BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Stroke
II.1.1 Definisi Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013). Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark fokal serebral,spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan : •
Patologi, imaging atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu.
•
Atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥24 jam atau meninggal dan etiologis lainnya telah di eksklusikan (Sacco dkk,2013).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk,2013).
Universitas Sumatera Utara
II.1.2 Epidemiologi Insiden stroke bervariasi di berbagai Negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100 – 200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Insiden stroke pada pria lebih tinggi daripada wanita, pada usia muda, namun tidak pada usia tua. Rasio insiden pria dan wanita adalah 1,25 pada kelompok usia 55 – 64 tahun, 1,50 pada kelompok usia 65 – 74 tahun, 1,07 pada kelompok usia 75 – 84 tahun dan 0,76 pada kelompok usia diatas 85 tahun. Negara Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4,8 juta penderita stroke yang bertahan hidup (Goldstein dkk, 2006). Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita pada usia yang lebih muda tetapi tidak pada usia yang lebih tua. Perbandingan insiden pria dan wanita pada umur 55 – 64 tahun adalah 1,25; pada umur 65 – 74 tahun adalah 1,50; 75 – 84 tahun adalah 1,07; dan pada umur≥ 85 tahun adalah 0,76 (Rosamond dkk, 2007).
II.1.3 Faktor Resiko Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor – faktor yang dipertimbangankan sebagai resiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor resiko timbulnya stroke (Sjahrir, 2003) 1. Non modifiable risk factors
Universitas Sumatera Utara
a. Usia b. Jenis Kelamin c. Keturunan / genetik 2. Modifiable risk factors a. Behavioral risk factors Merokok Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah Alkoholik Obat – obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat kontrasepsi Aktifitas yang rendah b. Physiological risk factors Penyakit hipertensi Penyakit jantung Diabetes mellitus Infeksi/ lues, arthritis, traumatic, AIDS, lupus Gangguan ginjal Kegemukan (obesitas) Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan Kelainan anatomi pembuluh darah Stenosis karotis asimtomatik
Universitas Sumatera Utara
II.1.4 Klasifikasi Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 1999) I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : a. Stroke Iskemik Transient Ischemic Attack (TIA) Thrombosis serebri Emboli serebri b. Stroke Hemoragik Perdarahan intraserebral Perdarahan sub arachnoid II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Stroke in evolution c. Completed stroke III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah a. Sistem Karotis b. Sistem vetebrobasiler IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
Universitas Sumatera Utara
c. Lacunar Infarct (LACI) d. Posterior Circulation Infarct (POCI) V. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan krteria kelompok peneliti TOAST (Sjahrir, 2003) a. Aterosklerosis Arteri Besar Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan
oleh proses aterosklerosis.
Gambaran computed tomography (CT) sken kepala MRI menunjukkan adanya infrak di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar. b. Kardioembolisme Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari : 1. Resiko tinggi •
Prostetik katub mekanik
•
Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
•
Fibrilasi atrial
•
Atrial kiri / atrial appendage thrombus
•
Sick sinus syndrome
•
Miokard infark baru (< 4 minggu)
•
Thrombus ventrikel kiri
Universitas Sumatera Utara
•
Kardiomiopati dilatasi
•
Segmen ventrikular kiri akinetik
•
Atrial myxoma
•
Infeksi endokarditis
2. Resiko sedang •
Prolaps katub mitral
•
Kalsifikasi annulus mitral
•
Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
•
Turbulensi atrial kiri
•
Aneurisma septal atrial
•
Paten foramen ovale
•
Atrial flutter
•
Lone atrial fibrillation
•
Katub kardiak bioprostetik
•
Trombotik endokarditis non bacterial
•
Gagal jantung kongestif
•
Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
•
Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan)
c. Oklusi Arteri Kecil Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT sken/ MRI
Universitas Sumatera Utara
kepala normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di daerah batang otak atau subkortikal. d. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Menentukan 1. Non – Aterosklerosis Vaskulopati •
Non inflamasi
•
Inflamasi non infeksi
•
Infeksi
2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat Ditentukan
Universitas Sumatera Utara
II.1.5 Patofisiologi Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel – sel otak dan unsur – unsur pendukungnya (Misbach, 2007). Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang mengakibatkan kematian sel – sel otak dan infrak otak (Becker JU, dkk, 2010) Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemik terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Diluar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah panumbra iskemik, diluarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah panumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel – sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika
Universitas Sumatera Utara
tidak terjadi reperfusi, daerah panumbra dapat berangsur – angsur mengalami kematian (Misbach, 2007). Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003) Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan O2 c.
Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Tahap 2 : a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion b. Spreading depression Tahap 3 : Inflamsi Tahap 4 : Apoptosis Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%, batang otak 2% dan subrakhnoid 4% (Misbach, 2011) Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan subarakhnoid.Sedangkan berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
penyebabnya,
perdarahan
intraserebral
dibagi
menjadi
perdarahan
intraserebral primer dan sekunder. (Misbach 2011). Perdarahan
intraserebral
biasanya
timbul
karena
pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tibatiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000). Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000). Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak
atau
massa
pada
otak, sedangkan
pada
perdarahan
subrakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
kerusakan dinding arteri (arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma (Misbach, 2011).
II.2
Pneumonia
II.2.1. Defenisi Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.
Sedangkan
peradangan
paru
yang
disebabkan
oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
II.2.2. Epidemiologi Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 512% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah
Universitas Sumatera Utara
sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011).
II.2.3. Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia Infeksi Bakteri
Infeksi Atipikal
Infeksi Jamur
Streptococcus
Mycoplasma
Aspergillus
pneumoniae
pneumoniae
Haemophillus
Legionella
influenza
pneumophillia
Klebsiella
Coxiella burnetii
Candida
Chlamydia psittaci
Nocardia
Infeksi Virus
Infeksi Protozoa
Penyebab Lain
Influenza
Pneumocytis carinii
Aspirasi
Coxsackie
Toksoplasmosis
Pneumonia lipoid
Adenovirus
Amebiasis
Bronkiektasis
Histoplasmosis
pneumoniae Pseudomonas aeruginosa Gram-negatif (E. Coli)
Sinsitial respiratori
Fibrosis kistik
Dikutip dari Jeremy, P.T. 2007. At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-7.
Universitas Sumatera Utara
II.2.4. Patogenesis Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan
ini
disebabkan
oleh
adanya
mekanisme
pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidak seimbangan antara daya
tahan
tubuh,
mikroorganisme
dan
lingkungan,
sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit. Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui berbagai cara: a. Inhalasi langsung dari udara b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992). Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu (Supandi, 1992) a. Mekanisme pertahanan paru Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, refleks batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yang mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari
Universitas Sumatera Utara
saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik. b. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran napas akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi c. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius Saluran napas bawah dan paru berulang kali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa refleks batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral.
Universitas Sumatera Utara
II.2.5 Klasifikasi 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis : a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia) c. Pneumonia aspirasi d. Pneumonia pada penderita Immunocompromis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) 2. Berdasarkan bakteri penyebab a.Pneumonia bakterial / tipikal Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. b. Pneumonia atipikal, Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita
dengan
daya
tahan
lemah
(immunocompromised)
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
Universitas Sumatera Utara
a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan b.Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus d.
Pneumonia interstisial (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2003)
II.2.6. Faktor Resiko Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obatobatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi, penyakit virus yang baru terjadi
(misalnya
influenza),
malnutrisi,
setelah
operasi,
lingkungan,
pekerjaan (Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008).
II.2.7. Diagnosis II.2.7.1 Gambaran klinis a. Anamnesis
Universitas Sumatera Utara
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40ºC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) b. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
II.2.7.2 Pemeriksaan penunjang a. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis
etiologi,
misalnya
gambaran
pneumonia
lobaris
tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) II.2.7.3 Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
II.3 Pneumonia Pada Stroke Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering pada penderita stroke dan sebagai penyebab demam yang paling sering dalam 48 jam setelah seragan stroke. Pneumonia akan meningkatkan resiko kematian tiga kali lipat pada penderita stroke (Kumar S,2010 ). Penelitian Vermeij, dkk, 2009 menunjukkan bahwa infeksi sebagai komplikasi stroke yang terbanyak adalah pneumonia, dimana 7,5% adalah penderita pneumonia, dan ditemukan juga outcome yang jelek dalam 1 tahun 12 kali dan angka mortalitas 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dari penderita stroke yang tidak pneumonia.
Universitas Sumatera Utara
Kebanyakan pneumonia tersebut disebabkan sebagai akibat aspirasi yaitu terinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di faring ataupun ginggival ( Kumar S, 2010 ). Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan hospital acquired/ nasocomial pneumonia yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen infeksius dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit ( Rotstein C, dkk, 2008 ). Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada orang dewasa meliputi: -
Enterobacteriaceae
-
S. Aureus
-
S. Pneumoniae
-
H. influenza ( Marrie TJ, 2005 )
Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke akut dapat dilakukan sebagai berikut : -
Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi resiko pneumonia.
-
Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) diajurkan pada pasien gangguan menelan
-
Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan :
Universitas Sumatera Utara
•
Elevasi kepala 30 - 45º
•
Menghindari sedasi berlebihan
•
Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat pada pasien dengan intubasi dan trakeostomi
•
Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara enteral.
•
Menghindari pipa nasogastrik yang lama
•
Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia
•
Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur
•
Rehabilitasi fungsi menelan (PERDOSSI, 2011).
Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi : -
Pemberian antibiotik sesuai indikasi, antara lain : •
Tanpa komorbiditas : Macrolide (azitromisin, klaritromisin atau eritromisin) atau dosisiklin.
•
Disertai penyakit lain seperti diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, fluorokuinolon
penyakit
jantung
serta
(moksifloksasin,
imunosupresi
gemifloksasin
:
atau
levofloksasin) atau beta-laktam dengan macrolide. Alternatif lainnya
ceftriakson
dan
dosisiklin
sebagai
pengganti
macrolide. -
Fisioterapi (chest therapy) dengan spirometri, inhalasi ritmik dan menepuk – nepuk dada. (PERDOSSI, 2011 ).
Universitas Sumatera Utara
II..3.1
Faktor
Yang
Mempengaruhi
Terjadinya
Pneumonia
Pada
Penderita Stroke. Chumber, dkk, 2010 melakukan penelitian dan menghasilkan tiga level sistem skor untuk memprediksi terjadinya pneumonia pada stroke akut. Faktor – faktor yang dapat memprediksi terjadinya pneumonia pada penelitiannya meliputi adanya riwayat menderita pneumonia (nilai 4), disfagia (nilai 4) , nilai NIHSS yang tinggi pada saat masuk (NHISS≥ 2 nilai 3), penurunan kesadaran (nilai 3) dan usia lebih dari 70 tahun (nilai 2). Kemudian membagi menjadi 3 level, yaitu : nilai 0 memiliki resiko rendah terjadinya pneumonia pada fase akut (2,1%), nilai 1-3 memilki resiko sedang (4,2%) dan nilai ≥ 3 resiko tinggi (22,9%) (Chumbler, dkk, 2010) Penelitian Sellars, dkk, 2007 menghasilkan bahwa faktor – faktor berikut : usia > 65 tahun, disartria atau tidak dapat berbicara karena afasia, skor modified Rankin Scale ≥ 4, skor Abbreviated Mental Test <8 dan ketidak mampuan melakukan tes menelan air, jika ditemukan 2 atau lebih akan mendapatkan pneumonia dengan sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 75,6% (Sellars, dkk, 2007) Penelitian Martino, dkk, 2005 menyatakan bahwa disfagia juga merupakan prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga resiko terjadinya pne umonia semakin besar (Martino, dkk, 2005)
Universitas Sumatera Utara
II.4 Nasogastric Tube II.4.1. Definisi Selang Nasogastric atau NG tube adalah suatu selang yang dimasukkan melalui hidung sampai ke lambung. Sering digunakan untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan kepada seseorang yang tidak mampu untuk mengkonsumsi makanan, cairan, dan obat-obatan secara oral (Hollan, 2013).
II.4.2. Cara Pemasangan 1. Mintalah
persetujuan
pasien
sebelum
melakukan
tindakan
pemasangan nasogastric tube. Jelaskan kepada pasien tentang tujuan pemasangan, proses pemasangan, serta alat yang digunakan 2. Persiapkan alat dan bahannya. Setelah itu letakkan di tempat yang mudah dijangkau. 3. Cuci tangan rutin. Gunakan sarung tangan. 4. Posisikan pasien. Jika pasien dalam keadaan sadar, posisikan pasien setengah berbaring. Namun jika pasien dalam keadaan tidak sadar, posisikan pasien dalam keadaan berbaring, kepala diangkat sedikit atau diberi pengganjal agar lurus. 5. Perhatikan cavum nasi (rongga hidung) pasien, apakah ada polip, benda asing, yang menyebabkan sumbatan pada hidung 6. Pilihlah cavum nasi yang paling longgar untuk selang nasogastric tube masuk.
Universitas Sumatera Utara
7. Ukurlah panjang selang yang akan dimasukkan mulai dari puncak hidung ke telinga, lalu dari telinga ke Proc. Xiphoideus. Berikan tanda 8. Oleskan selang dengan jelly 9. Jepit selang dengan pinset dan masukkan perlahan ke dalam cavum nasi, jika terjadi tahanan, instruksikan pasien untuk menelan agar epiglottis terbuka. 10. Setelah selang nasogastric tube masuk mencapai tanda yang telah diukur tadi, ujilah apakah selang telah masuk ke dalam lambung dengan cara isilah udara ke dalam spoit 10cc lalu hembuskan secara cepat ke dalam selang nasogastric tube lalu dengarkan dengan stetoskop yang telah diletakkan pada epigastrium. Jika terdengar bunyi suara, berarti selang telah masuk ke dalam lambung. Tes ini wajib dilakukan karena ditakutkan nasogastic tube masuk ke dalam paru-paru yang dapat menyebabkan aspirasi. 11. Rekatkan nasogastric tube dengan menggunakan plester, plester jangan sampai menutupi rongga hidung. 12. Jika cairan lambung banyak yang keluar, maka berikanlah wadah penampungan .Selang harus diganti setiap 10 hari (London Health Sciences Center, 2006)
Universitas Sumatera Utara
II.4.3 Indikasi 1. Aspirasi cairan lambung 2. Untuk memasukkan nutrisi atau makanan bagi pasien yang sulit menelan. 3. Untuk mendiagnosis suatu penyakit 4. Bilas lambung pada keracunan (London Health Sciences Center, 2006)
II.4.4 KONTRAINDIKASI
1. Pasien dengan trauma servikal 2. Pasien dengan fraktur fasialis 3. Pasien dengan varises oesophagus (London Health Sciences Center, 2006) II.4.5 Komplikasi a. Komplikasi mekanis : -
Sonde tersumbat.
-
Dislokasi dari sonde, misalnya karena ketidak sempurnaan melekatnya sonde dengan plaster di sayap hidung.
b. Komplikasi pulmonal : -
Aspirasi, dikarenakan pemberian nasogastric tube feeding yang cepat
c. Komplikasi yang disebabkan oleh tidak sempurnanya kedudukan sonde.
Universitas Sumatera Utara
d. Komplikasi yang disebabkan oleh zat nutrisi
II.4.6 Pengaruh Nasogastric tube dengan Pneumonia Sebagaimana kita ketahui, penggunaan nasogastric atau percutaneus gastrostomy tube tidak selalu mencegah aspirasi. Faktanya, banyak pasien berlanjut ke aspirasi ketika menggunakan nasogastric dan percutaneus tube. Aspirasi dapat disebabkan dari bakteri pada rongga mulut pasien atau dari reflux of tube feeding (Speeech Pathology Resousrs. 2003). Penggunaan
nasogastric
tube
diketahui
sangat
signifikan
menyebabkan aspirasi pneumonia pada pasien stroke. Ketika nasogastric tube di pasang melalui oropharing, maka bahan dapat dengan mudah teraspirasi ke saluran nafas bagian bawah pada pasien disfagia dengan stroke (European Respiratory Journal, 2006). Pada nasogastric tube dapat menyebabkan penurunan reflek faring dan penurunan fungsi spingter oesophagus atas dan bawah. Kirsch dan Sanders mengemukakan nasogastric tube dapat menekan refleks batuk dan penumpukan sekresi di hipopharing yang menyebabkan aspirasi (Goodwin S Rose, 2009). Kemudian Leibovitz et al menemukan bahwa tingginya kejadian kuman gram negatif di oroparingeal pada pasien dengan menggunkan tabung makanan (nasogasric tube dan percutaneus tube) dibandingkan pasien dengan menggunakan oral (Mamun, dkk 2005)
Universitas Sumatera Utara
II.5 Screening Test Untuk Disfagia Disfagia sering terjadi pada penderita stroke, yang akan meningkatkan resiko aspirasi dan pneumonia. Screening
menelan merupakan langkah
awal untuk mengidentifikasi resiko disfagia dan aspirasi. Deteksi awal dari disfagia memungkinkan tindakan yang segera dalam penatalaksanaan, sehingga menurunkan morbiditas, masa rawatan dan biaya perawatan pasien (Daniels, 2012 ) Tes menelan air sebaiknya digunakan sebagai screening resiko terjadinya aspirasi pada penderita stroke. Cara melakukannya sebagai berikut : -
Penderita stroke yang akan dilakukan tes screening menelan harus bisa duduk tegak dan sadar setidaknya selama 15 menit. Jika tidak maka tes tidak dapat dilakukan dan penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut.
-
Periksa apakah rongga mulut penderita bersih atau tidak. Jika kotor, maka segera bersihkan.
-
Dudukkan penderita dan berikan satu sendok air sebanyak 3 kali. Letakkan jari di garis tengah dibawah laring dan rasakan saat penderita menelan. Kemudian perhatikan apakah ada tanda – tanda ketidak mampuan menelan, batuk, tersedak atau perubahan kualitas suara ( suruh penderita menyebut “aah” ). Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut.
Universitas Sumatera Utara
-
Selanjutnya penderita disuruh minum segelas air dan diamati tanda – tanda seperti sebelumnya. Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan /minum dari mulut.
-
Jika hal tersebut dapat dilakukan penderita stroke maka makanan / minuman dapat diberikan melalui mulut (Daniels, 2012).`
Universitas Sumatera Utara
II.6 Kerangka Teori Stroke Ak t Dziewas dkk, 2004: disfagia komplikasi yang sering pada stroke akut Disfagia
Langdon dkk, 2010 : disfagia berhubungan dengan tingginya komplikasi respiratori dan meningkatnya aspirasi pneumonia, dehidrasi dan gangguan nutrisi
PERDOSSI, 2011 :Pneumonia akibat disfagia
atau
gangguan
refleks
menelan, erat hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka tes refleks batuk perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi
pneumonia.
Pemberian
resiko pipa
Martino dkk, 2005 : disfagia merupakan prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga resiko terjadinya pneumonia semakin besar
nasogastrik segera ( dalam 48 jam ) diajurkan
pada
pasien
gangguan
Nasogastric tube Speech pathology research, 2003 : banyak pasien dengan menggunakan NGT dan percutaneus endoscopic tubes berlanjut terjadi aspirasi pneumonia
Dziewas R,dkk, 2004 : kurang lebih 18 bln, 100 pasien stroke akut dengan menggunakan tube feeding karena disfagia, 44% didapati pneumonia, Dimana pasien acquired pneumonia didapati pada hari ke dua atau ke tiga setelah onset stroke
Mamun K, dkk, 2005 : 122 pasien stroke, 31,2% aspirasi pneumonia dan meninggal dgn NGT & 10,3% dengan orally – feed
II.7 Kerangka Konsep Pneumonia
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara