BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. SKIZOFRENIA 1. Pengertian Skizofrenia menurut Manualy Statisticaly of Mental Disorder IV adalah dua atau lebih dari karakteristik gejala delusi, halusinasi, gangguan bicara (disorganitation speech), misalnya inkoheren, tingkah laku katatonik, dan adanya gejala-gejala negatif (Stuard and Sunnden,1998). Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Caplan and Sadock. 1997) Skizofrenia merupakan suatu psiko-fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, efek, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoheren, efek dan emosi menjadi inadekuat, psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi, autisme dan perilaku bizarre (maramis, 1998). 2. Etiologi Ada beberapa teori yang mengatakan gangguan skizofrenia disebabkan oleh faktor gangguan skizofrenia yangh berawal dengan keluhan halusinasi dan waham kejaran yang khas seperti mendengar pikirannya sendiri di ucapkan dengan nada
keras, atau mendengar dua atau lebih memperbincangkan diri penderita sehingga merasa menjadi orang ketiga. Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu: (maramis, 1998) a. Keturunan Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 715%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%. Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif. b. Endokrin Teori ini dikemukakan bahwa sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan, dan waktu klimakterus. c. Metabolisme Gangguan metabolisme pada penderita skizofrenia tanpa pucat dan ujung ektremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun, pada penderita dengan stupor katatonik zat asam menurun. d. Susunan saraf pusat. Penyebab skizofrenia ke arah pada kelainan susunan saraf pusat atau kortek otak.
3. Gejala
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok menurut Bleuler, yaitu : 1. Gejala Primer a. Gangguan proses pikir Gangguan proses piker pada pasien skizofrenia berapa gangguan bentuk pikiran, gangguan arus pikiran dan gangguan isi pikiran. Gangguan bentuk pikiran yang paling sering ditemukan adalah pelonggaran asosiasi dimana ide-ide berpindah dari satu subyek ke subyek lain yang sama sekali tak ada hubungannya atau hubungannya tidak tepat (obliquely related subject) seperti maksudnya tani dikatakan sawah. Gejala terpenting dari gangguan arus pikiran adalah macet”pikir” (thougt blocking) (maramis, 1998). Rangkaian pikiran dan pembicaraan terhenti pada suatu saat tertentu serta disambung dengan buah pikiran kalimat yang lain yang tak ada hubungannya dengan pikirannya terdahulu, seperti menyatakan “dulu waktu hari, ya memang matahari”. Gangguan utama isi pikiran ialah munculnya waham yang seringkali majemuk, terpecah (fragmanted) atau aneh (bizare) dan yang jelas tidak masuk akal. (maramis, 1998)
b. Gangguan afek dan emosi Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak
acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi). c. Gangguan kemauan Banyak
penderita
dengan
skizofrenia
mempunyai
kelemahan
kemauan, tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan, pasien selalu memberi alasan meskipun alas an itu tidak jelas/tepat, otomatisme yaitu pasien merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga dari luar sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis. d. Gejala Psikomotor Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah. (Caplan and Sadock, 1997)
2. Gejala Sekunder a. Waham Merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu keyakinan yang salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang sering muncul pada pasien skizofrenia
adalah
waham
kebesaran,waham
kejaran,waham
sindiran,waham dosa,dan sebagainya. b. Halusinasi. Halusinasi timbul pada pasien tanpa adanya penurunan kesadaran dan merupakan suatu gejalayang tidak dijumpai pada keadaan lain. Halusinasi yang
sering
muncul
pada
pendengaran,penciuman, cita rasa,
skizofrenia
adalah
halusinasi
taktil (singgungan). (Caplan and
Sadock, 1997) B. DUKUNGAN KELUARGA Keluarga merupakan suatu sistem terbuka yang terdiri dari semua unsur dalam sistem, mempunyai struktur tujuan atau fungsi dan mepunyai organisasi internal, seperti sistem yang lain. Bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan, hal ini akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain. (Indriyati,2004) Keluarga juga merupakan suatu matriks dari perasaan beridentitas dari anggota-anggotanya, merasa memiliki dan berbeda. Tugas utamanya adalah
memelihara pertumbuhan psikososial anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya (Friedman. Marrillyn, 1998). Secara umum keluarga juga membentuk unit sosial yang paling kecil yang mentranmisikan tuntutan-tuntutan dan nilai-nilai dari suatu masyarakat, dan dengan demikian melestarikannya. Keluarga harus dapat beradaptasi dengan kebutuhankebutuhan masyarakat sementara keluarga juga membantu perkembangan dan pertumbuhan anggotanya sementara itu semua menjaga kontinuitas secara cukup untuk memenuhi fungsinya sebagai kelompok referensi dari individu (Dwi, 2001) Dari konsep di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh anggota keluarga saling tergantung dan selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Seluruh anggota keluarga a berusaha untuk menghilangkan gangguan-gangguan baik yang bersifat fisik atau psikis yang ada pada anggota keluarga yang lain. Berdasarkan hal ini keluarga selalu menjaga yang satu dengan yang lain tidak hanya dalam keadaan sehat, tetapi juga dalam keadaan sakit dan menghadapi kematian. Keluarga juga berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarganya (Dwi, 2001). Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan dari suami, istri atau dukungan dari saudara kandung, dan dapat juga berupa dukungan keluarga ekternal bagi keluarga inti. Dukungan sosila keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman. Marrillyn, 1998)
Caplan menerangkan bahwa keluarga memiliki empat fungsi suportif, antara lain: 1. Dukungan informasional: keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penyebar informasi tentang dunia 2. Dukungan penilaian: keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga 3. Dukungan instrumental: keluaraga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongrit. 4. Dukungan emosional: keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. (Caplan and Sadock,1995). Pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan penyakit kejiwaan skizofrenia, mempunyai tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial, psikologis yang lebih besar dari pada keluarga yang normal. Dukungan keluarga dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia antara lain: (Suliswati, 2004) 1. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi penderita. 2. Mencintai dan menghargai penderita . 3. Membantu dan memberi penderita. 4. Memberi pujian kepada penderita untuk segala perbuatannya yang baik dari pada menghukumnya pada waktu berbuat kesalahan.
5. Menghadapi ketegangan dengan tenang serta menyelesaikan masalah kritis / darurat secara tuntas dan wajar yang berhubungan dengan keadaan penderita. 6. Menunjukkan empati serta memberi bantuan kepada penderita. 7. Menghargai dan mempercayai pada penderita 8. Mau mengajak berekreasi bersama penderita dengan anggota keluarga lainnya. 9. Mengikutkan penderita untuk kegiatan kebersamaan dengan sesama anggota keluarga. Tugas keluarga dalam mengatasi kekambuhan penderita skizofrenia antara lain: (Suliswati, 2004) 1. Mengenal adanya gejala kekambuhan sedini mungkin. 2. Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan. 3. Memberikan perawatan bagi penderita yang sedang mengalami kekambuhan. 4. Memanfaatkan sumber yang ada dimasyarakat dalam memberikan pertolongan. Dukungan keluarga pada penderita skizofrenia ini dapat diwujudkan dengan adanya upaya perawatan keluarga pada pasien gangguan jiwa ini berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi oleh pasien itu sendiri. Berikut ini adalah masalah keperawatan yang dihadapi oleh pasien yang mengalami gangguan jiwa dan bagaimana upaya perawatan keluarga selama di rumah: (Budi Anna Keliat, 2002): 1. Pasien dengan masalah perawatan Perilaku Kekerasan (PK) Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga adalah sebagai berikut: a. Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan marah atau jengkelnya. b. Bantu klien mengidentifikasi penyebab marah c. Bicarakan dengan klien akibat/ kerugian akibat marah.
d. Bantu klien untuk memilih cara yang tepat dan bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih. e. Anjurkan klien untuk tarik nafas dalam jika sedang marah. f. Anjurkan pasien untuk mengatakan bahwa dirinya sedang marah / jengkel / kesal. g. Bantu pasien untuk melakukan cara marah yang sehat. h. Bantu pasien untuk minum obat sesuai dengan yang diprogramkan dokter. i. Anjurkan pasien untuk beribadah dan berdoa. 2. Pasien dengan masalah perawatan Halusinasi. Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada pasien yang mengalami halusinasi adalah sebagai berikut: a. Jangan biarkan pasien sendiri. b. Anjurkan untuk terlibat dalam kegiatan di rumah (buat jadwal kegiatan pasien) c. Bantu klien untuk berlatih cara menghentikan halusinasi. d. Mengawasi pasien minum obat. e. Jika pasien terlihat bicara sendiri atau tertawa sendiri segera sapa dan diajak bicara. f. Beri pujian yang positif pada pasien jika mampu melakukan apa yang dianjurkan. g. Segera bawa ke Rumah Sakit jika halusinasi berlanjut. 3. Pasien dengan masalah perawatan Harga Diri Rendah (HDR)
Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada pasien dengan HDR adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan harga diri pasien 1) Menjalin hubungan saling percaya 2) Memberi kegiatan sesuai kemampuan pasien b. Menggali kekutan pasien 1) Dorong pasien mengungkapkan perasaannya. 2) Bantu melihat kemampuan pasien. 3) Bantu mengenal harapan c. Mengevaluasi diri. d. Menetapkan tujuan nyata e. Mengambil keputusan f. Sikap keluarga. 4. Pasien dengan masalah perawatan Menarik Diri (MD) Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada pasien dengan MD adalah sebagai berikut a. Memenuhi kebutuhan sehari-hari. b. Membantu komunikasi teratur. c. Melibatkan dalam kegiatan di keluarga dan masyarakat 5. Pasien dengan masalah perawatan Defisit Perawatan Diri (DPD) Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada pasien dengan DPD adalah sebagai berikut a. Meningkatkan kesadaran dan percaya diri pasien.
b. Membimbing dan mendorong pasien merawat diri c. Menciptakan lingkungan yang mendukung. d. Sikap memperhatikan kepada pasien.
C. FAKTOR-FAKTOR
YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
FREKUENSI
KAMBUH PENDERITA SKIZOFRENIA. 1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Faktor ini mencakup pengetahuan keluarga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh keluarga. (Soekidjo Notoatmodjo, 1998) Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yaitu mata dan telinga. (Noor. A, 1998) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang akan positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya bila tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran tidak berlangsung lama (Soekidjo Notoatmodjo, 1998). Pengetahuan yang tercantum dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya yang dimaksud tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang terendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, dan sebagainya. Misalnya dapat menyebutkan cara untuk mengontrol halusinasi. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (aplikation) Diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi riil. Aplikasi disini dapat diartikan atau gangguan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks dan situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) Adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek kedalam suatu komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (syntesis) Sintesis menunjukkan kapada suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuiakan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap obyek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. 2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor-faktor ini mencakup sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Termasuk fasilitas kesehatan yaitu: Puskesmas, Rumah Sakit, dan Rumah Sakit Jiwa. Wujud adanya dukungan keluarga pada penderita skizofrenia adalah keluarga yang mau memeriksakan penderita skizofrenia bukan hanya karena sadar akan pentingnya kesehatan jiwa tetapi juga dengan adanya kemudahan
dalam
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
jiwa
(Soekidjo
Notoatmodjo, 1998). 3. Faktor Penguat (Reinforcing Faktor) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku petugas kesehatan. Misalnya petugas kesehatan membantu pasien dan keluarga menyesuaikan diri dari lingkungan keluarga, dalam hal sosialisasi, perawatan mandiri dan kemampuan memecahkan masalah ( Soekidjo Notoatmodjo,1998)
D. FREKUENSI KAMBUH PENDERITA SKIZOFRENIA. Kekambuhan penderita skizofrenia tergantung dari lingkungan emosi yang diciptakan oleh keluarga. Penderita skizofrenia dengan keluarga yang memiliki
ekpresi emosi tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan (Budi Anna Keliat,1995). Banyak penelitian terhadap pengaruh masa kanak-kanak, khususnya personalitas oarng tua, tetapi belum ada hasil. Riset atas peristiwa hidup memperlihatkan bahwa penderita skizofrenia mengalami peristiwa hidup itu dengan frekuensi tinggi dalam 3 minggu sebelum kambuh. Emosi yang diekpresikan. Jika keluarga skizofrenia memperlihatkan emosi yang diekpresikan secara berlebihan, misalnya penderita sering diomeli, atau terlalu banyak dikekang dengan aturan-aturan yang berlebihan, maka kemungkinan kambuh lebih besar (Ingram.Timbury, 1995). Peranan keluarga sangat diperlukan untuk membantu pemulihan penderita dan mencegah kekambuhan yaitu melalui dukungan emosional yang diberikan kepada penderita dan menghindari sikap permusuhan terhadap penderita. Keluarga juga mempunyai peranan penting. Mereka harus waspada dan mengawasi penderita setiap saat. Mereka juga membantu penderita dalam kegiatan sehari-hari untuk mengurangi ketegangan perasaan. Keluarga juga harus membantu untuk memberikan obat kepada penderita dan membawanya untuk periksa ulang. Keluarga harus juga memberikan dukungan kepada penderita untuk menghilangkan depresinya agar penderita terhindar dari bunuh diri. (Dep Kes. RI, 1995) Disimpulkan bahwa kehidupan dalam keluarga sangat berpengaruh dalam kekambuhan penderita skizofrenia, sehingga dalam keluarga perlu dikembangkan dukungan yang efektif skizofrenia.
dalam menghadapi anggota keluarga yang menderita
Pasien adalah bagian dari keluarga, dan keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan pasien. Keluarga berperan dalam menentukan asuhan yang diperlukan pasien di rumah, keterlibatan keluarga harus dimulai sejak pasien di rawat di rumah sakit, karena jika tidak kemungkinan pasien kambuh saat kembali ke rumah akan meningkat, ini berarti keberhasilan perawatan di Rumah Sakit akan sia-sia, berikut ini adalah hal-hal apa yang menyebabkan keluarga berperan penting dalam asuhan di rumah: (Budi Anna Keliat, 1995) 1. Hubungan seseorang dengan orang lain (interpersonal) dimulai dari keluarga. 2. Keluarga seperti sebuah kesatuan sistem, jika ada anggota keluarga yang sakit atau mengalami gangguan jiwa maka kehidupan keluarga akan berpengaruh. 3. Keluargalah yang berperan penting mencegah, menanggulangi masalah dan mempertahankan keadaan, sehat jiwa sedangkan Rumah Sakit hanya sebagai fasilitator. 4. Penelitian membuktikan bahwa keluarga yang tidak tahu cara menangani anggota keluarga yang terganggu jiwanya bisa menyebabkan kekambuhan. Kambuh atau relaps sering timbul setelah adanya peningkatan peristiwa hidup dalam tiga minggu terakhir dan terjadi lebih sering bila penderita menjadi sasaran permusuhan dan konflik keluarga. Jika diberi obat pemeliharaan kemungkinan relaps berkurang tiga kali, tetapi meskipun diberi fenotiazin dosis pemeliharaan, angka relaps 50% dalam dua tahun. (Ingram.Timbury, 1995) Angka kekambuhan dirumah dengan EE ( Expresed Emotion ) rendah dan penderita minum obat teratur, sebesar 12%, dengan EE ( Expresed Emotion ) rendah
dan tanpa obat 42%, EE (Expresed Emotion ) tinggi dan tanpa obat, angka kekambuhan 92%. (Ingram.Timbury, 1995) Penderita skizofrenia diperkirakan 25% akan kambuh pada tahun pertama dan 70% pada tahun kedua, dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari Rumah Sakit (Budi Anna Keliat, 1995). Hasil studi mengatakan bahwa dengan ataupun tanpa pengobatan medis penderita skizofrenia akan kambuh. Penderita tanpa pengobatan rata-rata 60-70% kambuh pada tahun pertama, sedangkan penderita dengan pengobatan 40% akan kambuh tetapi akan turun menjadi 15,7% dengan pengobatan medis yang dikombinasikan dengan pendidikan kelompok masyarakat dan dukungan keluarga. Bila penderita tidak dirawat, keluarga sangat dibutuhkan untuk menjamin pemberian obat dirumah. Salah satu anggota keluarga harus dapat melakukan hal tersebut dengan baik, juga untuk membawa penderita pada pemeriksaan lanjutan. (Dep Kes RI. 1995). E. KERANGKA TEORI
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Faktor Predisposisi: Pengetahuan Keluarga Dukungan Keluarga Keturunan Endokrin Metabolisme Susunan Syaraf Pusat
Faktor Pendukung: 1. Fasilitas Kesehatan.
Frekuensi Kekambuhan Penderita Skizofrenia
Faktor Pendorong: 1. Sikap petugas 2. Perilaku Petugas
Gambar : 2.1 Kerangka Teori Sumber: Modifikasi Teori Blum dan Green 1968
F. KERANGKA KONSEP
Variabel Bebas
Pengetahuan Keluarga Dukungan Keluarga
Variabel Terikat Frekuensi Kambuh Penderita Skizofrenia
Gambar : 2.2 Kerangka Konsep
G. HIPOTESIS 1. Ada hubungan pengetahuan keluarga dengan frekuensi kambuh penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Amino Gondohutomo Semarang. 2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan frekuensi kambuh penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Amino Gondohutomo Semarang.