BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Corporate Social Responsibility 2.1.1.1. Definisi Corporate Social Responsibility The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam Solihin (2008), mendefinisikan CSR “the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large” Didefinisikan sebagai komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berperilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para pekerja dan keluarganya demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas. Menurut Kotler dan Lee (2005) dalam Solihin (2008) “Corporate Social Responsibility is a commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources”
11
12
Kotler dan Lee menekankan pada kata discretionary yang berarti CSR sematamata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-undangan seperti pajak atau ketenagakerjaan. Menurut Ghana (2006) dalam Hadi (2011) CSR is about capacity building for sustainable likelihoods. It respects cultural differences and finds the business oppurtunities in building the skills of employees, the community and the government. ….corporate social responsibility (CSR) is about business giving back to society” Ghana menjelaskan bahwa sesungguhnya CSR memberikan kapasitas dalam membangun corporate building menuju terjaminnya going concern perusahaan. Termasuk didalamnya upaya peka (respect) terhadap adopsi sistematik berbagai budaya (kearifan lokal) ke dalam strategi bisnis perusahaan, termasuk keterampilan karyawan, masyarakat dan pemerintah. Satu terobosan besar perkembangan konsep CSR dikemukakan oleh John Eklington (1977) dalam Hadi (2011) yang terkenal dengan “The Triple Bottom Line“. Konsep ini mengakui bahwa jika perusahaan ingin sustain maka perlu memperhatikan 3P, yaitu bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif pada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
13
Profit, merupakan satu bentuk tanggungjawab yang harus dicapai perusahaan, bahkan mainstream ekonomi yang dijadikan pijakan filosofis operasional perusahaan, profit merupakan orientasi utama perusahaan. (Hadi 2011) People, merupakan lingkungan masyarakat (community) di mana perusahaan berada. Mereka adalah para pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan. Dengan demikian, community memiliki interrelasi kuat dalam rangka menciptakan nilai bagi perusahaan. Hampir tidak mungkin, perusahaan mampu menjalankan operasi secara survive tanpa di dukung masyarakat sekitar. Disitulah letak terpenting dari kemauan dan kemampuan perusahaan mendekatkan diri dengan masyarakat lewat strategi social responsibility. (Hadi 2011) Planet, merupakan lingkungan fisik (sumber daya fisik) perusahaan. Lingkungan fisik memiliki signifikansi terhadap eksistensi perusahaan. Hubungan perusahaan dengan alam yang bersifat sebab akibat. Kerusakan lingkungan, eksploitasi tanpa batas keseimbangan, cepat atau lambat akan menghancurkan perusahaan dan masyarakat. (Hadi 2011)
2.1.1.2. Prinsip CSR Menurut Crowther David (2008) dalam Hadi (2011) terdapat 3 prinsip CSR: 1. Sustainbility Sustainability
berkaitan
dengan
bagaimana
perusahaan
dalam
melakukan aktivitas tetap memperhitungkan keberlanjutan sumberdaya di masa depan. Keberlanjutan juga memberikan arahan bagaimana penggunaan
14
sumberdaya
sekarang
tetap
memperhatikan
dan
memperhitungkan
kemampuan generasi masa depan. Sehingga sustainability berputar pada keberpihakan dan upaya bagaimana society memanfaatkan sumberdaya agar tetap memperhatikan generasi masa depan. 2. Accountability Accountability
merupakan
upaya
perusahaan
terbuka
dan
bertanggungjawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan ketka aktivitas perusahaan memengaruhi dan dipengaruhi lingkungan eksternal. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas perusahaan pada pihak eksternal dan internal (Crowther & David, 2008). Akuntabilitas dapat dijadikan sebagai media perusahaan dalam membangun image dan network terhadap para pemangku kepentingan. Menurut Hadi (2009) tingkat keluasan dan keinformasian laporan perusahaan memiliki konsekuensi
sosial
maupun
ekonomi.
Tingkat
akuntabilitas
dan
tanggungjawab perusahaan menentukan legitimasi stakeholder eksternal, serta meningkatkan transaksi saham perusahaan. 3. Transparency Transparency merupakan prinsip penting bagi pihak eksternal. Transparansi bersinggungan dengan pelaporan aktivitas perusahaan berikut dampak terhadap pihak eksternal. David (2008) menyatakan Transparency, as a principle, means that the external impact of the actions of the organization can be ascertained from that organization’s reporting and pertinent facts or not disguised within
15
that reporting. .....the effect of the action of the organization including external impact, should be apparent to all from using the information provided by the organization’s reporting mechanism Artinya, prinsip transparansi berarti dampak eksternal dari aktivitas organisasi dapat diketahui dari pelaporan organisasi dan tidak ada fakta yang disembunyikan dalam pelaporan tersebut. Dampak eksternal organisasi harus jelas bagi semua pihak, dengan menggunakan informasi yang berasal dari mekanisme pelaporan organisasi tersebut. Transparansi merupakan satu hal yang amat penting bagi pihak eksternal, berperan untuk mengurangi asimetri informasi, kesalahpahaman, khususnya informasi dan pertanggungjawaban berbagai dampak pada lingkungan.
2.1.1.3. Teori CSR Berbagai teori telah digunakkan untuk menjelaskan praktik tanggungjawab sosial perusahaan. Penelitian ini menggunakan teori legitimasi, stakeholder, dan kontrak sosial dalam menjelaskan praktik CSR. 1. Teori Legitimasi Legitimasi merupakan keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik fisik maupun non fisik. O’Donovan (2002) dalam Hadi (2011) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat
16
kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat.
Dengan
demikian,
legitimasi
merupakan
manfaat
atau
sumberdaya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern). Menurut Gray et. al, (1996) dalam Hadi (2011) berpendapat bahwa legitimasi merupakan “ ....a systems-oriented view of organisation and society ...permits us to focus on the role of information and disclosure in the relationship between organisations, the state, indivisuals and group”. Definisi tersebut mengisyaratkan, bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat. Menurut Haniffa et al., dalam Sayekti dan Wondabio (2007), dalam legitimacy theory perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan tersebut dengan masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan tersebut menjalankan merupakan
setiap salah
aktivitasnya. satu
teori
Dengan
yang
demikian,
mendasari
teori
legitimasi
pengungkapan
CSR.
17
Pengungkapan
tanggung
jawab
sosial
perusahaan
dilakukan
untuk
mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat. 2. Teori Stakeholder Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat memengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Misalnya pemerintah, pesaing,
masyarakat,
lingkungan
internasional,
lembaga
pemerhati
lingkungan, pekerja, dsb. Perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholder karena mereka adalah pihak yang berhubungan dengan aktivitas serta kebijakan yang diambil perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder. Teori
stakeholder menjelaskan bahwa perusahaan tidak saja
bertanggungjawab pada para pemilik (shareholder), namun lebih luas lagi sampai pada sosial kemasyarakatan (stakeholder). Sehingga tanggungjawab perusahaan tidak hanya diukur pada indikator ekonomi (economic focused) dalam laporan keuangan, tapi juga memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholder internal dan eksternal. Esensi teori stakeholder tersebut di atas jika ditarik interkoneksi dengan teori legitimasi yang mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya
18
mengurangi expectation gap dengan masyarakat (publik) sekitar guna meningkatkan legitimasi (pengakuan) masyarakat, ternyata terdapat benang merah. Untuk itu, perusahaan hendaknya menjaga reputasinya yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula semata-mata diukur dengan economic measurement
yang cenderung shareholder (para pemilik)
orientation, ke arah memperhitungkan faktor sosial (social factors) sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan terhadap masalah sosial kemasyarakatan (stakeholder orientation). Hadi (2011) 3. Teori Kontrak Sosial Kontrak sosial muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial masyarakat, agar terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, termasuk terhadap lingkungan. Perusahaan merupakan kelompok orang yang memiliki kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersama, adalah bagian dari masyarakat dalam lingkungan yang lebih besar. Keberadaannya sangat ditentukan oleh masyarakat, dimana diantara keduanya saling memengaruhi. Untuk itu agar terjadi keseimbangan, maka perlu kontrak sosial baik secara implisit dan eksplisit sehingga terjadi kesepakatan yang saling melindungi kepentingan masing-masing. Social contract dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk menjelaskan hubungan antara perusahaan terhadap masyarakat (society). Di sini, perusahaan (ataupun organisasi bentuk lainnya) memiliki kewajiban
19
kepada masyarakat untuk memberi kemanfaatan bagi masyarakat setempat. Interaksi perusahaan (organisasi) dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat (community norm), sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimat (Deegan, 2000 dalam Hadi (2011)
2.1.1.4. Pengungkapan CSR Gray et.al. dalam Devina, Suryanto dan Zulaika (2004) mengelompokkan teori yang digunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan tanggung jawab sosial ke dalam tiga studi yaitu: 1. Decisions Usefullness Studies Informasi akutansi tidak terbatas pada informasi akuntansi tradisioanal yang telah dikenal selama ini, namun juga informasi lain yang relatif baru dalam wacana akuntansi. Mereka menempatkan informasi aktivitas sosial perusahaan pada posisi yang moderately important untuk digunakan sebagai pertimbangan oleh para users dalam pengambilan keputusan. 2. Economic Theory Studies Studi ini menggunakan agency theory, dimana teori tersebut membedakan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas segala sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan. Selanjutnya, frase pemilik perusahaan mengalami
20
perkembangan lebih lanjut, tidak hanya pemilik modal (shareholder), tetapi juga meluas ke unsur stakeholders lainnya, yaitu karyawan, masyarakat luas dan pemerintah. 3. Social and Political Theory Studies Studi di bidang ini menggunakan dua teori utama, yaitu: pertama, stakeholder theory yang mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders.Fokus utama dalam teori ini yaitu bagaimana
perusahaan
memonitor
dan
merespon
kebutuhan
para
stakeholders-nya. Kedua, legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan harus dapat menyesuaikan diri dengan sistem nilai yang telah diterapkan masyarakat. Usaha perusahaan antara lain diwujudkan melalui pengungkapan sosial.
Pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009). Setiap pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan berfokus pada pencapaian laba di samping itu juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh PSAK No.1 (Revisi 2009) Paragraf 12 tentang Penyajian Laporan Keuangan: “Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang
21
peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan.” Standar ini menunjukkan bahwa perusahaan yang ada di Indonesia diberi suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, yang diundangkan dan diberlakukan pemerintah pada tanggal 16 Agustus 2007, mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pelaporan tersebut merupakan pencerminan dari perlunya akuntabilitas perseroan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga para stakeholders dapat menilai pelaksanaan kegiatan tersebut. Menurut Solihin (2008) terdapat 3 dampak operasi perusahaan yang dilaporkan dalam pelaporan CSR. 1.
Dampak ekonomi, berkaitan dengan bagaimana operasi perusahaan akan memengaruhi para pemangku kepentingan dan sistem ekonomi lokal, nasional, dan pada tingkat global.
2.
Dampak lingkungan, diantaranya adalah dampak yang diakibatkan oleh pemakaian input produksi, output produksi, yang diakibatkan oleh perusahaan.
22
3.
Dampak sosial, diantaranya berkaitan dengan hak asasi manusia, tenaga kerja, masyarakat, dan tanggung jawab produk.
Menurut Belkaoui (2000) tujuan perusahaan melakukan pengungkapan pengungkapan ada enam yaitu: 1.
Untuk menjelaskan item-item yang diakui dan untuk menyediakan ukuran yang relevan bagi item-item tersebut, selain ukuran dalam laporan keuangan
2.
Untuk menjelaskan item-item yang belum diakui dan untuk menyediakan ukuran yang bermanfaat bagi item-item tersebut
3.
Untuk menyediakan informasi yang dapat membantu investor dan kreditor dalam menentukan resiko dan item-item yang potensial untuk diakui dan yang belum diakui
4.
Untuk menyediakan informasi penting yang dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk membandingkan antar perusahaan dan antar tahun
5.
Untuk menyediakan informasi mengenai aliran kas masuk dan aliran kas keluar di masa mendatang
6.
Untuk membantu investor dalam menetapkan return dan investasinya
23
2.1.1.5. Motif Perusahaan Mengungkapkan CSR Berbagai alasan yang mendasari perusahaan melakukan pengungkapan sosial, antara lain: (Harahap, 1993 dalam Hadi 2011) 1.
Keterlibatan sosial perusahaan terhadap masyarakat yang merupakan respon tanggungjawab sosial perusahaan
2.
Keterlibatan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengurangi dampak polusi
3.
Meningkatkan nama baik perusahaan, simpati masyarakat,karyawan dan investor
4.
Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi masyarakat
5.
Meningkatkan respon positif norma dan nilai masyarakat
6.
Sesuai dengan kehendak investor
7.
Membantu program pemerintah seperti konservasi, pelestarian budaya, peningkatan pendidikan, lapangan kerja, dsb.
Menurut Hadi (2011) sebagai bentuk strategi perusahaan, keuntungan peruahaan melakukan pengungkapan atas biaya sosial yang telah dikeluarkan perusahaan antara lain: 1.
Menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar
2.
Transparansi
3.
Wujud social responsibility (SR)
4.
Membangun image perusahaan
24
5.
Membangun image terhadap mutual fund dan shareholder
6.
Mendukung tingkat kembalian investasi
7.
Membangun image terhadap investor supaya investasi saham lebih aman
Menurut Hadi (2011) terdapat 2 pijakan perusahaan dalam melaksanakan dan mengungapkan tanggungjawab sosial, yaitu motive approach dan system approach. Motive approach, berarti praktik tanggungjawab sosial dan pengungkapan didasarkan motif tertentu pada perusahaan, baik secara sosial maupun ekonomi. Motive approach menumbuhkan praktik tanggungjawab sosial menjadi volunteer sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan perusahaan. Umumnya perusahaan melakukan praktik tanggungjawab dan pengungkapan sosial didasarkan pendekatan ini. (Hadi, 2011) System approach, maksudnya bahwa perusahaan melakukan pengeluaran sosial termasuk pengungkapannya muncul sebagai akibat adanya tuntutan dan pengkondisian suatu sistem yang ada. Sistem ini dapat berupa aturan dan kebijakan yang harus dipatuhi oleh perusahaan yang memiliki dampak tertentu jika tidak dipatuhi, baik yang tumbuh dari penetapan manajemen yang merupakan translasi code of conduct, visi dan misi perusahaan serta strategi perusahaan yang ternormakan, maupun peraturan yang timbul dari pihak luar seperti pemerintah (misal UU. No. 40 Tahun 2007), standar, peraturan pasar modal, SAK, adat istiadat masyarakat maupun konvensi. Sehingga pelanggaran terhadap pelaksanaan kinerja
25
sosial dan pengungkapan sosial akan berimplikasi tertentu terhadap perusahaan. (Hadi, 2011)
2.1.2. Nilai Perusahaan 2.1.2.1. Pengertian Nilai Perusahaan Rika dan Ishlahuddin (2008) dalam Djuitaningsih & Martatilova (2012), mendefinisikan nilai perusahaan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi keuntungan pemegang saham sehingga keadaan ini akan diminati oleh investor karena dengan permintaan saham yang meningkatkan menyebabkan nilai perusahaan juga akan meningkat. Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para pemegang saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya, seperti manajer maupun komisaris. Menurut Prasetyorini (2013), nilai perusahaan tercemin dari harga saham yang stabil, yang dalam jangka panjang mengalami kenaikan, semakin tinggi harga saham maka semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli (investor) apabila perusahaan tersebut dijual. Sehingga dalam menjelaskan nilai perusahaan digunakan perbandingan nilai pasar dan nilai buku perusahaan.
26
Salah satu aspek pengukuran nilai perusahaan menurut Wahyudi dan Pawestri (2006) adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki. Menurut Van Horne (2002) “Value is respresented by the market price of the company’s commom stock which in turn, is afunction of firm’s investement, financing and dividend decision.” Harga pasar saham menunjukkan penilaian sentral di semua pelaku pasar, harga pasar saham merupakan barometer kinerja perusahaan. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham yang juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset (Susanti, 2010). Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para pemegang saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya, seperti manajer maupun komisaris (Hadi, 2011). Perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat meningkatkan nilai perusahaan (Rachman dan Maghviroh, 2011). Menurut Porter (2005) dalam Djuitaningsih & Martatilova (2012) perusahaan dapat menggunakan informasi tanggungjawab sosial sebagai keunggulan kompetitif perusahaan. Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan dan sosial yang baik akan direspon positif oleh investor melalui peningkatan harga saham.
27
Tujuan utama perusahaan adalah untuk mendapatkan laba dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, akan tetapi tujuan perusahaan bukan hanya untuk mendapatkan laba saja, meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham merupakan tujuan perusahaan juga. Secara umum menurut Slamet Sugiri (1998) dalam Pertiwi (2010) mengatakan bahwa banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah : 1.
Pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price earnings ratio.
2.
Pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas.
3.
Pendekatan deviden antara lain pertumbuhan deviden.
4.
Pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva.
5.
Pendekatan harga saham.
Nilai perusahaan dapat dilihat melalui nilai pasar atau nilai buku perusahaan dari ekuitasnya. Dalam neraca keuangan, ekuitas menggambarkan total modal perusahaan. Selain itu, nilai pasar bisa menjadi ukuran nilai perusahaan. Penilaian terhadap perusahaan tidak hanya mengacu pada nilai nominal (Pertiwi, 2010).
2.1.2.2. Penilaian Nilai Perusahaan 2.1.2.2.1. Berdasarkan Pandangan Manajer Perusahaan Menurut Prasetyo (2011) penilaian (valuation) perusahaan dikenal dengan istilah corporate valuation merupakan metode penilaian kondisi perusahaan saat ini
28
dan estimasi beberapa tahun kedepan. Masih menurut Prasetyo, bagi para manajer perusahaan dapat melakukan valuasi dengan tepat, ada beberapa falsafah dasar yang perlu dipahami: 1. Keakuratan data keuangan historis. Keakuratan data dalam laporan keuangan mutlak diperlukan agar nilai yang diperoleh dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. 2. Dimensi nilai waktu dari uang. Jika valuasi dilakukan untuk beberapa tahun ke depan, maka seorang penilai perlu mempertimbangkan penggunaan konsep nilai waktu dari uang. 3. Transparansi dan obyektivitas. Valuasi sangat memerlukan transparansi dan obyektivitas dari penilai. Banyaknya asumsi yang harus dibangun terkadang membuat hasil valuasi kehilangan obyektivitasnya. Tanpa adanya kedua unsur tersebut maka nilai yang dihasilkan tidak akan merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya. 4. Refleksi hasil kuantitatif. Pada fase ini tak jarang penilai memiliki refleksi yang berbeda atas hasil perhitungan yang sama, sehingga untuk meminimalisisr hal tersebut para penilai perlu memahami seluk beluk setiap rumus yang digunakan. 5. Dimensi waktu dari hasil valuasi. Dewasa ini perlu dilakukan perhitungan nilai perusahaan secara periodik, karena nilai perusahaan dapat berubah secara signifikan akibat dinamika faktor-faktor ekonomi yang memengaruhinya.
29
Menurut Prasetyo (2011) dengan mengetahui nilai perusahaan yang sesungguhnya dapat memberikan keuntungan sebagai berikut ; (1) dapat memperjelas langkah manajemen, (2) manajemen dapat memahami kinerja yang telah dicapai, (3) dapat memperhitungkan potensi di masa yang akan datang, (4) untuk mengukur efektivitas setiap kebijakan manajemen, (5) dapat dijadikan bahan perbandingan dengan tahun sebelumnya, sehingga manajemen dapat memberikan keputusan yang lebih baik bagi perusahaan, (6) dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk keperluan investasi dan pendanaan. Valuasi perusahaan memegang peranan penting dalam berbagai keputusan manajerial, mulai dari keputusan investasi, pendanaan, dividen, hingga stabilitas arus kas. Dengan demikian pemahamanatas model dan prosedur penilaian sangat menentukan keakuratan hasil. Melakukan valuasi perusahaan berarti mngukur tidak hanya kekayaan (aset) tetapi juga keterkaitannya dengan utang dan ekuitas (Prasetyo, 2011).
2.1.2.2.2. Berdasarkan Pandangan Para Investor Selain yang telah disebutkan diatas, pengukuran nilai perusahaan juga dapat dihitung berdasarkan rasio Tobins Q (Martatilova, 2012). Tobin’s q telah dibandingkan dengan Altman Z-score sebagai indikator lain yang layak untuk dijadikan sebagai indikator pengukur ekonomi perusahaan (Sudiyatno dan Puspitasari, 2010).
30
Menurut Sudiyatno dan Puspitasari (2010) Tobin’s q adalah gambaran statistik yang berfungsi sebagai proksi dari nilai perusahaan dari perspektif investor. Secara sederhana, Tobin’s q adalah pengukur kinerja dengan membandingkan dua penilaian dari asset yang sama. Tobin’s q merupakan rasio dari nilai pasar asset perusahaan yang diukur oleh nilai pasar dari jumlah saham yang beredar dan hutang (enterprise value) terhadap replacement cost dari aktiva perusahaan (Fiakas, 2005 dalam Sudiyatno dan Puspitasari, 2010). Apabila perusahaan memiliki nilai lebih besar dari nilai dasar sebelumnya, maka akan memiliki biaya untuk meningkatkan kembali, dan laba kemungkinan akan didapatkan. Berdasarkan pemikiran Tobin, bahwa insentif untuk membuat modal investasi baru adalah tinggi ketika surat berharga (saham) memberikan keuntungan di masa depan dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dari biaya investasinya (Fiakas, 2005 dalam Sudiyatno dan Puspitasari, 2010). Tobin’s q telah digunakan khusus oleh perusahaan-perusahaan manufaktur untuk menjelaskan sejumlah fenomena perusahaan yang beragam. Hal ini telah mensyaratkan mengenai: (a) perbedaan cross-sectional dalam pengambilan keputusan investasi dan diversifikasi (b) hubungan antara kepemilikan ekuitas manajer dan nilai perusahaan (c) hubungan antara kinerja manajer dan keuntungan penawaran tender, peluang investasi dan tanggapan penawaran tender, dan (d) pembiayaan, dividen, dan kebijakan kompensasi (Chung and Pruitt, 1994 dalam Wolfe & Sauaia, 2003). Tobin’s q sebagai salah satu indikator pengukur variabel kinerja perusahaan dari perspektif investasi telah diuji di berbagai situasi manajemen puncak (Wolfe, and
31
Sauaia, 2003) dan Tobin’s q telah dibandingkan dengan Altman Z-score sebagai indikator lain yang layak untuk dijadikan sebagai indikator pengukur ekonomi perusahaan.
Tobin’s q juga digunakan oleh Klapper dan Love (2002) dalam
Sudiyatno dan Puspitasari (2010) yang menemukan adanya hubungan positif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan. Selain itu penelitian lain menganai nilai perusahaan juga menggunakan Tobin’s q, diantaranya Djuitaningsih & Martatilova (2012), Tobin’s q sebagai indikator pengukur nilai perusahaan telah banyak digunakan dalam penelitian keuangan, khususnya penelitian yang mengambil permasalahan nilai perusahaan (Sudiyatno dan Puspitasari, 2010). Tobin’s q digunakan sebagai indikator untuk mengukur kinerja perusahaan, khususnya tentang nilai perusahaan, yang menunjukkan suatu proforma manajemen dalam mengelola aktiva perusahaan. Nilai Tobin’s q menggambarkan suatu kondisi peluang investasi yang dimiliki perusahaan (Lang, et al 1989 dalam Sudiyatno dan Puspitasari, 2010). Nilai Tobin’q dihasilkan dari penjumlahan nilai pasar saham (market value of all outstanding stock) dan nilai pasar hutang (market value of all debt) dibandingkan dengan nilai seluruh modal yang ditempatkan dalam aktiva produksi (replacement value of all production capacity), maka Tobin’s q dapat digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan, yaitu dari sisi potensi nilai pasar suatu perusahaan. Z-score dikembangkan oleh Edward I Altman, Ph.D, seorang professor dan ekonom keuangan dari New York University’s Stern School of Business pada tahun 1968. Z-score merupakan bentuk dari analisis kinerja perusahaan yang menggunakan
32
angka rasio-rasio keuangan yang dikombinasikan dalam suatu bentuk persamaan matematis. Berbeda dengan Tobin’s q, maka Altman Zscore sebagai pengukur kinerja perusahaan digunakan untuk memprediksikan kecenderungan kebangkrutan atau ketidakbangkrutan sebuah perusahaan. Altman Z-score telah digunakan dalam penelitian sebagaimana didefinisikan dalam presentasi aslinya (Altman, 1983 dalam Sudiyatno dan Puspitasari, 2010). Altman memulai dengan 22 rasio yang tampaknya secara intuitif masuk akal sebagai predictor kebangkrutan. Setelah berjalan, dia kecualikan rasio yang menyumbang kontribusi paling sedikit setidaknya untuk penguatan model. Pada akhirnya, menghasilkan sebuah model persamaan matematis yang hanya mengandung lima unsur rasio. Nilai tersebut (Z-score) diperoleh dari penjumlahan hasil perkalian suatu nilai konstanta tertentu masing-masing dengan 5 unsur rasio; working capital to total assets, retairned earning to total assets, earning before interest and tax to total assets, market value to book value of total debt, and total revenue to total assets. Rasio-rasio tersebut menggambarkan rasio dari kemampuan manajemen di dalam mengelola aktiva perusahaan, sehingga Altman Z-score dapat juga digunakan sebagai mengukur kinerja perusahaan, yaitu dari sisi potensi kebangkrutan suatu perusahaan.
2.1.3. Ukuran Perusahaan Penelitian ini menggunakan variabel moderating untuk memperjelas pengaruh antar variabel penelitian CSR Disclosure dan nilai perusahaan. Ukuran perusahaan
33
dipilih
sebagai
variabel
moderating
karena
dianggap
dapat
memperkuat
pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Menurut Prasetyorini (2013), ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara antara lain dengan total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain. Besar kecilnya perusahaan akan mempengaruhi kemampuan dalam menanggung risiko yang mungkin timbul dari berbagai situasi yang dihadapi perusahaan. Sedangkan menurut Kusuma (2005), size perusahaan dapat diukur dengan beberapa proksi: aktiva (asset), penjualan, jumlah pekerja dan nilai tambah (value added). Selain itu ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, maka semakin dikenal oleh masyarakat yang artinya semakin mudah untuk mendapatkan informasi yang akan meningkatkan nilai perusahaan. Bahkan perusahaan besar yang memiliki total aktiva dengan nilai aktiva yang cukup besar dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Dalam hal ukuran perusahaan dilihat dari total assets yang dimiliki oleh perusahaan, yang dapat dipergunakan untuk kegiatan operasi perusahaan. (Prasetyorini 2013) Menurut Azlina et al. (2011), perusahaan yang berukuran besar lebih diminati oleh para analis dan broker, karena perusahaan tersebut cenderung mudah mempublikasikan laporan keuangan dan cenderung berada dalam posisi kinerja yang
34
stabil. Ukuran perusahaan yang besar akan membuat harga saham perusahaan berada pada posisi kuat dan penguatan pada besarnya ukuran perusahaan akan membuat harga saham yang bersangkutan menguat di pasar modal.
2.1.4. Corporate Social Responsibility dan Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap suatu perusahaan dengan indikator harga saham. Ketika perusahaan dinilai baik oleh investor, harga saham dan nilai perusahaan akan naik. Hal yang dapat membentuk persepsi investor terhadap perusahaan diantaranya adalah kinerja yang dihasilkan perusahaan. Perusahaan dengan kinerja baik tentunya akan dinilai baik pula oleh investor. Namun kinerja saja tampaknya belum cukup dalam membentuk persepsi investor. Terdapat perusahaan
yang
mengalami
peningkatan
kinerja
keuangan
namun
nilai
perusahaannya justru turun menunjukkan kemungkinan ada hal lain yang dipertimbangkan investor dalam menilai perusahaan. Pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan kemungkinan turut membentuk persepsi investor terhadap perusahaan, dimana perusahaan yang mengungkapkan CSR nya lebih luas akan dinilai lebih baik oleh para investor. Nurlela (2008) dalam Hermawan et al. (2012) menyatakan bahwa dengan adanya tanggung jawab sosial perusahaan yang baik, diharapkan harga saham
35
perusahaan akan meningkat dan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor. Menurut Hermawan et al (2012) The economic rationale theory juga menegaskan adanya dasar rasional ekonomi bagi seorang manajer suatu perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Oleh karena itu, item yang diungkapkan seorang manajer haruslah item yang merupakan core business dari suatu perusahaan agar pengungkapan tersebut berguna bagi para pembaca laporan keuangan yang berujung menaikkan nilai perusahaan. Menurut Djuitaningsih & Martatilova (2012), dengan adanya pengungkapan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) yang tinggi maka akan berakibat meningkatnya nilai perusahaan yang berorientasi pasar karena investor tertarik untuk berinvestasi pada perusahaaan yang tingkat pengungkapan tanggung jawab sosialnya tinggi. Penelitian terdahulu yang dilakukan untuk mencari pengaruh CSR Disclosure terhadap nilai perusahaan, diantaranya Djuitaningsih & Martatilova (2012) menemukan terdapat pengaruh signifikan antara pengungkapan CSR terhadap nilai perusahaan. Hermawan et al. (2012) dan Anwar & Mulyadi (2012) menyatakan tidak ada pengaruh signifikan antara pengungkapan CSR dan nilai perusahaan. Sedangkan Sarvaes & Tamayo (2012) menyatakan pengaruh CSR terhadap nilai perusahaan hanya terjadi di berbagai kondisi tertentu.
36
Berdasarkan berbagai uraian sebelumnya penulis beranggapan bahwa pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan. H1: CSR Disclosure berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan
2.1.5. Ukuran Perusahaan, Corporate Social Responsibility dan Nilai Perusahaan Pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan diharapkan dapat menaikkan harga saham dan nilai perusahaan. Namun luasnya pengungkapan yang dilakukan tiap perusahaan akan berbeda-beda tergantung berbagai faktor. Salah satu kondisi yang dapat meningkatkan luasnya pengungkapan yang dilakukan adalah ukuran perusahaan, dimana perusahaan dengan ukuran lebih besar akan melakukan lebih banyak pengungkapan, dan kemunkinan akan memiliki kemampuan lebih untuk menaikkan nilai perusahaan. Menurut Apria (2011) dalam Anwar & Mulyadi (2012) ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan implementasi CSR dalam perusahaan. Menurut Hermawan et al. (2012), perbedaan ukuran perusahaan seringkali memengaruhi luas pengungkapan corporate social responsibility yang dilakukan karena pada umumnya, perusahaan besar memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik, sehingga mampu untuk mengungkapkan lebih luas. Selain itu, perusahaan besar ingin meningkatkan nama baiknya agar tetap mendapat sorotan publik, oleh karena itu pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang luas mengakibatkan citra perusahaan yang lebih baik serta terhindar dari biaya-biaya politis.
37
Menurut Gusnardi et. al. (2012), semakin besar ukuran perusahaan, maka akan semakin luas pengungkapan CSR yang dilakukan. Karena perusahaan besar memiliki entitas yang banyak disorot oleh pasar maupun publik secara umum. Dengan mengungkapkan lebih banyak informasi dapat mewujudkan akuntabilitas publik. Hal ini berdampak pada pandangan positif para pengguna laporan keuangan terhadap kinerja perusahaan. Teori legitimasi menyatakan bahwa perusahaan yang besar berada pada pengawasan yang ketat dari masyarakat dibanding perusahaan kecil dan oleh karena itu merasa adanya tekanan untuk mengungkapkan informasi sosial lebih banyak untuk mendapat persetujuan atas tindakan mereka dan demi kelangsungan usahanya. (Azlina et. al. 2011). Menurut Azlina et al. (2011), Perusahaan yang berukuran lebih besar akan memiliki lebih banyak aktiva, sehingga perusahaan-perusahaan besar akan cenderung beroperasi pada tingkat yang maksimal. Perusahaan yang lebih besar seharusnya memiliki kesempatan yang lebih lebih besar pula untuk dapat mempertahankan harga saham dan bahkan menaikkan harga sahamnya di pasar. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya nilai perusahaan di mata investor. Penelitian terdahulu yang dilakukan Gusnardi, et al. (2012), menyatakan ukuran perusahaan berpengaruh pada pengungkapan CSR, namun penelitian Anwar & Mulyadi (2012), menyatakan tidak ada pengaruh antara ukuran perusahaan dengan
38
pengungkapan CSR. Sedangkan menurut Prasetyorini (2013), ukuran perusahaan berpengaruh positif pada nilai perusahaan Berdasarkan berbagai uraian sebelumnya, penulis beranggapan bahwa ukuran perusahaan sebagai variabel moderating dapat memperkuat pengaruh CSR Disclosure terhadap nilai perusahaan. H2: Ukuran Perusahaan memperkuat pengaruh CSR Disclosure terhadap Nilai Perusahaan
2.2. Kerangka Pemikiran Nilai perusahaan dengan indikator harga saham selalu mengalami perubahan. Harga saham yang naik menjadi indikator naiknya nilai perusahaan, sedangkan saat harga saham turun, nilai perusahaan juga turun. Nilai perusahaan yang tinggi akan meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini dikarenakan tingginya nilai perusahaan merupakan indikator kemakmuran para pemegang saham. Terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi naik turunnya nilai perusahaan, diantaranya pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Pengungkapan CSR dapat memengaruhi nilai perusahaan karena investor cenderung lebih berminat pada perusahaan dengan kualitas pengungkapan CSR yang tinggi. Pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan juga turut dipengaruhi faktor lain, misalnya ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan dapat meningkatkan luas
39
pengungkapan CSR perusahaan karena semakin besar ukuran perusahaan, seharusnya semakin banyak pula pengungkapan yang harus dilakukan perusahaan. Selain itu mengacu pada teori legitimasi, perusahaan yang besar akan lebih diperhatikan masyarakat sehingga mendapat tekanan untuk mengungkapkan informasi sosialnya lebih banyak demi menjaga keberlangsungan usahanya. Berdasarkan landasan teori dan berbagai penjelasan sebelumnya, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut.
CSR DISCLOSURE (X1)
NILAI PERUSAHAAN (Y)
UKURAN PERUSAHAAN (X2) Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
40
2.3. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya pengaruh antara variabel X1 (variabel independen) dan variabel Y (variabel dependen). Juga pengaruh variabel moderating X2 terhadap hubungan X1 dan Y. Hipotesis alternative (Hı dan H2) merupakan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Masing-masing hipotesis tersebut dijabarkan sebagai berikut : H1: CSR Disclosure berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan. H2: Ukuran Perusahaan memperkuat pengaruh CSR Disclosure terhadap Nilai Perusahaan