BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanasan Global dan Energi Energi adalah kemampuan untuk melakukan uasaha dan menghasilkan panas. Ada bermacam-macam sumber energi yang terdapat dialam ini. Pada hakekatnya sumber energi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu fosil, renewable dan nuklir (fissile). Bahan bakar fosil terbentuk secara geologi dan tak dapat dengan cepat terpebarukan (non renewable) contohnya minyak bumi, batubara, bitumen, gas alam, oil shale dan tar sands. Sumber energi renewable seperti biomasa, tenaga air, angin, matahari, panas bumi dan energi laut. Sumber energi nuklir terutama adalah uranium dan thorium. Sejak lama manusia telah menggunakan sumber energi renewable seperti kayu bakar, maupun air namun energinya tidak efisien. Sampai saat ini minyak bumi masih merupakan sumber energi utama bagi dunia. Pada penggunaan bahan tipe hidrokarban sebagai energi maka timbul energi disertai reaksi kimia. Secara umum reaksi dapat dituliskan: CxHy + (x+ 0,25y) O2
x CO2 + 0,5 H2O + ∆Hc
∆Hc adalah panas pembakaran, nilainya tergantung pada perbandingan jumlah karbon dengan hidrogen. Bahan hidrokarbon yang mengandung sedikit hidrogen menghasilkan CO2 yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan lain yang kaya hidrogen untuk menghasilkan energi. Jadi gas alam merupakan bahan bakar yang paling bersih sedangkan bahan yang berlignin paling kotor. Saat ini emisi CO2 global hasil bahan bakar fosil , diperkirakan 30-40% berasal dari batu bara. Emisi CO2 sudah lama terakumulasi diudara dan konsentrasinya menaik terus dan ini menimbulkan pemanasan global ( global warming). Berdasarkan pengukuran lebih dari satu abad maka telah tercatat bahwa terdapat kenaikan suhu global 0,56oC. Kenaikan ini disebut perubahan cuaca global atau pemanasan global. Karena kenaikan emisi CO2 maka terjadi mekanisme pemanasan kembali secara sendiri( auto-feedback mechanism of heating) dan akibat ini maka suhu global diperkirakan naik 1,5oC sampai 5,8oC pada abad yang berikut. Kenaikan suhu 11 Universitas Sumatera Utara
yang demikian tajam dapat mengakibatkan beberapa perubahan seperti daerah pertanian, perpindahan daerah penyakit tropis, pencairan es dikutub maupun naiknya pemukaan laut sebesar 9-88cm. Karena isu perubahan cuaca global maka telah dibuat kesepakatan Kyoto yang dipatuhi oleh semua negara. Untuk menurunkan jumlah emisi CO2 dan pencemar lain sebaiknya dilakukan dengan penghematan pemakaian bahan bakar fosil atau dengan menggunakan sumber energi bebas karbon seperti energi nuklir, energi matahari, angin, panas bumi.
Penggunaan sumber energi biomasa sebagai bahan bakar akan
menghasilkan CO2, tapi jumlah emisi yang sama dari udara akan dilepaskan kepada tumbuh tumbuhan sehingga membentuk siklus dengan total karbon menjadi nol. Untuk mengurangi pemakaian ini perlu cara pemakaian energi fosil yang efisien. Karena kebutuhan energi terus meningkat dan menurut laporan, lebih dari 88% total energi yang dibutuhkan diambil dari bahan fosil. Ada kekhawatiran tentang kecepatan pengurangan cadangan akan melampaui kecepatan penemuan cadangan baru sementara ketergantungan pada pemakaian bahan bakar fosil belum dapat diselesaikan maka akan timbul krisis energi dan berbahaya pada masa mendatang ( Gupta, R. B dan Demirbas, A 2010). Kebijaksanaan penggunaan energi pada sektor transportasi telah mendapat perhatian di United Kingdom (UK) sebagai tindak lanjut kesepakatan Kyoto. Pada 2004 sektor transportasi telah mengkonsumsi bahan bakar paling tinggi dan sektor ini menimbulkan emisi gas CO2 sebesar 30%. Untuk mencegah kenaikan laju emisi gas CO2 ini maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penggunaan bahan bakar pada sektor transport. Penggantian sebagian bahan bakar fosil akan dengan biofuel telah dikaji dari sumber bahan baku, metode produksi hingga pengembangan kepada tipe bahan bakar yang lain. Ada dua jenis biofuel dapat dihasilkan di dalam negeri dari sumber tumbuh-tumbuhan melalui berbagai teknologi proses yaitu biodiesel dan bioetanol. Biofuel umumnya dijual dalam bentuk campuran berkadar 5% namun pada beberapa daerah, campuran dapat digunakan lebih dari 5%. Keberhasilan program itu telah ditunjang oleh sarana lahan perkebunan yang sesuai untuk memperoleh kebutuhan yang cukup. Selain dari biodiesel dan bioetanol telah dibuat bahan bakar generasi kedua yaitu tipe 12 Universitas Sumatera Utara
minyak biodiesel FT dan bioetanol hasil dari selulosa dan lignin. FT biodiesel ini mempunyai bilangan cetan tinggi dan kandungan kalor yang tinggi. Pemerintah Inggris (UK) telah memperhitungkan ketersediaan suplai biofuel kadar 5% pada tahun 2014 cukup untuk sektor transportasi (Hammond, G.P 2008). Pencemaran lingkungan dan aspek pemanasan global terutama oleh emisi gas CO2 hasil pembakaran menyebabkan perlu inovasi mengurangi pemakaian petroleum sebagai sumber energi. Energi alternatif yang digunakan terutama dari bahan yang terpebarukan. 2.2 Energi Terpebarukan Bahan bakar bersumber dari fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam masih dapat dihasilkan dengan kecepatan alamiah, sehingga kecepatan jumlah pemakaian lebih tinggi dari pada kecepatan pembentukannya. Kondisi kecepatan kedua belah pihak yang jauh berbeda maka bahan bakar fosil tergolong bahan tak terpebarukan (non renewable). Secara global energi teperbarukan saat ini dipakai berkisar 13,6% dan diperediksi pada tahun 2040 energi terpebarukan berkisar 47,7%. Distribusi penggunaan sumber energi terpebarukan yang digunakan, diperediksikan hingga tahun 2040 dapat dilihat pada data Tabel 2.1 dibawah ini Tabel 2.1 Distribusi jenis energi terpebarukan Sumber energi terpebarukan dalam (109) ton
Tahun 2001
Tahun 2040
Biomasa
1.008
3.271
Air terjun besar
22.7
358
Panas bumi
43,2
493
Air terjun kecil
9,5
189
Angin
4,7
688
Pans matahari
4,1
480
Sel surya
0,22
784
Listrik panas matahari
0,1
68
Energi lautan
0,05
20
Total sumber energi terpebarukan
1.365,5
6.351
13 Universitas Sumatera Utara
Sumber energi terpebarukan yang sering dijumpai misalnya dari tumbuhan hewan akan cepat diperoleh dengan menggunakan teknologi untuk menghasilkan energi sesuai yang diperlukan, karena kecepatan konsumsi dan produksi relatif sama maka disebut renewable energi. Sumber energi terpebarukan lebih menyebar dan lebih mudah didapat dari pada sumber fosil dan bahan nuklir di alam ini dan keuntungan menggunakan bahan energi terpebarukan ini dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Bahan renewable telah lama digunakan oleh manusia lebih dari 5 ribu tahun yang lalu. Bahan ini umumnya digunakan untuk pemanasan
tapi efisiensinya sangat rendah. Saat ini energi biomasa hanya
digunakan 3% dari kebutuhan energi pokok, namun pada daerah pedesaan penggunaan biomasa mencapai 50% umumnya dari bahan kayu. ( Gupta, R. B dan Demirbas, A 2010). Dengan cara menggunakan sumber bahan energi terpebarukan secara efisien, maka sumber energi yang tersedia dialam tidak terbuang secara percuma dan yang berdampak pada krisis pemanasan global ( global warming). 2.3 Industri bahan baku oleo kimia Perhatian dunia terhadap komponent kimia pada bahan baku terpebarukan telah beralih dari petroleum karena aspek ekonomi maupun lingkungan. Minyak tumbuhan merupakan golongan minyak yang banyak diolah sebagai bahan kimia karena mungkin ditransformasi dan juga banyak tersedia secara universal. Ada juga telah melaporkan proseses polimerisasi minyak kacang dngan tiga metode. Yang pertama secara langsung pada ikatan rangkap rantai asam lemak itu dengan bahan kopolimer stirena, divinylbenzena maupun dengan senyawa stirena mengandung silikon. Material yang dihasilkan mempunyai sifat mekanis yang kuat dan tahan api. Cara yang kedua menghasilkan gugus fungsi dari ikatan rangkap pada gliserida itu kemudian gugus itu dapat selanjutnya berpolimerisasi. Dengan teknik fotoperoksidasi oksigen singlet pada minyak biji matahari maka terjadi dehidrasi pada posisi alil asam oleat yang terkandung pada minyak itu sehingga dihasilkan bentuk enon. Senyawa ini dapat menghasilkan reaksi kimia kroslink dengan diamina aromatis. Cara yang ketiga, polimerisasi metatesis 14 Universitas Sumatera Utara
senyawa
alil
10-undecenoate,
10-[2′,5′-bis(10-undecenoyloxy)phenyl]-9,10-
dihydro-9-oxa-10-phospha-phenanthrene-10-oxide, dan 1,3-bis(10-undecenoyl) glycerol untuk menghasilkan poliester yang mengandung fosfor dan gugus hidroksil. Karena itu minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh dapat menghasilkan bahan polimer termoseting (Ronda, J.C 2010). Bahan kimia dari minyak nabati dapat dihasilkan dalam 3 katagori proses yaitu sistim splitting, enzimatis dan transesterifikasi. (Ahmad, S 2000). a. Sistim splitting : Lemak dengan uap air serta katalis menghasilkan gliserol dan asam-asam lemak campuran. b. Sistim enzimatis : Lemak dapat terhidrolisa dengan enzim lipase menghasilkan gliserol dan asam lemak. c. Sistem transesterifikasi : Lemak dicampurkan dengan larutan metanol-KOH menghasilkan metil ester asam lemak campuran. Campuran ini difraksinasi, maka dapat diperoleh fraksi metil ester dengan panjang rantai berbeda beda. Rantai panjang umumnya kaya akan lemak tak jenuh seperti metil oleat meti linoleat dan metil linolenat. Jumlah kandungannya bervariasi tergantng dari bahan baku. Asam-asam lemak rantai pendek ini lebih awal keluar kemudian rantai sedang dan rantai panjang (C16 keatas). Fraksi rantai panjang tak jenuh dapat menjadi umpan pada reaksi karbonilasi. 2.3.1 Sistim Splitting Asam lemak untuk keperluan bahan kimia telah lama diproduksi secara komersial. Lemak dapat dihidrolisa dengan asam , maupun dengan menyabunkan kemudian diasamkan menghasilkan campuran asam lemak dan glisrin maupun hasil samping. Selain itu dapat juga terjadi dengan memberikan tekanan uap yang tinggi sehingga asam lemak terdestilasi keluar (Ruston, N. A 1952). 2.3. 2 Sistim Enzimatis Enzim lipase dapat menghidrolisa lemak dalam kondisi yang rendah menghasilkan asam lemak dan dapat juga membentuk metil ester asam lemak. Bebagai jenis enzim lipase dan cara perlakuan telah dilaporkan. Cara yang yang 15 Universitas Sumatera Utara
menarik ialah dengan menjerat enzim ini supaya dapat digunakan berulang-ulang (Ranganathan S.V. 2008) . 2.3.3 Transeterifakasi Usaha untuk menjadikan minyak nabati sebagai bahan bakar mesin diesel telah dicoba, namun bahan ini terhambat karena viskositas terlalu tinggi. Beberapa usaha telah dilakukan mengurangi viskositas itu
seperti pengenceran, mikro
emulsi, pirolisis dan transesterifikasi. Perubahan kimia dari minyak menjadi ester asam lemak (FAME) secara industri dilakukan dengan reaksi transesterifikasi. Berbagai teknik reaksi transesterifikasi telah dilakukan baik dari sumber pangan maupun non pangan dengan menggunakan katalis dan juga non katalis. Reaksi transesterifikasi membutuhkan katalis baik homogen seperti KOH, NaOH, metoksida dan katalis asam seperti asam sulfat, para toluena sulfonat. Katalis heterogen juga telah dipakai seperti oksida logam ataupun senyawa karbonat. Berbagai teknik reaksi dengan mengubah media maupun suhu dan tekanan seperti kondisi superkritis metanol dan menggunakan kosolven telah dilaporkan. Teknik reaksi yang cukup penting dan tidak mencemari lingkungan yaitu menggunakan enzim lipase digolongkan pada reaksi biokatalisis juga telah digunakan. Transesterifikasi menggunakan katalis basa dilakukan dengan melarutkan KOH ataupun NaOH dalam metanol dalam satu reaktor. Minyak nabati diinjeksikan kedalam reaktor biodiesel diikuti kemudian larutan katalis. Campuran dipanaskan pada 67oC selama 2 jam pada tekanan 1 atm. Hasil reaksi membentuk 2 lapisan yaitu ester dan gliserol kasar. Pemisahan akan sempurna setelah dibiarkan dalam 2 jam. Kesempurnaan diperoleh dengan setling 20 jam, kemudian ditambahkan air sebanyak 5,5% voluma dari jumlah metil ester, kemudian diaduk selama 5 menit. Proses pencucian ester dilakukan dalam dua step. Pertama dicuci menggunakan air sebanyak 28% dari volume minyak dan pencucian kedua dengan larutan 1 g asam titanat per liter air sambil diaduk perlahan-lahan. Kedalam lapisan air digelembungkan udara sambil diaduk sampai diperoleh lapisan ester menjadi jernih. Setelah setling, lapisan air dipisahkan dan ahirnya ditambahkan lagi air sebanyak 28% dari jumlah minyak untuk pencucian ahir. 16 Universitas Sumatera Utara
O H2C
O
C
H2C
R
OH
O
O
Katalis HC
O
C
R + H3C
OH
HC
OH
H2C
OH
O H2C
O
C
R
+
R
C
O CH3 Metil ester asam lemak ( FAME )
Glisrol
Trigliserida
.
Gambar 2.1 Reaksi umum transesterifikasi Metode transesterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam. Katalis asam yang digunakan antara lain seperti asam klorida anhidrat, asam sulfat, maupun turunan sulfonat. Asam klorida anhidrous 5% dalam metanol sebagai katalis dapat dibuat dengan penggelembungan gas HCl kering kedalam metanol.). Pembuatan asam klorida anhidrous dapat dilakukan dengan dengan menambahkan amonium klorida kedalam asam sulfat pekat. Cara pembuatan HCl dapat juga dilakukan dengan menambahkan 5ml asetil klorida kedalam 50 ml metanol kering. Asam sulfat dalam metanol secara umum sudah banyak dilakukan. Minyak nabati mengalami reaksi transesterifikasi dikatalisis dengan campuran 10% asam sulfat dalam metanol sambil dipanaskan. Kemampuan katalisis asam sulfat metanol 12% setara dengan sifat asam klorida – metanol 5% dan katalis asam sulfat ini mudah dibuat. Transesterifikasi dengan katalis ini menghasikan alkil ester berjumlah banyak, tetapi berjalan lambat. Faktor perbandingan jumlah alkohol dengan minyak adalah penting. Kelebihan alkohol membuat glisrol sulit untuk diperoleh. Karena itu perbandingan pemakaian alkohol dengan minyak harus dibuat dengan tepat. Dengan prinsip kesetimbangan, maka pemakaian alkohol yang berlebih akan menggeser kesetimbangan kearah kanan sehingga berpengaruh pada peningkatan jumlah
ester yang terbentuk. Mekanisme transesterifikasi
dengan katalis asam dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini
17 Universitas Sumatera Utara
R C
+
H
O
R C
O R1
R2OH( alkohol)
O +
O R1
R
O R1
C +
O R 2 H
H
Ester / Lemak
H
O
HOR1
O R
C
O R2 Alkil Ester
+
O
H
R C
+
O R2 H
Gambar 2.2 Mekanisme Transesterifikasi dikatalisis dengan Asam Pada Gambar diatas menunjukkan bahwa pada reaksi langkah pertama terjadi protonasi menghasilkan ion oksonium selanjutnya mengalami reaksi pertukaran dengan alkohol menghasilkan suatu intermediate. Zat intermediate ini melepaskan suatu alkohol (glisrol) dan selanjutnya menghasilkan alkil ester setelah melepaskan proton. Dalam reaksi transesterifikasi ini terjadi kesetimbangan dalam tiap langkah, karena itu jika terdapat alkohol yang berlebih maka reaksi pembentukan ester menjadi sempurna (Demirbas, A 2008). Transesterifikasi minyak nabati dengan katalis asam relatif lambat dibandingkan dengan katalis basa, akan tetapi sangat tepat digunakan pada minyak yang mengandung asam lemak bebas sehingga perlu pengembangan metode reaksi. Pengembangan tehnik reaksi transesterifikasi minyak nabati mengandung asam lemak telah dilaporkan. Katalis yang bersifat asam, seperti asam sulfat dan para toluen sulfonat (PTS) telah digunakan pada reaksi transesterifikasi minyak nabati. Percampuran minyak nabati dengan alkohol dan katalis asam tidak dapat bercampur homogen, karena itu perlu ditambahkan pelarut organik, dimetil eter. Percobaan reaksi ini dilakukan dalam sebuah reaktor glas yang tahan tekanan. Kedalam reaktor ini dimasukkan minyak, katalis asam dan metanol. Dimetil eter dialirkan dari suatu tabung melalui pipa sampai mencapai tekanan 5 atm. Jumlah metanol divarisi 3 sampai 10 % mol sedangkan katalis dibuat 1 sampai 4% berat dari minyak. Variasi suhu reaksi dibuat 40; 60 dan 80oC. Alat ini dikocok dengan kecepatan 2,6 Hz. Hasil reaksi bahwa katalis asam para toluena sulfonat (PTSA) 18 Universitas Sumatera Utara
lebih aktif dari pada asam sulfat. Setelah reaksi 8 jam pada 60oC dalam pelarut dimetil eter
dihasilkan metil ester 90,2%. Pada pertambahan suhu menjadi
80oC, reaksi menghasilkan metil ester 97,1% dalam 2 jam. PTSA lebih aktif dari asam sulfat diduga karena sifat hidrofobilitasnya yang tinggi sehingga mudah menyerang molekul triglisrida sebaliknya dengan asam sulfat selain sifatnya dapat mengoksidasi, kemampuannya bercampur dengan minyak (hidrofobilitasnya) rendah(Guan, G 2009). Cara lain dengan menggunakan katalis basa organik seperti
amine. Yao
menampilkan 3 jenis katalis basa organik, isopropil amine (IPA), tertier butil amine (t-BA), and tertier etil amine(TEA) pada transesterifikasi minyak biji lobak dan minyak biji kacang. Katalis ini mempunyai keunggulan karena pada ahir reaksi dapat diperoleh dari campuran hasil reaksi dengan cara mendestilasi dan tidak menghasilkan sabun. Kelemahan sistim ini dibandingkan dengan katalis basa anorganik adalah suhu dan tekanan serta jumlah metanol yang dibutuhkan relatif tinggi. Untuk mengatasi kesulitan ini maka dibutuhkan KOH dalam jumlah kecil. Reaksi transesterifikasi minyak pada 190oC selama 3 jam dengan katalis campuran amine 6% berat minyak serta menambahkan KOH 367,1 mg/ kg dalam metanol 9% mol minyak. Peran KOH mempertinggi aktifitas amine sebagai katalis transesterifikasi dapat terlihat dari yield metil ester. Pada sistim katalis TEA yield metil ester meningkat dari 55,3 menjadi 94,1%, demikian juga dengan katalis DEA meningkat dari 67,5 menjadi 92,8%. Penggunaan katalis t-BA mengalami pertambahan yield metil ester dari 62,4 menjadi 91,3% ( Yao, J 2010). Berbagai tipe katalis lain juga telah dipakai misalnya natrium metoksida dan boron triflorida. Penggunaan natrium metoksida sebagai katalis transesterifikasi dapat dilakukan pada sekala yang besar. Reaksi antara natrium metoksida dengan minyak nabati bersama metanol berlangsung cepat, dalam 2- 5 menit reaksi terjadi dengan sempurna meskipun pada suhu kamar (Dermibas, A 2008). Penggunaan basa seperti NaOH, KOH sebagai katalis transesterifikasi diduga membetuk metoksida secara insitu. NaOH mula mula bereaksi dengan CH3OH menghasilkan NaOCH3. Na
OH
+ HOCH3
NaOCH3 + H 2O
19 Universitas Sumatera Utara
Adanya air pada reaksi transesterifikasi dapat mengganggu reaksi karena dapat menghidrolisa metil ester yang dihasilkan reaksi. H2C
OCOR1
HC
OCOR2
H2C
OCOR3
Katalis
+ 3 CH 3OH
Minyak/Lemak
H2C
OH
R1 COOCH3
HC
OH
+ R2 COOCH3
H2C
OH
R3 COOCH3 Metil ester
Glisrol
Metanol
RCOOCH3 + H 2O
RCOOH + CH3OH
Metil ester
Asam lemak
Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis natrium metoksida diusulkan menurut Gambar 2.3 sebagai berikut +
Na
NaOCH3 natrium metoksida
-
+ CH3O metoksida
O R1
O
C O R2
+ CH3Ometoksida
-
R1 C O R2 O
triglisrida
CH3
+ CH3OH O -
CH3O + metoksida
-
R1 C O R2 O
+
H
CH3
O R2OH CH2 R2
adalah
+
R1 C O CH3
-
R1 adalah rantai karbon asam lemak
HC OCOR1 H2C OCOR1
Gambar 2.3 Mekanisme reaksi transesterifikasi dikatalisis oleh alkoksida Dari mekanisme ini terlihat metoksida kembali dihasilkan pada langkah berikutnya tanpa terjadi air. Adanya air menyebabkan terjadi hidrolisis sehingga 20 Universitas Sumatera Utara
metil ester yang dihasilkan menghasilkan asam, selanjutnya dapat menghasilkan sabun karena bereaksi dengan basa. Karena itu reaksi transesterifikasi dengan katalis metoksida lebih baih dibandingkan dengan memakai hidroksida dari golongan alkali. Kesulitan katalis metoksida ini ada pada penyimpanan dan penanganan (handling).Bahan ini mudah terurai pada kelembapan dan sifatnya basa membuat perlu penanganan hati-hati. Hal inilah membuat perusahaan pemasok bahan mencampur natrium metoksida bersama metanol kering( Meher, L. C 2006). Usaha untuk memperoleh hasil transesterifikasi minyak nabati yaitu metil ester dan juga gliserol yang baik, maka digunakan metode dengan kondisi metanol superkritis. Problem terbesar pada reaksi menggunakan katalis basa adalah sulit untuk mendapatkan gliserol, karena itu telah dicoba usaha melakukan reaksi transesterifikasi minyak nabati dengan metanol superkritis tanpa katalis. Hawash melaporkan transesterifikasi minyak jarak menggunakan kondisi metanol superkritis tanpa katalis. Serangkaian percobaan reaksi telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh suhu, tekanan, perbandingan mol metanol terhadap triglisrida terhadap jumlah metil ester yang dihasilkan. Zat hasil reaksi dianalisis menggunakan plat TLC dan juga dengan kromatografi cair performansi yang tinggi (HPLC). Pada TLC dapat diketahui adanya triglisrida yang belum bereaksi dan komponen yang berupa senyawa mono, diglisrida serta juga metil ester. Dengan HPLC dapat ditentukan kandungan senyawa polar seperti di, dan mono glisrida serta glisrol. Jumlah asam lemak bebas pada bahan ditentukan secara titrasi menggunakan larutan standart 0,1 N KOH dengan fenol ftalena sebagai indikator. Plat TLC berukuran 20x 20 cm dilapisi dengan bubur silika gel ( 60 G) dalam air ( 15 g silika gel/100ml air), dikeringkan diudara kemudian dipanaskan(diaktifkan) pada 110oC selama 1 jam. Sampel minyak jatropha yang sudah diesterkan dan sampel jatropha sebelum diesterkan serta sampel standart metil ester ditotolkan pada plat TLC kira kira 3 cm dari bawah. Pelarut eluen yang digunakan terdiri dari n-heksana :dietil eter : asam asetat = 80:20:1. Selanjutnya plat itu setelah dielusi, dimasukkan ke ruang berisi uap jodium, untuk melihat noda yang berbeda. Alat HPLC yang digunakan Shimadzu L C 10 dihubungkan 21 Universitas Sumatera Utara
dengan detektor refraksi index menggunakan kolom Shim-Pack SCR- 10 N (7,9 mm – 30 cm) buatan Shimadzu. Suhu dibuat 50oC dan air dipompa melalui kolom dengan kecepatan
0,5 ml/menit untuk membuat komponen terpisah. Kondisi
reaksi pada 512-613 K dengan tekanan 5.7-8.6 MPa, menggunakan perbandingan alkohol : minyak adalah 10 : 43 mol menghasilkan FAME 100% (Hawash, S 2009). Prinsip dasar proses pada oleo kimia melalui reaksi transesterifikasi minyak seperti CPO, PKO maupn minyak jarak menghasilkan ester metil maupun etil telah banyak dilaporkan. Baik ester asam lemak maupun asam lemak bebas telah diubah menjadi alkohol (fatty alcohol). Melalui berbagai metode transesterifikasi trigliserida dapat dihasilkan berbagai bahan kimia secara industri. Table 2.2 Beberapa bahan kimia yang dapat dihasilkan dari minyak nabati Nama minyak
Bahan hasil
Hasil hilir
Penggunaan
CPO
Glisrol
Mono glisrida
Pengemulsi makanan
1-2 propana diol, dimetil propana glikol (1)
Pelarut minyak wangi
RCOOCH3 RCOONa
Sabun
Asam oleat
Asam azelat, asam pelargonat, 1,9-nona diamida, 1,9-nona diamina, pelargo namida.(2)
Bahan polimer, insektisida, dan pelumas
Dikarboksilat anhidrid , asam dikarboksilat rantai cabang(3)
Bahan aditif biodiesel(3)
Asam linoleat
Asam dikarboksilat anhidrid tak jenuh(4)
Bahan adesif
PKO
asam dekanoat
Dekil amine, dekil aldehid (5)
insektisida
Castor oil
Metil risinoleat
Lakton cincin 6 , hidroksi dimetil ester rantai cabang(6)
Aditif biodiesel kaya oksigen
1-6 ditemukan oleh Nimpan Bangun dan Seri Bima Sembiring berupa teknologi proses dan manfaat, beserta mhasiswa maupun beberapa orang luar USU.
22 Universitas Sumatera Utara
2.4 Asam-asam dikarboksilat rantai lurus. Struktur asam dikarboksilat dapat digolongkan sebagai rantai bercabang dan berantai lurus. Pembuatan rantai lurus dapat dilakukan dengan beberapa cara. 2.4.1 Reaksi oksidasi Asam lemak tak jenuh, seperti asam oleat dapat dioksidasi dengan ozon sehingga terbentuk asam pelargonat (C9) dan asam dikarboksilat C9 disebut sebagai asam azelat menurut reaksi dibawah ini ( Kadesch, R. G 1979). Baik asam pelargonat maupun asam azelat adalah asam berantai lurus. O H3C (CH2)7 CH CH (CH2)7 Asam oleat
COOH + O 3
H3C (CH2)7 HC
CH (CH2)7
O O H3C (CH2)7
C
OH Asam pelargonat
COOH
O
+ H 2O
O +
O C (CH2)7
C
HO Asam azelat
OH
Gambar 2. 4 Reaksi ozonisasi asam oleat Dengan metode yang sama oksidasi terhadap asam lemak tak jenuh yang lain dapat dihasilkan asam cebasit, maupun asam dikarboksilat C21. Proses oksidasi dapat dibuat melalui penggunaan asam kromat, kalium permanganate maupun dengan hidrogen peroksida. Berbeda dengan penggunaan ozon, oksidasi asam oleat dengan menggunakan larutan KMnO4 dapat menghasilkan asam asam dihidroksi, asam keto hidroksi, asam diketo stearat selain asam azelat dan asam pelargonat. Distribusi hasil reaksi oksidasi asam oleat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis emulsifier, konsentrasi asam oleat dalam emulsi dan perbandingan KMnO4 terhadap asam oleat (Garti, N dan Avni, E 1981). Kegunaan asam dikarboksilat bermacam, C9, C10 dan C12 dipakai sebagai plastisizer. Polivynil klorida berguna sebagai pelumas mesin , sebagai bahan intermediate, poliamida, poliester , poliuretane, adhesive coating, resin dan lainlain ( Kadesch, R.G 1979 dan Jhonson, R.W 1984 ).
23 Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Reaksi metatesis Asam lemak tak jenuh dapat ditransformasi menjadi bahan kimia lain dengan berbagai cara metatesis. Ester campuran asam lemak, hasil dari minyak biji matahari mengalami metatesis dengan katalisis heterogen memakai katalisis Re2O7 / SiO2-Al2O3 / SnBu4. Pada reaksi metatesis dengan konversi metil linoleat 81,1% dapat membentuk 20,4% senyawa dimetil ester campuran. Jika metil oleat bercampur dengan metil linoleat dilakuksn reaksi metatesis maka jumlah dimetil ester total tergantung pada total konversi linoleat (Marvey, B.B 2003). Metatesis asam karboksilat tak jenuh maupun esternya bersama dengan etena (cross metatesis) dikatalisa dengan katalis Grubb; suatu komplek Ruthenium, dapat menghasilkan α,ω senyawa dikarboksilat tak jenuh dengan hasil 38-40%. Berbeda hasilnya dengan cara metatesis asam tak jenuh seperti asam oleat tanpa pelarut dan alkena lain dikatalisa oleh katalis Grubb generasi ke dua dapat menghasilkan α,ω asam dikarboksilat tak jenuh, dengan konversi >80% ( Ngo, H.L 2006 ). Reaksi dapat digambarkan seperti dibawah ini CH3(CH2)7CH=CH(CH2)COOH +CH2=CH2 CH2=CH(CH2)7COOH + CH 3(CH2)7CH=CH2
Selanjutnya terjadi reaksi mengalami koupling 2 CH2=CH(CH2)7COOH
HOOC(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH + CH 2=CH2
Reaksi tanpa etena dapat berjalan langsung menghasilkan dikarboksilat tak jenuh dan olefin internal; disebut self metatesis 2CH3(CH2)7CH=CH(CH2)COOH
HOOC(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH + CH3(CH2)7CH=CH(CH2)CH3
Reaksi metatesis terhadap metil oleat dikatalisa dengan komplek ruthenium indenylidena phoban dapat menghasilkan diester rantai panjang. Katalis phoan ini lebih stabil dari katalis Grubb generasi 1 sehingga proses metatesisi lebih ekonomis (Forman, G.S 2006).
24 Universitas Sumatera Utara
2.5 Asam-asam dikarboksilat rantai cabang Asam dikarboksilat rantai cabang dapat diturunkan dari asam lemak tak jenuh melalui reaksi karbonilasi. Reaksi ini terjadi antara asam lemak dengan CO dengan pertolongan katalis disebut reaksi karbonilasi. Reaksi ini berdasarkan zat hasilnya dapat dikelompokkan menjadi hidroformilasi, hidrokarbonilasi maupun hidroesterifikasi. 2.5.1 Hidroformilasi Reaksi hidroformilasi adalah suatu cara menghasilkan aldehide dari senyawa tak jenuh yang bereaksi dengan CO dan H2. Pioner reaksi ini adalah O. Roelen yang saat itu bekerja untuk mencoba meresiklus olefin ke reaktor sintesis Fischer – Tropsch. Pada saat itu industri butanol dihasilkan 4 juta ton per tahun dari reaksi karbonilasi propena. Reaksi hidroformilasi ini pada mulanya dikatalisis oleh kobalt, menurut reaksi H
O 2 RCH=CH2 + CO + H 2
Kobalt
CH2 C
R
H
+
R
C
O C
H
CH3 bentuk normal
bentuk iso
-
Untuk R adalah CH3 maka dihasilkan n butanol dan iso butanol
Otto Roelen pada 1938 mengoperasikan industri ini dengan katalis [Co2(CO)8] pada 120oC-170oC dengan tekanan 200 -300 atm. Industri yang sama telah ditemukan oleh Union Carbide pada 1976 dengan katalis lain [RhCl(CO)2(PPh3)2] didalam cairan PPh3. Fungsi cairan PPh3 untuk menstabilkan spesies katalis yang aktif dan menutup lokasi kordinasi pada logam Rh yang membentuk insersi propena sehingga cenderung menghasilkan isomer yang linier. PBu3 telah dipakai sebagai ligan terhadap kobalt dan memberikan kereaktifan yang tinggi serta selektifitas pembentukan isomer linier yang tinggi. Reaktifitas yang sedemikian tinggi menyebabkan produk aldehid mengalami reaksi dengan hidrogen menjadi alkohol. Pada langkah terahir berlangsung secara ireversibel menghasilkan butiraldehida sebagai hasil adisi H2 pada spesies formil metal hidrida. Pada katalis
25 Universitas Sumatera Utara
kobalt karbonil, spesies yang aktif adalah [HCo(CO)3], berelektron 16 yang dihasilkan oleh adisi H2 pada Co2(CO)8 menurut reaksi Co2(CO)8
2[Co(CO)4 ]
.
H2
[(CO) 4 Co- H - H -Co(CO)4]
2[HCo(CO)4 ]
Hidrida spesies ini kemudian terdisosiasi menjadi 3 karbonil menghasilkan kordinasi tak jenuh 16 elektron, sehingga reaktif. Hidroformilasi dengan katalis rodium, komplek dengan [Rh (CO)12] dan [Rh (CO)16] adalah stabil, karena itu harus dirubah menjadi komplek hidrida dengan memberi tekanan gas campuran H2 dan CO menghasilkan [HRh (CO)4] dan kemudian bersama ligan fosfin, PPh3 menghasilkan [HRh(CO)2(PPh3)2]. Spesies ini kemudian melepaskan CO membentuk komplek 16 elektron sehingga reaktif. Komplek rhodium 1000 kali lebih reaktif dari pada kobalt, tapi harganya lebih mahal (Astruc, D 2007). Secara umum reaksi hidroformilasi menghasilkan aldehid berantai lurus (normal) dan isomernya berantai cabang (iso). Mekanisme pembentukan butiraldehida dari propena dapat dilihat seperti Gambar 2.5 dibawah ini.
Gambar 2.5 Siklus mekanisme hidrofomilasi propena menjadi butiraldehida 26 Universitas Sumatera Utara
Perusahaan
Rhône Poulenc telah berhasil mengatasi kesulitan pembiayaan katalis
rhodium itu, dengan cara mempertahankan penggunaan katalis berulang-ulang. Metode yang dipakai adalah menggunakan ligan fosfina terlarut dalam air, P(m-C6H4SO3-Na)3 yang diberi nama triphenil phosphine sulfonat sodium, TPPS. Bahan ini dibuat dari sulfonasi fosfina menggunakan asam sulfat berasap menyebabkan gugus sulfonat terbentuk pada posisi meta dari cincin fenil seperti Gambar 2.6 dibawah ini.
HO3S P SO 3H
SO 3H
Gambar 2.6 Struktur trifenil fosfina meta asam sulfonat Rhodium komplek dengan ligan sulfonat memiliki sifat larut dalam air dan reaktifitas katalisis tidak berkurang. Pada ahir proses hidroformilasi, dihasilkan aldehide yang terdapat pada fase organik, sedangkan katalis rhodium berada pada fase air sehingga dapat digunakan kembali. Pengembagan teknologi reaksi pada industri aldehid dengan cara hidroformilasi telah berlanjut pada Union Carbida. Bahan baku olefin internal telah digunakan bersama katalis rhodium komplek dengan ligan fosfite yang besar untuk menghasikan senyawa yang asimetris. Bagian ini berkembang menjadi asimetrik katalisis. Asam lemak tak jenuh mengalami hidroformilasi dengan bantuan katalis membentuk persamaan seperti di bawah ini : H CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOR
CO,H2
H3C (CH2)7
C CH2 H C O
(CH2)7 COOR
Aldehide yang dihasilkan dapat dioksidasi menjadi asam dikarboksilat jika R=H. Kondisi
reaksi
bervariasi
tergantung
katalis
yang
digunakan.
Reaksi
hydroformilasi senyawa lemak tak jenuh memakai katalis Co2(CO)8 berlangsung pada 100oC dengan tekanan gas H2/CO 3000-4000 psi, tetapi dengan katalis 27 Universitas Sumatera Utara
RhCl3/PPh3 suhu operasional 90o-110oC dengan tekanan 500-2000 psi menghasilkan konversi 95% ( Frankel dan Pryde 1977 ). Perkembangan terakhir hidroformilasi menggunakan katalis rhodium. Dengan memakai ligan phosphit yang bulky bersama rhodium karbonil asetil asetonate, hidroformilasi ester maupun asam lemak tak jenuh berlangsung lebih cepat. Telah dipelajari pengaruh perbandingan ligan dengan atom Rh, suhu, tekanan CO tekanan H2. Kecepatan reaksi paling besar, dengan turn over frekuensi 500 mol/jam, pada perbandingan metil oleat: Rh=910 mol, suhu 80-100oC dan tekanan CO/H2=20 bar. Dalam 3 jam diperoleh konversi metil oleat 95% (Muilwijk, K. F 1997). Aldehide diatas yang diperoleh dapat dioksidasi menjadi asam dikarboksilat bercabang. 2.5.2 Hidrokarboksilasi Karbonilasi terhadap senyawa olefine seing disebut reaksi Reppe, karene pioner reaksi ini oleh Walter von Reppe. Telah diduga bahwa reaksi diawali dengan proses insersi olefine kedalam ikatan M-H, sehingga reaksi ini menyerupai hidroformilasi. Karena itu terbentuk spesies metal alkil kemudian berpindah kepada ligan CO menghasilkan komplek asil. Komplek ini sangat mudah terserang oleh nukleofil seperti H2O, ROH, RNH2, RSH maupun RCOOH. Sebagai contoh pada reaksi olefine dengan CO beserta H2O. R CH CH2 + CO + H 2O
[Fe(CO)5] -
o
OH ,90 C
CO2 + R -CH(CHO)CH3 + R -CH 2 -CH2 CHO
Hidrokarboksilasi terhadap senyawa alkuna maupun olefin sejak lama telah berkembang dan menghasilkan asam-asam organik tak jenuh dan asam organik yang jenuh. Bahan baku pada awal reaksi ini ditemukan dari asetilena kemudian diubah menjadi asam akrilat, metil akrilat kemudian bahan tak jenuh ini mengalami polimerisasi menjadi poliakrilat. Melalui teknik reaksi karbonilasi seperti ini dikembangkan reaksi dengan bahan baku yang berbeda seperti propuna dan alkuna yang lain. Banyak senyawa intermediet yang mungkin diturunkan dengan reaksi karbonilasi ini. Senyawa alkuna dan senyawa olefine mempunyai ikatan pi yang dengan katalis membentuk komplek organologam, pembentukan komplek ini menyebabkan kereaktifan atom karbon terhadap nukleofil meningkat 28 Universitas Sumatera Utara
dan karena itu terjadi adisi pada atom karbon. Reaksi karbonilasi senyawa alkuna menjadi asam tak jenuh pada mulanya dikatalisis Ni(CO)4 dengan adanya promotor asam halida (HX). Reaksi ini membentuk hidrida HNi (CO)2X, suatu komplek 16 elektron, mudah berkordinasi dengan alkuna. Mekanisme reaksi diduga seperti Gambar 2.7 dibawah ini.
Ni(CO) 4 + HX
R C - 2CO
C
CH3
HNi(CO)2 X
CH3 R
C
C H
HOOC
CH3
R C H2 O
C
O
HNi(CO)2 X
C
+ CO H
R
C
C
CH3
Ni(CO) 2X
+ CO
CH3 R
C
R
C
H
COOH
H2 O
CH3 C
H
C C
O
Ni(CO)2X
Gambar 2.7 Ni(CO)4 mengkatalisis hidrokarbonilasi alkuna Reaksi karbonilasi beberapa alkuna telah dilaporkan oleh Reppe. Reaksi karbonilasi asetilena dikatalisis oleh komlpek Ni(CO)4 dalam air menghasilkan asam akrilat seperti berikut HC
CH
+
H2O
Ni(CO) 4 HX
O H2C
asetilena
CH C
OH
asam akrilat
Jika nukleofil air diganti dengan alkohol maka akan dihasilkan ester akrilat menurut reaksi dibawah ini. 29 Universitas Sumatera Utara
O HC
CH + CO + CH3OH
H2C
CH C
CH3
O
Nikel tetrakarbonil (Ni(CO)4 merupakan suatu katalis reaksi karbonilasi paling efektif pada awal kreasi oleh Walter von Reppe. Bahan ini telah dibuat dalam sekala besar menurut reaksi berikut ini. NiX2
+
5 CO + H2O
Ni(CO) 4
+
CO2
+
2 HX
Senyawa asetilen bereaksi dengan air dengan katalis Ni(CO)4 menghasilkan asam akrilat dengan yield di atas 90% pada suhu 150o C dan tekanan 30 atm. Metil asetilen dapat membentuk metil metakrilat dengan reaksi karbonilasi dalam metanol dengan katalis Ni(CO)4. Asam lemak tak jenuh dapat dipandang sebagai molekul olefin sehingga dapat membentuk reaksi hidrokarboksilasi menurut reaksi dibawah ini. H CH3(CH2)7CH=CH(CH2) 7COOH
CO,H 2O
H3C (CH2)7
C
CH2
(CH2)7
COOH
COOH
Asam oleat telah diubah menjadi dikarboksilat melalui reaksi hidrokarboksilasi dengan katalis nikel halida pada suhu dan tekanan yang tinggi. Pembentukan asam dikarboksilat ini dipublikasikan dalam bentuk paten (Falbe, J 1970) Hidrokarboksilasi asam oleat dengan katalis PdCl2/PPh3 telah dapat menghasilkan 9(10)-asam karboksi stearat dengan yield 85-99% tergantung kondisi reaksi. Pada umumnya reaksi karbonilasi dengan katalis ini terjadi isomerisasi
baik pada
tekanan rendah maupun pada suhu tinggi. Katalis yang lebih baik dapat digunakan dari campuran Pd/C, trifenilfosfine, hidrogen klorida. Konversi asam oleat makin tinggi pada suhu 140-150oC dan tekanan 4000 psi. Untuk penggunaan katalis PdCl2 0,5%., PPh3 2%, air 110 mol suhu 160oC tekanan 4000 psi selama 6 jam, konversi asam oleat 89,8%. Jika PdCl2 1%., PPh3 2%, air 110 mol suhu 140oC tekanan 4250 psi selama 4 jam maka diperoleh konversi 99,4%
( Frankel dan
Pryde 1977 ). 2.5.3 Paladium katalisis karbonilasi Paladium sebagai katalis karbonilasi pada awalnya tidak popular dibandingkan dengan nikel. Katalisis karbonilasi menggunakan Pd pertama sekali diperkenalkan 30 Universitas Sumatera Utara
pada 1962 di paten Jerman. Perbedaan pokok antara unsur Pd, Ni dan Co sebagai katalis adalah bahwa Pd(II) mengkatalisis karbonilasi senyawa alkuna bertindak sebagai promotor dan berlangsung secara stoikiometri dan pada
ahir reaksi
membentuk Pd(0) sehingga reaksi berhenti. Tsuji telah melaporkan karbonilasi olefin dalam alkohol menggunakan paladium klorida sebagai katalis. Zat yang dihasilkan senyawa organoklor ( Tsuji, J 1964 ). Reaksinya seperti dibawah ini: RCH(Cl)CH2COOR+Pd0+HCl
RCH=CH2+CO+ROH+PdCl2
Graziani melaporkan reaksi etanol dengan karbon monoksida pada tekanan atmosfer dan suhu (20-40oC) menghasilkan etilkloro karbonat, etil asetat dan logam paladium. Spekulasi reaksi karbonilasi etanol dengan katalis paladium dituliskan pada Gambar 2.8 dibawah ini Cl
H PdCl2 + H3C
CH2 OH
CO
H3C
C
O
H
2-
Pd H Cl
O H H3C CH2 O C Cl H3C C + O asetaldehid kloro etil karbonat +
O +
H3C
CH2 C
OCH2CH3
etil asetat
-
+ 2H + 2Cl + Pd(0)
Gambar 2.8 Kemungkinan hasil karbonilasi etanol Dalam laporan telah dipostulatkan terjadi komplek hidrida [HPd(CO)Cl2]yang reaktif namun kurang stabil. Pembentukan spesies ini diduga terjadi dari pemecahan ikatan O- H dari alkohol menyebabkan posisi proton ß terabstraksi ke Pd menghasilkan asetaldehid, sebagai salah satu jalur reaksi yang terjadi pada karbonilasi etanol diatas. Spesies hidrida ini sangat reaktif, sehingga cepat bereaksi menghasilkan Pd(0) sejalan dengan terjadinya oksidasi alkohol menjadi zat hasil (Graziani, M 1971). Karbonilasi metanol dengan katalis paladium asetat dengan adanya ligan pospin maka dihasilkan dimetil oksalat 87 % dengan tekanan 40 atm dan suhu 800C. 31 Universitas Sumatera Utara
Besarnya hasil ditentukan oleh perbandingan mol palladium dengan posphin maupun jenis fosfina yang digunakan. Intermediet pada reaksi ini diyakini adalah alkoksi karbonil komplek; Pd (COOCH3)(OAc)(PPh3)2. Dari hasil karbonilasi ini maka diperoleh bahwa menggunakan ligan tri aril phospin bentuk orto adalah paling baik. 2 EtOH + CO + PdCl2 + Na2CO3
(EtO)2CO + Pd + 2 NaCl + 2 NaHCO3
Dengan perbandingan mol phosphine terhadap palladium sama dengan 2 dan selama 2 jam dengan tekanan 40 atm dan suhu 800C diperoleh dimetil oksalat 100% dan tidak ada dihasilkan dimetil karbonat. Pada pengamatan ini telah terjadi pemisahan logam paladium (Rivetti, F 1979). Karbonilasi alkuna terminal dengan katalis paladium klorida dan kokatalis CuCl2 menghasilkan anhidrat maleat, asam maleat dan asam fumarat. Reaksi katalisis berlangsung pada udara terbuka dengan mengalirkan gas CO dan O2 ke dalam larutan PdCl2, CuCl2, asam formiat dalam THF selama 3-8 jam. o
Ph -C CH
+ HCOOH/H 2O + PdCl 2 /CuCl 2 THF, 25 C CO/O 2
Ph C O
C
HOOC
CH
H
H
O (1) anhidrid maleat
O
Ph
COOH C
C
C
(1) + (2) + (3)
C
C
COOH
Ph (2) asam fumarat
COOH
(3) asam maleat
Perbandingan mol PdCl2 (10 mol): CuCl2(10-20 mol) dapat menghasilkan 75% phenyl maleat anhidrid. Dengan kondisi yang sama karbonilasi senyawa 3,3dimetil butuna dihasilkan 49% campuran tertier butil maleat anhidrid dengan trtier butil asam maleat. Perubahan sifat bulky Ph dengan t-Bu memberikan perubahan pada hasil reaksi. Selain itu jumlah zat hasil reaksi dipengaruhi oleh jenis pelarut, kecepatan aliran gas, dan jenis alkuna yang dipakai. Dalam reaksi ini dipostulatkan bahwa ikatan Pd-H mengalami insersi oleh O2 menghasilkan paladium hidro prokso komplek. Reaksi terhadap alkuna internal tidak dapat berlangsung (Zagarian, D and Alper. H 1991). Sistim reaksi senyawa alkuna dengan katalis Pd(II) menggunakan CuCl2/O2 berlangsung peristiwa oksidasi 32 Universitas Sumatera Utara
menghasilkan senyawa dikarbonil disebut karbonilasi reaksi oksidasi. Berbeda dari cara karbonilasi diatas, senyawa alkuna dengan menggunakan campuran Pd(II) bersama ligan phosphine dapat menghasilkan senyawa monokarbonil. Reaksi ini menggunakan suhu dan tekanan tinggi dan menghasilkan campuran dua isomer seperti reaksi dibawah ini R -C
Pd(OAc)2 , PR 3 HCOOH
CH + H 2O+ CO
R C
+
C
o
100 -110 C
R
H
HOOC
H
H C
C
H
COOH
Jumlah hasil reaksi dipengaruhi oleh faktor gugus R, jenis ligan fosfine yang digunakan dan juga terdapat perbedaan reaktifitas antara katalis PdCl2 dan Pd(OAc)2. Pengamatan pengaruh lama reaksi terhadap hasil reaksi adalah berbanding lurus (Zagarian, D dan Alper, H 1993). Perkembangan katalisis karbonilasi senyawa alkuna dengan mudah menghasikan ester maupun asam asam tak jenuh pada posisi α,ß (α,ß unsaturated carboxylic acid/esters) .Material ini mendapat perhatian penting karena kebutuhan bahan dasar polimer maupun bahan kimia dan obat obatan. Karbonilasi senyawa aril asetilena seperti 4-isobutilfenilasetilena dan 4-metoksinaftilasetilena dapat menghasilkan obat anti inflammatory seperti S-ibuprofena dan S-naproxena. Reaksi umum karbonilasi senyawa 4-isobutilasetilena ditulis seperti berikut CH
H3C CH CH2C H3C
CH
CH C
C
CH
+ CO, H 2O
CH CH
H3C CH CH2 C H3C
CH
C CH CH
C
CH2
COOH H2 reduksi
4 -isobutilfenilasetilene
CH CH C CH CH2 C CH CH H3C H3C
H C
CH3
COOH
ibuprofene
2.5.4 Slektifitas Reaksi katalisis karbonilasi senyawa tak jenuh selalu menghasilkan produk campuran bentuk isomernya. Untuk memperoleh zat hasil yang diinginkan lebih 33 Universitas Sumatera Utara
tinggi dari pada isomernya maka dilakukan kontrol. Perlakuan ligan pada katalisis karbonilasi telah menunjukkan kontribusi pada slektifitas reaksi. R1 C
R1 C
C
+ CO + R'OH
R2
CH R2
COOR' isomer 1
Pd(OAc)2, PR 3, p - tsa 2 -pyridin asam karboksilat
+
R1 CH C
R2
COOR' isomer 2
Untuk R1 adalah 4-isobutilfenil asetilena dan R2 adalah H dengan reaksi karbonilasi dapat menghasilkan ibuprofen dengan katalis Pd. Peggunaan katalis Pd(OAc)2 berupa senyawa komplek maupun dalam bentuk campuran dengan ligan fosfina baik bidentat maupun monodentat pada reaksi karbonilasi alkuna telah dapat berlangsung pada tekanan CO yang rendah. Sistim katalis karbonilasi Pd(PPh3)4, Pd(OAc)2/dppf, Pd(OAc)2/PPh3/dppb maupun Pd(dba)2/4PPh3
dilaporkan belangsung lambat dengan slektivitas reaksi yang
rendah.Untuk mempercepat reaksi dan menaikkan slektivitas pada karbonilasi fenilasetilen dan turunannya maka telah dilaporkan suatu sistim katalis menggunakan Pd(OAc)2/monofosfine/asam p-toluena sulfonat monohidrat(p-tsa)/ asam 2-pyridin karboksilat (pyca) maupun dengan ligan asam 2- piperidin karboksilat (pypca). Produk bentuk cabang dihasilkan dengan slektivitas 98% pada tekanan 1-3 atm CO dan suhu 100oC. Juga dilaporkan bahwa penggunaan senyawa alkuna internal dapat mengalami reaksi karbonilasi namun berlangsung lebih lambat dan slektifitas yang rendah (Jayasree, S 1999). Katalisis karbonilasi secara sistim
homogen menggunakan katalis paladium
komplek mendapat perhatian karena selain slektivitas yang tinggi dapat berlangsung dengan kecepatan relatif tinggi. Masalah yang muncul adalah metode resiklus katalis paladium, yang belum banyak mendapat perhatian. Salah satu cara untuk meresiklus katalis paladium dilaporkan oleh B. R. Sakar dalam reaksi karbonilasi alkuna, alkena maupun alkohol menghasilkan senyawa ester. Katalis berinti paladium seperti Pd(pyca)(PPh3)(OTs) dengan beberapa ligan campuran seperti struktur dibawah ini telah diikatkan secara kimia kepada bahan berpori 34 Universitas Sumatera Utara
supaya katalis ini tetap pada fase heterogen (padat) sewaktu dipisahkan dan tidak mencemari lingkungan (Sarkar, B. R dan Chaudhari, R. V 2005). Interaksi antara katalis dan senyawa silika sebagai pengikat menurut mekanisme reaksi pada Gambar 2.9 berikut ini.
atau
Gambar 2.9 Mekanisme interaksi katalis terikat pada silika Katalis paladium komplek telah dimodifikasi kearah pemakaian air sebagai pelarut reaksi. Pada sistim ini terjadi reaksi dalam 2 fase, yaitu fase organik dan fase organik. Komplek itu mengandung ligan yang dapat terlarut dalam air, sementara paladium berada pada fase organik yang mengkatalisis reaksi karbonilasi pereaksi. Ligan seperti ini dapat dibuat dari senyawa fosfor dan senyawa nitrogen. Ligan natrium trifenilfosfina sulfonat(TPPS) maupun gunidium fosfina dan gunidino aril dicampur dengan Pd(OAc)2 telah digunakan digunakan pada reaksi hidrokarboksilasi styrena dalam air sebagai pelarut menurut reaksi dibawah ini: COOH
Katalis R
CH2 + CO + H 2O
COOH R
+
R
CH3
Dari pengamatan rekasi ini menunjukkan ligan turunan aril guanidium lebih stabil dan menghasilkan reaksi lebih slektif dari gunidium fosfina (Aghmiza, A 2005). Kedua reaksi diatas ini terjadi pada kondisi tinggi dengan katalis paladium komplek. Berhubungan dengan sistesis obat obatan maka reaksi karbonilasi terhadap stirene maupun turunan stirena sebagai bahan prokiral. Reaksi karbonilasi terhadap styrene dalam methanol /THF dimasukkan PdCl2, CuCl2, ligan, BNPPA dan menggunakan HCl dengan berbagai konsentasi menurut reaksi dibawah ini.
35 Universitas Sumatera Utara
(CH2)2 COOCH3
CH3 CH2
PdCl2, CuCl 2 COOCH3
+ CO + CH 3OH S -( +)-BNPPA, O 2(1 atm) Stirena
+
metil -2 -fenil propionat
metil -1 -fenil propionat
Gas CO dan O2 dialirkan ke dalam larutan ini maka diperoleh 2 fenil propionate adalah suatu senyawa asimetris sehingga reaksi ini disebut juga hiroesterifikasi asimetris. Dengan memvariasi jumlah katalis dan kokatalis serta HCl maka diperoleh 97% konversi styrene namun slektifitas reaksi masih rendah( iso/ normal berkisar 70/30. Penggunaan O2 dalam reaksi ini dilaporkan sebagai reoksidan yang bersama sama gas CO dialirkan melalui larutan dengan kondisi gelembung dan dilewatkan keudara ( Kewu, Y dan Xuanzhen, J 2005 ). Sistem ini pelepasan gas ini keudara serta penggunaan HCl dalam reaksi memberikan aspek yang kurang baik, karena selain mengakibatkan polusi, peralatan gelas sulit diterapkan dalam sekala besar. Hidroesterifikasi 1- heksena dengan katalis [PdCl2(PhCN)2]/P(3,5-CF3C6H4) dalam karbondioksida superkritis menghasilkan metil ester 67% dengan kondisi sangat tinggi. Reaksi campuran heksena, CO, alkohol dalam reaktor kemudian dialirkan CO2 cair. Jenis alkohol sebagai koreaktan sangat mempengaruhi jumlah konversi dan selektivitas karbonilasi heksena. Keuntungan menggunakan sistim ini adalah memungkinkan katalis dapat diperoleh dan digunakan kembali (Estorach, C, T dan Bulto, A. M. M 2008 ). Perubahan sistim katalis dari 2 logam menjadi 1 logam menunjukkan kondisi reaksi yang jauh berbeda. Reaksi asam oleat dengan karbon monoksida dengan katalis PdCl2/CuCl2 dalam air maupun metanol diduga dapat menghasilkan senyawa anhidrid melingkar. Senyawa anhidrid melingkar dengan metanol / H2SO4 membentuk dimetil ester rantai panjang bercabang. Reaksi-reaksinya dapat digambarkan seperti dibawah ini ( Bangun, N dan Siahaan, D 2007 )
36 Universitas Sumatera Utara
H PdCl2/CuCl2 CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH
H3C (CH2)7
CO
C
CH2
(CH2)7
O C Anhidrid melingkar
C=O O
3 -oktil -undekana -dikarboksilat anhidrid
H H3C (CH2)7 C
H CH2(CH2)7
C
O
CH3OH/H2SO 4
O O C Anhidrid melingkar 3 -oktil -undekana -dikarboksilat anhidrid
CH3 -(CH2)7 C
CH2(CH2)7
COOCH3
COOCH3 Di Metil Ester Bercabang DMEB
Reaksi karbonilasi asam oleat dengan katalis PdCl2 / CuCl2 dalam kondisi sedang menghasilkan asam dikarboksilat berlangsung 20 jam dengan hasil 82%. Berbeda dengan reaksi karbonilasi metil oleat dalam kosolvent metanol dengan katalis PdCl2 / CuCl2 menghasilkan dimetil ester ( Bangun, N 2004 ). Reaksi karbonilasi dengan katalis PdCl2 / CuCl2 dapat berlangsung pada suhu kamar diduga mekanisme melalui adisi ikatan olefinik internal dengan spesies PdH. Hasil adisi ini diikuti dengan pembentukan senyawa asi dari paldium dengan adanya CO, selanjutnya terbentuk senyawa anhidrit melingkar karena adany serangan nukleofil intramolekular. Risinoleat dan linoleat, memiliki ikatan olefinik pada posisi internal, sehingga dapat diharapkan terjadi reaksi karbonilasi dengan cara yang sama seperti terhadap oleat. 2.6 Pemakaian Metil Ester (FAME) dalam Campuran bahan bakar. Fatty Acid Methyl Ester (FAME) adalah nama populer biodiesel. Bahan bakar ini berbeda sifat kimianya dengan bahan bakar fosil yang mengandung senyawa alkana dan aromatik, karena itu biodiesel menunjukkan sifat fisika yang berbeda dari bahan fosil. Sifat fisika seperti angka cetan, penurunan angka pembakaran, viskositas yang tinggi dan titik nyala pada biodiesel berpengaruh pada pembakaran dan emisi yang terjadi pada mesin berbahan bakar diesel. Biodiesel sebagai bahan bakar sangat baik karena dapat menurunkan emisi partikulat, unburn hidrokarbon (UHC) dan CO2 tapi mengkonsumsi bahan bakar lebih tinggi 37 Universitas Sumatera Utara
serta menaikkan emisi NOx. Polutan yang dihasilkan tergantung pada banyak faktor antara lain
konsentrasi metil ester. Blending minyak kacang dengan
petrodiesel dengan variasi konsentrasi 10% dan 20%, menyebabkan emisi dari mesin diesel bertambah 15% menjadi 40%, mutu biodiesel termasuk densitas, viskositas, jenis metil ester maupun panjang rantai metil ester itu (Lapuerta 2008). Monyem dan Van Gerpen melaporkan bahwa biodiesel turunan minyak kacang mengandung kadar asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Adanya ketidakjenuhan ini menyebabkan gugus
CH2 dekat kepada ikatan rangkap mudah terserang
radikal bebas. Asam asam linoleat dan linolenat mempunyai 2 dan 3 ikatan rangkap lebih cepat teroksidasi dibandingkan denga asam yang hanya mempunyai 1 ikatan rangkap. Kedua jenis asam ini terdapat pada minyak kacang yang dapat menghasilkan hidroperoksida pada reaksi autooksidasi. Bahan ini yang kemudian dapat membentuk polimerisasi menghasilkan suatu zat berat molekul tinggi berbentuk sendimet yang memisah dari campuran. Zat ini pada pembakaran membentuk endapan dan melapisi sistem pembakaran mesin diesel. Dalam hal yang sama, bentuk hidroperoksida dari asam lemak terurai menjadi asam rantai pendek maupun aldehide. Dampak oksidasi biodiesel ini menyebabkan performansi mesin dan emisi gas sulit dipahami. Untuk memahami sifat ketidak setabilan biodiesel turunan minyak kacang, maka semua ikatan rangkap dioksidasi sebelum digunakan sebagai bahan bakar diesel. Bahan teroksidasi dan yang belum teroksidasi kemudian diuji sifat performansi pada mesin. Dengan menggunakan bentuk teroksidasi dari metil ester menunjukkan hasil efisiensi termal yang sama dengan bahan bakar diesel tetapi mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak. Emisi gas NOx dengan bahan itu dihasilkan lebih tinggi 13- 14% dari pada bahan bakar diesel, sedangkan emisi hidrokarbon 51% lebih rendah. (Monyem, A 2001). Penelitian lebih mendalam tentang ketidakstabilan metil ester asam tak jenuh telah dilaporkan oleh Herbint. Telah dipelari mekanisme oksidasi pada dua jenis ester tak jenuh yaitu metil – 5-dekenoat dan metil- 9- dekenoat. Hal ini dibuat sebagai model untuk membandingkan mekanisme reaksi oksidasi metil ester minyak biji lobak yang dilakukan pada reaktor yang diaduk secara jet. Juga telah dibandingkan kecepatan oksidasi terhadap tiga senyawa yang telah dioksigenasi 38 Universitas Sumatera Utara
kemudian dianalisa perbedaan distribusi hasil oksidasi yang terjadi, serta dipelajari pengaruh posisi ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon itu. Diperoleh hasil perbedaan reaktivitas ester metil-5-dekenoat lebih lambat dari pada metil-9dekanoat, karena proses isomerisasi ikatan rangkap lebih sulit terjadi. Pada metil9-dekanoat terdapat ikatan rangkap diujung rantai karbon sehingga mudah membentuk peroksida dan berlanjut memutuskan ikatan C-C menurut aturan ßscisson. O
O
H3C O
CH2
-
O2
H3C O -
O O
Akibat serangan radikal ini, maka terjadi isomerisasi membentuk cincin 3- 6 melalui penangkapan proton pada posisi vinyl selanjutnya terjadi senyawa radikal tak jenuh yang baru. Karena proses ini terjadi pemutusan menjadi rantai pendek yang diesebut jelaga (soot) (Herbinet, O 2010). Studi bahan bakar metil ester terhadap emisi gas yang lain seperti NOx telah dilaporkan. Besarnya emisi gas NO x ini erat hubungan dengan angka cetan (CN). Angka cetan adalah suatu petunjuk tentang kemampuan suatu bahan bakar dapat digunakan dengan baik. Hidrokarbon heksadekana (C16H34) disebut dengan nama trivial cetana , suatu rantai lurus berantai panjang telah menjadi standar dengan bilangan CN = 100. Senyawa yang mutu pembakarannya rendah diberi angka CN 15 adalah senyawa 2,2,4,4,6,8,8,-heptametilnonana C16H34.
Hubungan antara
struktur ester asam lemak dengan emisi gas NOx yang terjadi
telah dapat
dipelajari. Emisi gas NOx bertambah dengan menaiknya jumlah bahan yang tak jenuh dan menurunnya panjang rantai hidrokarbon. Karena itu perlu memberikan bahan aditif untuk mencapai tingkat CN yang tepat (Knothe, G 2005). Pemakaian biodiesel mempunyai beberapa dibanding dari minyak solar. Biodiesel tidak mengandung bahan belerang sehingga pada penggunaan dalam energi tidak mengemisi SO2, jadi ramah lingkungan. Juga telah dilaporkan bahwa biodiesel yang tertumpah mudah terurai dialam ( biodegradable). Studi kecepatan penguraian dalam air menunjukkan bahwa biodiesel dengan campuran 5% (B5) 39 Universitas Sumatera Utara
dapat terurai 50% antara 28 hingga 28 hari, sedangkan untuk B20 dapat terurai 50% selama 28 hingga 16 hari. Dari data ini terlihat bahwa efek bahan fosil ini memperlambat penguraian biodiesel ( Pasqualino, J.C 2006) . Studi siklus bahan biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel tidak mempengaruhi pemanasan global dan emisi gas CO2 lebih rendah 78% dibandingkan dengan petrodiesel (Gerpen, J 2005). Pemakaian biodiesel tidak hanya pada campuran dengan minyak solar, tapi telah dilakukan pencampuran dengan bahan bensin (gasoline) dalam berbagai perbandingan. Campuran ini kemudian telah dicoba pada mesin SI sebagai bahan bakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biodiesel dapat menurunkan gesekan mesin pada suhu tinggi serta menurunkan emisi gas ( ChunDe, Y 2008 ). Kegunaan biodiesel sebagai energi alternatif telah nyata baik kepada pengguna maupun aspek terhadap lingkungan. Supaya bahan ini dapat berkesinambungan maka
perlu
meningkatkan
efisiensi
proses
pembuatan
maupun
usaha
produksibahan baku yang lebih murah, serta mengembangkan katalis. Untuk menekan harga biodiesel maka perlu dilakukan pendayagunaan hasil samping sehingga diperoleh keuntungan secara menyeluruh (Janaun, J 2010). Sejauh ini biodiesel komersial B10 masih bersifat mono metil ester yang mempunyai rantai lurus, sedemikian sehingga belum mampu bertindak menghemat bahan bakar. Penggunaan B20 mono metil ester turunan soyabean oil, memberi efek emisi gas NOx 6,2% ( Wyatt,V.T 2005). Diduga faktor struktur linier metil ester menjadi penyebab emisi gas buang tinggi yang , sehingga perlu dicari bentuk yang bercabang. 2.7 Bahan bakar aditif organik beroksigen Penelitian tentang hubungan bahan bakar beroksigen yang dicampurkan terhadap minyak bensin maupun minyak solar telah mendapat perhatian banyak pihak. Bahan bakar yang mengandung oksigen sebagai tambahan disebut bahan aditif. Masalah besar pada mesin berbahan bakar diesel adalah emisi partikulat dan emisi gas NOx yang tinggi. Untuk menurunkan emisi ini maka penelitian tentang cara dan perbaikan bahan bakar diesel telah mendapat perhatian serius. Beberapa bahan organik mengandung oksigen telah dicampur dengan minyak 40 Universitas Sumatera Utara
solar dan efek campuran itu menunjukkan pengaruh pada penurunan emisi terutama pada partikulat. Usaha yang telah dilakukan pada awal adalah dengan mencampurkan metil ester turunan minyak kacang, asam dekanoat dan oktanol. Bahan yang diujikan 1-2% dalam campuran itu telah menunjukkan penurunan partikulat mencapai 10-15% tergantung pada struktur senyawa yang mengandung oksigen itu. Meskipun penurunan jumlah emisi partkulat terjadi, namun emisi gas NOx
terdapat peningkatan pada metil ester minyak kacang 2-
3%. Perlakuan dengan campuran asam dekanoat tidak memberi pengaruh pada kenaikan emisi gas NOx (Mc Cormick, R.L 1997). Teknologi seperti ini menunjukkan sifat pembakaran yang lebih sempurna sehingga dapat menurunkan emisi polutan secara umum. Pembakaran bahan biodiesel ini telah menurunkan emisi partikulat, CO dan UHC akan tetapi emisi gas NOX sedikit bertambah. Bahan aditif seperti metanol, metil tertier butil eter (MTBE) dan dimetilkarbonat (DMC) maupun asetal telah digunakan untuk meningkatkan kinerja bahan bakar bensin. DMC ini merupakan bahan turunan sumber terpebaharukan, telah digunakan sebagai bahan aditif pada solar. Penggunaan etanol 10% dalam campuran bensin telah menurunkan emisi hidrokarbon 24%, emisi CO 61% sedangkan dengan menggunakan DMC 5% dapat menurunkan emisi hidrokarbon 35%, beserta turunnya emisi CO 65%. Namun sebaliknya emisi gas CO2 naik 14,8% dengan memakai etanol 10% dan 18% dengan menggunakan DMC 5%. Adapun perubahan emisi gas NOX dengan aditif beroksigen tidak begitu nyata. Konsumsi bahan bakar memakai etanol dan DMC sebagai bahan aditif dilaporkan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan kalor bakar dengan bending bahan aditif ini menjadi lebih rendah dibanding tanpa blending(Wen, L 2010). Pengaruh penambahan asetal suatu senyawa dengan rumus 1, 1-diethoxy ethana CH3CH (OC2H5)2 telah diturunkan dari bahan etanol. 2 CH3 -CH2 -OH + CH3CHO
Katalis H3C
C
O CH3 H O
CH3
+ H 2O
41 Universitas Sumatera Utara
Katalis yang dipakai terbuat dari asam perfluorosulfonat dimuat pada silika disingkat (PFS-SiO2). Bahan asetal ini digolongkan dalam energi terpebarukan karena material ini berdasar pada bioetanol. Pengujian kinerja bahan ini sebagai aditif dilakukan dengan membandingkan bahan 1 % asetal diblending dengan minyak solar terhadap minyak solar murni. Kemudian diuji penurunan titik nyala dalam bahan itu dengan kenaikan kandungan oksigen dalam bahan blending itu. Titik nyala untuk blending berubah menurut kadar kandungan asetal. Minyak solar dengan kadar berturut-turut (100%)., 95% ., 90% dan 80% mempunyai titik nyala 73., 45., 32 dan 28 oC. Makin tinggi kadar asetal dalam bahan itu menunjukkan titik nyala yang semakin rendah. Untuk pengujian performansi mesin dilakukan dengan menggunakan blending 10% asetal yaitu bahan dengan titik nyala 32 oC dibandingkan dengan minyak 100%( titik nyala 73oC. Besaran emisi dari kedua jenis bahan bakar kemudian diukur. Pengaruh bahan aditif ini. pada bahan bakar solar terhadap emisi gas buang mesin berbahan bakar minyak diesel telah dianalisis. Emisi unburn hidrokarbon dan gas CO menunjukkan tidak ada perbedaan diantara penggunaan bahan bakar solar dengan bahan bakar blending 10% asetal. Asetal sebagai bahan beroksigen tinggi telah diharapkan akan berdampak pada menurunnya pembentukan asap. Emisi gas NOx buang
yang dihasilkan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sistim sirkulasi gas dari pada mutu bahan bakar yang digunakan, walaupun emisi yang
teramati bertambah. (Frusteri, F 2007). Bahan ini dapat bercampur baik dan berkinerja menurunkan emisi partikulat maupun emisi gas dibandingkan tanpa aditif, namun mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak. Selain itu emisi bahan asetaldehide meningkat empat kali lipat. Acetal disebut untuk 1, 1-diethoxy ethana maupun dimetil karbonat memiliki rantai yang pendek namun mengandung oksigen yang tinggi dan dapat cepat terurai sehingga menyebabkan kenaikan emisi asetaldehide. Ketidak stabilan bahan aditif diatas kemungkinan karena efek sinergi rantai pendek dengan rantai panjang parafin masih rendah. Untuk meningkatkan sifat sinergi itu maka perlu dibuat suatu molekul berantai panjang yang mengandung oksigen dan bercabang. 42 Universitas Sumatera Utara
Senyawa yang dimaksud ini dapat diturunkan dari oleat, linoleat maupun risinoleat yang berbahan baku renewable dengan reaksi karbonilasi. Proses pembuatan asam oleat dari minyak kelapa sawit melalui reaksi transesterfikasi sebagaimana dengan proses oleokimia. Hasil transesterifikasi berupa metil ester campuran dan mengandung sedikit glisrida. Untuk mendapatkan metil oleat perlu pemurnian dalam beberapa langkah yang meliputi destilasi vakum yang menggunakan bahan pemantap maupun tanpa pemantap. Kemurnian tinggi dapat diperoleh dengan fraksinasi rekristalisasi dalam urea-metanol mulai dalam bentuk metil ester kemudian dilakukan dalam bentuk asam lemak hingga diperoleh kadar asam oleat 85-95%. Asam oleat ini kemudian direaksikan dengan gas CO menggunakan katalis PdCl2/CuCl2 bersama SiO2 aerosil, sehingga diperoleh campuran hasil reaksi. Isolasi hasil reaksi dilakukan seperti prosedure yang dilaporkan (Bangun, N dan Siahaan, D 2007). Dimetil ester ini dipakai sebagai bahan aditif bersama metil ester campuran dan dibelending dengan petrodiesel. Sedian bahan bakar ini diuji performance mesin dan emisi gas yang dihasilkan. Sebagaimana metode isolasi asam oleat maka isolasi risinoleat dilakukan dari minyak jarak risinus. Cara yang dilakukan umumnya mengikuti proses yang dilaporkan Berdeaux (Berdeaux, O 1997). Dengan metode ini metil risinoleat dapat diperoleh dengan kemurnian 97,3%. Diharapkan hasil karbonilasi dapat menghasilkan dimetil ester rantai panjang bercabang mengandung 5 atom oksigen dengan struktur dibawah ini. H3C
(CH2)5 CH OH
CH2 CH
H3C
(CH2)5
CH
(CH2)7
CH O
CH3OH/H2SO4
COOCH3 + CO
CH2 CH CH2 (CH2)7 COOCH3(lakton cincin -5) C=O
H3C
(CH2)5 CH CH2 CH CH2 (CH2)7 COOCH3 OH COOCH3 dimetil ester bercabang dengan 5 atom oksigen
Jika bahan baku dimulai dengan 2 buah ikatan rangkap seperti metil linoleat, maka akan dihasilkan trimetil ester bercabang mengandung 6 atom oksigen. 43 Universitas Sumatera Utara