BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ansietas Ansietas adalah reaksi normal terhadap stres dan merupakan salah satu bentuk emosi yang umum pada manusia. Hans Selye membedakan dua jenis stres yaitu eustress dan distress. Eustress adalah stres dalam jangka pendek yang bermanfaat dan bersifat konstruktif. Distress adalah stres yang berlangsung terus menerus dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan kehidupan pada umumnya (Safaria & Saputra, 2009). Ansietas digambarkan sebagai kondisi mood yang tidak menyenangkan disertai rasa subyektif tentang ketidakpastian dan ancaman di masa depan. Ansietas meliputi gejala utama takut (fear) dan khawatir (worry) (Stahl, 2013) yang diikuti oleh berbagai perubahan fisiologis sebagai akibat aktifnya reaksi “fight or flight” untuk mempertahankan hidup (Puri, et al., 2008). Reaksi tersebut melibatkan sistem muskuloskeletal (ketegangan otot), sistem saraf simpatis (peningkatan denyut jantung, tekanan darah, respirasi, laju metabolisme), dan psikoneuroendokrin melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) (Halm, 2009). Reaksi emosi dan perubahan fisiologis tersebut adalah normal dan adaptif dalam situasi ancaman yang nyata, seperti ancaman fisik atau situasi kehidupan yang menekan. Bila ansietas menjadi suatu ketakutan yang hebat, irasional, dan
1
maladaptif dalam kehidupan sehari-hari maka individu telah menderita gangguan ansietas
(Francesco,
et
al.,
2010;
2
Puri,
et
al.,
2008).
3
Gambar 2.1 Respons stres menurut Buselli & Stuart dikutip dari Halm (2009) 2.1.1 Ansietas pada mahasiswa fakultas kedokteran Banyak gangguan jiwa memiliki onset pada masa pendidikan di perguruan tinggi, yaitu pada rentang usia 18 hingga 24 tahun, terutama gangguan mood seperti ansietas dan depresi. Mereka telah mulai menderitanya walau mungkin belum mengalami gangguan ansietas atau depresi secara klinis. Tujuh puluh lima persen dari individu dengan gangguan ansietas telah mengalami beberapa gejala sejak sebelum usia 22 tahun (Tartakovsky, 2008). Ansietas pada mahasiswa dapat merupakan ansietas yang sebelumnya telah ada atau merupakan ansietas yang dimulai ketika berada di lingkungan universitas. Pada masa kuliah, mahasiswa berhadapan dengan transisi dari berbagai keadaan yang dapat menjadi stresor dan secara signifikan berkontribusi pada timbulnya ansietas. Sebagian besar mahasiswa mengalami banyak hal yang baru pertama kali dialami seperti pola hidup, hubungan antar teman, teman
4 sekamar, paparan budaya dan cara berpikir baru. Jika mahasiswa tidak dapat mengelolanya, tidak merasa mampu atau siap untuk menghadapi lingkungan baru tersebut maka mereka cenderung mudah mengalami ansietas dan depresi. Mahasiswa juga mendapatkan stresor dari beban akademik dan persaingan yang jauh lebih signifikan dari yang pernah dialami, baik karena tuntutan orang tua atau dirinya sendiri. Mahasiswa tidak lagi dapat menemukan orang-orang yang sebelumnya bisa membantu ketika dia membutuhkan penguatan identitas yang perlu dibuat untuk dirinya. Hal ini dapat membuatnya disorientasi dan merasakan kehilangan “sense of self” yang disebut disorientasi identitas (Tartakovsky, 2008). Pendidikan kedokteran dapat merupakan distress psikologis yang bermakna bagi mahasiswa. Banyak studi melaporkan tingginya prevalensi gangguan mood, terutama ansietas dan depresi pada mahasiswa kedokteran yang mengalami tingkat distress psikologis secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan sebayanya pada populasi umum. Gejala ansietas dapat lebih tinggi daripada normalnya di populasi umum namun belum berubah secara bermakna pada tahun pertama karena belum cukup lama terpapar dengan tekanan di lingkungan kampus. Gejala tersebut paling tinggi pada tahun kedua dimana mulai terjadi stres dalam kaitan dengan lingkungan studi baru, derajat beban tugas yang lebih besar dan kewajiban untuk berhasil. Gejala ansietas dapat menurun pada mahasiswa tahun ketiga dan keempat karena mungkin telah terjadi adaptasi bertahap terhadap lingkungan dan mata kuliah kedokteran (Alvi, et al., 2010; Dyrbye, et al., 2006) 2.1.2 Faktor risiko ansietas pada mahasiswa fakultas kedokteran Pada suatu studi diketahui beberapa faktor risiko akademik yang berkaitan kuat dengan ansietas pada mahasiswa fakultas kedokteran adalah berkaitan dengan materi ujian dan padatnya jadwal ujian namun keduanya juga berhubungan bermakna dengan depresi pada mahasiswa
5 tersebut (Alvi, et al., 2010). Faktor akademik lain yang berperan adalah terlalu banyaknya muatan mata kuliah dan aktivitas ekstrakurikuler (Soliman, 2014). Beberapa faktor risiko sosiodemografi juga memiliki hubungan bermakna dengan ansietas pada mahasiswa fakultas kedokteran antara lain jenis kelamin perempuan dan studi tahun kedua. Prevalensi ansietas pada mahasiswa perempuan bisa mulai meningkat sejak tahun pertama. Beda prevalensi dengan mahasiswa laki-laki menjadi signifikan pada tahun kedua. Beberapa faktor lain yang patut dipertimbangkan adalah urutan kelahiran (anak tengah atau bungsu), tinggal di asrama atau kamar sewa, kurangnya waktu luang, persaingan antar mahasiswa, tuntutan pada diri terlalu tinggi, tingginya harapan orang tua, riwayat gangguan psikiatri dalam keluarga, dan penyalahgunaan zat (Alvi, et al., 2010; Soliman, 2014). Berbagai peristiwa kehidupan pribadi yang penuh stres seperti menikah, mengalami penyakit fisik atau luka, kematian anggota keluarga atau teman dekat, penyakit serius pada anggota keluarga, dan masalah finansial dalam 12 bulan terakhir juga perlu dipertimbangkan sebagai sumber distress pada mahasiswa. Ciri kepribadian yang maladaptif merupakan faktor risiko ansietas dan depresi pada mahasiswa karena ciri kepribadian akan mempengaruhi persepsi individu terhadap stres dan pencapaian dalam pendidikannya (Dyrbye, et al., 2006). Tinjauan sistematik menemukan hubungan antara menikah dengan tingkat stres pada mahasiswa fakultas kedokteran, dimana mahasiswa yang telah menikah memiliki tingkat stres yang relatif lebih rendah. Hal ini bukan dipengaruhi oleh status menikah itu sendiri, melainkan kualitas dukungan dalam hubungan pernikahan (Dyrbye, et al., 2006). 2.1.3 Dampak ansietas pada mahasiswa fakultas kedokteran Ansietas ketika belajar dapat merupakan prediktor utama prestasi akademik. Ansietas dapat menghambat kemampuan mahasiswa untuk menunjukkan prestasi yang baik selama proses
6 belajar dengan mengganggu konsentrasi dan memori. Mahasiswa dengan ansietas yang tinggi akan mengalami defisit kognitif, seperti kesalahan memahami informasi atau terhambatnya penyimpanan dan pengambilan kembali berbagai memori, serta penurunan bermakna pada motivasi di ruang kelas. Sebaliknya, tingkat ansietas yang rendah dapat memotivasi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuannya dan membangun strategi baru dalam belajar (Abderrezzag, 2010; Vitasari, et al., 2010). Buruknya prestasi akademis akibat distress pada mahasiswa tersebut bisa berkontribusi pada ketidakjujuran akademis dan mempengaruhi perkembangan profesional mereka. Distress pada mahasiswa fakultas kedokteran juga paralel dengan meningkatnya sinisme, merosotnya rasa cinta kasih pada sesama manusia, dan penurunan dalam empati yang bisa berdampak negatif pada kualitas pelayanan pasien, keamanan pasien, dan profesionalisme (Dyrbye, et al., 2006). Pada suatu tinjauan sistematik dikemukakan bahwa ansietas, stres dan ketegangan bisa merupakan alasan untuk mengkonsumsi alkohol pada mahasiswa fakultas kedokteran. Tingginya penggunaan alkohol selama pendidikan berhubungan paralel dengan distress pada mahasiswa tersebut (Dyrbye, et al., 2006). Alkohol adalah zat yang paling sering digunakan oleh mahasiswa yang mengalami gejala ansietas maupun depresi, disamping rokok dan benzodiazepine (diazepam, alprazolam) (Mancevska, et al., 2008).
2.2 Konseling Salah satu metode yang umum digunakan untuk membantu siswa atau mahasiswa yang mengalami masalah adalah konseling, yaitu proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah interpersonal, emosional, dan memutuskan hal tertentu. Proses tersebut dilakukan melalui percakapan dua arah secara terstruktur yang terfokus pada masalah yang
7 dihadapi oleh klien. Konselor menyambut dan membahas masalah yang dialami klien serta memberikan informasi dan edukasi yang terkait dalam suasana yang menjamin rasa aman dan komunikasi yang memberikan rasa nyaman. Konseling bertujuan untuk bekerjasama dalam upaya membantu klien menolong dirinya sendiri agar lebih mengenal atau mengerti dirinya, memahami permasalahannya, melihat peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya, mengambil keputusan yang bijaksana dan realistik, serta menuntun perilakunya agar mampu mengemban konsekuensinya dengan merangkul baik aspek positif dan aspek negatif dari keputusannya (Elvira, 2010). Konseling dilandasi dengan pendekatan humanistik yang meyakini bahwa seseorang pada dasarnya mempunyai kebebasan yang disertai tanggung jawab untuk menentukan keputusan bagi dirinya serta potensi untuk berkembang yang pada dasarnya baik. Konselor berperan sebagai fasilitator yang mendorong diwujudkannya potensi yang baik tersebut, serta menghargai klien sebagai seorang individu yang unik, bebas, serta bertanggung jawab. Konselor memberikan empati yang didasari kasih sayang terhadap sesama manusia, tidak menciptakan suasana dimana klien merasa dinilai, dihakimi, atau disalahkan untuk membantu klien dapat melihat masalah dalam situasinya sekarang atau “here and now”. Konselor juga tidak memberikan nasehat sebagai jalan keluar dari permasalahan klien atas dasar bahwa konselor merasa lebih mengetahui mana yang terbaik bagi klien (Mangindaan, 2010). Kebanyakan literatur tentang konseling di sekolah ditujukan terhadap siswa yang sedang menghadapi masalah pribadi dan akademik dengan metode intervensi yang bervariasi antara lain konseling berkelompok, latihan keterampilan sosial, program konseling teman sebaya, atau metode lainnya (Whiston & Sexton, 1998). Sebuah penelitian di India melaporkan bahwa konseling menurunkan ansietas dan depresi pada mahasiswa kedokteran dengan membantu
8 meningkatkan tingkat percaya diri dan kemampuan adaptasi mahasiswa terhadap masalah yang dihadapi (Velayudhan, et al., 2010). Intervensi edukasi dan konseling sesi tunggal selama 45 menit dilaporkan dapat menurunkan skor ansietas dan depresi pada wanita yang dilakukan hysterosalpingography di Italia (Fianza, et al., 2014).
2.3 Terapi Relaksasi Penanganan gangguan ansietas secara umum terdiri dari farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Obat golongan benzodiazepin dan selective serotonin re-uptake inhibitor (SSRI) adalah farmakoterapi yang sering dipilih. Pendekatan non-farmakoterapi dapat meliputi cognitive behavioral therapy (CBT) serta berbagai strategi psikoterapi lain, yang salah satu diantaranya adalah terapi relaksasi. 2.3.1 Batasan Terapi relaksasi adalah salah satu pendekatan non-farmakologis yang paling sering digunakan dalam manajemen stres dan ansietas, baik sebagai terapi tersendiri atau bagian dari suatu terapi yang lebih kompleks (Manzoni, et al., 2008). Menurut National Institutes of Health and Alternative Medicine (NCAAM, 2013) bahwa relaksasi bukan hanya suatu keadaan pikiran namun juga perubahan secara fisik dari fungsi tubuh seseorang. Berbagai teknik relaksasi memiliki tujuan yang sama yaitu secara sadar menghasilkan respons relaksasi alamiah pada tubuh yang ditandai oleh pernafasan yang melambat, penurunan tekanan darah, berkurangnya konsumsi oksigen, dan suatu rasa tenang dan bahagia. 2.3.2 Teknik relaksasi Terdapat berbagai teknik relaksasi dengan meliputi sejumlah latihan, antara lain sebagai berikut (NCAAM, 2013):
9 a. Autogenic training adalah latihan fokus pada sensasi fisik pernafasan atau detak jantung sendiri, dan membayangkan tubuh menjadi hangat, berat, dan relaks. b. Biofeedback adalah relaksasi dengan bantuan alat elektronik yang mengajarkan klien untuk secara sadar menghasilkan respons relaksasi. c. Deep breathing exercises, dimana klien secara sadar melambatkan pernafasan dan fokus pada mengambil nafas secara teratur dan dalam. d. Guided imagery yaitu relaksasi yang dicapai dengan cara fokus pada bayangan menyenangkan untuk mengganti perasaan negatif atau stres, diarahkan sendiri oleh klien atau seorang praktisi melalui cerita atau uraian yang dirancang untuk mensugesti bayangan mental. e. Progressive relaxation, disebut juga Jacobson's progressive relaxation (JPR) atau progressive muscle relaxation (PMR) mengajak klien untuk fokus pada menegangkan dan melemaskan kelompok otot, yang dalam prakteknya dapat dikombinasi dengan guided imagery dan latihan pernafasan. f. Self-hypnosis, dimana klien menghasilkan respons relaksasi dengan suatu frase atau isyarat non verbal yang disebut sugesti. g. Latihan fisik dan pikiran seperti meditasi dan yoga dianggap sebagai suatu bentuk teknik relaksasi. 2.3.3 Terapi relaksasi pada ansietas Pada meta-analisis diketahui bahwa semua teknik relaksasi memiliki potensi yang baik dalam menurunkan ansietas (Manzoni, et al., 2008). Tinjauan literatur menyatakan bahwa teknik relaksasi berdampak positif terhadap ansietas pada berbagai kelompok populasi umum antara lain sukarelawan, pelajar, mahasiswa, karyawan, atlet, dan petugas kesehatan. Latihan relaksasi
10 juga efektif pada individu dengan berbagai jenis gangguan ansietas termasuk gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan ansietas fobik, dan lain-lain (Francesco, et al., 2010). Latihan relaksasi memiliki fungsi pengelolaan diri (self-regulation) yang membantu mengurangi respons fisiologis terhadap stres dan menurunkan kesiagaan simpatetik yang umum terdapat pada ansietas (Nash, et al., 2013). Strategi latihan relaksasi yang paling sering digunakan adalah Progressive Muscle Relaxation (PMR) yang merupakan salah satu teknik yang superior diantara berbagai teknik relaksasi. Potensinya meningkat dengan durasi latihan dan adanya permintaan latihan berulang di rumah (Manzoni, et al., 2008; Nash, et al., 2013). Pada latihan PMR, klien diajarkan untuk membangun strategi relaksasi singkat dan menerapkannya dalam rutinitas sehari-hari. Tujuan akhirnya adalah klien dapat menjaga ketegangan pada tingkat yang rendah dan mencegah peningkatannya, terutama ketika menghadapi stres atau situasi yang mencetuskan ansietas (Nash, et al., 2013). 2.3.4 Faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi relaksasi Berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi relaksasi dapat meliputi faktor pada terapis, faktor pada klien, faktor yang terkait dengan teknik relaksasi, dan faktor yang terkait dengan latihan (Nespor, 1983). Faktor pada terapis antara lain pengalaman terapis dengan teknik relaksasi dan kemampuannya mengajarkan, serta hubungan terapis terhadap seorang klien. Relaksasi dengan terapis langsung bisa lebih efektif daripada relaksasi melalui rekaman instruksi karena keberadaan seorang terapis dapat memiliki efek suportif bagi klien, terutama ketika muncul perasaan atau pikiran yang aneh dan tidak nyaman pada klien. Hal ini mungkin tidak sesuai bila klien telah lama berlatih dan sangat menguasai tekniknya (Nespor, 1983). Suatu tinjauan artikel
11 menyatakan bahwa psikoterapi melalui panduan mandiri memiliki efek yang sebanding dengan terapi temu muka langsung (Cuijpers, et al., 2010). Salah satu faktor pada klien yang bisa mempengaruhi efek terapi relaksasi adalah harapan dari klien itu sendiri. Harapan dapat memberikan efek plasebo dan bermanfaat selama dilakukan sesi relaksasi. Harapan positif juga meningkatkan motivasi untuk berlatih secara teratur. Kepribadian klien juga berpengaruh, dimana klien dengan ego-strength yang cukup akan memperoleh manfaat dari teknik relaksasi yang membutuhkan pengelolaan secara mandiri. Pada klien dengan gejala histerikal atau yang rentan timbul serangan psikotik tidak tepat dilakukan terapi relaksasi. Tingkat intelektual klien dapat mempengaruhi pemilihan teknik relaksasi dan waktu yang dibutuhkan untuk menguasainya. Hubungan klien terhadap seorang terapis berpengaruh positif atau negatif pada motivasi untuk berlatih. Belief system merupakan alasan dari seorang klien dapat menerima atau menolak suatu teknik relaksasi tertentu sehingga penjelasan tentang mekanisme, efek dan manfaatnya harus dijelaskan sebelum memulai pelatihan. Kepatuhan dan kerelaan berlatih dapat berasal dari rasa nyaman yang dirasakan klien pada saat latihan atau keuntungan secara material dan psikologis yang dirasakan klien (Nespor, 1983). Faktor yang juga penting dan mempengaruhi efek terapi relaksasi adalah faktor-faktor yang terkait dengan teknik relaksasi. Frekuensi dan lamanya latihan yang umumnya hingga 30 menit sekali atau dua kali sehari. Kesesuaian teknik relaksasi yang dipakai dengan klien (kondisi fisik, kepribadian, belief system, dan lain-lain) perlu dipertimbangkan akan berpengaruh pada efektivitas terapi. Sedangkan faktor-faktor yang terkait dengan latihan seperti panjangnya periode latihan, suasana latihan (misalnya lingkungan yang relatif tenang), waktu yang tepat
12 untuk latihan (biasanya dini hari, sore hari, atau malam hari), berkelompok atau perseorangan, serta opini lingkungan sekitar (Nespor, 1983).
2.4 Progressive Muscle Relaxation 2.4.1 Sejarah progressive muscle relaxation Pelopor PMR adalah Edmund Jacobson yang mengembangkan metode fisiologis untuk melawan ketegangan dan ansietas. Observasi awal menyimpulkan bahwa tegang muncul dari memendeknya serat otot, dan ketegangan terjadi ketika seseorang merasa cemas, dan bahwa cemas semacam itu bisa hilang dengan menghilangkan ketegangan tersebut. Relaksasi serat otot adalah benar-benar tidak adanya kontraksi pada otot, yaitu kebalikan fisiologis langsung dari tegang. Oleh karenanya, relaksasi menjadi penanganan yang logis untuk orang yang terlalu tegang dan cemas. Dengan menegangkan dan melemaskan berbagai kelompok otot secara sistematis, sambil menyadari dan membedakan antara sensasi yang dihasilkan dari ketegangan dan relaksasi maka seseorang dapat menghilangkan seluruh kontraksi otot serta merasakan suatu relaksasi yang dalam. Tulisannya pada 1934 berjudul “You Must Relax” (dalam Bernstein, et al., 2000) memuat apa yang telah dipelajarinya mengenai relaksasi, dan buku “Progressive Relaxation” pada tahun 1938 (dalam Bernstein, et al., 2000) menjelaskan tentang teori dan prosedur relaksasi progresif. Penelitiannya di Laboratory for Clinical Physiologi di Chicago hingga tahun 1962 menghasilkan teknik dengan fokus pada 15 kelompok otot dengan satu hingga sembilan jam per sesi setiap hari (Bernstein, et al., 2000). Joseph Wolpe mulai meneliti pengkondisian terbalik terhadap respons ketakutan pada akhir 1940-an. Studi awalnya menemukan bahwa suatu reaksi ketakutan yang terkondisi dapat dihambat dengan membangkitkan respons yang bertentangan. Sebagaimana diuraikannya pada
13 tahun 1958 dalam tulisan berjudul “Wolpe’s Psychotherapy by Reciprocal Inhibition” (dalam Bernstein, et al., 2000) bahwa prosedur relaksasi yang dijelaskan oleh Jacobson dapat menjadi suatu respons yang ideal digunakan dalam program pengkondisian terbalik melawan ketegangan. Wolpe memperpendek standar yang dibuat oleh Jacobson agar lebih nyaman dalam situasi klinis dengan membuatnya dapat diselesaikan dalam enam sesi dengan masing-masing 20 menit per sesi, ditambah dengan dua sesi 15 menit per hari latihan di rumah. Prosedur Wolpe menambahkan peran aktif terapis untuk memberikan instruksi yang menuntun klien dalam siklus menegangkan dan melemaskan kelompok otot, serta juga memberikan sugesti pada klien untuk menyadari dan merasakan sensasi tubuh yang dihasilkan oleh siklus tersebut (Bernstein, et al., 2000). Banyak modifikasi yang telah dilakukan oleh para praktisi, sehingga saat ini terdapat beragam bentuk dan teknik. Lazarus mengembangkannya dengan penambahan latihan pernafasan. Praktisi lain menggunakan teknik ini dicampur dengan sensory awareness sehingga klien hanya dituntut untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diucapkan oleh terapis, atau digabungkan dengan hipnosis sehingga sejak induksi relaksasinya telah menggunakan teknik hipnosis. Ada pula yang menggunakan bersama kegiatan olah raga sehingga klien dituntut lebih aktif dengan melakukan banyak gerakan (Adikusumo, 2010). 2.4.2 Prosedur progressive muscle relaxation Salah satu prosedur baku dikembangkan oleh Bernstein, et al. (2000) dan dinamakan Progressive Relaxation Training (PRT). Pokok-pokok dari prosedur tersebut diuraikan di bawah ini. a. Penjelasan dasar rasional dari terapi
14 Tahap ini penting dilakukan pada awal sesi pertama dimana terapis harus menanamkan perasaan percaya pada diri klien mengenai terapis dan tekniknya serta antusias untuk berlatih di rumah. Klien diberikan penjelasan tentang peran ketegangan terhadap kondisi yang dialami dan bagaimana penurunan ketegangan tersebut dapat diharapkan akan memberikan perbaikan. Terapis menjawab berbagai pertanyaan hingga klien dapat menerima konsep tersebut dan merasa bahwa prosedur relaksasi tepat untuk diterapkan pada dirinya. Kemudian klien diperkenalkan pada sensasi tegang, sensasi relaks, dan bisa membedakan kedua sensasi tersebut. Klien dijelaskan mengenai instruksi untuk menegangkan dan melemaskan 16 kelompok otot yang akan dilatih secara berurutan (lampiran 5). b. Mengarahkan prosedur Klien memfokuskan perhatian pada suara terapis dan otot tubuh. Terapis memberikan arahan dan melatih klien untuk menegangkan kelompok otot, mempertahankan selama lima hingga tujuh detik dan memperhatikan rasa yang menyertai, lalu dilemaskan dan merasakan sensasi relaksasi kelompok otot selama 30 hingga 40 detik.
c. Menyampaikan ringkasan dan penilaian Setelah relaksasi pada seluruh kelompok otot tercapai, terapis memberikan ringkasan dari kelompok otot yang telah direlaksasikan dan mengkonfirmasi hal tersebut kepada klien. Prosedur pada kelompok otot tertentu bisa diulang bila dibutuhkan. Klien menikmati relaksasi total selama satu hingga dua menit. d. Terminasi Setelah menikmati kondisi relaksasi total, dilakukan terminasi dengan melakukan hitung mundur dari empat ke satu hingga klien membuka mata.
15 e. Pertanyaan post-relaksasi Setelah sesi relaksasi, dilakukan evaluasi tentang pengalaman dan hambatan yang dialami klien selama sesi tersebut untuk perbaikan pada sesi berikutnya. f. Prosedur relaksasi lanjutan Bila relaksasi dalam telah mampu dicapai dengan latihan 16 kelompok otot, terapis dapat mulai melatih prosedur lanjutan yaitu prosedur relaksasi tujuh kelompok otot, relaksasi empat kelompok otot, relaksasi melalui recall, relaksasi melalui recall dengan hitungan, dan relaksasi hanya dengan hitungan. Tabel 2.1 Contoh jadwal sesi latihan PMR Prosedur Sesi Enam belas kelompok otot, tegang-lepas 1, 2, 3 Tujuh kelompok otot, tegang-lepas 4, 5 Empat kelompok otot, tegang-lepas 6, 7 Empat kelompok otot, recall 8 Empat kelompok otot, recall dan hitungan 9 Hitungan saja 10 Waktu dan kecepatan menyelesaikan program pelatihan PMR berbeda-beda antar klien karena tergantung dari kecepatan klien mempelajari dan menguasainya. Sebuah aturan baku yang harus diikuti adalah “never introduce a new procedure until the client has mastered the previous one”. Jarak antar sesi juga tergantung dari perjanjian antara klien dengan terapis, umumnya satu minggu. Jadwal sesi pelatihan (tabel 2.1) dapat disusun sebagai pedoman untuk perkembangan klien namun dapat berubah sesuai kemajuan kemampuan klien dalam menguasainya. 2.4.3 Progressive muscle relaxation pada ansietas Ketegangan otot berhubungan dengan stres dan ansietas. Individu akan merasakan kenyamanan dan tingkat ansietas menurun ketika ketegangan otot berkurang atau hilang. Aktivitas sistem saraf simpatis dan keterjagaan dapat ditekan dengan latihan relaksasi melali peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis. Banyak individu tidak menyadari adanya
16 ketegangan pada tubuhnya, terutama ketika mereka mengalami ketegangan kronis. Latihan siklus “tegang-lemas” akan mengajarkan klien untuk dapat mengenali adanya ketegangan pada tubuhnya, dan kemudian lebih mudah direlaksasikan (Stanley & Beidel, 2009). Coping maladaptif merupakan salah satu prediktor utama dari depresi, ansietas, dan stres pada mahasiswa (Mahmoud, et al., 2012). Pelatihan oleh terapis dan latihan mandiri akan menyiapkan kemampuan yang bermanfaat sebagai coping individu terhadap stres dan ansietas (Ali & Hasan, 2010; Isa, et al., 2013), serta merubah persepsi individu mengenai kemampuan coping-nya terhadap tekanan hidup sehari-hari (Zargarzadeh & Shirazi, 2014). Efek terapeutik dari relaksasi mulai didapatkan setelah empat sampai lima sesi pelatihan. Selain memperbaiki gangguan ansietas, latihan PMR yang dipelajari secara efektif dapat menghasilkan respirasi yang lebih lambat dan relaks, serta menurunkan denyut jantung (Stanley & Beidel, 2009).