BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Posisi Pekerja Perempuan Dalam Sistem Kapitalis Perkebunan Secara tradisional, ada tiga peranan utama perempuan yang dapat diidentifikasikan,
antara lain: peran dalam rumah tangga dan pendapatan yang berkaitan dengan kegiatan rumah tangga, reproduksi dan produksi sosial yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dankesejahteraan anak, serta kerja sosial yang menunjang status keluarga. Kini selain ketiga aspek tradisional di atas, perempuan juga seringkali (karena terpaksa untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga) bekerja di luar rumah, mencari kerja di pasaran yang ada (dalam Herawati dan Vitayala, 1990). Tenaga kerja perempuan merupakan para perempuan yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Yudo, 2000). Dalam hal ini bukan saja buruh perempuan, karyawati atau buruh-buruh perempuan yang merupakan tenaga kerja tetapi juga mereka yang bekerja mandiri. Semuanya merupakan tenaga kerja yang sangat penting bagi perekonomian negara. Penyediaan kesempatan kerja bagi perempuan begitu sangat penting keberadaanya. Hal tersebut menjadi beralasan karena perempuan khususnya mereka yang berasal dari keluarga miskin merupakan tenaga kerja yang potensial bagi kesejahteraan keluarganya bahkan acapkali memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Kartasasmita, 1996). Dalam penelitiansebelumnya, perempuan khususnya ibu rumah tangga bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) dan buruh pabrik ramling (pengolahan karet). Pilihan sebagai buruh disebabkan karena dua alasan, antara lain: Pertama, penghasilan suami (umumnya bekerja sebagai karyawan perkebunan) tidak mencukupi. Kondisi ini kemudian 19 Universitas Sumatera Utara
menyebabkan istri harus bekerja guna memenuhi ekonomi keluarga. Kedua, pekerjaan tersebut relatif mudah dan dapat dilakukan siapa saja. Pekerjaan sebagai buruh tidak membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan tinggi, atau dapat dikatakan hanya membutuhkan tenaga(Jurnal Harmoni Sosial, September 2007). Posisi perempuan dalam perkebunan kelapa sawit skala besar adalah menjadi BHL (Buruh Harian Lepas). Dimana setiap pekerja tidak mempunyai jaminan hidup dan fasilitas yang layak dalam melakukan tugasnya. Perusahaan perkebunan tidak pernah menjadikan perempuan sebagai karyawan tetap dengan alasan perempuan itu lemah dan tidak bisa melakukan pekerjaan sekuat laki-laki. Perempuan juga memiliki reproduksi seperti haid, hamil dan melahirkan, maka dari itu, perkebunan tidak mempekerjakan perempuan sebab perusahaan akan merugi dengan memberikan cuti haid, hamil dan melahirkan. Jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh buruh perempuan adalah penyemprotan, miping, tebas, memberondol, pemupukan, klerat dan pembibitan. Dalam melakukan pekerjaannya tersebut para buruh tidak pernah dibekali pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang dampak negatif penggunaan pestisida bagi kesehatan manusia. Sehingga para buruh selalu mengesampingkan keselamatan kerja dan kesehatan demi mendapatkan upah yang tidak seimbang dengan resiko kerja yang harus mereka terima. 2.2 Status
Buruh
Menurut
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Tentang
Ketenagakerjaan Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 butir 3 mendefinisikan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada dasarnya seorang pengusaha memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak pekerja/buruh, seperti keselamatan dan kesehatan kerja, hal ini tercantum di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang keselamatan dan kesehatan kerja pasal 86 ayat (1), (2), dan (3): 20 Universitas Sumatera Utara
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. Keselamatan dan kesehatan kerja; b. Moral dan kesusilaan; dan c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2) Untuk melindungi keselamatan kerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Selain keselamatan dan kesehatan kerja, pekerja/ buruh juga berhak mendapatkan
upah yang layak untuk kebutuhan hidup, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesianomor 13 tahun 2003 tentang pengupahan pasal 88 ayat (1) dan (2): (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Status buruh menurut ketenagakerjaan yaitu buruh berhak mendapat perlindungan, hak dan kewajiban serta mendapatkan perlakuan yang baik.Lain halnya dengan buruh nyerep di perkebunan kelapa sawit, buruh nyereptidak memiliki hubungan kerja, buruh nyerepbekerja atas dasar perintah dari karyawan tersebut untuk menggantikan pekerjaannya sehingga buruh nyerep tidak memiliki hak apapun kecuali upah yang telah ditentukan karyawan tersebut. 2.3 Tenaga Kerja Illegal di Perkebunan Tenaga kerja illegal adalah tenaga kerja yang bekerja tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang di lakukan secara rahasia dan tidak resmi. Pada umumnya, tenaga kerja illegal sering dikaitkan dengan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja diluar negeri tanpa menggunakan cara yang sesuai dengan peraturan dan tidak memiliki dokumen sah.Tenaga kerja illegal tidak hanyak terdapat diluar negeri tetapi juga terdapat di dalam negeri. 21 Universitas Sumatera Utara
Salah satunya dalam penelitian yang akan dilakukan ini terdapat buruh illegal di perkebunan kelapa sawit banyak yang mempekerjakan buruh, akan tetapi terdapat buruh illegal. Tenaga kerja illegal ini disebut buruh nyerepyaitu buruh yang bekerja menggantikan pekerjaan karyawan sesuai dengan kesepakatan bersama antara sesama karyawan dan buruh.Hal ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan pimpinan.Buruh nyereptermasuk dalam kategori pekerja illegal karena tidak memiliki perjanjian yang sah terhadap perusahan perkebunan, sehingga buruh nyerep tidak dapat menuntut pihak perkebunan jika terjadinya kecelakaan kerja serta jaminan sosial dan tunjangan.Buruh hanya mendapatkan upah yang rendah sesuai dengan kesepakatan karyawan dengan buruh. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Penempatan Tenaga Kerja Pasal (31), (32), dan (33): Pasal (31): setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Pasal (32): (1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asa terbuka, bebas obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. (2) Penempatan tenaga kerja diarahkan diarahkan untuk menempatkan tenega kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlihan, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. (3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Pasal (33): Penempatan kerja terdiri dari: a. b.
Penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan Penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Berdasarkan undang-undang diatas bahwa buruh nyerep termasuk dalam kategori pekerjai illegal. Pekerja ilegal dapat sangat merugikan buruh itu sendiri karena tidak dapat 22 Universitas Sumatera Utara
menuntut apa yang menjadi haknya atau apa yang terjadi pada dirinya pada saat bekerja. Pekerja illegal tidak dapat menuntut kenaikan upah sesuai dengan UMR. Buruh ilegal hanya menuruti yang diperintahkan oleh majikannya (karyawan). 2.4 Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Apabila dilihat dari arti kata kondisi sebenarnya adalah suatu keadaan dan arti kata sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat, sedangkan arti kata ekonomi adalah ilmu mengenai azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti hal keuangan, perindustrian dan perdagangan (Astarhadi, 1995: 52). Kondisi sosial ekonomi adalah kondisi kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup dalam suatu pergaulan. Oleh karena itu kehidupan sosial ditandai dengan: 1. Adanya kehidupan bersama yang pada ukuran minimalnya berjumlah dua orang atau lebih. 2. Manusia tersebut bergaul (berhubungan) dan hidup bersama dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena mereka berhubungan dan bergaul cukup lama dan hidup bersama. 3. Adanya kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan. 4. Suatu kehidupan sistem bersama (Soleman, 1986: 9) Dalam kehidupan sosial seperti yang dikemukakan diatas mengartikan bahwa adanya interaksi yang terjadi di dalam masyarakat. Adanya hubungan-hubungan sosial atau hubungan yang saling mempengaruhi dengan kata lain terjadi interaksi sosial. Interaksi ini pertama sekali terjadi pada keluarga, dimana ada terjadi hubungan antara ayah, ibu dan anak. Dari adanya interaksi antara anggota keluarga maka akanmuncul hubungan dengan masyarakat luar. Pola hubungan interaksi ini tentu saja dipengaruhi lingkungan dimana masyarakat tersebut bertempat tinggal. Dalam masyarakat pedesaan kita ketahui interaksi yang terjadi 23 Universitas Sumatera Utara
lebih erat dibanding dengan di perkotaan.Pada masyarakat yang hidup diperkotaan, hubungan interaksi biasanya lebih dieratkan oleh status, jabatan atau pekerjaan yang dimilki.Hal ini menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat. Pekerjaan yang bergengsi dan bergaji tinggi akan menaikan pretise seseorang. Sedangkan pekerjaan dengan gaji yang rendah tidak menjanjikan pretise, kehormatan, kerja yang menarik, kesempatan untuk maju, ataupun imbalan lainnya (Suparlan, 1984: 175). Dalam kehidupan manusia mempunyai banyak kebutuhan dan sudah menjadi keharusan baginya untuk memenuhi kebutuhan tersebut baik moral maupun material. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai akibat dari keberadaannya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut manusia juga saling berinteraksi satu sama lain, disamping sebagai makhluk pribadi. Kehidupan sosial ekonomi adalah perilaku sosial dari masyarakat yang menyangkut interaksi dan perilaku ekonomi dari masyarakat yang berhubungan dengan pendapatan dan pemanfaatannya.Bila berbicara mengenai kehidupan sosial ekonomi berarti juga membahas tentang kebutuhan dan bagaimanan seseorang berusaha memenuhi kebutuhan tersebut, dan pemanfaatan hasil ekonomi yang diperoleh.Jadi kehidupan sosial ekonomi yang dimaksud adalah cara-cara atau strategi yang diterapkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta pemanfaatan penghasilan atau hasil ekonomi yang diperoleh dan juga berbicara mengenai keadaan hidup sehari-hari. Berhubungan dengan kehidupan sosial ekonomi yang didalamnya terdapat unsur kebutuhan dan pemenuhannya, Abraham Maslow mengelompokan 5 tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
24 Universitas Sumatera Utara
1. Kebutuhan dasar fisiologis/ kebutuhan fisik (Phisiological Needs) yang diperlukan untuk mempertahankan hidup seperti kebutuhan akan makanan, istirahat, udara segar, air, vitamin, dan sebagainya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer. 2. Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs) ditujukan oleh anak dengan pemenuhan kebutuhan secara pasti, kontinu dan teratur. Anak mudah terganggu dengan situasi yang dirasakan sebagai situasi yang membahayakan, situasi yang kacau, tak menentu, ia mudah menarik diri dalam situasi asing baginya. Anak membutuhkan perlindungan yang memberikan rasa aman. 3. Kebutuhan untuk mencintai dan mencintai (Love Needs) merupakan dorongan atau keharusan baginya untukn mendapatkan tempat dalam suatu kelompok dimana ia memperoleh kehangatan perasaan dan hubungan dengan masyarakat lain secara umum. 4. Kebutuhan akan harga diri (Estem Needs) menuntut pengalam individu sebagai pribadi yang bernilai, sebagai manusia yang berarti dan memiliki martabat. Pemenuhan kebutuhan ini akan menimbulkan rasa percaya diri sendiri, menyadari kekuatan-kekuatannya, mersa dibutuhkan dan mempunyai arti bagi lingkungannya. 5. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Self Actualization) memberikan dorongan kepada setiap individu untuk mengembangkan atau mewujudkan seluruh potensi dalam dirinya. Dorongan ini merupakan dasar perjuangan setiap individu untuk merealisasikan dirinya, untuk menentuka dirinya/identitasnya, dan menjadi dirinya sendiri. Kebutuhan ini tumbuh secara wajar dalam diri setiap manusia. Kebutuhan diatas yang harus dipenuhi oleh manusia demi kelangsungan hidupnya, mendorong manusia untuk bekerja sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.Demikianlah konsenkuensi yang tidak dapat ditawar lagi. Manusia memang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, karena dengan demikian manusia akan mendapatkan hasil yang dapat digunakan demi kelangsungan hidupnya. 2.5 Hubungan Kerja
Menurut Hartono Widodo dan Judianto, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Hubungan antara karyawan dan buruh nyerep adalah hubungan tetangga yang bertempat tinggal di Afdeling yang sama. Selain hubungan tetangga, mereka juga memiliki hubungan kerja antara karyawan dan buruh yang terjadi atas dasar hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan, dimana karyawan membutuhkan buruh untuk menggantikan pekerjaan di perkebunan.Hubungan kerja yang dimaksud adalah hubungan antara karyawan dengan buruh
25 Universitas Sumatera Utara
nyerep, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh karyawan dengan buruh nyerep, dimana buruh nyerep menyatakan kesanggupan untuk bekerja menggantikan pekerjaan karyawan dengan menerima upah dan dimana karyawan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh nyerep dengan membayar upah yang telah ditentukan.Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja walaupun perjanjian itu tidak secara tertulis atau hanya dalam bentuk ucapan. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai: 1. Pembuatan perjanjian kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja). 2. Kewajiban pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut). 3. Kewajiban pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah). 4. Berakhirnya hubungan kerja. 5. Cara penyelesaian perselisihan antar pihak-pihak yang bersangkutan. Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar: 1. Kesepakatan kedua bela pihak 2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum 26 Universitas Sumatera Utara
3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan 4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum,
kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Dalam penelitian Tia Sajida (2013) yang berjudul “ Relasi Kerja Mandor dan Buruh Pemetik Teh di Perkebunan Teh Kaligua” menjelaskan bahwa relasi kerja yang terjalin antara mandor dan buruh pemetik teh bersifat asimetris yang menempatkan buruh pada posisi yang paling rendah dalam proses produksi, relasi kerja yang asimetris tersebut menciptakan relasi kerja yang tidak seimbang antara mandor dan buruh pemetik teh. Relasi kerja yang asimetris terjalin antar mandor dan buruh pemetik teh menciptakan ketidakadilan dan dominasi mandor terhadap buruh pemetik teh.
2.6 Penelitian Yang Relevan Penelitian Ratnauli (1989) menunjukkan bahwa buruh perempuan perkebunan di Desa Sukaluwei harus bekerja guna membantu perekenomian keluarga sebagai buruh di perkebunan dan pabrik. Buruh perempuan di perkebunan menjalani kehidupan dan aktifitas sehari-hari dengan penuh kesibukan. Mereka dituntut untuk pandai membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga, agar keduanya berjalan dengan lancar. Aneka pekerjaan mereka jalani dengan penuh ketekunan demi keluarga dan anak-anak. Di Desa Keluwei merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari jawa. Mayoritas karyawan perkebunan memiliki jumlah anak yang cukup banyak. Dengan kehidupan ekonomi yang sangat rendah, mereka melakukan skala prioritas dalam kehidupan keluarga. 27 Universitas Sumatera Utara
Buruh perempuan di perkebunan menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja mereka. Hasil penelitian Emy (1905) menemukan bahwa buruh perempuan di perkebunan menghadapi gangguan kesehatan karena aktifitas monoton dalam bekerja. Misalnya buruh perempuan sebagai penampi dan pemilih biji, mereka hanya duduk berjam-jam untuk memilih biji dan sekali-sekali mereka berdiri. Kondisi ini menyebabkan mereka banyak menderita sakit pinggang. Pihak perusahaan juga tidak menyediakan sarana kamar mandi atau WC, sehingga mereka seringkali menahan keinginan buang air kecil. Hal-hal seperti ini amat mudah memicu timbulnya penyakit pada diri perempuan seperti timbulnya infeksi saluran kemih, dan penyakit lain. Buruh perkebunan yang umumnya hidup di pedesaan sering mengalami ketidakadilan seperti gambaran di atas. Kepatuhan buruh perempuan dalam bekerja telah dimanfaatkan oleh perusahaan, seperti yang dialami oleh buruh perempuan pabrik gula di kota kecil di Jawa Tengah. Umumnya menghadapi permasalahan seputar perlakuan di pabrik, tuntutan kerja yang semakin meningkat, padahal imbalannya sangat sedikit (Marcoes, 1995). Lebih lanjut hasil penelitian Indraswari dan Thamrin pada buruh garmen (1995) mengungkapkan bahwa pihak perusahaan lebih leluasa melalaikan penyediaan fasilitas penyelamatan kerja. Pengadaan masker sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah buruh yang ada.
28 Universitas Sumatera Utara