BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Dasar ADHD
2.1.1. Definisi ADHD Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah kelainan hiperaktivitas, kurang perhatian yang sering ditampakan sebelum usia 4 tahun dan dikarakteristikkkan oleh ketidaktepatan perkembangan tidak perhatian, impulsive dan hiperaktif (Townsend, 1998). ADHD adalah suatu kondisi yang pernah dikenal sebagai Attention Deficit Disorder (sulit memusatkan perhatian), Minimal Brain Disorder (kerusakan kecil di otak), Minimal Brain Damage (kerusakan kecil pada otak), Hyperkinesis (terlalu banyak bergerak / aktif), dan Hyperactive (Hiperaktif). Ada kira-kira 3 - 5% anak usia sekolah menderita ADHD (Permadi, 2009). ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan neurobiologis yang ciri-cirinya sudah tampak pada anak sejak kecil. Anak ADHD mulai menunjukkan banyak masalah ketika SD karena dituntut untuk memperhatikan pelajaran dengan tenang, belajar berbagai keterampilan akademik, dan bergaul dengan teman sebaya sesuai aturan (Ginanjar, 2009).
2.1.2. Penyebab ADHD a. Perspektif Biologis Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa penyebab biologis dari ADHD. Faktor-faktor risiko pada saat kelahiran yang diduga terkait dengan ADHD adalah kelahiran yang prematur, berat lahir yang sangat rendah, dan 11
12
luka/trauma saat kelahiran. Luka pada otak setelah kelahiran juga ditemukan berkaitan dengan ADHD. Kemudian beberapa ahli menemukan bahwa area-area tertentu dari otak anak ADHD, ukurannya lebih kecil dan aktivitasnya lebih sedikit sebanyak 5-10% dibandingkan area normal. Ditemukan pula kaitan antara ADHD dengan zat-zat kimia yang terdapat dalam sel otak (Tynan, 2005). Selain itu, penderita ADHD diketahui mempunyai kerusakan pada frontal-limbic system (National Institute of Mental Health, 2000). Para ilmuwan dari NIMH (National Institute of Mental Health), (2000) menemukan hubungan antara kemampuan seseorang untuk memberikan atensi secara kontinu dengan level aktivitas otak. Hasil penelitian menemukan perbedaan penting antara anak ADHD dan bukan ADHD. Pada anak ADHD, area di otak yang mengontrol atensi hanya menggunakan sedikit glukosa, mengindikasikan bahwa aktivitas di beberapa area otaknya sedikit pula. Rendahnya tingkat aktivitas di beberapa area otak ini menyebabkan anak kurang dapat memusatkan perhatian pada suatu hal. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh para ilmuwan di National Institute of Mental Health, (2000) mengungkapkan bahwa wanita yang mengkosumsi rokok, alkohol, atau obat-obatan lain selama masa kehamilan dapat memberi efek negative pada perkembangan janin. Ditemukan bahwa alkohol dan nikotin pada rokok dapat menghambat perkembangan sel otak janin. Konsumsi alcohol selama hamil dapat menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome, yaitu suatu kondisi dimana bayi lahir dengan berat badan kurang, kemunduran intelektual, dan ketidaksempurnaan bentuk fisik. Banyak anak yang lahir dengan FAS
13
menunjukkan hiperaktivitas, inattention, dan impulsivitas seperti anak dengan ADHD. Sedangkan obat-obatan seperti kokain dapat mempengaruhi sel-sel reseptor otak yang berfungsi untuk mentransmisikan sinyal dari kelima indera dan membantu mengontrol repson terhadap lingkungan. Beberapa kerusakan pada selsel tersebut dapat mengarah pada ADHD. b. Perspektif Genetis Hasil penelitian lain yang juga dilakukan oleh para ilmuwan di National Institute of Mental Health, (2000) menunjukkan adanya kecenderungan bahwa ADHD terjadi secara genetik. Hal ini diteliti oleh Goodman dan Stevenson pada 238 pasang anak kembar, ditemukan bahwa hiperaktif diderita pada 51% anak yang kembar identik dan 33% pada anak yang kembar fraternal. Anak-anak dengan ADHD biasanya mempunyai setidak-tidaknya satu orang keluarga dengan ADHD. Setidaknya sepertiga dari para ayah dengan ADHD pada masa kecilnya mempunyai anak dengan ADHD pula. c. Perspektif Perilaku Hiperaktif mungkin merupakan proses belajar, dimana terjadi modeling tingkah laku terhadap orangtua atau teman. Orangtua pada anak yang hiperaktif akan sering memberi perintah serta mempunyai hubungan interaksi yang negative. Ketika dilakukan pengobatan secara simultan, perintah dan tingkah laku yang ditampilkan orangtua menurun. Jadi dengan demikian perilaku anak hiperaktif juga menurun karena interaksi negative dengan orangtua menurun (Rose & Rose, 1982 dalam Kurtz, 2005).
14
2.1.3. Subkategori ADHD Saat ini banyak individu dengan gejala kurang perhatian (inattention) dan hiperaktif-impulsif (hyperactivity-impulsivity) dimana pada salah satunya terdapat gejala yang dominan. Subkategori yang sesuai untuk diagnosis saat ini harus ditunjukkan berdasarkan gejala dominan yang sudah terjadi untuk 6 bulan terakhir. a. Attention-Deficit/Hyperactivity, Predominantly Inattentive Type. Subkategori ini digunakan jika enam (atau lebih) gejala kurang perhatian (tetapi kurang dari enam gejala hiperaktif-impulsif) yang telah berlangsung selama minimal enam bulan. Tipe ini individu masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi. b. Attention-Deficit/Hyperactivity,
Predominantly
Hyperactivity-Impulsivity
Type. Subkategori ini digunakan jika enam (atau lebih) gejala hiperaktifimpulsif (tetapi kurang dari enam gejala kurang perhatian yang telah berlangsung minimal selama enam bulan). Tipe ini individu masalahnya terutama diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif. c. Attention-Deficit/Hyperactivity, Combined Type. Subkategori ini digunakan jika enam (atau lebih) gejala kurangnya perhatian (inattention) dan enam (atau lebih) gejala hiperaktif-impulsif telah dialami selama minimal enam bulan. Individu yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.
15
2.1.4. Pedoman Identifikasi ADHD Untuk melakukan identifikasi ADHD dapat digunakan pedoman yang di keluarkan oleh American Psychiatric Association, yang menerapkan kriteria untuk menentukan gangguan pemusatan perhatian dengan mengacu kepada DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition tahun 2005) sebagai berikut: a. Kurang Perhatian Pada kriteria ini, anak ADHD paling sedikit mengalami enam atau lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan berlangsung selama paling sedikit 6 bulan sampai suatu tingkatan yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. 1. Seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap sesuatu yang detail atau membuat kesalahan yang sembrono dalam pekerjaan sekolah dan kegiatankegiatan lainnya. 2. Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian terhadap tugastugas atau kegiatan bermain. 3. Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara langsung. 4. Seringkali tidak mengikuti baik-baik instruksi dan gagal dalam menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan, atau tugas di tempat kerja (bukan disebabkan karena perilaku melawan atau kegagalan untuk mengerti instruksi). 5. Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan kegiatan.
16
6. Seringkali kehilangan barang benda penting untuk tugas-tugas dan kegiatan, misalnya kehilangan permainan; kehilangan tugas sekolah; kehilangan pensil, buku, dan alat tulis lain. 7. Seringkali menghindari, tidak menyukai atau enggan untuk melaksanakan tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental yang didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah atau pekerjaan rumah. 8. Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar. 9. Seringkali cepat lupa dalam menyelesaikan kegiatan sehari-hari. b. Hiperaktivitas Impulsifitas Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktivitas impulsifitas berikutnya bertahan selama paling sedikit 6 bulan sampai dengan tingkatan yang maladaptif dan tidak dengan tingkat perkembangan. Hiperaktivitas 1. Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering menggeliat di kursi. 2. Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau dalam situasi lainnya di mana diharapkan agar anak tetap duduk. 3. Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi di mana hal ini tidak tepat. (pada masa remaja atau dewasa terbatas pada perasaan gelisah yang subjektif). 4. Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan senggang secara tenang. 5. Sering 'bergerak' atau bertindak seolah-olah 'dikendalikan oleh motor' dan
17
6. Sering berbicara berlebihan. Impulsivitas 1.
Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai.
2.
Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran.
3.
Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang lain, misalnya rnemotong pembicaraan atau permainan.
2.1.5. Kriteria ADHD dalam DSM-IV-TR a. Salah satu dari A atau B: 1. Enam atau lebih wujud kurangnya konsentrasi selama minimal 6 bulan hingga ke tingkat yang maladaptive dan lebih besar dari yang diharapkan, melihat tingkat perkembangan orang yang bersangkutan, contohnya berbagai kesalahan yang sembrono, tidak mendengarkan dengan baik, tidak mengikuti instruksi, mudah teralihkan, mudah lupa dengan aktivitas sehari-hari. 2. Enam atau lebih wujud hiperaktivitas-impulsivitas yang terjadi selama minimal 6 bulan hingga ke titik yang maladaptive dan lebih besar dari yang diharapkan, melihat tingkat perkembangan orang yang bersangkutan, contohnya bergerak terus dalam posisi duduk, berlari kesana kemari tanpa tujuan (pada orang dewasa, selalu bergerak gelisah), bertingkah laku seolah “digerakkan oleh sebuah motor”, berbicara tanpa henti. b. Beberapa dari karakteristik di atas terjadi sebelum usia 7 tahun c. Terjadi di dua lingkungan atau lebih, a.l., di rumah dan di sekolah atau di tempat kerja
18
d. Disabilitas yang parah dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan e. Tidak terdapat karakteristik gangguan lain seperti skizofrenia, gangguan anxietas, gangguan mood
2.1.6. Treatment ADHD a. Treatment medis Manfaat yang diperoleh dari treatment medis adalah anak dapat mengontrol impulsivitas, meningkatkan perhatian anak, dan hiperaktivitas serta agresivitas anak berkurang. Tidak ada „pil ajaib‟ untuk menyembuhkan ADHD, obat-obatan medis ini digunakan untuk membantu mengontrol gejala ADHD (Wenar & Kerig, 2000). Obat-obatan yang biasa digunakan untuk ADHD, dikenal sebagai stimulants, adalah methylphenidate (ritalin), dextroamphetamine (dexedrine atau dextrostat), dan pemoline (cylert). Pada kebanyakan anak, obat-obatan membantu mengurangi hiperaktivitas dan meningkatkan kemampuan untuk memfokuskan pikiran pada suatu tugas atau aktivitas, serta meningkatkan koordinasi fisik, seperti menulis dan olahraga (Wenar & Kerig, 2000). b. Treatment non-medis Anak ADHD seringkali bermasalah di sekolah, tidak dapat menyelesaikan suatu aktivitas, dan kehilangan teman. Bukanlah hal yang mudah untuk melakukan coping dengan berbagai hal yang mereka alami setiap harinya. Beberapa anak mengekspresikan rasa frustasi dengan agresi, seperti memukul atau membanting barang-barang (National Institute of Mental Health, 2000). Berikut
19
ini adalah beberapa jenis terapi yang dapat digunakan untuk membantu anak ADHD (Wenar & Kerig, 2000): 1. Psychotherapy: membantu anak ADHD untuk dapat menerima dan menyukai diri mereka apa adanya. Dalam psychotherapy, pasien berbicara kepada terapis tentang pikiran dan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan dan mempelajari alternative-alternatif untuk mengontrol emosi mereka. 2. Cognitive Behavioral Therapy: membantu anak ADHD untuk mengubah perilaku mereka. Terapis memberikan reward dan reinforcement untuk membentuk perilaku yang diinginkan, sedangkan reinforcement negative dan hukuman dihindari. 3. Social Skill Training: membantu anak ADHD mempelajari perilaku yang baru. Terapis mendiskusikan dan memberi contoh perilaku yang diharapkan, seperti menunggu giliran, berbagi mainan dengan teman, meminta bantuan, kemudian memberi kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal tersebut. dalam penelitian ini anak diajarkan teknik-teknik berinteraksi secara positif dengan orang lain. Pelatihan ini dapat efektif jika dilakukan dalam kelompok dan dikombinasikan dengan teknik modeling, latihan, umpan balik, dan pemberian penguatan (Wenar, 2000). 4. Support Group: anggota dari support group berbagi kesulitan dan kesuksesan. Berbagi kisah dengan orang lain yang mempunyai masalah serupa membuat anak dan orangtua tidak merasa sendirian. 5. Parenting Skill Training: memberikan pengarahan kepada orangtua untuk mengatasi perilaku anak ADHD mereka. Bila orangtua menemui tanda-tanda
20
penderita gangguan pemusatan perhatian pada anak mereka, pertama kali yang harus dilakukan adalah mengkonsultasikan persoalan yang dialami anaknya kepada ahli terapi atau psikolog anak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan petunjuk dari orang yang tepat tentang apa yang bisa dilakukan di rumah dan untuk memperbaiki sikap orangtua agar tidak terlalu menuntut anaknya secara berlebihan.
2.2.
Konsep Dasar Perawatan Anak ADHD dalam Keluarga
2.2.1. Definisi Keluarga Keluarga perkawinan,
merupakan
adopsi
dan
sekumpulan kelahiran
orang
yang
yang
dihubungkan
oleh
bertujuan
menciptakan
dan
mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari individu-individu yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, 1998). Menurut Departemen Kesehatan (1988) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dalam bidang kesehatan, keluarga dalam berbagai definisi menurut para peneliti adalah unit pelayanan kesehatan terdepan dalam meningkatkan kesehatan komunitas. Sehingga, apabila setiap keluarga sehat akan tercipta komunitas yang sehat. Hal ini dikarenakan masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat memengaruhi anggota keluarga lain. Masalah yang
21
dihadapi anggota keluarga dapat mempengaruhi system keluarga tersebut dan komunitas setempat (Sudiharto,2005 dalam Aritonang, 2008).
2.2.2. Karakteristik Keluarga Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan pernikahan, darah dan ikatan adopsi dimana anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersamasama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara, saudara dan saudari. Selain itu keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri (Friedman, 1998 dalam Aritonang, 2008).
2.2.3. Fungsi Keluarga Keluarga memiliki beberapa fungsi yang harus dijalankan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Friedman (1998) mengidentifikasi lima fungsi dasar keluarga yaitu: fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial yang meliputi: saling mengasuh, saling menghargai, dan hidup dalam ikatan yang dapat diidentifikasi. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Fungsi
22
reproduksi yaitu untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia. Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, seperti kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat berlindung (rumah). Terakhir yaitu fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi untuk melaksanakan praktik asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998 dalam Aritonang, 2008). Keluarga juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan anggota-nggota keluarga sesuai dengan tahap perkembangannya. Bagi pasangan suami-istri atau anggota keluarga yang dewasa, keluarga berfungsi menstabilkan kehidupan mereka yaitu memenuhi kebutuhan kasih sayang, sosial ekonomi, dan kebutuhan seksual. Bagi anak-anak, keluarga memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional, dan seiring dengan itu, keluarga juga mengarahkan perkembangan kepribadian (Friedman, 1998 dalam Aritonang, 2008).
2.2.4. Tugas Kesehatan Keluarga Menurut Sudiharto (2005), keluarga memiliki polanya tersendiri dalam membina hubungan dengan anggota keluarga, antara lain: pola komunikasi, mengambil keputusan, sikap dan nilai dalam keluarga serta kebudayaan, dan gaya hidup. Kemandirian anggota keluarga sangat bergantung pada pola-pola yang diaktualisasikan keluarga, tingkat maturitas dan perkembangan individu, pendidikan, kesehatan dan budaya komunikasi setempat. Pola-pola tersebut juga mempengaruhi kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga.
23
Setiap keluarga memiliki cara yang unik dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga khususnya dalam menyelesaikan masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga memiliki budaya yang unik yang diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kesehatan walaupun memiliki garis keturunan yang sama. Masih ada budaya yang dipertahankan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan keluarga, meskipun telah ratusan tahun berselang (Sudiharto, 2005 dalam Aritonang, 2008). Ada lima tugas
kesehatan keluarga,
yaitu:
mengenal
gangguan
perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat, memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Kelima hal diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya, bahwa peran dari keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan sangat penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-strategi hingga rehabilitasi (Friedman, 1998 dalam Aritonang, 2008).
2.2.5. Keluarga dengan Anak ADHD National Jewish Health (2008) mengatakan bahwa setiap keluarga dengan atau tanpa anak yang berkebutuhan khusus seperti ADHD selalu memiliki masalah yang biasanya muncul dalam keluarga. Masalah itu antara lain: persaingan antar saudara kandung, perhatian terhadap anak-anak, proses menjadi orangtua dan tekanan dalam pernikahan, kemampuan untuk mengatasi periode
24
penting dalam perkembangan anak, dan keluarga dituntut untuk mempertahankan kehidupan sosialnya. Ketika anak menderita ADHD, tugas dan tanggung jawab yang secara normal dihadapi keluarga akan bertambah dan kemungkinan akan menyulitkan anggota keluarga untuk menghadapinya dengan normal. Banyak stressor yang mempengaruhi peningkatan risiko stress dan depresi pada keluarga dengan anak ADHD. Adanya perasaan bingung karena ketidakpastian kondisi sakit dan hasil pengobatan, konflik sehari-hari, isolasi sosial, aturan-aturan yang membatasi, dan tekanan financial adalah stressor yang selalu dijumpai (King dkk, 2001). Hal ini akan menambah beban psikologis pada anak dan keluarga, menurunkan kemampuan keluarga untuk meningkatkan kesehatan anak-anak, dan berdampak dalam mencari dan pemanfaatan pelayanan medis secara berlebihan (Farmer, 2004). Selain itu keluarga juga sering mengalami masalah dalam memberikan perawatan dan menyediakan kesehatan mental, pendidikan dan kebutuhan sosial (King dkk, 2001). Pada saat mengetahui bahwa kondisi anak yang dimilikinya tergolong berkebutuhan khusus yaitu ADHD reaksi orangtua yang ditimbulkan menurut Kubler Ross yaitu orangtua akan mengalami lima tahap berduka yaitu tahap denial (penyangkalan), angry (kemarahan), bargaining (tawar-menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan). Penyangkalan dapat berupa respon shock dan ketidakpercayaan mengeanai kehilangan. Kemarahan dapat diekspresikan individu kepada Tuhan, keluarga, teman, lingkungan atau masyarakat. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapatkan yang lebih baik daripada sekarang. Depresi terjadi ketika kesadaran akan
25
kehilangan
menjadi
akut.
Penerimaan
terjadi
ketika
individu
telah
memperlihatkan tanda-tanda bahwa dirinya menerima keadaan keluarganya yang telah dianggap sebagai ujian dari Tuhan (Nugraha, 2011) Kelima tahap tersebut diatas tidak harus terjadi secara berurutan. Bisa saja ada satu atau lebih yang terlompati atau kembali muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidaksempurnaan anak mereka. Demikian pula pada tahap awal yang dirasakan orangtua. Ada juga orangtua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak menerima kenyataan (Saraswati, 2004 dalam Rahmatia 2010). Keberadaan anak ADHD dalam keluarga membutuhkan dukungan baik dari internal keluarga maupun sistem sosial yang lebih besar. Dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan fisik dan emosional yang diberikan kepada seseorang dan berasal dari keluarga, teman kerja dan orang lain dilingkungan sekitar kita (Prescott, 2005 dalam Fitryasari, 2009). Keluarga yang dapat menerima keadaan dirinya mempunyai anak ADHD akan tetap memberikan dukungan sosial misalnya perhatian dan kasih sayang yang cukup dari system keluarga maupun system sosial (Napolion, 2010). Keluarga yang memiliki anak dengan ADHD merasa malu dan tertekan oleh stigma dari lingkungannya. Stigma menurut Jones (1984 dalam Fitryasari, 2009) merupakan sebuah penilaian masyarakat terhadap perilaku atau karakter yang tidak sewajarnya. Munculnya stigma masyarakat yang ditampilkan dengan perilaku masyarakat yang menghindari interaksi keluarga dengan anak ADHD, itu
26
dikarenakan oleh masalah dimana anak dengan ADHD tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai anggota masyarakat sebagaimana mestinya. Masyarakat sering keliru memahami anak dengan ADHD. ADHD bukan gangguan jiwa. Perilaku yang ditampilkan anak ADHD yang tidak lazim dikarenakan mengalami kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitif dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif. Bagi anak ADHD itu sendiri keberadaan dalam masyarakat tidak jarang menimbulkan ejekan, hinaan dari orang-orang disekitar yang akan mengakibatkan timbulnya rasa sedih, tidak aman, minder dan frustasi.
2.3. Pengalaman
2.3.1. Definisi Pengalaman Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung) ( KBBI, 2005). Pengalaman bisa didefiniskan sebagai sebuah ketertarikan atau keengenan terhadap berbagai situasi, objek, orang, kelompok atau hal lain dalam lingkungan seseorang. Untuk menerjemahkan pengalaman secara praktis dapat dibagi dalam tiga perspektif yaitu: kognitif, afektif dan konotif. Menurut Hermans, pengalaman bisa didefiniskan sebagai satu keseluruhan bidang-bidang nilai, perasaan, perilaku. Bidang nilai tersebut adalah komponen kognitif yang menjelaskan sesuatu yang dinilai penting oleh seseorang. Afeksi ada di latar belakangnya dan konosi (perilaku) di latar depan (frontal). Afeksi merupakan tenaga untuk perilaku, tetapi selalu diregulasi oleh bidang nilai (kognisi). Sebuah sistem penilaian menafsirkan sifat kontaknya dengan situasi
27
tertentu. Secara singkat, afeksi memperlihatkan bagaimana kognisi-kognisi tertentu dinilai. Afeksi merupakan sisi reaktif dalam pengalaman. Perilaku merupakan sisi aktif dalam pengalaman (Kooij & Tsalatsa, 2007). Pengalaman merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari – harinya. Pengalaman juga sangat berharga bagi setiap manusia, dan pengalaman juga dapat diberikan kepada siapa saja untuk digunakan dan menjadi pedoman serta pembelajaran manusia. Berbagai pengalaman bisa saja terjadi pada diri setiap orang, baik pengalaman lucu, mengharukan, menyedihkan, menggembirakan, maupun membanggakan.