BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Definisi Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013). Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark SSP adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan : •
Patologi, imaging atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu.
•
Atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥24 jam atau meninggal dan etiologis lainnya telah dieksklusikan (Sacco dkk, 2013).
II.1.2. Epidemiologi Insidensi stroke iskemik pertama kali pada 100.000 penduduk adalah 88 untuk kulit putih dan 191 pada kulit hitam, 149 pada hispanik,
9
dan ini berdasarkan data yang dikumpulkan kelompok studi Northern Manhattan Study (NOMAS) dan National Institutes of Neurological Disorders and Stroke (NINDS). Pada keseluruhan kulit hitam dibandingkan kulit putih kejadian stroke rata-rata: stroke dengan aterosklerosis intracranial 5,85; stroke dengan aterosklerosis ekstrakranial 3,18; stroke lakunar 3,09; stroke kardioemboli 1,58 (Roger dkk, 2011). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi stroke ini akan meningkat dari 1,1 juta di tahun 2000 menjadi 1,5 juta jiwa pada 2025, berdasarkan proyeksi populasi penduduk. Di Indonesia insiden stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun : 11,8%, usia 45-64 tahun : 54,2% dan usia lebih dari 65 tahun 33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan lanjut usia, yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari (Truelsen, 2006; Misbach dkk, 2011).
II.1.3 Faktor Resiko Faktor- faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (Sjahrir, 2003). 1. Non modifiable risk factors : a. Usia b. Jenis Kelamin c. Keturunan / genetik
2. Modifiable risk factors a. Behavioral risk factors 1. Merokok 2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, low fruit diet. 3. Alkoholik 4. Obat – obatan: narkoba (kokain), antikoagulansia, antiplatelet, obat kontrasepsi. b. Physiological risk factors 1. Penyakit hipertensi 2. Penyakit jantung 3. Diabetes mellitus 4. Infeksi/lues, arthritis, traumatic , AIDS, lupus 5. Gangguan ginjal 6. Kegemukan (obesitas) 7. Polisitemia, viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan 8. Kelainan anatomi pembuluh darah 9. Dan lain-lain.
II.1.4. Klasifikasi Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 2011).
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 1. Stroke iskemik a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Thrombosis serebri c. Emboli serebri 2. Stroke Hemoragik a. Perdarahan intraserebral b. Perdarahan subarachnoid II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu 1. Transient Ischemic Attack (TIA) 2. Stroke in evolution 3. Completed stroke III. Berdasarkan sistem pembuluh darah 1. Sistem karotis 2. Sistem vertebrobasiler IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu : 1. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) 2. Total Anterior Circulation Infarcy (TACI) 3. Lacunar Infarct (LACI) 4. Posterior Circulation Infarct (POCI) V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST (Sjahrir, 2003) 1. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gambaran computed tomography (CT) sken kepala MRI menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar. 2. Kardioembolisme Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari : a. Resiko tinggi • Prostetik katub mekanik • Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi • Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation) • Atrial kiri / atrial appendage thrombus • Sick sinus syndrome • Miokard infark baru (<4 minggu) • Thrombus ventrikel kiri • Kardiomiopati dilatasi • Segmen ventricular kiri akinetik • Atrial myxoma • Infeksi endokarditis b. Resiko sedang • Prolapsus katub mitral
• Kalsifikasi annulus mitral • Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial • Turbulensi atrial kiri • Aneurisma septal atrial • Patent foramen ovale • Atrial flutter • Lone atrial fibrillation • Katub kardiak bioprostetik • Trombotik endokarditis nonbacterial • Gagal jantung kongestif • Segmen ventrikuler kiri hipokinetik • Miokard infark (> 4minggu, < 6 bulan) 3. Oklusi Arteri Kecil Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT Sken/MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5 mm di daerah batang otak atau subkortikal. 4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Menentukan a. Non-aterosklerosis Vaskulopati • Non inflamasi • Inflamasi non infeksi • Infeksi
b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi 5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan
II.1.5. Patofisiologi Pada stroke iskemik, hilangnya perfusi ke otak dalam beberapa detik sampai menit menyebabkan terjadinya kaskade iskemik yang menyebabkan gambaran pusat sentral area infark irreversible yang dikelilingi area penumbra (potensial reversible) (Gofir, 2009). Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi–fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemis akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsurangsur mengalami kematian. (Misbach, 2011)
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003): Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah otak. b. Pengurangan O2. c. Kegagalan energi. d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion. Tahap 2 : a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion. b. Spreading depression. Tahap 3 : Inflamasi Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut mempunyai pengaruh buruk yang memperberat bagi perkembangan infark serebri. Berbagai penelitian menunjukkan adanya perubahan kadar sitokin pada penderita stroke iskemik akut. Mikroglia merupakan makrofag serebral yang merupakan sumber sitokin utama di serebral. Sitokin adalah mediator peptida molekuler, merupakan protein atau glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu sel dan mempengaruhi sel lain dalam suatu proses inflamasi, contohnya limfokin dan interleukin (IL-1 beta, IL-6, IL-8, TNF-α) yang merupakan sitokin pro inflamatorik. Adanya IL-8 tersebut merupakan diskriminator terkuat yang membedakan kasus stroke dengan non stroke. Produksi sitokin yang berlebihan mengakibatkan plugging mikrovaskuler serebral dan pelepasan mediator vasokonstriktif endothelin sehingga
memperberat penurunan aliran darah, juga mengakibatkan eksaserbasi kerusakan blood brain barrier
dan parenkim melalui pelepasan enzim
hidrolitik, proteolitik dan produksi radikal bebas yang akan menambah neuron yang mati (Sjahrir, 2003; Harukuni dkk, 2006; Farhoudi M dkk, 2012). Tahap 4 : Apoptosis
II.2 C-Reactive Protein II.2.1. Pengenalan C – Reactive Protein C-Reactive Protein (CRP) pertama kali ditemukan tahun 1930 oleh William Tillet dan Thomas Francis. Pada penelitian darah pasien yang mengidap infeksi streptokokus pneumoni akut ditemukan serum yang membentuk presipitan dengan ekstrak dari bakteri streptokokus. Ekstrak ini mula-mula dinamakan fraksi C dan kemudian diketahui sebagai polisakarida. Oleh karena itu substansi dalam serum hasil dari reaktivitas C-polisakarida dari dinding sel streptokokus disebut CRP. Ikatan kalsium dari CRP yang berikatan dengan afinitas tinggi terhadap phosphocholine (unsur dasar membran sel phospholipid, phosphatidylcholine). Jika terjadi kerusakan sel maka phosphatidylcholine akan terekspos dan mudah terjangkau oleh CRP (Husain dkk, 2002; Semple dkk, 2006).
II.2.2. Struktur C- Reactive Protein (CRP) C – Reactive Protein merupakan protein fase akut dengan struktur homopentametric dan ikatan kalsium yang spesifik untuk phospocholine (PCh). C – Reactive
protein merupakan bagian dari family pentraxin
nonglikosilasi yang termasuk dalam “lectin fold superfamily”. Molekul human CRP terdiri dari 5 subunit polipeptida nonglikosilasi (promoter) yang berkeliling nonkovalen, tersusun secara cyclic pentametric simetris dan dirakit keliling dengan sebuah poros sentral dengan konfigurasi seperti sebuah piringan. Setiap subunit mempunyai massa 23,027 Da (terdiri dari 206 asam amino residu) dan secara keseluruhan massa human CRP adalah 115,135 Da (Pepys dkk, 2003;Hirschfield dkk, 2003). Lektin terdiri dari dua struktur lapisan protein β dengan dua ikatan kalsium dan mampu mengenali dan berikatan dengan fosfokolin residu dari fraksi polisakarida – C dari pemecahan Streptococcus pneumonia (Husain dkk, 2002; Semple dkk, 2006). Ikatan autolog termasuk native dan modified plasma lipoprotein, sel membran yang rusak, beberapa ikatan fosfolipid dan komponen yang terkait, partikel ribonucleoprotein kecil, dan sel apoptosis. Ikatan ekstrinsik terdiri dari beberapa glycan, fosfolipid, dan mikroorganisme pilihan seperti kapsular dan komponen somatik bakteri, fungi, parasit (Pepys dkk, 2003).
Gambar 1. Struktur CRP Keterangan Gambar : struktur Pentametric C-Reactive Protein (Di Napoli dkk, 2011) A. Menunjukkan penampang efektor (sisi tempat ikatan untuk C1q dan FcɣRs) dari pentamer C-reactive protein dengan heliks penghubung berwarna hijau. B. Penampang rekognisi (recognition face) Merupakan model gambaran Creactive protein yang menunjukkan sisi ikatan untuk molekul phospocholine (merah) dengan dua molekul kalsium (abu-abu) yang berlokasi pada sisi ikatan dari masing masing protomer pada penampang pengenalan, bagian tengah terdapat kantung hidrofobik pada tiap protomer. Dikutip dari : Di Napoli, M., Elkind, M. S., Godoy, D.A., Singh, P.,Papa, F., PopaWagner, A. 2011. Role of C-Reactive Protein in Cerebrovascular Disease. Expert Rev Cardiovasc Ther. 9(12):1565-1584.
II.2.3. Pembentukan C-Reactive Protein Pada orang dewasa yang sehat konsentrasi median dari CRP adalah 0,8mg/l dan persentil 90 adalah 3,0mg/l dan persentil 99 adalah 10mg/l namun akibat stimulus fase akut kadarnya dapat meningkat kurang dari 50µg/l sampai dengan 500 mg/l (kenaikan 10.000 kali). C-Reactive Protein disintesa dalam bentuk pecahan dari hepatosit predominan dibawah kendali transkripsi oleh cytokine IL-6 walaupun di bagian lain sintesa lokal dan sekresinya dapat terjadi. C-reactive protein
lalu
disekresikan kedalam sirkulasi darah. Sitokin menekan efek biologisnya
terhadap CRP dengan memberikan sinyal melalui reseptor pada sel hepatik dan mengaktivasi kinase dan phosphatase yang berbeda, mengarah pada translokasi dari berbagai faktor transkripsi pada gen promoter dan produksi dari CRP (Di Napoli dkk, 2011, Pepys dkk, 2003). Pembersihan CRP dari plasma dan katabolisme oleh hati serta plasma half life adalah sekitar 19 jam sama pada semua individu dan konstan pada semua kondisi sehat dan sakit. Perbedaan dari konsentrasi plasma adalah dalam hal kecepatan
sintesanya (Semple dkk, 2006;
Hirschfield dkk, 2003, Pepys dkk, 2003). Peningkatan CRP darah setelah jaringan mengalami cedera secara cepat, kadar dalam plasma meningkat 2 kali lipat tiap 8 jam dan kadar puncak pada 36-50 jam, walaupun ini sangat tergantung pada pencetus dan beratnya cedera (Di Napoli dkk, 2011; Roudbary dkk, 2011). Biomarker inflamasi C-Reactive Protein adalah protein reaktan fase akut yang diproduksi oleh hepatosit dibawah pengaruh sitokin. Regulasinya akan meningkat pada plak atheromatous yang mencetuskan pengambilan kolesterol LDL oleh makrofag yang merupakan langkah kunci dalam aterogenesis (Dewan dkk, 2011). Pada dekade terdahulu, CRP telah menjadi fokus investigasi untuk mengidentifikasi
peranannya
secara
kompleks
pada
penyakit
serebrovaskular sebelum pengenalan pemeriksaan high sensitivity (hs)CRP yang mampu mendeteksi kadar CRP yang rendah dalam darah (Roudbary dkk, 2011). High sensitivity-C Reactive Protein (hs-CRP) telah
digunakan sebagai biomarker resiko penyakit serebrovaskular, sebagai faktor risiko determinan dengan peranan kausal secara langsung pada patogenesis stroke dan sebagai prediktor outcome stroke baik jangka pendek maupun jangka panjang (Elkind dkk, 2010; Di Napoli dkk, 2011).
II.2.4. Faktor Yang mempengaruhi kadar C-Reactive Protein Pada subjek yang normal, CRP adalah suatu bentuk plasma protein. Di Amerika Serikat pernah dilaporkan bahwa nilai median CRP adalah 2mg/L pada usia 17 tahun keatas. Di Skotlandia dan Jerman ratarata konsentrasi CRP adalah 0,81 – 1,25mg/L. Dibandingkan benua Eropa kadar CRP basal lebih tinggi di Asia, namun penyebab dari perbedaan ini belum pasti. Pada individu normal tidak ada bukti perbedaan konsentrasi diurnal dari CRP baik pada pria maupun wanita ( Di Napolli dkk, 2011). C reactive protein yang standard digunakan untuk menilai proses inflamasi yang aktif yang kronis seperti artritis, menilai proses infeksi yang baru, dan monitoring respon pengobatan terhadap kondisi ini. Jenis CRP yang lain yaitu high sensitivity C reactive protein (hs-CRP), substansi ini dipertimbangkan sebagai marker inflamasi vaskular dalam kadar yang rendah yang merupakan faktor kunci pada perkembangan dan ruptur dari plak ateromatous ( Roudbary dkk, 2009). Rentang penilaian hs-CRP : antara 1,0mg/L sampai dengan kurang dari 10,0mg/L ( US Food and Drug Administration, 2005)
Pada individu yang pernah melakukan pemeriksaan serial bulanan kadar CRP kadar rata-rata CRP secara umum pada rentang 0,1 – 3 mg/L, namun peningkatan kadar CRP berhubungan dengan berbagai kondisi patologis, dapat dilihat pada tabel 1 (Di Napoli dkk, 2011). Tabel 1. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan/penurunan kadar hs-CRP
Dikutip dari : Pearson, T.A., Mensah, G., Alexander, W., Anderson, J.L., Cannon R, Criqui, M., et al. Markers of inflammation and cardiovascular disease: Aplication to Clinical and Public Health Practice : A statement for healthcare Professionals from the centers for disease control and prevention and American Heart Association. Circulation.2003;107:499-511.
II.2.5. Fungsi C-Reactive Protein Fungsi utama CRP adalah berikatan dan detoksifikasi terhadap toksik endogen yang diproduksi sebagai hasil dari kerusakan jaringan. CReactive Protein juga membantu pemindahan sel yang mati, sel-sel asing (seperti mikroba) melalui ikatan fosfokolin pada permukaan sel, aktivasi sistem komplemen dan inisiasi, opsonisasi dan fagositosis (Volanakis, 2001; Coric dkk, 2012) .
II.2.6. Patobiologi aterosklerosis Peranan inflamasi sangat berkembang pada dekade terakhir dan banyak teori yang memaparkan proses penyakit aterosklerosis. Melalui sudut pandang patologis seluruh tahapan inisiasi, pertumbuhan dan komplikasi plak aterosklerosis diduga merupakan respon inflamasi terhadap adanya cedera. Hal yang paling awal terjadi pada proses aterogenesis adalah disfungsi dari sel endotel (Jialal I dkk, 2001). Cedera mayor yang dapat menyebabkan aterogenesis antara lain perokok, hipertensi, lipoprotein aterogenik, dan hiperglikemia. Faktor risiko ini meningkatkan stimulus noxius yang beragam yang menyebabkan sekresi dari
molekul leukocyte soluble adhesion yang memfasilitasi
pertambahan sel monosit terhadap sel endotel dan faktor kemotaksis yang mendorong migrasi monosit kedalam ruang sub intima. Transformasi monosit menjadi makrofag dan pengambilan kolesterol lipoprotein diduga mencetuskan pembentukan fatty streak. Stimulus cedera yang berlanjut lebih lama akan menyebabkan pembentukan dan akumulasi dari makrofag, sel mast, aktifasi sel T pada daerah pertumbuhan lesi aterosklerotik. Oksidasi LDL mungkin merupakan salah satu dari beberapa faktor yang berkontribusi dalam hal hilangnya otot polos melalui proses apoptosis untuk penutup plak aterosklerosis dan sekresi metalloproteinase dan enzim jaringan ikat lainnya yang diaktivasi oleh makrofag yang dapat menghancurkan kolagen, melemahkan penutup sehingga cenderung mudah ruptur. Gangguan pada plak aterosklerosis ini akan menyebabkan
terpaparnya pusat ateronekrotik pada aliran darah arteri yang merangsang terjadinya trombosis. Setiap tahap dari aterogenesis ini dianggap melibatkan sitokin, molekul bioaktif
dan sel – sel inflamasi lainnya
(Pearson dkk,2003; Jialal I dkk, 2001). Peningkatan pengenalan komponen inflamasi ini menyediakan target potensial untuk pengukuran
dan penilaian beberapa
proses
inflamasi. Target potensial mencakup pengukuran faktor risiko pro inflamasi
seperti LDL
teroksidasi,
sitokin
proinflamasi
(contohnya
interleukin-1, tumor necrosis factor-α), molekul adhesi (contohnya molekul intracellular adhesion-1, selectins), stimulus inflamasi dengan efek hepatik (interleukin-6), atau produk stimulasi hepatik seperti serum amiloid A, CReactive Protein (CRP)) dan reaktan fase akut lainnya (Pearson dkk, 2003). Beberapa pengamatan menyatakan bahwa CRP secara aktif berpartisipasi dalam inisiasi, kemajuan dan destabilisasi dari lesi aterosklerotik termasuk ruptur plak, dan perkembangan komplikasi ateroma (Ahuja dkk, 2012). Studi sebelumnya menunjukkan CRP di produksi pada daerah vaskularisasi oleh sel jaringan otot halus dan makrofag dan dapat menginduksi adhesi ekspresi molekul pada sel endotel yang mempunyai peranan utama dalam pengerahan monosit dan makrofag selama aterogenesis menaikkan monocyte chemoattractant protein-1 (CMP-1)mediated chemotaxis melalui upregulation ekspresi CCCR-2 (CC
chemokine receptor-2) pada monosit manusia, yang menyebabkan pengurangan ekspresi dan bioaktivitas langsung dari endothelial Nitrit Oxide
Synthase
(eNOS)
pada
sel
endotel
aorta
manusia
dan
menyebabkan pembentukan foam cell, secara terpisah diambil oleh CRPopsonized native LDL. Fakta mengenai peran CRP pada aterosklerosis tidak timbul walaupun beberapa laporan memaparkan secara luas mengenai proinflamasi, protrombotik. Efek potensial CRP sebagai proaterogenik dan proaterotrombotik telah terlihat pada tikus percobaan (Di Napoli dkk, 2011).
Gambar 2. Skema yang menggambarkan peran highly sensitivity c-reactive protein pada inflamasi dan aterosklerosis. IL: Interleukin, TNF: tumor necrosis factor Dikutip dari : Jialal, I., Devaraj, S. 2001. Inflammation and AtherosclerosisThe Value of the High-Sensitivity C-Reactive Protein Assay as a Risk Marker Am J ClinPathol;116 (Suppl 1):S108-S115
II.2.7. Patogenesis CRP pada Stroke Iskemik Segera setelah onset stroke iskemik akut, peningkatan kadar CRP mencerminkan reaksi inflamasi ikutan, proses inflamasi ini mempunyai peranan
penting dalam
patofisiologi dari stroke.
Iskemik serebri
merangsang respon inflamasi yang ditandai dengan aktivasi dan pelepasan protein fase akut seperti C-Reactive Protein dan sitokin. Proses inflamasi ini dimulai dalam 2 jam setelah onset stroke dan bertahan beberapa hari dan berperan pada kerusakan jaringan otak yang mengalami iskemik walaupun masih tahap awal. Kadar CRP tidak hanya mencerminkan luasnya kerusakan jaringan namun juga mengindikasikan peningkatan bagian yang berisiko akibat peningkatan inflamasi ataupun kelebihan sitokin. Studi eksperimental terbaru menunjukkan CRP berkontribusi pada kerusakan jaringan otak secara sekunder setelah iskemik serebri fokal, yang kemungkinan terjadi melalui eksaserbasi complement-mediated dari jaringan yang cedera (Di Napoli dkk, 2011). Peningkatan kadar CRP menggambarkan luasnya daerah otak yang mengalami cedera. Dan kadar CRP juga dapat menjadi indikator kecenderungan kerusakan jaringan otak secara sekunder setelah iskemik serebri lokal. Hal ini juga menunjukkan peningkatan CRP setelah stroke bukan hanya merupakan konsekuensi dari infark jaringan otak namun berkontribusi juga pada kerusakan jaringan (Hertog dkk, 2009). Mekanisme patogenesis dari CRP yaitu ikatan yang berlebihan terhadap ligan yang terpajan pada sel yang mati dan rusak, yang
merangsang aktivasi substansi komplemen dengan pelepasan faktor kemotaksis dan opsonisasi sel dan sekeliling lesi, yang mendorong peningkatan infiltrasi sel inflamasi sebagai akibat kerusakan jaringan sekitarnya (lihat gambar 3). Model ini didukung oleh berbagai data yang mengindikasikan bahwa CRP mengaktivasi makrofag dan merangsang leukosit pada jaringan yang rusak dengan ikatan FcɣR yang muncul pada sel fagositik dan leukosit (Di Napoli, 2011).
Gambar 3. Mekanisme patogenisitas C-reactive protein pada susunan saraf pusat (A) Ikatan yang banyak dari CRP dengan ligan yang terekspos pada sel yang mati dan rusak yang merangsang aktivasi komplemen dengan pelepasan faktor kemotaktik dan opsonisasi sel dalam dan sekeliling lesi yang menyebabkan aktivasi makrofag dan infiltrasi melalui inflamasi sel via ikatan dengan reseptor FcɣR pada leukosit dan makrofag yang ada pada daerah lesi. Kadar dari CRP dalam serum berhubungan dengan jumlah dari makrofag dan limfosit T dalam plak. Dikutip dari : Di Napoli, M., Elkind, M. S., Godoy, D.A., Singh, P.,Papa, F., PopaWagner, A. 2011. Role of C-Reactive Protein in Cerebrovascular Disease. Expert Rev Cardiovasc Ther. 9(12):1565-1584.
II.3. Computed Tomography (CT) Scan dan Volume Infark CT sken tanpa kontras (Non-Contrast Computed Tomography/ NCCT) merupakan pemeriksaan radiologi rutin yang pertama di unit gawat darurat untuk menilai penderita dengan stroke akut, dan masih tetap merupakan pemeriksaan imejing stroke akut yang standar. Dengan CT memungkinkan
dengan
jelas
membedakan
iskemik
otak
dengan
perdarahan dan menentukan ukuran dan lokasi dari infark dan hemoragik (Caplan, 2009). Pada infark otak akut menurut standar pendidikan bahwa CT adalah normal dalam 24 jam pertama setelah onset stroke (Furlan dkk, 2001). Pada iskemia, pada stadium awal sering normal atau hanya sedikit abnormalitas. Selama hari-hari pertama onset stroke, infark biasanya bulat atau oval dan batasnya kurang tegas. Kemudian menjadi lebih hipodense dan gelap, dan lebih seperti baji (wedge-like) dan berbatas. Sebagian infark yang tadinya hipodens menjadi isodens setelah minggu kedua dan ketiga onset stroke. Hal ini yang disebut sebagai fogging effect kadangkadang dapat mengaburkan lesi. Kemudian infark akan menjadi hipodens lagi (Caplan, 2009). Pantano dkk (1999) meneliti 450 dari 620 pasien yang ikut dalam studi European Cooperative Acute Stroke Study 1 (ECASS1), menemukan bahwa sekitar dua pertiga penderita ukuran infarknya dapat ditegakkan dalam 24-36 jam setelah onset stroke, sedangkan sisanya perubahan volume lesi dapat terjadi sesudah 24-36 jam pertama. Rumus yang
digunakan untuk menghitung volume infark adalah AxBxC/2, dimana diameter terbesar (A) dikali dengan diameter tegak lurus terhadapnya (B) pada lesi dan dikali dengan diameter ketiga (C) yang diukur dengan menjumlahkan ketebalan slice dimana lesi masih terlihat, kemudian dibagi dua. Pada suatu penelitian disimpulkan bahwa rumus AxBxC/2 adalah akurat dan merupakan perhitungan geometri terbaik untuk menghitung volume infark. Rumus AxBxC/2 memiliki positive predictive value yang tinggi dan mudah digunakan (Sims dkk, 2010).
II.4. Hubungan Volume Infark dengan Outcome Stroke Menurut penelitian yang dilakukan Saver dkk (1999), volume infark berhubungan dengan outcome klinis setelah 3 bulan yang dinilai dengan neurological and functional assessments scales. Dari hasil penelitian didapati 132 pasien memiliki infark baru didaerah supratentorial dengan volume infark median 28,0cm3 (range interkuartil 9-93cm3). Sebanyak 59 pasien memiliki infark baru yang tidak terlihat. Hubungan dengan skala outcome setelah 3 bulan dan kematian adalah sebagai berikut : Barthel Index r=0.43; Glasgow outcome scale r=0.53; NIHSS r=0.54; dan angka mortalitas r=0,31. Untuk infark yang terlihat , hubungan dengan outcome BI r=0,46; GOS r=0,59; NIHSS r=0,56; mortalitas r=0,32. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Barrett dkk (2009) bertujuan untuk memprediksi outcome
pasien stroke iskemik akut
berdasarkan volume infarknya dan dilakukan pengukuran infark dengan menggunakan sken diffusion weighted imaging (DWI). Pada 169 kasus dijumpai bahwa setiap peningkatan 10 cm3 dari volume infark didapatkan OR untuk mencapai outcome yang baik adalah 0,57 (95% CI, 0,37 – 0,88) untuk mRS dan 0,75 (95% CI, 0,56 – 1,01) untuk nilai Barthel Index (BI) setelah dilakukan penyesuaian terhadap kondisi klinis lainnya. Sebagai kesimpulan
didapatkan
semakin
meningkat
volume
infark
maka
kemungkinan untuk mencapai outcome yang baik akan semakin menurun. Attye dkk (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara volume infark pada saat masuk rumah sakit (diukur dengan sken DWI) dengan outcome fungsional dalam 90 hari melalui skor mRS. Untuk setiap peningkatan 10 cm3 volume infark dijumpai OR untuk mRS kurang atau sama dengan 1 adalah 10,1 (95% CI, 3-33,9). Dimana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang terbalik antara peningkatan volume infark dengan outcome fungsional yang baik dalam 90 hari.
II.5. PENILAIAN OUTCOME STROKE Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan, 2009) : 1. Impairments : menggambarkan
hilangnya fungsi fisiologis,
psikologis dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan
psikoterapi,
fisioterapi,
terapi
okupasional
ditujukan
untuk
menetapkan kelainan ini. 2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh stroke. 3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke
berperan
sebagai
manusia
normal
akibat
”impairment” atau “disability” tersebut . Studi ini akan menggunakan modified Rankin Scale (mRS) sebagai skala pengukuran outcome. Skala mRS lebih mengukur ketergantungan daripada performasi aktifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari beberapa derajat, yaitu dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/ketidakmampuan yang berat, dan 6 (outcome fatal). Skala mRS adalah lebih sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan sedang (Weimar dkk, 2002).
II.6. KERANGKA TEORI
Stroke Iskemik (Di Napoli, 2003)respon inflamasi akut stlh stroke→(sitokin&CRP)→inflamasi berhub dgn patobiologi stroke iskemik (Lakhan E, 2009)respon iskemik →aktivasi mikroglia→pelepasan sitokin proinnflamasi (TNF α,IL 1β,IL-6, molekul sitotoksik.
(Nighoghossian,2007)respon inflamasi sistemik→respon jar nekrotik. Jar nekrotik dieliminasi oleh mekanisme selular, humoral, mekanisme metabolic (bagian dari reaksi inflamasi)
Inflamasi (Elkind, 2010) inflamasi: peran dalam aterosklerosis,ruptureplak,stroke.biomarker inflamasi(hs-CRP)→prediktor stroke I kali dan prognosa setelah stroke
(Roudbary,2011) → iskemik kardiak, kerusakan jar otak dan infark→proses inflamasi→eksistensi sel inflamasi & produksi protein akut (CRP) bbrp jam stlh stroke
↑Kadar hs-CRP (Di Napoli 2001) (Hamidon BB,2004) (Marquardt, 2005) (Ormstad,2011) (Chun so Young,2012) ↑kadar hs-CRP → ↑ luasnya volume infark.
(Shaikh,2011):↑CRP→ ↑resiko kematian
(Hertog,2009): kadarCRP>7mg, nilai NIHSS↑→outcome buruk
(Muir,1999):↑hsCRP→angka keselamatan↓
(DiNapoli, 2001;Rajeshwar, 2011) CRP ↑→marker independen outcome buruk
Volume infark
Outcome fungsional
(Saver,1999)Vol Infark→outcome klinis stlh 3 bln
II.7. KERANGKA KONSEP
Stroke Iskemik Akut
Kadar hs-CRP
Volume Infark
Outcome