BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Fenilbutazon 2.1.1.1 Sifat Fisika dan Kimia Rumus struktur
Gambar 2.1. Fenilbutazon (Ditjen POM., 2010). Rumus molekul
: C19H20N2O2
Berat Molekul
: 308,38
Nama IUPAC
: 4-Butil-1,2-difenil-3,5-pirazolidinadion
Pemerian
: Serbuk hablur, putih atau agak putih; tidak berbau.
Kelarutan
: Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam aseton dan dalam eter; larut dalam etanol. Larut dala larutan alkali.
Titik lebur
: 1040-107 0 (Ditjen POM, 2010; The Department of Health, 2002).
2.1.1.2 Farmakologi Derivat pyrazolidin ini (1949) mirip rumuus intinya dengan fenazon. Khasiat antiradangnya lebih kuat daripada daya kerja analgetisnya. Oleh karena obat ini khusus digunakan untuk jenis artritis tertentu (Tjay dan Rahardja, 2007).
6
Universitas Sumatera Utara
Kadangkala fenilbutazon dimasukkan secara ilegal (tanpa dicantumkan pada etiket) pada produk dari pabrik-pabrik kecil asing atau seringkali dalam tonika (dengan Ginseng) untuk keadaan lesu dan letih, nyeri otot dan perasaan lemah. Adalkalanya obat ini dikombinasi dengan kortikosteroida yang dalam obatt-obat demikian sangat berbahaya berhubung efek merusaknya terhadap selsel darah dan efek memperlemahnya sistem imun (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek sampingnya serius antara lain terhadap darah dan lambung, sehingga di banyak negara Barat sudah ditarik dari peredaran sejak akhir tahun 1980-an. Kadangkala fenilbutazon masih digunakan untuk nyeri otot dalam bentuk krem 5% (Tjay dan Rahardja, 2007). Fenilbutazon digunakan untuk mengobati rematoid artritis dan sejenisnya sejak tahun 1949, kemudian secara berurutan didapat turunan fenibutazon, yaitu oksifenbutazon,
sulfinpirazon,
dan
ketofenilbutazon.
Fenilbutazon
juga
mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Efek antiinflamasinya sama dengan salisilat (Kee dan Hayes, 1996). Bila diberikan per oral, absorpsinya akan cepat dan sempurna. Konsentrasi tertinggi dicapai dalam waktu 2 jam. Dengan dosis terapi 98% fenilbutazon dalam plasma terikat pada protein plasma, sedangkan bila konsentrasi lebih tinggi pengikatan dengan plasma protein mungkin hannya 90%. Masa paruh fenilbutazon lama, yaitu 50-100 jam (Kee dan Hayes, 1996).
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Propifenazon Rumus Struktur
Gambar 2.2. Propifenazon (Moffat, et al., 2011) Rumus Molekul
: C14H18N2O
Berat Molekul
: 230,3
Nama IUPAC
: 1,5-dimetil-2-fenil-4-propan-2-nil-pirazol-3-on
Titik lebur
: 103-195 0C
Pemerian
: Berupa kristal putih atau serbuk kristal. Tidak berbau dan terasa agak pahit
Kelarutan
: Mudah larut dalam etanol dan dalam kloroform. Larut dalam eter dan sedikit larut dalam air (Moffat, et al., 2011)
Propifenazon adalah zat analgetik yang telah dikenal cukup lama. Propifenazon adalah contoh analgetika ringan yang digunakan sesuai permintaan. Propifenazon biasanya dikombinasikan dengan NSAID lainnya pada tablet, yang dapat diperoleh tanpa resep di berbagai negara. Propifenazon disebutkan sebagai pencetus reaksi alergi/pseudoalergi di dalam berbagai textbook dan dalam studi epidemiologi, dan dalam berbagai laporan propifenazon dapat menginduksi berbagai tipe reaksi alergi (Himly, et al., 2003).
8
Universitas Sumatera Utara
2.2 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel 2.2.1 Pengertian Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel Spekrofotometri UV-visibel merupakan metode spektrofotometri yang didasarkan pada adanya serapan sinar pada daerah ultraviolet (UV) dan sinar tampak (Visibel) dari suatu senyawa. Senyawa dapat dianalisis dengan metode ini jika memiliki kemampuan menyerap pada daerah UV atau daerah tampak. Senyawa yang dapat menyerap intensitas pada daerah UV disebut dengan kromofor, sedangkan untuk melakukan analisis senyawa dalam daerah sinar tampak, senyawa harus memiliki warna (Fatimah, 2003). 2.2.2 Proses Penyerapan Radiasi pada Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel Radiasi ultravioet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron π terkonyugasi dan/ atom yang mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat enersi elektron dasar ke tingkat enersi elektron tereksitasi lebih tinggi (Satiadarma, dkk., 2004). Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi (Rohman, 2007). Sinar ultraviolet dan sinar tampak (visibel) memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektron (Rohman, 2007). Elektron yang energinya tertinggi dalam molekul, berada dalam tingkat energi elektron dasar, terdapat dalam orbital δ, π, atau n, masing-masing mempunyai keadaan tereksitasi sesuai dengan energi elektron terendah. Transisi elektron yang terkait dengan absorbsi radiasi ultraviolet dan sinar tampak adalah →δ*, δ n→δ*, n→π*, dan
9
π→π*
Universitas Sumatera Utara
(Satiadarma, dkk., 2004). Penyerapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak dibatasi oleh sejumLah gugus fungsional (yang disebut dengan kromofor) yang mengandung elektron valensi dengan tingkat energi eksitasi yang relatif rendah. Elektron yang terlibat pada penyerapan radiasi ultraviolet dan visibel ini ada tiga, yaitu elektron sigma, elektron phi, dan elektron bukan ikatan (non bonding electron) (Rohman, 2007). Menurut Rohman (2007), transisi-transisi elektronik yang terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada empat yaitu transisi →δ*,δ transisi n→δ*, transisi n→π*, dan transisi π→π*. Berikut akan diuraikan keempat jenis transisi : 1. Transisi δ→δ* Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak di antara ultraviolet vakum (kurang dari 180 nm). Jenis transisi ini terjadi pada daerah ultraviolet vakum sehingga kurang begitu bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri ultraviolet-visibel. 2. Transisi n→δ* Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil dibandingkan transisi →δ* δ sehingga sinar yang diserap pun mempunyai panjang gelombang lebih panjang, yakni sekitar 150-250 nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang gelombang kurang dari 200 nm. 3. Transisi n→π* dan transisi π→π* Untuk memungkinkan terjadinya transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam
10
Universitas Sumatera Utara
gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab dengan panjang gelombang 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer ultraviolet-visibel. Perbedaan antara transisi n→π* dan transisi π→π* dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbedaan antara transisi n→π* dan transisi π→π* Transisi π→π*
Transisi n→π* Absorptivitas
molar
(ε)
antara Absorptivitas
10-100 Lcm-1mol-1 Biasanya
pelarut
molar (ε) antara
1000-10000 Lcm-1mol-1 yang
polar Biasanya
pelarut
yang
polar
menyebabkan pergeseran biru atau menyebabkan pergeseran merah hypsocromic shift (pergeseran pita atau bathocromic shift (pergeseran serapan ke arah panjang gelombang pita serapan ke arah panjang yang lebih pendek)
gelombang yang lebih panjang)
2.2.3 Kegunaan Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel Data spektrum ultraviolet-visibel secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit hanya dapat menghasilkan sedikit sekali puncak absorbsi maksimum dan minimum. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektrofotometri inframerah, resonansi magnet inti, dan spektrometri massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi kualitatif suatu senyawa tersebut. Penggunaannya terbatas pada konfirmasi identitas dengan menggunakan parameter panjang gelombang maksimum, nilai absorptivitas, nilai absorptivitas molar, dan nilai koefisien ekstingsi yang khas untuk senyawa yang dilarutkan dalam suatu pelarut
11
Universitas Sumatera Utara
tertentu (Satiadarma, dkk., 2004; Rohman, 2007). Hukum Lambert-Beer menjadi dasar aspek kuantitatif spektrofotometri ultraviolet-visibel. Menurut Hukum Lambert-Beer, serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dengan persamaan : A = a.b.c (g/liter) atau A = ε. b. c (mol/liter) atau A = A11.b.c (g/100 mL) Dimana: A a b c ε A11
= serapan = absorptivitas = ketebalan sel = konsentrasi = absorptivitas molar = absorptivitas spesifik
2.2.4 Komponen Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrometer atau spektrofotometer (Sastrohamidjojo, 1985). Terdapat beberapa tipe spektrofotometer UV-Vis, dengan komponen yang sama yang terdapat pada laboratorium yang merupakan spektrofotometer double beam, yang terdiri dari sumber cahaya, dua sel dimana cahaya akan melaluinya, dan
detektor
untuk
mengukur
jumLah
cahaya
yang
melewati
sel.
Spektrofotometer saat ini biasanya telah dikontrol oleh komputer dan memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi penggunanya, misalnya dalam menunjukkan spektrum dari suatu campuran atau dalam menampilkan grafik kalibrasi untuk menentukan konsentrasi senyawa yang tidak diketahui (Anderson, et al., 2004). Menurut Satiadarma, dkk., (2004) dan Rohman (2007), komponen spektrofotometer Ultraviolet-Visibel adalah sebagai berikut:
12
Universitas Sumatera Utara
1. Sumber-sumber lampu: lampu deuterium digunakan untuk daerah ultraviolet pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara 350- 900 nm. 2. Monokromotor:
digunakan
untuk
memperoleh
sumber
sinar
yang
monokromatis. 3. Optik-optik: dapat didesain untuk memecah sumber sinar melewati 2 kompartemen. 4. Detektor: digunakan sebagai alat yang menerima sinyal dalam bentuk radiasi elektromagnetik, mengubah, dan meneruskannya dalam bentuk sinyal listrik ke rangkaian sistem penguat elektronika. Respon tiap jenis detektor terhadap bagian dari spektrum radiasi tidak sama, sehingga setiap spektrofotometer menggunakan detektor yang paling cocok untuk daerah pengukurannya.
2.3 Spektrofotometri Derivatif 2.3.1 Pengertian Spektrofotometri Derivatif Metode spektrofotometri derivatif atau metode kurva turunan adalah salah satu metode spektrofotometri yang dapat digunaan untuk analisis campuran beberapa zat secara langsung tanpa harus melakukan pemisahan terlebih dahulu waaupun dengan panjang gelombang yang berdekatan (Nurhidayati, 2007). Aplikasi spektrofotometri derivatif menyediakan teknik yang baik untuk menganalisis
campuran
multikomponen
secara
kuantitatif.
Metode
spektrofotometri derivatif telah digunakan secara luas untuk memperbesar sinyal dan menjelaskan puncak-puncak yang saling tumpang tindih disebabkan oleh kemampuannya dalam mendiferensiasi puncak-puncak yang berdekatan, dan
13
Universitas Sumatera Utara
mengidentifikasi puncak-puncak lemah yang dihalangi oleh puncak yang lebih tajam (Ojeda dan Rojas, 2012). Spektrofotometri derivatif adalah teknik yang didasarkan pada derivatisasi spektrum dasar yakni spektrum orde nol. Hasil derivatisasi fungsi dijelaskan lari dari absorbansi kurva disebut spektrum derivatif dan dapat dinyatakan sebagai : n
Dxλ = dnA / dλn = f(λ) atau nDxv = dnA / dvn = f(v)
Dimana: n : orde derivatif, nDxλ atau nDxv menunjukkan nilai dari orde derivatif ken suatu analit (x) pada panjang gelombang analisis (λ) atau pada bilangan panjang gelombang (v), A : absorbansi (Karpinska, 2012). Spektrum serapan normal sampai derivat ke-n dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Spektrum serapan normal sampai derivat ke-n (Karpinska, 2012) Dalam spektrum derivatif, kemampuan untuk mendeteksi dan mengukur gambaran spektrum minor telah jauh ditingkatkan. Peningkatan karakteristik detail spektrum yaitu dapat membedakan spektrum yang sangat mirip dan
14
Universitas Sumatera Utara
mengikuti perubahan halus pada spektrum. Lebih daripada itu, teknik ini dapat digunakan dalam analisis kuantitatif untuk mengukur konsentrasi analit dimana puncaknya dihalangi oleh puncak yang lebih besar dan saling tumpang tindih (Willard, et al., 1988). 2.3.2 Teknik Pengukuran Nilai Derivatif Spektrum derivatif beberapa orde merupakan hasil diferensiasi spektrum orde nol (dasar) dari campuran beberapa komponen. Diferensiasi spektrum dilakukan dengan berbagai metode, biasanya dengan metode analog atau metode numerik. Hasilnya, terlepas dari modus diferensiasi, dapat disajikan secara grafis di atas kertas atau terdaftar dalam memori komputer. Penentuan nilai-nilai derivatif dilakukan dengan cara salah satu dari tiga metode berikut. Pengukuran
Grafis
yang
terdapat
dalam
rekaman
pada
kertas
(menggunakan plot XY) yaitu spektrum derivatif dan zero line. Panjang gelombang dimana nilai derivatif akan diukur kemudian ditandai, dan pada titik ini sebuah garis ditarik tegak lurus terhadap zero line. Panjang A-B adalah nilai derivatif yang dinyatakan dalam satuan panjang (misalnya mm). Kelemahan teknik ini adalah ketidaktelitian pengukuran, terutama bila dilakukan pada sisi curam dari kurva (garis tegak lurus melintasi spektrum derivatif di bawah sudut akut). Kerugian ini dapat dihilangkan dengan menentukan nilai derivatif secara numerik (Kus, et al., 1996). Pengukuran numerik dari nilai-nilai derivatif dilakukan dengan membaca nilai derivatif pada panjang gelombang tertentu (bilangan gelombang) dari set poin (nilai panjang gelombang-derivatif). Suatu set diperoleh sebagai hasil dari diferensiasi spektrum menggunakan algoritma numerik yang tepat untuk memperoleh derivatif. Ketika melihat di spektrum derivatif, misalnya pada
15
Universitas Sumatera Utara
monitor komputer yang terhubung ke spektrofotometer, salah satunya dapat membaca nilai derivatif pada panjang gelombang yang berubah secara bertahap (Kus, et al., 1996).
Gambar 2.4 Pengukuran sinyal derivatif dengan metode Grafik (a) dan metode numerik (b) (Kus, et al., 1996). Teknik zero-crossing terdiri dari pengukuran nilai derivatif pada panjang gelombang (bilangan gelombang), di mana turunan dari komponen campuran menerima nilai nol - melintasi garis nol (Gambar 2.5 a). Kurva A melintasi garis nol pada titik Z, dan kurva B pada titik P- derivatif menerima nilai nol pada titiktitik ini. Dengan cara ini tidak ada efek dari satu komponen pada komponen yang lain. Teknik zero crossing mengizinkan untuk menghilangkan pengaruh komponen yang mengganggu komponen yang ditentukan. Kelemahan dari teknik pengukuran ini adalah presisi pengukuran yang tidak terlalu besar. Titik zero crossing suatu derivat harus ditentukan oleh setidaknya dua konsentrasi (Kus, et al., 1996). Teknik peak-to-peak terdiri dari pengukuran nilai derivatif pada panjang gelombang di mana rasio dari nilai-nilai derivatif HA dari komponen A dengan nilai-nilai derivatif HB dari komponen campur B mencapai nilai terbesar ( Gambar
16
Universitas Sumatera Utara
2.5 b). Penentuan dilakukan dengan mengukur amplitudo (dari kurava maksimum ke kurva minimum) (Kus, et al., 1996). Teknik baseline-to-peak terdiri dari pengukuran nilai derivatif pada panjang gelombang di mana rasio dari nilai derivat HA dari komponen A dengan nilai derivat HB dari komponen campuran B mencapai nilai paling besar ( Gambar 2.5 c). Pengukuran dilakukan dari titik maksimum ke garis nol atau dari titik minimum ke garis nol. Teknik ini adalah versi dari teknik peak-to-peak, dibandingkan dengan yang kurang sensitif (rasio nilai derivatif lebih kecil di sini) (Kus, et al., 1996).
Gambar 2.5 Teknik pengukuran zerro crossing (a), peak-to-peak (b), dan baseline-to-peak (c) 2.3.3 Kegunaan Spektrofotometri Derivatif Metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk analisis kuantitatif zat dalam campuran yang spektrumnya mungkin tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih dengan mengabaikan proses pemisahan zat yang bertingkat-tingkat. Dalam bidang farmasi, karena terkait terapi, penetapan kadar obat adalah kontrol kualitas pada industri farmasi.
17
Universitas Sumatera Utara
Metode spektrofotometri derivatif adalah teknik analisis dengan kemampuan memisahkan campuran obat yang memiliki spektra tumpang tindih (Nurhidayati, 2007).
2.4 Validasi metode Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) diakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis (Rohman, 2007). 2.4.1 Akurasi Akurasi adalah kedekatan nilai hasil uji yang diperoleh melalui metode analisis dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan dengan persen perolehan kembali (% recovery). Akurasi dapat ditentukan dengan dua metode, yaitu spiked-placebo recovery (metode simulasi) dan standard addition method (metode penambahan baku). Pada metode spiked-placebo recovery, analit murni ditambahkan (spiked) ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut dianalisis dan jumLah analit yang dianalisis dibandingkan dengan jumLah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan langsung ke dalam sediaan farmasi. Metode ini dinamakan metode penambahan baku (Ermer dan Mcb.Miller, 2005; Harmita, 2004). Menurut Harmita (2004), dalam metode penambahan baku, sejumLah sampel yang dianalisis ditambah analit dengan konsentrasi biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan, dicampur, dan dianalisis kembali. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya. Dalam kedua
18
Universitas Sumatera Utara
metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. 2.4.2 Presisi Presisi adalah derajat kesesuaian diantara masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis diterakan berulang kali pada sejumLah cuplikan yang diambi dari satu sampel yang homogen.. Sesuai dengan ICH, presisi dilakukan pada 3 tingkattan yang berbeda yaitu keterulangan (repeatability), presisi antara (intermediate precision), dan ketertiruan (reproducibility). Keteruangan yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama(berulang) baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya. Presisi antara yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang berbeda, baik orangnya, peralatannya, tempatnya maupun waktunya. Ketertiruan merujuk pada hasi-hasil laboratorium yang lain (Satiadarma, dkk., 2004; Rohman, 2007). 2.4.3 Spesifisitas Spesifitas adalah suatu ukuran seberapa mampu metode tersebut mengukur analit saja dengan adanya senyawa-senyawa lain yang terkandung di dalam sampel (Watson, 2009). ICH membagi spesifisitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakana antar senyawa yang memiliki struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan. Jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengtor ini (Rohman, 2007).
19
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak dapat dikuantifikasi. Batas deteksi merupakan batas uji yang spesifik menyatakan apakah analit di atas atau dibawah nilai tertentu. Batas Kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman, 2007). 2.4.5 Linieritas Linieritas adalah kemampuan suatu metode untuk memperoleh nilai hasil uji langsung atau setelah diolah secara metematika proporsional dengan konsentrasi analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu (Satiadarma, dkk., 2004). Linieritas dapat ditentukan secara langsung dengan pengukuran analit pada konsentrasi sekurang-kurangnya lima titik konsentrasi yang mencakup seluruh rentang konsentrasi kerja (Ermer dan Mcb.Miller, 2005). 2.4.6 Rentang Rentang adalah interval antara batas konsentrasi tertinggi dan terendah analit yang terbukti dapat ditentukan menggunakan prosedur analisis, dengan presisi, akurasi, dan linieritas yang baik. Rentang biasanya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan hasil uji (persen, bagian per sejuta) (Satiadarma, dkk., 2004).
20
Universitas Sumatera Utara