8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka Bagian ini akan membahas berbagai literatur yang berkaitan dengan peran organisasi internasional dalam proses peace building. Ada tiga literatur yang digunakan dalam tulisan ini. Literatur pertama membahas soal upaya UNDP dalam menanggulangi kemiskinan eks-kombatan di Kongo. Literatur kedua membahas terkait peran dari GTZ dalam hal pembangunan sarana fisik dan pemberdayaan lembaga lokal. Literatur ketiga membahas peran UNDP dalam proses post-conflict di Sri Lanka. Penelitian pertama yang dikaji adalah penelitian yang dilakukan oleh Phillipia Haden dan Samil Faltas (2004) dengan judul, Assessing and reviewing the impact of small arms projects of arms availability and poverty: a case study of the Republic of Congo: UNDP/IOM Ex-combatant Reintegrating and Small Arms Collections projects. Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai peran UNDP dalam proses peace building di Kongo. Peran yang dilakukan oleh UNDP adalah mengurangi jumlah kepemilikan senjata para eks-kombatan dan mengintegrasikan mereka kembali ke masyarakat lewat beragam program bantuan ekonomi. Program bantuan ekonomi yang diberikan diharapkan akan mengurangi kemiskinan di antara para eks-kombatan dan membuat mereka tidak lagi berperang melawan pemerintah. Ada tiga dampak yang dihasilkan dari program ini 1) Program ini mempengaruhi kehidupan eks-kombatan, keluarga mereka, serta rekan mereka; 2)
9
Program ini mencegah orang-orang sipil yang tidak bersenjata menjadi korban para eks-kombatan yang memiliki senjata; 3) Program ini berhasil memberikan dampak dari segi ekonomi bagi masyarakat. Terkait dengan dampak yang ketiga yaitu terjadinya perubahan kemampuan ekonomi dikalangan masyarakat, Haden dan Faltas (2004) menjelaskan hal itu karena adanya keberhasilan dari proyek ekonomi mikro yang dilakukan. Namun, Haden dan Faltas (2014) pesimis atas keberlanjutan dari proyek tersebut dalam mengurangi angka kemiskinan secara signifikan di Kongo karena sifat dari programnya tidak menyeluruh di seluruh Kongo dan jangka waktu program ini tidak lama. Penelitian ini memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang akan penulis lakukan di wilayah Sri Lanka, yaitu sama-sama menjelaskan soal program peace building melalui program pengurangan angka kemiskinan. Selain itu kesamaan lainnya adalah dalam hal subyek penelitian yaitu UNDP. Sementara perbedaannya adalah dalam hal obyek penelitian. Haden dan Faltas berfokus pada pengurangan angka kemiskinan di kalangan eks-kombatan, sementara dalam penelitian ini aspek yang ingin dijelaskan adalah program penanggulangan kemiskinan di kalangan suatu kelompok etnis yaitu etnis Tamil, bukan hanya sebatas eks-kombatan. Penelitian kedua adalah penelitian dari Basil Van Horen (2002) dengan judul, Planning for Institusional Capacity in War-Torn Area: The case of Jaffna, Sri Lanka. Program ini dilakukan selama 3 tahun. Penelitian yang dilakukan Horen (2002) berfokus pada persoalan pembangunan kapasitas institusi dan pemberdayaan institusi lokal melalalui program Jaffna Reconstruction Project
10
(JRP). Program ini mendapat dukungan dari Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Dalam penelitian ini Horen berfokus pada aspek bantuan dan desain kelembagaan. Program kapasitas institusi dilakukan dengan cara memberikan bantuan dalam bidang fisik dan desain kelembagaan. Bantuan fisik diberikan dengam cara melakukan perbaikan secara fisik fasilitas yang rusak, sementara desain kelembagaan berkaitan dengan perubahan struktur organisasi dan sumber daya manusia. Dalam penelitiannya Horen (2002) merasa optimis akan hasil dari program yang dilaksanakan karena dilakukan di salah satu pusat konflik di Sri Lanka. Penelitian ini memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang penulis lakukan dalam hal subyek penelitian yaitu organisasi internasional yang melakukan program peace building. Perbedaannya terletak pada skala wilayah dan perbedaan dimensi peace building yang diteliti. Skala wilayah yang diteliti Horen adalah Jaffna (salah satu distrik di Sri Lanka) dan dimensi peace building yang diteliti adalah pengembangan institusi, sementara dalam penelitian ini skala wilayahnya adalah Provinsi Utara dan Timur Sri Lanka dan fokus penelitiannya adalah masalah penanggulangan kemiskinan. Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh K.B. Thangavel (2012) dengan judul Post-Conflict Reconstruction: Role of UNDP in Sri Lanka. dalam penelitian ini dijelaskan mengenai peran yang dilakukan oleh UNDP selama rentang waktu 2006-2009 di Sri Lanka. Dalam penelitian ini Thangavel menyoroti peran UNDP dalam membangun capacity building. Capacity building
11
adalah peningkatan skill, kompetensi, dari suatu masyarakat melalui program pelatihan, sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinan (Thangavel, 2012). Banyak pihak yang mengapresiasi program capacity building ini dikarenakan memberikan dampak peningkatan skill yang berguna bagi masyarakat. Program ini dilaksanakan dengan baik dan memberika dampak besar bagi institusi pemerintahan, seperti kantor catatan sipil dan lembaga kemasyarakatan. Tapi sayangnya program ini belum memberikan hasil maksimal. Penelitian ini menjelaskan segala jenis capacity building mulai dari level politik dan pemerintahan, ekonomi, dan perbaikan hubungan kemasyarakatan yang telah dilakukan oleh UNDP. Menurut Thangavel hasil program capacity building
kurang memuaskan karena program tersebut justru gagal dalam
membangun mediasi antara pihak yang berkonflik. Thangavel menyarankan agar UNDP memperbaiki program capacity building yang telah dijalankannya di Sri Lanka dengan program rekonstruksi yang berbasis kepada masyarakat. Penelitian ini memiliki kesamaan tema dalam hal subyek penelitian yaitu UNDP. Selain itu kesamaan lainnya adalah dalam hal lokasi penelitian yaitu Sri Lanka. Penelitian Thangavel memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu dalam hal aspek yang dianalisis. Thangavel menyoroti secara makro peran dari UNDP dalam proses pasca konflik. Peran yang dianalisis Thangavel mulai dari pembangunan institusi pemerintah dan hukum, perbaikan ekonomi, hingga hubungan kemasyarakatan yang harus diperbaiki melalui rekonsiliasi nasional. Sementara dalam tulisan ini fokus penelitiannya hanya satu yaitu penanggulangan kemiskinan di kalangan etnis Tamil yang dilakukan oleh UNDP.
12
Secara substansi pada umumnya ketiga literatur mengkaji aspek penanggulangan kemiskinan dengan cara yang berbeda. Literatur pertama lebih melihat keutamaan dalam membangun micro project yang berfokus pada pemberian kredit usaha bagi eks-kombatan untuk menanggulangi kemiskinan pasca konflik. Sementara itu, menurut literatur kedua pembangunan kapasitas institusi merupakan hal utama dalam mewujudkan positive peace. Dengan terbangunnya kapasitas institusi lokal, maka institusi tersebutlah yang akan menjadi media yang mewujudkan penyelesaian konflik antar masyarakat, bukan aktor asing. Senada dengan literatur kedua yang melihat pentingnya pembangunan kapasitas institusi dalam mewujudkan positive peace, literatur ketiga juga melihat hal yang sama. Namun, letak perbedaanya dengan literatur kedua adalah dalam hal aspek institusi yang harus diperbaiki. Jika literatur kedua hanya memfokuskan pada institusi pemerintahan, maka literatur ketiga lebih melihatnya dari banyak sisi seperti perbaikan institusi ekonomi, pemerintahan, bahkan hingga institusi yang menyangkut hubungan kemasyarakatan. Dalam penelitian ini secara substansi, penulis justru ingin melihat pendekatan salah satu peran yang dilakukan oleh aktor internasional dalam hal peace building. Mirip seperti literatur pertama dan kedua yang berfokus pada satu hal. Penulis tidak ingin mengkaji banyak aspek seperti yang ada dalam literatur ketiga. Dalam tulisan ini penulis ingin melihat peran dari suatu lembaga dalam hal penanggulangan kemiskinan.
13
2.2. Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembangunan berbasis masyarakat. Teori ini penulis anggap mampu untuk menganalisis program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh UNDP di Provinsi Utara dan Timur Sri Lanka.
2.2.1. Teori Pembangunan Berbasis Masyarakat Teori pembangunan berbasis masyarakat adalah salah satu teori ekonomipolitik internasional. Fokus utama dari pendekatan ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui self-reliance, social-justice, dan participation (Korten, 1990). Teori ini lahir sebagai kritik atas pandangan umum yang menyebutkan sumber dari kesejahteraan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktanya banyak pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak merata dan justru menimbulkan ketimpangan sosial (Baylis dan Smith, 2001) Penyebab dari munculnya ketimpangan sosial tersebut salah satunya dikarenakan perencanaan pembangunan yang sifatnya tidak melalui mekanisme public hearing (mendengar kebutuhan masyarakat). Teori Pembangunan berbasis masyarakat justru berusaha menyelesaikan persoalan ini. Menurut Theresia dkk, (2014), teori pembangunan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai pembangunan
yang
direncanakan
dan
dilaksanakan
oleh
masyarakat.
Pembangunan berbasis masyarakat menekankan pada penggunaan sumber daya lokal. Peran pemerintah dan NGO penggiat pembangunan dalam perspektif teori pembangunan berbasis masyarakat hanyalah sebagai edukator, konsultan, dan
14
fasilitator. Pandangan yang dibawa oleh teori ini adalah masyarakat miskin memerlukan mekanisme penanggulangan kemiskinan yang sifatnya komprehensif. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh David Korten yang merupakan seorang penasehat pada U.S. Agency for International Development pada tahun 1984. Korten menyatakan pertumbuhan ekonomi yang berfokus kepada strategi pembangunan konvesional (mengikuti model Rostow) adalah sifatnya tidak berkelanjutan dan berkeadilan. Ia kemudian menyampaikan bahwa harus dilakukan transformasi dalam hal institusi, teknologi, nilai, dan tingkah laku pihak-pihak yang melakukan pembangunan (Korten, 1990). Puncaknya terjadi pada tahun 1989, dengan dibentuknya The Manila Declaration on People’s Participation and Sustainable Development sets forth principles and guidelines for enacting these transformations. Dengan munculnya deklarasi ini teori pembangunan berbasis masyarakat mulai dipakai oleh banyak institusi global dalam program kerjanya. Teori ini kemudian berkembang hingga diluar disiplin ilmu ekonomi. Pakar hubungan internasional seperti Donal Brown (1995) menyebutkan teori ini sebagai upaya melepaskan diri dari perangkap zero sum game antara pertumbuhan dan pemerataan. Bagi Brown suatu negara yang menjalankan pembangunan tidak harus mempertentangkan kedua hal tersebut. Bahkan Sakiko Fukoda, penulis buku Millennium Development Goal? For People Centered Development Agenda, menyebutkan organisasi internasional saat ini seperti UNDP harus aktif terlibat dalam mengupayakan perdamaian melalui pembangunan. Pembangunan tersebut
15
menurut Fukoda tidak bisa hanya mengandalkan negara, namun juga harus melibatkan masyarakat (Fukoda-Parr, 2015). Teori ini pertama kali mendapat pengakuan dari Earth Summit pada Tahun 1992. Pada tahun 1994, International Conference on Population and Development (ICPD), mengakuinya sebagai rancang bangun dari perekonomian masa depan. Teori ini juga dipakai oleh UNDP semenjak tahun 1990 sebagai patokan dalam mengukur human development indeks suatu negara. Pada tahun 1996, teori ini menjadi acuan dari OECD dalam mendukung pembangunan suatu negara. Ada tiga elemen penting dari teori ini yaitu sustainability, participation, dan justice (Korten, 1990). Sustainability dalam konteks ekonomi berarti penggunaan sumber daya secara efisien agar generasi sekarang dan masa mendatang bisa memanfaatkannya terus (Theresia dkk, 2014). Konsep keberlanjutan berusaha menegaskan arti penting lingkungan dalam bidang ekonomi. Manakala suatu negara yang hanya mengejar pertumbuhan melalui eksploitasi tanpa memperhatikan dampak lingkungannya, maka dampak buruk yang ditimbulkan dari eksploitasi tersebut justru jauh lebih besar. Partisipation
mengandung
makna
keikutsertaan
seseorang
untuk
mengambil bagian dari kegiatan di dalam masyarakat (Theresia dkk, 2015). Partisipasi dilakukan dalam tiga hal yaitu dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, dan pemanfaatan. Partisipasi yang dilakukan haruslah melalui sinergitas tiga pihak yaitu pemerintah, NGO, dan masyarakat. Derajat partisipasi menjadi salah satu penentu keberhasilan program yang dilaksanakan.
16
Justice dalam konteks ini mengandung makna keadilan dalam memperoleh sumber-sumber ekonomi dan memanfaatkannya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan hidup (Korten, 1990). Ada tiga indikator dari justice yaitu 1) local ownership; pemilikan aset-aset produksi bagi masyarakat lokal. 2) kedaulatan masyarakat; hal ini berarti masyarakat berhak untuk memanfaatkan sumber daya alam sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keberlanjutan. 3) Employement and income generation berarti adanya penciptaan lapangan kerja dalam suatu masyarakat lokal. Penciptaan lapangan kerja ini juga haruslah diikuti dengan adanya pembagian pendapatan yang sesuai, sehingga keuntungan dari pemanfaatan sumber daya dapat dinikmati oleh banyak orang. Ketiga elemen tersebut harus dilakukan dalam kaidah yang disebut dengan pemberdayaan. Pemberdayaan adalah usaha untuk memandirikan masyarakat miskin. Pemberdayaan dilakukan dengan cara memasukkan input berupa dana, sarana, dan prasarana yang mendukung rangsangan sosial ekonomi. Proses ini harus diarahkan agar kapasitas masyarakat meningkat dan mampu menjadi agen yang menggerakkan transformasi di wilayahnya. Ada tiga kriteria dalam konsep pemberdayaan yaitu 1) Terarah; dalam artian langsung mengatasi sumber masalah; 2) Mengikutsertakan masyarakat; dan 3) Menggunakan sistem kelompok, tidak person to person (Theresia dkk, 2015).
2.3. Kerangka Konsep Konsep yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah lima yaitu sustainability, participation, justice, peace building, dan poverty. Konsep peace
17
building merupakan konsep utama dalam penelitian ini karena di dalam konsep ini ada indikator-indikator peran yang harus dijalankan oleh suatu organisasi internasional dalam melakukan suatu program peace building.
2.3.1. Sustainability Konsep sustainability atau berkelanjutan sebenarnya mulai masuk ke dalam perdebatan ekonomi semenjak beberapa dekade lalu. Hal ini pertama kali disampaikan oleh Meadow dalam tulisannya yang berjudul The Limits to Growth. Meadow mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya alam. Buku tersebut walaupun mendapat bantahan dari berbai ahli, tapi sudah cukup menyadarkan akan arti pentingnya keberlanjutan dalam pembangunan. Pada tahun 1987 World Commission on Environment and Development melakukan sebuah konferensi penting sebagai tindak lanjut dari pemikiran Meadow. Dalam konferensi tersebut dirumuskan bahwa: sustainability is one that meets the needs of the present without comprimising the ability of the future generations to meet their own need atau pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan-kebutuhan generasi yang akan datang. Ada tiga kriteria dari konsep berkelanjutan menurut Korten (1994): 1) tidak adanya pemborosan sumber daya alam; 2) tidak ada dampak buruk bagi lingkungan; 3) kegiatannya harus berorientasi pada daur ulang sumber daya alam. Senada dengan konsep diatas Sutamiharja (2004) mengemukakan bahwa sasaran
18
dari keberlanjutan itu sendiri ada enam yaitu: 1) pemerataan hasil pembangunan; 2) pengamanan terjadap kelestarian; 3) pemanfaatan dan pengolahan sumber daya alam; 4) mempertahankan kesejahteraan rakyat; 5) mempertahankan manfaat pembangunan; 6) menjaga mutu dari pembangunan.
2.3.2. Participation Partisipasi
merupakan
aspek penting lainnya
yang dalam teori
pembangunan konvensional sering tidak mendapat tempat. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam program pembangunan yang ada. Dengan adanya partisipasi masyarakat diarahkan untuk ikut terlibat dalam penyelesaian masalah kemiskinan yang selama ini mereka hadapi. Menurut Eriscon (1994), bentuk partisipasi dalam program pembangunan ada tiga yaitu: 1. Partisipasi dalam perencanaan Partisipasi dalam proses ini maksudnya pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan rencana dan strategi jalannya program 2. Partisipasi dalam pelaksanaan Partisipasi dala model ini berarti pelibatan masyarakat dalam suatu program kerja atau proyek. Bentuk partisipasinya bisa dalam bentuk tenaga, uang, atau barang materian yang berguna untuk pembangunan. 3. Partisipasi dalam pemanfatan Partisipasi dalam tahap ini maksudnya adalah pelibatan masyarakat dalam mendukung keberadaan proyek yang telah dibangangun. Masyarakat
19
diajak untuk ikut serta merawat dan mengoperasikan hasil pembangunan melalui uang dan tenaga secara bersama-sama.
2.3.3. Justice Justice dalam hal ini diartikan sebagai keadilan dalam memperoleh sumber daya ekonomi yang diperlukan bagi masyarakat dalam program pembangunan. Prinsip ini berperan untuk menjamin bahwa semua orang dan kelompok masyarakat memiliki peluang yang sama dalam program pembangunan. Ada empat prinsip keadilan menurut Theresia (2004) dalam program pembangunan: 1. Perlakuan yang sama bagi semua orang dan kelompok orang dalam proses pembangunan 2. Adanya distribusi manfaat dari pihak-pihak yang terlibat dalam program pembangunan 3. Adanya peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk tetap memperolah manfaat pembangunan 4. Adanya
kompensasi
yang
manusiawi
apabila
pembangunan
mengakibatkan dampak buruk bagi sekelompok orang.
2.3.4. Peace Building Peace merupakan istilah yang abstrak dan memiliki beragam pengertian. Jika dilihat dari asal kata, peace atau damai berasal dari kata dalam Bahasa Latin yaitu Pax yang berarti suatu keadaan damai, padu, sepakat, tenang, tanpa kekerasan, dan harmoni (“peace,” n.d. para. 1). Menurut Merriam-Webster, peace
20
adalah suatu keadaan dimana tidak ada perang dan pertarungan (“peace” n.d. para. 3). Charles Webel (2007) menjelaskan peace adalah seperti “kebahagiaan”, “keadilan”, dan segala yang ideal dalam kehidupan manusia, terkadang sangat personal dan setiap kebudayaan mengharapkannya. Definisi terkait peace yang sampai saat ini banyak dipakai adalah definisi yang disampaikan oleh Johan Galtung. Peace dalam pandangan Johan Galtung terbagi menjadi dua. Galtung dalam Susan (2010) menjelaskan dua pengertian dari peace yaitu positive peace dan negative peace. Negative peace adalah perdamaian yang dicirikan dengan: 1) Perlindungan dari aksi kekerasan; 2) Adanya proteksi oleh masyarakat dan kepastian hukum; 3) Adanya pengakuan dalam hubungan sosial; 4) Terjadinya akomodasi dan penerimaan. Sementara itu, positive peace adalah perdamaian yang dicirikan dengan: 1) Adanya pemberian akses kesejahteraan; 2) Pemberian akses hukum dan keamanan; 3) Akomodasi dan keadilan sosial; 4) Kesetaraan dan persatuan dalam masyarakat. Dapat dilihat dari pengertian ini bahwa kata peace memiliki dua makna yang sangat luas. Dengan munculnya dua pengertian perdamaian ini, maka definisi lama soal peace yaitu keadaan tidak ada perang dinilai kurang tepat. Hasilnya terjadi perubahan paradigma dalam banyak organisasi internasional dalam melihat peace itu sendiri. Jika sebelumnya hanya dikenal istilah peace keeping dan peace making, maka pada tahun 1970 muncul istilah peace building. Istilah ini pertama kali disampaikan oleh sosiolog Johan Galtung. Menurut Johan Galtung, peace building adalah pembentukan struktur perdamaian guna mempromosikan
21
perdamaian yang berkelanjutan dengan mengatasi "akar penyebab" kekerasan dan mendukung kapasitas masyarakat lokal untuk pengelolaan perdamaian dan resolusi konflik (Murithi, 2009). Boutros Ghali (Mantan Sekjen PBB) menjelaskan peace building sebagai tindakan untuk membangun dan mendukung struktur-struktur yang dapat mencegah timbulnya konflik di masa yang akan datang (Murithi, 2009). Organisasi internasional yang menjalankan program peace building pada umumnya akan melakukan beberapa peran. Peran-peran yang dilakukan sangat tergantung dengan dimensi peace building yang sesuai dengan bidang tugas yang diembannya. Peran dari suatu organisasi internasional dalam hal peace building ada lima yaitu peran dalam hal security and rule of law, political and governance, socio-economic recovery, human rights, dan humanitarian assistance (ACCORD, 2013). Dalam tulisan ini peran yang ingin diteliti adalah peran socio-economic recovery. Peran ini penulis nilai paling tepat untuk menggambarkan upaya UNDP dalam menanggulangi kemiskinan di Sri Lanka. Tabel 2.3.3.1 Dimensi dan Indikator Peace Building No 1
Dimension
Indicators
Security and Rule of
Providing a safe and secure environment
Law
Protection of civilians Mine action Security sector reform Disarmament and demobilization Police, correction and judicial reform (Role of
22
Law) 2
Political and Governance
Support the peace process and oversee the political transition Political participation, national dialogue and reconciliation Electoral capacity building and oversight (observation) State and government institution, public administration and civil service capacity building (governance) Extend state authority throughout the territory Conflict management capacity
3
Socio-economic
Reconstructed physical infrastructure
Recovery
Employment and livelihood generation Develop private sector Efficient natural resources management Equitable and fair resources allocation Creation markets, banking and financial institutions
4
Human Rights
Human rights education, advocacy and monitoring
5
Humanitarian
Emergency and early recovery services in the
Assistance
areas of food, water and sanitation, shelter, health,
23
protection and returns of refugees/ internally displayed peoples (IPDs) (Sumber: ACCORD Peace Building, 2013 dengan beberapa perubahan) Jika dilihat dari jenisnya ada dua kenis program peace building yaitu programmatic peace building dan systemic peace building. Programmatic peace building adalah aktivitas tertentu dalam skala terbatas yang bertujuan untuk mendukung tercapainya proses perdamaian, sedangkan systemic peace building adalah segala aktivitas yang bersifat holistik dan mencakup keseluruhan dimensi peace building (ACCORD, 2013). Dalam penelitian ini program peace building yang dilakukan oleh UNDP di Sri Lanka tergolong programmatic peace building karena sifatnya yang terbatas. Perbedaan detail antara programmatic peace building dan systemic peace building dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.3.3.2. Perbedaan Programmatic Peace Building dan Systemic Peace Building Characteristics
Programmatic Peace
Systemic Peace Building
Building Time Frame
Short or medium term
Long term
Funding
Funding is generally project
Often Fragmented from
specific, and so each
various funders
programme will be individually funded Approach
Problem specific
Hollistic approach
Focus
Immediate threats
Conflict as a whole:
24
targeted through a broad strategy. (Sumber: ACCORD, 2013) Aktor yang dapat menjalankan program peace building terbagi kedalam dua jenis yaitu aktor internal dan aktor eksternal. Aktor internal adalah masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak dalam negara yang berkonflik, sementara aktor eksternal adalah pihak-pihak asing yang memiliki fokus dalam hal peace building, seperti NGO asing dan lembaga internasional (UNDP) (ACCORD, 2013). Aktor eksternal pada umumnya akan menjalankan beberapa peran dalam peace building, peran tersebut pada dasarnya secara garis besar terbagi menjadi tiga yaitu consolidating security, strengtening political institutions, dan promoting economic and social reconstruction (ACCORD, 2013).
2.3.5. Kemiskinan Sampai saat ini belum ada definisi yang pasti menyangkut kemiskinan. PBB bahkan memiliki dua definisi kemiskinan yaitu income poverty dan human poverty (Weisfell dkk, 2008). Income poverty atau kemiskinan pendapatan adalah kemiskinan yang didasarkan pada jumlah uang yang dimiliki. Menurut World Bank (2008), orang yang pengeluarannya kurang US$ 1,25 per hari tergolong dalam kelompok yang mengalami kemiskinan ekstrim, sementara orang-orang yang pengeluarannya kurang dari US$ 2 per hari tergolong kelompok miskin moderat (“povert overview,” n.d. para. 2-3). Sementara itu, kebalikan dari income
25
povert adalah human poverty atau kemiskinan kemanusiaan. Human poverty mendasarkan seseorang miskin atau tidak miskin tidak hanya pada satu indikator saja melainkan menggunakan banyak indikator. Terdapat delapan indikator yang harus terpenuhi agar seseorang dianggap tidak miskin. Kedelapan Indikator tersebut lazimnya disebut dengan istilah basic needs. Menurut Anu Madgavar dkk (2014) indikator dari terpenuhinya basic needs antara lain: makanan yang mengandung 60 gram protein dan 40 gram lemak/hari bagi orang dewasa, energi yang dapat digunakan untuk memasak dan menyalakan listrik berdasarkan kebutuhan minimal, rumah permanen yang dapat ditinggali, air minum bersih dan dapat diakses melalui sambungan pipa, sanitasi yang bersih, adanya layanan kesehatan yang mudah diakses, pendidikan minimal pada jenjang SD dan SMP, dan adanya jaminan sosial melalui asuransi.