang tertarik untuk memperluas pengaruh mereka ke seluruh masyarakat. Berdasarkan enam titik bidik di atas, teori kritis menyebar dan menjangkau ke empat wilayah, yaitu : teori modernis, teori postmodernisme, poststruktivisme, dan postkoloniaslisme. Pendekatan kritis dalam ilmu sosial dan ilmu komunikasi, sangat dipengaruhi oleh ide-ide dan teori marxis tentang masyarakat.16 Dan pada penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan tujuan teori kritis ini pada poin ke 4 (empat) yaitu kritik atas masyarakat modern, yang dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis modern. Lokus dominasi di dunia modern bergeser dari ekonomi menuju ke ranah kebudayaan. Termasuk di dalamnya, teknologi modern. 16
Hardt, Hanno. Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Komperhensip Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika, Yogyakarta: Jalasutra. 2005 hal XV.
15
Karena pada perkembangannya, kapitalisme melahirkan determinisme ekonomi (Marx) dan determinisme ekonomi bermetamorfosis menjadi hegemoni atau kepemimpinan budaya (Gramsci).17 Hegemoni dapat didefinisikan sebagai kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Dimana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. 18 Teori hegemoni Gramsci memperlihatkan perubahan rupa determinisme, dari ekonomi ke kepemimpinan budaya. 19 Hegemoni adalah proses dominasi, dimana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnya. Sebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. 20 Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang menjalankan untuk mempertahankan, dan mengembangkan diri melalui pengaruh kepatuhan para korbannya, sehingga upaya tersebut berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses tersebut terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.21
17
Ibid. 100-101. Ibid. 19 Halim, Syaiful. Op.cit,. 18. 20 Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. 2009 hal 469-470. 21 Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. 2008 hal 103-104. 18
16
Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana menciptkan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah. Media saat ini menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana tersebut hingga meresap dalam benak khalayak. 22 Salah satu bentuk dari kegiatan tersebut adalah komodifikasi. 23 Dalam konteks kajian ekonomi politik, komodifikasi isi media dipahami sebagai proses mengubah pesan dan sekumpulan data ke dalam sistem makna untuk menjadi produk-produk yang dapat dipasarkan,” jelas Gun Gun Heryanto, pakar media dan komunikasi politik di Jakarta. Lebih jauh lagi, Gun Gun Heryanto menggarisbawahi realitas produk isi media yang memiliki “nilai jual” di pasar, sehingga memperkokoh formula M-C-M (moneycommodity-more money). Ia juga menyoroti kecenderungan integrasi vertical dalam industri media massa di Indonesia. Salah satu dampak bagi isi media adalah memungkinkan terbentuknya penyeragaman isi media. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana program berita atau infotaiment di stasiun berbeda tetapi dalam satu group yang sama, kerap mendistribusikan informasi yang hampir seragam. “Hukum pasar yang bertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong media untuk menyajikan informasi semenarik dan
22 23
Ibid. 105. Ibid.
17
sedramatis mungkin. Meskipun sangat jarang diakui, bahkan selalu disangkal, ramuanya cukup jelas: “bad news is good news,” tegas Agus Sudibyo. 24 Dengan demikian, teori kritis dapat diartikan sebagai sebuah teori yang membentuk sebuah ideologis positivisme terhadap masyarakat, agar masyarakat terbebas dari manipulasi ilmu modern dari masyarakat kapitalis. Kapitalis yang dimaksud di sini adalah kekuasaan dan eksploitasi terhadap para pekerja untuk membentuk
suatu
ideologi
masyarakat.
Masyarakat
kapitalis
melahirkan
determinisme ekonomi (Marx) dan determinisme ekonomi bermetamorfosis menjadi hegemoni atau kepemimpinan budaya (Gramsci).25 Kepemimpinan budaya atau hegemoni yang di maksud di sini adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Sehingga masyarakat kapitalis dapat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Dan melalui kegiatan produksi dan distribusi komoditas, masyarakat kapitalis dapat mudah melancarkan tujuannya yaitu untuk memperoleh keuntungan secara maksimal melalui kegiatan tersebut. 2.2 Ekonomi Politik Media Ekonomi politik dapat didefinisikan sebagai ilmu kekayaan yang berhubungan dengan usaha manusia guna mendapatkan kebutuhan dan memuaskan keinginannya. 26
24
Agus Sudibyo adalah anggota Dewan Pers, pemerhati masalah media, dan penulis sejumlah buku tentang ekonomi politik media. Pendapat tersebut disampaikan dalam diskusi “Media, Kebencian dan Kekerasan” di Komunitas Salihara, Senin 24 Oktober 2011. 25 Ibid. 100-101. 26 Stanley J. Baran, Dennis K. Davis. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future, Boston: Wadsworth Cangange Learning. 2009 hal 22.
18
Vincent Mosco menyatakan ekonomi politik merupakan hubungan sosial, khususnya kekuasaan, yang terkait masalah produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap sumber daya. Ia juga mempertajam batasan tersebut dengan menunjukan adanya aspek kekuasaan di balik kegiatan tersebut.27 Kata produksi dan distribusi komoditas budaya mempertegas peran ekonomi politik media yaitu sebagai pemuasan kebutuhan masyarakat dan menjadi alasan utama dalam memproduksi dan mendistribusi komoditas budaya tersebut. Suasana kompetitif menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan produksi dan distribusi komoditas tersebut.28 Saat ini media sebagai organisasi atau industri yang mengkhususkan pada produksi dan distribusi komoditas budaya, sekaligus menjawab pertanyaan tentang spesifikasi kebutuhan atau keinginan masyarakat. Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi), Mosco komodifikasi diartikan
sebagai
proses
transformasi
nilai
guna
menjadi
nilai
tukar.
“Commodification is the process of transforming things valued for their use into marketable products that are valued for what they can bring in exchange”.29 Terkait komoditas dan komodifikasi, dijelaskan lebih lanjut oleh Baran dan Davis sebagai berikut: “Commodity fetishism allows social relations to be concealed, as the fetish ‘attaches itself to the products of labour, so soon as they from the production of commodities.’ 27
Mosco, Vincent. The Policial of Communication, London: Sage Publication. 2009 hal 24. Halim, Syaiful. Op.cit,. 39. 29 Mosco, Vincent. Op.cit,. 127. 28
19
Thus, the commodification process defines the process of transforming use values-the practical value of something in one’s life-into exchange values, the dollar value of a product. By ‘transforming products whose value is determinate by their ability to meet individual and social needs into products whose value is set by whay they can bring in the marketplace,’ commodification removes products from a more meaningful social context into one that primarily benefits businesse and the ideology of ‘free market’ values.”30 Fatisme komoditas atau pemujaan terhadap komoditas adalah istilah yang dikemukakan oleh Karl Marx untuk menunjukkan keterkaitan produk buruh dengan produk komoditas. Proses komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan nilai-nilai hidup yang digunakan manusia menjadi nilai yang bisa dipertukarkan, seperti nilai tukar mata uang. Transformasi nilai produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial. Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas.”31 Jauh sebelumnya, Georg Lukacs (1885-1971) dalam History and Class Consciousnes menjelaskan bahwa kapitalisme seluruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya aktivitas pertukaran nilai
30
Baran, Stanley J. and Davis, Dennis K. Davis. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future, Bonton: Wadsworth Cangange Learning. 2009 hal 58. 31 Halim, Syaiful. Op.cit,. 46.
20
uang yang secara objektif menimbulkan keterasingan hidup. Proses ini disebut dengan komodifikasi. 32 Dalam ekonomi politik media, melibatkan 3 (tiga) komponen penting di dalamnya, yaitu: pemilik sarana produksi kapitalis (pemilik modal), dominasi pemikiran (hegemoni) dan upaya mempertahankan ketidaksetaraan antara kelas penguasa dan kelas tertindas (subordinat).33 Murdock dan Golding juga berpendapat, perspektif ekonomi politik memandang media massa sebagai pihak yang berperan dalam menyampaikan nilainilai dan asumsi-asumsi dominan yang berasal dari kelas penguasa dan melayani pelbagai kepentingan kelas penguasa, dan mereproduksi struktur kepentingan kelas yang setara.34 Dalam kegiatan ekonomi politik media, Mosco membuat batasan ekonomi politik media menjadi 3 bagian, yaitu : spasialisasi, strukturisasi, dan komodifikasi. Spasialisasi mengarah pada persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk mengatasi kendala geografis, strukturisasi yaitu mempertegas keberadaan proses hubungan sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras sedangkan komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.35
32
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed). Teori-teori Kebudayaan, Jakarta: Penerbit Kanisius. Tanda cetak miring (italic) sesuai naskah asli. 2005 hal 58. 33 Strinati, Dominic. Op.cit,. 34 Ibid. 225. 35 Mosco, Vincent. Op.cit,. 127- 128.
21
Berdasarkan ketiga penjelasan Mosco diatas, penelitian hanya akan memfokuskan pada persoalan komodifikasi yaitu sebagai proses transformasi yang bisa dipertukarkan di pasar. Sehingga pada penelitian ini, aspek spasialisasi dan strukturalisasi tidak menjadi pembahasan di dalamnya. Transformasi pesan menjadi produk yang diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih sederhana konsep kunci bisa diartikan sebagai perlakuan pesan media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar. Graema Burton mengartikan interaksi media dan khalayak sebagai hubungan pedagang dengan pembeli. 36 Media adalah pedagang yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan, sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu. John Fiske juga memiliki catatan yang sama dengan komodifikasi isi media, “kapitalisme adalah sebuah sistem, yang di atas semua yang lain, menghasilkan pelbagai komoditas, sehingga membuat komoditas seolah-olah hal yang alami pada kebanyakan inti praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat kita dalam artian komoditas yang diproduksi untuk memenuhi hasrat atau
36
Burton, Graeme. Op. cit,. hal 58 dan 95-97. Lengkapnya, Burton menuliskan, “Operasi-operasi media telah didominasi oleh pasar: produk-produk media dan audiens dipasarkan secara komoditas, dan media tergantung kepada iklan sebagai pendapatan mereka. Isu kunci di sini adalah seberapa jauh media telah menjadi instrumen kekuatan pasar dan seharusnya atau tidak seharusnya diperbolehkan melanjutkan untuk beroperasi seperti demikian. Sesuatu yang keluar dari produksi media, acara atau buku dapat didefinisikan sebagai ‘barang-barang’ ini adalah komoditas, objekobjek untuk dijual, bahkan ide-ide dalam suatu majalah dapat dilihat sebagai komoditas. Jadi hubungan antara media dan audiens menjadi bagian aktifitas ekonomi: hubungan produksi dan konsumsi.
22
keinginan tersebut, kita belajar untuk berfikir atas permasalahan kita dalam artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.37 Semua kritik itu bersumber dari satu masalah, pesan ditransformasikan sebagai komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu harus bisa memenuhi hasrat dan mengatasi permasalahan “pembeli”nya. Dan hal itu merupakan hakikat komoditas dalam indistri media yang telah menjadi instrument pasar. Dalam kondisi seperti itu, logika berfikir jangka pendek pun menjadi acuan. “Ideal budaya kapitalisme baru adalah menjadi kaya dengan berfikir jangka pendek. Ekonomi menjadi episteme, yaitu struktur pemaknaan yang dominan dewasa ini. Maka institusi-institusi cenderung menyesuaikan dengan tekanan-tekanan yang mengacu ke ekonomi, terutama teknologi, politik, budaya, termasuk pendidikan,” jelas R. Sennet (2006:7).38 Dengan demikian, ekonomi politik media diartikan sebagai suatu cara untuk memuaskan kebutuhan masyarakat atau dengan kata lain ekonomi politik media adalah suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat kapitalis untuk memperoleh keuntungan secara maksimal. Dan rupa ekonomi politik media dalam konteks penelitian ini adalah sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik.
37
Fiske, John. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komperhensif, Yogyakarta: Jalasutra. 2010 hal 251-203. 38 Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010 hal 216.
23
2.3 Komodifikasi Tema Budaya Komodifikasi menurut Karl Marx didefinisikan sebagai sebuah “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, ideologi dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan yang lain. 39 Fungsifungsi ideologi di balik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder, ”tegas Oscar H. Gandy Jr dalam The Political Economy Approach: A Challenge {1997:87-106}.40 Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”. 41 Lukacs, Baran dan Davis, dan Mosco, menekankan adanya perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Mereka mengidentifikasi keberadaan komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, agar bisa dipuja oleh sebanyak-banyaknya. Bahkan, praktik itu tidak membutuhkan lagi pertimbangan konteks sosial, selain aktualisasi tanpa henti di areal pasar bebas. Atau dengan kata lain, muara komodifikasi adalah manfaat bisnis. 42 Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek dalam konsentrasi komodifikasi, yaitu : isi media, khalayak, dan pekerja. Komodifikasi isi media, diartikan sebagai komoditas yang bisa menyenangkan khalayak, mengundang 39
Burton, Graeme. Pengantar Untuk Memahami Media dan Budaya Populer, Yogjakarta: Jalasutra. 2008 hal 198. 40 Sudibyo,Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta : LkiS. 2004 hal 6. 41 Halim, Syaiful. Op.cit,. 46. 42 Ibid. 47.
24
para pemasang iklan, memperpanjang bisnis media, yang ditandai dengan penyajian informasi-informasi bertema sensasional, meliputi kehidupan seputar artis dan selebritas, mistik atau takhayul, serba-serbi seks, juga remeh-remeh yang dilakukan politisi atau pejabat, dan dikemas secara spektakuler. Sedangkan komodifikasi khalayak, yaitu khalayak sebagai komoditas yang ditawarkan kepada pengiklan dengan menempatkan dalam segmentasi, target, dan positioning sebuah kegiatan pemasaran, sekaligus aset pasar yang dapat menyerap produk-produk yang diiklankan. Dan komodifikasi pekerja, diartikan sebagai pendukung kegiatan produksi yang tidak diperhitungkan kemampuan konseptual dan kreativitasnya, karena peran itu diambil alih oleh kelas manajerial.43 Transformasi pesan menjadi produk yang diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih sederhana konsep kunci bisa diartikan sebagai perlakuan pesan media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar. Graema Burton mengartikan interaksi media dan khalayak sebagai hubungan pedagang dengan pembeli. 44 Media adalah pedagang yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan, sedangkan khalayak merupakan pembeli
43 44
Halim, Syaiful. Op.cit,. 48. Burton, Graeme. Op. cit, hal 58 dan 95-97,. Lengkapnya, Burton menuliskan, “Operasi-operasi media telah didominasi oleh pasar: produk-produk media dan audiens dipasarkan secara komoditas, dan media tergantung kepada iklan sebagai pendapatan mereka. Isu kunci di sini adalah seberapa jauh media telah menjadi instrumen kekuatan pasar dan seharusnya atau tidak seharusnya diperbolehkan melanjutkan untuk beroperasi seperti demikian. Sesuatu yang keluar dari produksi media, acara atau buku dapat didefinisikan sebagai ‘barang-barang’ ini adalah komoditas, objekobjek untuk dijual, bahkan ide-ide dalam suatu majalah dapat dilihat sebagai komoditas. Jadi hubungan antara media dan audiens menjadi bagian aktifitas ekonomi: hubungan produksi dan konsumsi.
25
dan penikmat produk itu. John Fiske juga memiliki catatan yang sama dengan komodifikasi isi media, “kapitalisme adalah sebuah sistem, yang di atas semua yang lain, menghasilkan pelbagai komoditas, sehingga membuat komoditas seolah-olah hal yang alami pada kebanyakan inti praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat kita dalam artian komoditas yang diproduksi untuk memenuhi hasrat atau keinginan tersebut; kita belajar untuk berfikir atas permasalahan kita dalam artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.45 Berdasarkan ketiga penjelasan di atas, penelitian ini hanya akan memilih salah satu sebagai titik fokusnya, yaitu mengenai komodifikasi isi media. Komodifikasi isi media merupakan kegiatan pengelola media dalam memperlakukan pesan yang berisikan kegiatan pengelolaan media sebagai komoditas yang bisa menyenangkan khalayak, 46 yang ditandai dengan penyajian informasi-informasi yang bertema sensasional serta dikemas secara spektakuler. Tema sensasional misalnya kehidupan seputar artis dan selebritas, mistik atau takhayul, serba serbi seks, juga remeh-temeh yang dilakukan politisi atau pejabat, dan tema spektakuler disini yaitu back sound, sound effect, dan lain sebagainya. 47 Komodifikasi isi media dianggap sebagai langkah awal untuk memahami komodifikasi dalam kegiatan komunikasi. Dan dengan menggunakan
cara
tersebut,
dapat
peneliti
gunakan
sebagai
cara
mengumpulkan data pada penelitian ini. 45
Fiske, John. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komperhensif, Yogyakarta: Jalasutra. 2010 hal 251-203. 46 Ibid. 50. 47 Ibid. 51-52.
untuk
26
Sementara itu budaya berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayan, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. 48 Menurut E.B taylor (1832-1917) guru besar Antropologi Oxford University, budaya adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.49 Dari batasan di atas, peneliti menggaris bawahi persoalan cara hidup yang berkembang pada sebuah kelompok dari generasi ke generasi, bagi peneliti ada kaitannya dengan cara sekelompok masyarakat tradisional. Yaitu tentang masyarakat tertentu atau masyarakat asing tertentu. Dengan demikian budaya dimaknai dengan dua definisi yaitu : 1) Cara hidup yang berkembang dari generasi ke generasi; 2) Ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral adat istiadat dan kemampuankemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat adat atau tradisional.
48 49
Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882. E.B Taylor (1832-1917) guru besar Antropologi Oxford University ilmuan pertama, Pengertian Budaya.
27
Dalam konteks penelitian ini, peneliti menemukan kedua persoalan tersebut pada tayangan Potret episode Manusia Perahu dan Suku Bajo yang tayang pada 22 Juli 2006. Konsep budaya yang diangkat dari program Potret Menembus Batas ini pada awalnya identik dengan tema-tema kebudayaan yang kental diantaranya kebudayaan, masyarakat adat hingga suku terasing. Namun saat ini tema budaya dapat dimaknai dengan luas, atau dengan kata lain tema budaya yang disajikan dalam program Potret Menembus Batas saat ini lebih mengarah pada daya tarik yang bisa diartikan apa saja. Berdasarkan fakta tersebut, maka peneliti berkesimpulan bahwa konteks dalam perubahan program Potret yang saat ini menjadi Potret Menembus Batas adalah pada isi program yang berkaitan dengan cara hidup yang berkembang di suatu kelompok masyarakat adat dan saat ini dirasakan mengalami pergeseran ke kelompok masyarakat modern. Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, saat ini fungsi media televisi dirasakan mengalami pergeseran. Bentuk pergeseran yang peneliti rasakan yaitu komodifikasi tema budaya pada isi media. Proses komodifikasi tersebut ditunjukan dengan pergeseran isi program dari masyarakat suku terasing ke arah masyarakat modern atau kota. Kegiatan komodifikasi tersebut dilakukan pengelola media agar dapat menyenangkan khalayak. Dengan begitu masyarakat kapitalis dapat membentuk suatu ideologi terhadap masyarakat dan menggunakan kepemimpinannya
28
untuk menguasai yang lainnya melalui kegiatan produksi dan distribusi, dengan tujuan utamanya agar dapat memperoleh keuntungan secara maksimal. Peran ekonomi politik juga sangat berpengaruh dalam kegiatan tersebut karena masyarakat kapitalis cenderung berfokus pada konten media dan tidak terlalu memikirkan khalayak atau penonton media saat ini. 2.4 Media Televisi Pada awalnya, televisi adalah sebuah piringan pemindai yang ditemukan oleh insinyur berkebangsaan Jerman benama Paul Nipkow (1860 – 1940). Peralatan tersebut dipakai dari tahun 1923 sampai 1925 di dalam sistem televisi percobaan. Kemudian pada tahun 1926, ilmuwan Skotlandia bernama John Logie Baird (1888 – 1946) menyempurnakan metode pemindaian tersebut. Dan pada tahun 1923, insinyur kelahiran Rusia bernama Vlandimir Zworykin (1889 – 1982) dan warga Amerika Serikat bernama Philo T. Farnsworth (1906 – 1971) membangun sistem pemindai elektronik yang menjadi prototipe kamera modern.50 Pesawat televisi pertama yang digunakan secara umum pertama kalinya di Inggris pada 1923 dan di Amerika Serikat pada 1938. Setelah Perang Dunia II selesai, peningkatan teknologi dan masyarakat yang semakin sejahtera membuat permintaan televisi meningkat. Pesawat televisi yang terjual mencapai satu juta unit. Di Amerika Serikat, pada awalnya didirikan enam stasiun televisi dan masing-masing hanya melakukan siaran beberapa jam setiap harinya. Menjelang tahun 1948, 34 stasiun 50
Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media,Yogyakarta: Jalasutra. 2010 hal 1-10.
29
mengudara sepanjang hari di 21 kota besar. Kemudian sekitar akhir tahun 1950-an jaringan televisi nasional didirikan di hampir seluruh negara indusiri. Ketika abad ke20, televisi memasuki galaksi digital dengan munculnya televisi digital. Televisi yang dipancarkan dalam bentuk digital (berbasis komputer). Dengan semakin bertambah banyaknya televisi kabel pada 1960-an dan layanan Satelit Siaran Pancaran Langsung (DBS) pada 1990-an, semakin banyak tersedia saluran dan jenis siaran di seluruh dunia. 51 Di Indonesia, kehadiran media televisi mulai dipikirkan setelah Indonesia terpilih menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games IV yang dibuka pada tanggal 24 Agustus 1962. Pada tahun 1961, Menteri Penyelenggara pada masa itu R. Maladi sebagai penggagas utama berharap agar kehadiran media televisi di pesta olahraga itu dapat dipergunakan sebagai langkah awal dari pembangunan media televisi nasional. Usulan itu didukung Presiden Soekarno yang memutuskan untuk memasukkannya dalam proyek pembangunan sarana Asian Games IV di bawah pimpinan Letnan Jendral TNI Suprayogi. Keputusan itu diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 20/SKM/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) pada 25 Juli 1961.52 Setelah stasiun dan pemancar televisi selesai dibangun pada 22 Agustus 1962, media televisi yang disebut sebagai Televisi Republik Indonesia (TVRI)
51 52
Ibid. 13-14. Pustaka LP3ES Indonesia. Loc.cit,.
30
melakukan tugasnya untuk menyiarkan Asia Games IV dari 24 Agustus 1962, sampai 4 september 1962. Pada saat itu, siaran yang dilakukan terbatas hanya untuk kota Jakarta Raya dan sekitarnya. Kepres No. 318/1962 tentang Pengintegrasian TVRI ke dalam Yayasan Gelora Bung Karno menjadi langkah awal TVRI sebagai media televisi nasional. Studio-1 TVRI diresmikan pada 11 Oktober 1962 dengan Sus Salamun sebagai penyiar perempuan petama on air. 53 Televisi swasta pertama, Rajawali Citra Televisi (RCTI) milik Bambang Trihatmodjo, melakukan siaran secara terbatas dengan menggunakan decoder mulai 24 Agustus 1989. Setahun kemudian, Surya Citra Televisi (SCTV) juga mulai bersiaran di Surabaya, Jawa Timur, pada 24 Agustus 1990. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mulai beroperasi pada Desember 2000 dengan fasilitas transmisi milik TVRI dan sekarang TPI beganti nama menjadi Media Nusantara Citra (MNC) setelah sahamnya dikuasai MNC Group. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) milik Salim Group mulai beroperasi mulai 1995. Sedangkan Andalas Televisi (ANTV) milik keluarga Bakrie bersiaran mulai 1993 di Lampung. 54 Pada perkembangannya, inovasi dan penambahan kekuatan daya pemancar juga menjadi fokus utama bagi para pengelola stasiun televisi saat ini, seiring dengan penambahan jumlah stasiun transmisinya di seluruh pelosok Tanah Air. 55
53
Ibid. 28. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta :LKiS. 2009 hal 15-16. 55 Halim, Syaiful, Op.cit,. 61.
54
31
Saat ini, terdapat tiga alasan yang mendasari kegelisahan para pengelola media stasiun swasta, diantaranya : 1. Sisi
hardware.
Investasi
untuk
mengelola
sebuah
stasiun
memang
membutuhkan dana yang tidak sedikit, untuk penyiapan semua sarana hardwarenya. 2. Sisi software. Menu siaran televisi yang menelan banyak slot tayangan memang membutuhkan banyak ragam acara yang berkualitas, secara teknis atau isi. Untuk memproduksi sendiri program yang disajikan, tentu menyangkut hal ketidaksiapan sumber daya manusia dan segala prasarana atau sarananya. Pada akhirnya, programmer di stasiun televisi menggantungkan masalah ini pada distributor atau pengelola rumah produksi (production house). Untuk bergantung pada pengelola rumah produksi pun, kita telah sama-sama mengetahui kualitas dan kuantitas seperti apa yang bisa disajikan. Saat ini, sangat sedikit para pengelola rumah produksi yang bisa menyajikan program sesuai dengan standar broadcasting, secara teknis maupun isi. 3. Sisi penikmat atau pemirsa, yang selanjutnya menjadi kegelisahan bagi para pengelola stasiun televisi saat ini, tentu saja tidak terlepas dari sisi penikmat program televisi itu sendiri. 56 Sejak
awal
kemunculannya,
pendiri
stasiun
televisi
memerlukan
keluarbiasaan teknologi, usaha dengan modal besar, dan keterlibatan sumber daya manusia dalam jumlah besar. Pada masa itu, kekuatan politik belum menjadi 56
Ibid.
32
aspek yang diperhitungkan, karena kemunculannya di dalam liberal. Karena itu, ideologi ekonomi politik menjadi pilar utama yang tidak terbantahkan dan akan terus bermetafosis (dari segi bentuk dan ambisi-ambisi), tapi tidak akan pernah bergeser dengan motivasi dasar sebagai upaya meraih keuntungan. 57 Keberadaan aspek sejarah membuktikan bahwa pendirian media televisi sangat berkaitan dengan teknologi dan padat modal. Kondisi tersebut membuat media televisi berdekatan dengan kekuatan modal yang cukup besar, determinisme ekonomi dan kapitalisme. Dan sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan media dijadikan sebuah pijakan filisofis. Dengan tujuan melakukan kegiatan komodifikasi sebagai komoditas demi memenuhi kebutuhan khalayak kelas bawah dan memenuhi kebutuhan para pemilik modal. Dalam realitas sosial yang berkembang pesat seperti saat ini memungkinkan media televisi memiliki peranan paling besar. Televisi bukan hanya saluran yang menyebarkan informasi ke seluruh benua, tetapi juga merupakan perantara untuk menyusun agenda dan pemberitahuan hal-hal penting bagi manusia, hingga selanjutnya menjadi bahan interaksi pada saluran komunikasi lain. 58 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, media televisi yang berfungsi sebagai sebuah media yang di dalamnya menyajikan program-progam acara yang mendidik, memberikan informasi, serta menghibur masyarakat, di balik itu semua media televisi mempunyai perangkat-perangkat penting di dalamnya yaitu : sarana peralatan yang memadai (hardware) dan tayangan acara atau program-program 57 58
Ibid. 64. Ibid. 67-68.
33
acara yang berkualitas (software). Semua perangkat-perangkat tersebut merupakan modal awal dalam pembentukan sebuah stasiun televisi dan kegiatan tersebut memerlukan modal yang cukup besar yang harus dikeluarkan oleh para pemilik media. Sehingga para pemilik media akan berfikir secara kapitalis, yaitu mereka melakukan segala cara untuk dapat menguasai yang lainnya dan agar dapat memperoleh keuntungan secara maksimal. Komodifikasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para pemilik modal (kapitalis) untuk melancarkan tujuannya. 2.5 Dokumenter Televisi Film dokumenter menurut Nichols (1991) dalam Representing Reality adalah upaya menceritakan kembali sebuah kejadian atau realitas, menggunakan fakta dan data.59 Dalam film dokumenter, subjektivitas merupakan elemen yang tidak terhindarkan, sedangkan objektivitas adalah hal yang semu. Coba bayangkan, bagaimana anda bisa menempatkan posisi kamera dengan objektif ? bagaimana anda bisa dengan objektif menempatkan posisi subjek dalam bingkai kamera ? bagaimana urutan gambar bisa kita pilih secara objektif di tahap pengeditan ? ucapan-ucapan mana dari subjek yang secara objektif harus kita pilih ? dan seterusnya. Itu sebabnya objektifitas adalah dunia subjektif. 60
59
Tanzil, Chandra. Dkk. Pemula Dalam Film Dokumenter : Gampang-gampang susah, Jakarta : InDocs. 2010 hal 1. 60 Ibid. 4.
34
Sederhananya, pembuat film dokumenter adalah kegiatan yang meliputi serangkaian pilihan signifikan mengenai apa yang akan kita rekam, bagaimana cara merekamnya, apa yang harus digunakan, dan bagaimana menggunakannya secara efektif. Pada akhirnya, apa yang akan ditampilkan di depan penonton bukan kejadian itu semata. Anda akan menampilkan pendapat anda, sebuah konstruksi dengan dinamika dan penekanan sesuai dengan logika anda sendiri (Taylor. 1997. hlm : 8).61 John Grierson adalah seorang bapak film dokumenter. Ia menyatakan bahwa film dokumenter adalah penggunaan cara-cara kreatif dalam upaya menampilkan kejadian atau realitas. Itu sebabnya, seperti halnya film fiksi, alur cerita dan elemen dramatik menjadi hal yang penting, begitu pula dengan bahasa gambar (visual grammar), karena tujuan film dokumenter bukan sekedar menyampaikan informasi. Pembuat film dokumenter ingin penontonnya tidak hanya mengetahui topik yang diangkat, tapi juga mengerti dan dapat merasakan persoalan yang dihadapi subjek. Pembuat film ingin agar penonton tersentuh dan bersimpati kepada subjek film. Untuk itu diperlukan pengorganisasian cerita dengan subjek yang menarik, alur yang mampu membangun ketegangan, sudut pandang yang terintegrasi. 62 Dalam perjalanan perkembangan film dokumenter, juga terdapat beberapa nama lain sebagai pelopor film dokumenter yang dicatat dalam sejarah, yang sampai saat ini teori atau metode masing-masing masih tetap menjadi referensi dalam setiap
61 62
Ibid. 5. Rabiger. 1992 hal 11.
35
kajian atau pembahasan teori film, diantaranya: adalah Robert Flaherty, John Grierson, Dziga Vertov dan lain-lain. 63 Robert Flaherty atau dikenal juga sebagai Bapak film dokumenter, sampai saat ini, karyanya masih dijadikan materi untuk pembahasan perihal sejarah dan teori estetika film, disamping namanya juga diperhitungkan sebagai titik tolak perkembangan film dokumenter dan film etnografi.64 Perkembangan teknologi serta program dokumenter dalam tayangan televisi, mempengaruhi gaya dan kemasan film dokumenter. Gaya dan bentuk film dokumenter memang lebih memiliki kebebasan dalam bereksperimen meskipun isi ceritanya tetap berdasarkan sebuah peristiwa nyata apa adanya. Ketika teknologi audio – visual berkembang, salah satu contohnya adalah televisi, maka bentuk dan gaya dokumenter pun ikut berkembang. Karena produksi program televisi bertujuan komersial seperti halnya barang dagangan, para sineas pun mencoba segala macam cara sehingga ada pula yang mengesampingkan metode dasar bertutur film dokumenter. Hingga akhirnya, bentuk film dokumenter terpecah menjadi dua kategori, yaitu: film dokumenter dan televisi dokumenter.65 Pada prinsipnya program dokumenter dalam tayangan televisi yang merupakan perkembangan dari format program jurnalistik yang terdiri dalam lima kategori yaitu : 63
Ayawaila,R. Gerzon. Dokumenter : Dari Ide Sampai Produksi, Jakarta :FFTV-IKJ Press. 2008 hal 8. Ibid. 10. 65 Ibid. 21.
64
36
1. Esai berita aktual, bentuk ini dipakai untuk laporan berita (report/news) reportase, menayangkan suatu peristiwa secara selintas. 2. Feature, termasuk reportase yang dikemas secara lebih mendalam dan luas disertai sedikit sentuhan aspek human interst agar memiliki unsur dramatika. 3. Magazine merupakan gabungan dari uraian fakta dan opini yang dirangkai dalam satu mata acara. Isi magazine dapat berupa gabungan uraian berita sejenis. Teknik penyajian magazine ada yang menampilkan satu atau dua pembawa acara, bahkan ada pula yang tanpa penyiar. Magazine termasuk dalam jajaran berita berkala, karena sebagian besar materinya bersifat tidak terikat waktu alias timeless, hanya saja penyajiannya lebih diperdalam (eksploratif). 4. Dokumenter televisi, tema atau topik yang disuguhkan dengan gaya bercerita, menggunakan narasi (kadang dengan voice over – hanya terdengar suara tanpa wajah yang menyuarakan tampak dilayar monitor), menggunakan wawancara, juga ilustrasi musik sebagai penunjang gambar visual (picture story). 5. Dokumenter seri televisi, dokumenter dalam format siaran televisi
tidak
selalu berupa karya jurnalistik televisi atau diniatkan semata untuk paket siaran berita. Televisi memiliki potensi luas untuk mengembangkan
37
penyuguhan dokumenter sebagai karya artistik, juga hiburan dalam paket acara khusus. 66 Berdasarkan lima kategori dokumenter di atas, penelitian ini hanya fokus membahas salah satu dari kategori tersebut, yaitu tentang dokumenter televisi. Dokumenter televisi, yaitu tema atau topik yang disuguhkan dengan gaya bercerita dan program dokumenter televisi yang menjadi objek penelitian ini adalah pada program Potret Menembus Batas di SCTV pada Februari 2014. Graeme Burton dalam bukunya Talking Television : An Introduction to The Study Talk Television (2000), menerangkan bahwa banyak program televisi yang berkembang biak dari dokumenter (selain kategori jurnalistik). Televisi telah merombak
kemurnian
dokumenter
menjadi
produk
hibrida,
yang
mengkawinsilangkan fiksi dengan realita. Semua dipayungi dengan istilah infotaiment. Dokumenter menjadi tayangan yang lebih menjanjikan dibandingkan sinetron. Tetapi dokumenter perlu dimanipulasi atau direkayasa agar laku dijual. Aktualitas, realitas dan otensititas bukan sesuatu yang perlu dipertahankan, yang penting produk jualan tersebut harus laku dan menguntungkan hegemoni televisi. 67 Saat ini dokumenter menjadi pijakan untuk program televisi masa kini, terutama di Indonesia, karena ada kecendrungan bahwa program drama seperti sinetron sudah mulai menjenuhkan. Kecuali bila ada peningkatan kualitas, tetapi
66 67
Ibid. 24-28. Ibid. 28-29.
38
kualitas menuntut penambahan biaya produksi. padahal, baik stasiun televisi maupun rumah produksi dalam kondisi kurang gizi. 68 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, saat ini program dokumenter televisi yang seharusnya menampilkan tayangan atau realitas yang sesungguhnya, saat ini juga di rasakan ikut melakukan kegiatan komodifikasi dengan tujuan utamanya agar dapat melancarkan tujuan-tujuan masyarakat kapitalis atau para pemilik media. 2.6 Analisis Semiotika Roland Barthes Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memperlihatkan pengaruh semakin penting sejak empat decade yang lalu, tidak saja sebagai metode kajian (decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi model atau paradigma bagi berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, diantaranya adalah semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film dan lain-lain. 69 Semiotika berkaitan dengan tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, semiotika melingkupi segala bentuk tanda dan penggunaannya secara sosial. 70 Selain itu, semiotika juga diartikan sebuah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni 68
Ibid. Piliang, Amir Yasraf. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna,Bandung: Matahari. 2012 hal 299. 70 Ibid. 350.
69
39
sesuatu yang harus kita beri makna.71 Lebih jauh, Benny H. Hoed memaparkan bahwa para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916) dalam Course in General Linguistics, sebagai “ ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.”72, ia melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tecitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda).73 Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. 74 Di balik sebuah tanda atau teks kebudayaan, ada kode tertentu yang mengatur perkombinasian elemen-elemen tanda dan maknanya. Agar mampu mengkombinasi makna, struktur bahasa dikendalikan oleh aturan main tertentu, yang disepakati secara sosial. Adalah konvensi ini yang membatasi kemungkinan pengkombinasian tanda, sehingga bahasa tidak sepenuhnya sewenang-wenang.75 Dalam kaitannya dengan produksi teks di dalam sebuah kebudayaan, Stuart Hall di dalam Culture, Media, Language, melukiskan relasi encoding/decoding ini lewat metafora produksi atau konsumsi. Produksi adalah produksi konstruksi sebuah pesan, lewat penerapan kode-kode tertentu (encoding). Proses produksi melibatkan gagasan, makna, ideologi, dan kode-kode sosial, pengetahuan yang digunakan di dalam produksi, keterampilan teknis, ideologi professional, pengetahuan institusional, 71
Hoed, Benny H. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya, Depok: Komunitas Bambu. 2011 hal 3. Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, Duckworth, London. 1990 hal 15. 73 Hoed, Benny H. Op.cit,. 74 Piliang, Amir Yasraf. Op.cit,. 300. 75 Ibid. 350.
72
40
definisi, dan asumsi-asumsi (moral, kultural, ekonomis, politis atau spiritual), asumsiasumsi tentang konsumen (pendengar, pemirsa, pembaca, pemakna).76 Analisis semiotika Roland Barthes, mengarah pada tanda model dikotomis yaitu penanda-petanda. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis (C)). Jadi, sesuai teori de Saussure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C.77 Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai denotasi, yaitu makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes, denotasi disebut sebagai sistem “pertama” atau “primer”. Biasanya pemakaian tanda pengembangan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem “kedua” atau “sekunder”. Bila pengembangannya ke arah E menjadi metabahasa. Artinya pemakai tanda memberikan bentuk berbeda untuk makna yang sama.78 Ketika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat.79
76
Stuart Hall, Culture, Media, Language, Hutchinson. 1987 hal 129. Piliang, Amir Yasraf. Loc.cit,. 78 Hoed, Benny H. Op.cit,. 13 dan 45. 79 Ibid.
77
41
Menurut Hoed, bila konotasi menjadi tetap, ia akan menjadi mitos. Sedangkan jika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Jadi, banyak sekali fenomena budaya yang dimaknai dengan konotasi, dan jika menjadi mantap makna fenomena itu menjadi mitos, dan kemudian menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos.80 Roland Barthes memaparkan tahap-tahap pembaca konotasi pada gambar dan musik. Berikut ini tahapan pembacaan konotasi pada gambar, yaitu sebagai berikut : 1. Efek tiruan : pembacaan atas rekayasa yang menggabungkan dua foto terpisah sebagai upaya menginvestensi denotasi tanpa tedeng aling-aling. 2. Pose atau sikap : pembacaan atas sikap badan atau pose subjek sebagai petanda. 3. Objek : pembacaan atas objek-objek dalam gambar yang meruju pada jejaring ide tertentu dan simbol-simbol berkesan dalam masyarakat. 4. Fotogenie : pembacaan atas aspek-aspek teknis dalam produksi foto, seperti pencahayaan dan hasil. 5. Estetisisme : pembacaan atas perubahan pengemasan gambar untuk tujuan estetis tertentu hingga nilai spiritualnya bersifat ekstasi. 6. Sintaksis : pembacaan atas rangkaian foto-foto sebagai sebuah kesatuan.81
80 81
Ibid. 18 dan 19. Barthes, Roland. Imaji/Musik/Teks, Yogyakarta : Jalasutra. 2010 hal 7-11.
42
Sedangkan terkait unsur music, Roland Barthes memaparkannya dalam esai Musica Practika : Menurut kami, ada dua musik : music yang didengar dan musik yang dimainkan seseorang. Kedua musik ini adalah dua seni yang sangat berbeda satu sama lain, yang memiliki sejarah, pengaruh sosiologi, estetika, dan erotikanya masing-masing.82 Situasi kedua itulah yang benar-benar terjadi dalam proses encoding dan penyampaian wacana yang telah dimaknai dalam bentuk teks televisi. Artinya, secara denotatif, pesan berbentuk musik yang berupa melodi tanpa lirik (instrumentalia) atau melodi tanpa lirik (lagu) adalah pesan massal yang diwacanakan komunikator tanpa wacana
khusus
didalamnya,
selain
sekedar
memperdengarkan
atas
nama
mempertontonkan atau menghibur. Dalam konteks itulah, Barthes menekankan kata kunci : sejarah, pengaruh sosiologis, estetika, dan erotika. Artinya, keempat aspek tersebut merupakan operasionalisasi pemaknaan di balik kehadiran musik dalam sebuah wacana yang telah dimaknai. 83 Musik juga memiliki misi khusus untuk mendorong wacana-wacana baru untuk menghidupkan pesan sejarah, keinginan menumbuhkan suasana sosiologis tertentu, sekedar membangkitkan keindahan atau estetika, atau sensasi atau erotikanyang cenderung hiperbola.84
82
Ibid. 153. Halim, Syaiful. Op.cit,. 114. 84 Ibid.
83
43
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, yang akan menjadi fokus pembahasan penelitian ini adalah memaknai objek-objek dalam gambar dan musik yang meruju pada ide dan simbol-simbol yang berkesan dalam suatu masyarakat, pada program dokumenter televisi Potret Menembus Batas. 2.7 Model Kerangka Pemikiran85
85
Sumber dari model kerangka pemikiran Bab 1 Pendahuluan dari buku Postkomodifikasi Media hal 11.