BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kerangka Teori
2.1.1. Definisi Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak tepat di retina (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007; Lang GK,2000). 2.1.2. Klasifikasi Kelainan refraksi dikelompokkan atas: •
Miopia
•
Hipermetropia
•
Astigmatisma
Miopia Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dibiaskan di depan retina sehingga bayangan yang dihasilkan kabur. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis minus (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007; Lang GK,2000). Pengelompokan miopia berdasarkan penyebabnya:
7 Universitas Sumatera Utara
a. Miopia aksial, miopia yang disebabkan oleh peningkatan panjang antero-posterior bola mata. Merupakan bentuk miopia yang paling sering dijumpai. b. Miopia refraktif, miopia yang disebabkan oleh peningkatan kekuatan refraksi mata. Miopia ini dibedakan atas: •
Curvatural
myopia,
miopia
yang
disebabkan
oleh
peningkatan kelengkungan kornea, lensa, atau keduanya, sehingga kekuatan refraksi meningkat. Misalnya pada keratokonus, atau pada hyperglikemia sedang ataupun berat, yang menyebabkan lensa membesar. •
Index myopia, disebabkan peningkatan indeks refraksi lensa mata.
•
Positional myopia, miopia yang disebabkan pergerakan lensa mata ke anterior (Khurana AK et al,2007).
Pengelompokan miopia secara klinis: a. Simple
myopia,
disebut
juga
miopia
fisiologis
atau
developmental myopia atau school myopia, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola mata atau media refraksinya dan menimbulkan miopia ringan atau sedang. b. Pathological myopia, disebut juga malignant, progressive atau degenerative myopia. Merupakan miopia derajat tinggi akibat pertumbuhan panjang aksial bola mata yang berlebihan (Khurana AK et al,2007).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan waktu terjadinya, miopia dibedakan atas: a. Congenital myopia, miopia yang timbul sejak lahir, biasanya didiagnosa
pada
umur
2-3
tahun.
Miopia ini
biasanya
berhubungan dengan kelainan kongenital seperti katarak, mikrophthalmia, aniridia atau megalokornea. b. Juvenile onset myopia, yaitu miopia yang timbul pada saat usia anak-anak dan remaja antara usia 7-16 tahun. Faktor primer timbulnya miopia ini adalah pertumbuhan panjang aksial bola mata dengan faktor resiko antara lain lahir prematur, riwayat keluarga dan banyak membaca dekat. Semakin dini usia timbulnya miopia maka semakin besar proses pertambahan miopianya. c. Adult onset myopia, yaitu berkisar
20
tahunan.
miopia mulai timbul pada umur
Terlalu
banyak
mambaca
dekat
merupakan faktor resiko untuk miopia ini (Skuta et al,2011). Pengelompokan miopia berdasarkan kekuatan lensa koreksi yang diberikan (derajat): a. Miopia ringan
: -0.25 D s/d -3.00 D
b. Miopia sedang
: -3.25 D s/d -6.00 D
c. Miopia berat/ tinggi
: > -6.00 D
Hipermetropia Hipermetropia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinarsinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata
Universitas Sumatera Utara
tanpa akomodasi dibiaskan di belakang retina, sehingga bayangan yang dihasilkan kabur. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis plus (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007; Leitman MW,2007) Pengelompokan hipermetropia berdasarkan penyebabnya: a. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering dijumpai. Pada hipermetropia ini diameter anteroposterior bola mata lebih pendek dari normal sedangkan total kekuatan refraksi mata normal, b. Hipermetropia
refraktif,
merupakan
hipermetropia
yang
disebabkan oleh penurunan kekuatan refraksi mata. Jenis hipermetropia ini dibedakan lagi atas: •
Curvatural hypermetropia, hipermetropia yang disebabkan oleh penurunan kekuatan refraksi mata akibat kelengkungan kornea, lensa atau keduanya yang lebih tipis dari normal.
•
Index hypermetropia, disebabkan penurunan indeks refraksi lensa mata pada usia tua.
•
Positional hypermetropia, disebabkan pergerakan lensa mata ke posterior (Khurana AK et al,2007).
Pengelompokan hipermetropia secara klinis: a. Simple
atau
developmental
hypermetropia,
merupakan
hipermetropia yang paling sering, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola mata.
Universitas Sumatera Utara
b. Pathological hypermetropia, dihasilkan dari kondisi tidak normal dari mata, bisa kongenital atau didapat (Khurana AK et al,2007; Lang GK,2000). Pengelompokan hipermetropia berdasarkan kekuatan lensa koreksi yang diberikan (derajat): a. Hipermetropia ringan
: +0.25 D s/d +3.00 D
b. Hipermetropia sedang : +3.25 D s/d +6.00 D c. Hipermetropia berat
: > +6.00 D
Astigmatisma Astigmatisma adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar – sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi tidak dibiaskan pada satu titik fokus tetapi pada dua titik fokus atau lebih (membentuk garis fokus) (Skuta et al, 2011; Khurana AK et al,2007; Olver J et al,2005). Pengelompokan
astigmatisma
berdasarkan
meridian
astigmatisma: a. Regular astigmatism Bila meridian-meridian astigmatisma mempunyai orientasi yang konstan pada setiap titik yang melewati pupil. Meridianmeridian
utama
pada
astigmatisma
ini
(meridian
dengan
kelengkungan terbesar dan terkecil) selalu terpisah 90o atau saling saling tegak lurus. Dapat dikoreksi dengan kacamata lensa silindris.
Universitas Sumatera Utara
b. Irregular astigmatism Bila meridian-meridian astigmatisma mempunyai orientasi yang berbeda pada setiap titik yang melewati pupil sehingga sinarsinar sejajar dengan garis pandang dibiaskan tidak teratur. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidakteraturan permukaan kornea atau kekeruhan tidak merata pada lensa. Dapat diterapi dengan lensa kontak rigid (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007). Regular astigmatism
dikelompokkan berdasarkan letak
aksis dan daya bias meridian utama: a. With the rule astigmatism Astigmatisma dimana meridian vertikal lebih lengkung dari meridian horizontal (menyerupai bola American football) dan dikoreksi dengan lensa silindris negatif pada aksis 90o (antara 60o hingga 120o) atau lensa silindris positif pada aksis 180o (antara 0o hingga 30o dan antara 150o hingga 180o). b. Against the rule astigmatism Astigmatisma dimana meridian horizontal lebih lengkung dari meridian
vertikal
(menyerupai
bola
American
football yang
ditegakkan) dan dikoreksi dengan lensa silindris negatif pada aksis 180o (antara 0o hingga 30o dan antara 150o hingga 180o) atau lensa silindris positif pada aksis 90o (antara 60o hingga 120o). c. Oblique astigmatism Merupakan regular astigmatisma yang memiliki meridian utama miring dengan aksis 45o (antara 30o hingga 60o) dan 135o
Universitas Sumatera Utara
(antara 120o hingga 150o) (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007). Regular astigmatism dikelompokkan berdasarkan arah dan posisi titik fokus: a. Simple myopic astigmatism Bila berkas cahaya pada satu meridian terfokus tepat di retina, dan cahaya pada meridian yang lain terfokus pada titik di depan retina ( Bila satu titik fokus tepat di retina dan yang lain di depan retina). b. Compound myopic astigmatism Bila berkas cahaya pada kedua meridian terfokus di depan retina. c. Simple hyperopic astigmatism Bila berkas cahaya pada satu meridian terfokus tepat di retina, dan cahaya pada meridian yang lain terfokus pada titik di belakang retina (Bila satu titik fokus tepat di retina dan yang lain di belakang retina). d. Compound hyperopic astigmatism Bila berkas cahaya pada kedua meridian terfokus di belakang retina. e. Mixed astigmatism Bila berkas cahaya pada satu meridian terfokus pada titik di depan retina dan cahaya pada meridian yang lain terfokus di belakang retina (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007).
Universitas Sumatera Utara
Pengelompokan astigmatisma berdasarkan kekuatan lensa silinder yang diberikan untuk mengoreksi kesalahan refraksi astigmatisma: a. Astigmatisma ringan
: 0.25 D s/d 0.75 D
b. Astigmatisma sedang : 1.00 D s/d 1.75 D c. Astigmatisma berat
: ≥ 2.00 D
2.1.3. Pemeriksaan Teknik pemeriksaan refraksi terdiri dari teknik pemeriksaan secara subjektif dan objektif. a. Pemeriksaan refraksi subjektif Pemeriksaan
refraksi
subjektif
adalah
teknik/metode
pemeriksaan refraksi yang bergantung pada respon penderita dalam menentukan hasil koreksi refraksi. Pada gangguan refraksi sferis, pemeriksaan refraksi subjektif cenderung lebih mudah dilakukan (teknik trial and error) dibanding pada astigmatisma yang cenderung lebih kompleks (teknik kipas astigmatisma dan cross cylinder) (Skuta et al,2011; Khurana AK et al,2007; Lang GK,2000). Trial and error Pemeriksaan refraksi subjektif dengan teknik trial and error dilakukan dengan cara mencoba menempatkan lensa sferis negatif atau positif sehingga didapatkan visus 6/6. Lensa sferis negatif yang dipilih adalah lensa sferis negatif terkecil dan untuk lensa sferis positif, dipilih lensa sferis positif terbesar (Skuta et al,2011)
Universitas Sumatera Utara
Kipas astigmatisma (astigmatic dial technique) Langkah-langkah
yang
dilakukan
pada
pemeriksaan
astigmatisma dengan teknik kipas astigmatisma: 1. Dapatkan visus terbaik dengan menggunakan lensa sferis positif atau negatif. 2. Dilakukan fogging (pengaburan) dengan menggunakan lensa sferis positif sehingga visus menjadi 20/50 (6/15). 3. Dengan menggunakan kipas astigmatisma, penderita diminta memperhatikan dimana garis yang tampak lebih hitam. 4. Ditambahkan lensa silinder negatif pada aksis yang tegak lurus garis yang lebih hitam (pada aksis yang kabur) sehingga seluruh kipas astigmatisma tampak sama hitam. 5. Diturunkan perlahan ukuran lensa sferis positif sehingga didapatkan visus terbaik pada Snellen chart (Skuta et al,2011).
b. Pemeriksaan refraksi objektif Pemeriksaan
refraksi
objektif
adalah
teknik/metode
pemeriksaan refraksi dimana pasien pasif, dan hasil pengukuran diperoleh dari hasil observasi alat yang dipergunakan (Khurana AK et al,2007). Autorefraktometer Autorefraktometer adalah mesin dikontrol komputer yang digunakan pada pemeriksaan refraksi objektif dengan prinsip pengukuran perubahan sinar ketika masuk ke mata pasien.
Universitas Sumatera Utara
Autorefraktometer menentukan secara otomatis hasil koreksi kelainan refraksi. Pemeriksaan yang dilakukan bersifat cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit (Khurana AK et al,2007). Prosedur pemeriksaan: 1. Nyalakan tombol power alat. 2. Bersihkan sandaran dahi dan dagu. 3. Pasien
dipersilakan
duduk
senyaman
mungkin
dan
diinstruksikan untuk menempatkan dahi dan dagunya pada sandaran alat kemudian melihat lurus ke objek (gambar) yang ada di dalam alat. 4. Pemeriksaan dilakukan satu per satu pada mata, dimulai dengan mata kanan terlebih dahulu. 5. Pada saat dilakukan pemeriksaan, objek (gambar) yang dilihat pasien akan bergerak maju mundur sesuai dengan gerakan joystick yang dilakukan pemeriksa untuk mendapatkan fokus. Alat akan membaca secara otomatis dan menentukan objek (gambar) ketika tepat di retina sekaligus memberikan hasil koreksi kelainan refraksi. 6. Setelah selesai dilakukan pengukuran, hasil pengukuran dapat dicetak.
Universitas Sumatera Utara