BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Secara tradisional hubungan masyarakat dan hutan meliputi multi aspek yaitu sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan masyrakat sekitar hutan memiliki kaitan dan interaksi yang tidak pernah putus dan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat memang selayaknya diakui ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positif yang didapat dari sumber daya alam untuk masyarakat lokal tentu saja adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari baik dari hasil pertanian, perkebunan ataupun dari hasil hutan. dampak negatif dari pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat seperti punahnya fauna, tanah gundul, serta tanah longsor. Untuk mempertahankan hubungan masyarakat sekitar hutan dengan hutan serta untuk menghindari pengrusakan hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang tentang hutan, yaitu Undangundang No. 41 tahun 1999. Berdasarkan pasal 69 dan 70 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban ikut serta dalam menjaga hutan dari gangguan perusakan, berperan aktif dalam rehabilitasi, turut berperan serta dalam pembangunan kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat yang terkait langsung dengan berbagai upaya dalam rangka penyelamatan
maupun
pemanfaatan
hutandan
lahan, sehingga lestari danberkesinambungan. Dasar hukum penting lainnyabagi peran serta atau partisipasi masyarakat diakomodir dalam intruksi Mentari Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001, tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest management) yang ditekankan untuk mempromosikan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Tingginya permintaan industri terutama industri kertas terhadap bahan baku kayu pada saat ini menyebabkan hutan alam atau bahkan hutan reboisasi mulai menyempit dikarenakan adanya peralihan fungsi hutan menjadi hutan tanaman industri guna memenuhi kebutuhan industri kertas tersebut terhadap bahan baku kayu tertentu. Seperti yang terjadi di daerah Tapanuli Utara tepatnya Desa Tapian Nauli III di kecamatan Sipahutar yang merupakan daerah penelitian skripsi ini. Perubahan fungsi hutan ini pastinya berpengaruh dengan kondisi sosial masyarakat sekitar dikarenakan dengan adanya hutan tanaman industri ini maka membuka peluang kerja baru buat masyarakat sekitar seperti karyawan perusahan, kontraktor (usaha mitra perusahan) bahkan buruh harian lepas (BHL). 2.1 Solidaritas Sosial Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokus teoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persoalan solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantaranya integrasi sosial (social integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena solidaritas merujuk pada suatu
situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Durkheim membagi dua tipe solidaritas yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. 1. Solidaritas Mekanik Solidaritas mekanis didasarkan pada suatu tingkatan homogenitas tinggi dalam kepercayaan, sentimen, pekerjaan, dan lain-lain. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama. Doyle Paul Johnson (dalam Lawang, 1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, yakni: 1.
Pembagian kerja rendah.
2.
Kesadaran kolektif kuat.
3.
Hukum represif domina.
4.
Individualitas rendah.
5.
Konsensus terhadap pola normatif penting.
6.
Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang.
7.
Secara relatif sifat ketergantungan rendah.
8.
Bersifat primitif atau pedesaan.
2. Solidaritas Organik
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah banyak, pertambahan pembagian kerja menimbulkan tingkat ketergantungan, sehingga hal itu akan sejalan dengan bertambahnya spesialisasi di bidang pekerjaan kemudian bertambahnya spesialisasi menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan individu. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, karena adanya rasa ketergantungan antara satu dengan yang lain. Dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tangung jawab yang berbeda-beda. Doyle Paul Johnson (dalam Lawang, 1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik, yakni: 1.
Pembagian kerja tinggi;
2.
Kesadaran kolektif lemah;
3.
Hukum restitutif/memulihkan dominan;
4.
Individualitas tinggi;
5.
Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
6.
Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;
7.
Saling ketergantungan tinggi; dan
8.
Bersifat industrial perkotaan.
Dengan pemaparan model solidaritas di atas maka karakteristik yang terdapat pada masyarakat desa Tapian Nauli III masih belum menunjukkan karakteristik dari masyarakat organik sepenuhnya, hali ini ditandai dengan masih ditemukan adanya beberapa karakteristik dari masyarakat yang mekanik. 2.2 Mobilitas Sosial
Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2007) mobilitas sosial menunjuk pada gerakan dari satu kedudukan atau tingkat sosial ke yang lainnya. Hal ini mungkin berupa naik ke atas dalam tangga sosial, memanjat ke puncak, atau terjun ke bawah. Mobilitas dapat terjadi misalnya ketika suatu Negara mengalami industrialisasi, Manusia cenderung bersifat dinamis. Selalu ada perubahan yang terjadi pada diri manusia. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup sedangkan sumber daya alam yang tersedia semakin menipis dan lahan kerja yang tidak memadai, keterbatasan lahan untuk migrasi, pemerataan pembangunan dan penghematan biaya produksi menyebabkan munculnya keinginan untuk menciptakan satu hal baru yang dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik dengan mengubah pola hidupnya. Perubahan paling sederhana yang tampak secara spasial adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan kawasan perumahan yang tentu berdampak pada beralihnya profesi masyarakat petani ke profesi lain. Hal ini mempunyai pengaruh pada pola hidup, mata pencaharian, perilaku maupun cara berpikir. Sehingga dalam masyarakat industri memungkinkan masyarakat kelas bawah dapat mengalami perkembangan dan kemungkinan mereka untuk naik menjadi masyarakat kelas menengah. Jenis-jenis Mobilitas Sosial 1. Mobilitas Vertikal Mobilitas vertikal adalah pergerakan atau perpindahan orang atau kelompok ke atas atau ke bawah dalam sebuah pelapisan sosial. Mobilitas vertikal berarti gerakan ke atas atau ke bawah dalam skala sosial ekonomi. 2. Mobilitas Horizontal (Lateral)
Mobilitas horizontal (lateral) menunjuk pada gerakan seseorang atau kelompok dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lain yang masih berada pada satu ranking sosial. Dapat pula berupa perpindahan seseorang atau kelompok secara geografis dari satu tempat tinggal, kota atau wilayah ke tempat tinggal, kota atau wilayah lain. Oleh karena itu, mobilitas ini sering disebut juga sebagai mobilitas geografis. 3. Mobilitas Intragenerasi Mobilitas intragenerasi adalah perpindahan status yang dialami oleh seseorang dalam masa kehidupannya. Adapula yang berpendapat bahwa mobilitas intragenerasi adalah perubahan kedudukan sosial seseorang selama kehidupan dewasanya. naik dalam satu generasi. 4. Mobilitas Antargenerasi Mobilitas antargenerasi adalah perubahan status yang dicapai seseorang yang berbeda dari status orang tuanya. Dalam mobilitas antargenerasi, yang berubah adalah status anak-anak jika dibandingkan dengan status orang tuanya. Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2007) mencatat ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni: 1. Faktor struktur Faktor struktur adalah faktor yang menentukan jumlah dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk memperolehnya. Faktor ini terdiri atas: (a) struktur pekerjaan, (b) struktur ekonomi, (c) perbedaan kesuburan,
(d) penghambat dan penunjang mobilitas.
2. Faktor individu Faktor-faktor individual akan banyak berpengaruh dalam menentukan siapa yang akan mencapai kedudukan tinggi. Faktor-faktor individual mencakup: (a) perbedaan bakat/kemampuan; (b) perilaku yang berorientasi pada mobilitas; dan (c) kemujuran. 2.3 Adaptasi Sosial Robert K. Merton (Beryer, terjemahan Mohammad Oemar) melihat struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku yang konformis, tapi juga perilaku yang menyimpang. Struktur sosial menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial dan menekan orang tertentu ke arah perilaku yang nonkonform (tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat). Dalam struktur sosial dan budaya, ada tujuan atau sasaran budaya yang disepakati oleh anggota masyarakat. Tujuan budaya adalah sesuatu yang “pantas diraih”. Untuk mencapai tujuan tersebut, struktur sosial dan budaya mengatur cara yang harus ditempuh dan aturan ini bersifat membatasi. Merton menyatakan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena tidak adanya kaitan antara tujuan dengan cara yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh struktur sosial. Lebih jauh Merton mengidentifikasikan ada empat tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu. tiga diantara empat tipe itu merupakan perilaku menyimpang. keempat tipe cara adaptasi tersebut adalah sebagai berikut: 1.Cara adaptasi konformitas (conformity)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. 2. Cara adaptasi inovasi (innovation) Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat. Akan tetapi ia memakai cara yang dilarang oleh masyarakat. 3. Cara adaptasi ritualisme (ritualism) Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi tetap berpegang pada cara yang telah ditetapkan oleh masyarakat. 4. Cara adaptasi retreatisme (retreatism) Bentuk adaptasi ini, perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan dan cara yang dikehendaki. Pola adaptasi ini menurut Merton dapat dilihat pada orang yang mengalami gangguan jiwa, gelandangan, pemabuk, dan pada pecandu obat bius. Orang-orang itu ada di dalam masyarakat, tetapi dianggap tidak menjadi bagian dari masyarakat. Dari keseluruhan tipe-tipe yang disebutkan di atas, tipe adaptasi yang pertama (adaptasi konformitas) merupakan bentuk perilaku yang tidak menyimpang. Sementara empat tipe selanjutnya merupakan bentuk perilaku yang menyimpang. Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1996:55). Menurut Suparlan (Suparlan,1996:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:
1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya). 2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah). 3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: 1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu di antaranya:
a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. b. Menyalurkan ketegangan sosial. c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. d. Bertahan hidup. Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, maka dalam penelitian ini peneliti ingin menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana proses dan pola-pola adaptasi masyarakat desa Tapian Nauli III dalam menyikapi peralihan fungsi hutan yang terjadi di desa tersebut.