BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Proyek Konstruksi Proyek konstruksi berbeda dari proyek lainnya, proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek. Proyek konstruksi memiliki karakter yang berbeda. Dalam suatu proyek konstruksi terdapat manajemen yang mengatur jalannya proyek konstruksi sampai selesai. Berikut definisi manajemen proyek konstruksi : a. Manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan koordinasi suatu proyek dari awal hingga berakhirnya proyek untuk menjamin pelaksanaan proyek secara tepat waktu, tepat biaya, dan tepat mutu (Ervianto, 2002). b. Manajemen Proyek adalah penerapan pengetahuan, ketrampilan, sarana dan teknik pada kegiatan proyek agar dapat memenuhi kebutuhan stakeholder dan harapan dari sebuah proyek. (A.A. Gde Agung Yana, 2009) c. Manajemen pengetahuan
Proyek dan
merupakan
ketrampilan,
penerapan baik
secara
keahlian, teknis
ilmu dengan
menggunakan resource terbatas untuk menggapai sasaran yang
4
5
ditetapkan,
supaya
menhasilkan
kinerja,
waktu,
mutu
dan
keselamatan kerja yang optimal.(PT.GBA consultant, 2011) d. Manajemen
proyek
adalah
suatu
proses
dari
perencanaan,
pengaturan, kepemimpinan dan pengendalian dari suatu proyek oleh para anggotanya dengan memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin untuk mencapai sasaran yang diinginkan dan telah ditentukan (Chairil Nizar, 2011)
2.2 Definisi Kepemimpinan Menurut kamus Bahasa Indonesia yang dikutip dari Wikipedia Indonesia, kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan
organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Menurut Janda (dalam Yukl, 1989) kepemimpinan adalah jenis khusus hubungan kekuasaan yang ditentukan oleh anggapan para anggota kelompok bahwa seorang dari anggota kelompok itu memiliki kekuasaan untuk menentukan pola perilaku terkait dengan aktivitasnya sebagai anggota kelompok. Definisi kepemimpinan sebagai karakteristik seseorang menurut Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (2000) bahwa “leaders are agents of change, persons whose act affect other people more than other people’s acts affect them”, atau pemimpin merupakan agen perubahan, orang bertindak mempengaruhi orang lain lebih dari
6
orang lain mempengaruhi dirinya. Sedangkan definisi kepemimpinan sebagai perilaku yaitu menurut Sweeney dan McFarlin (2002) yaitu “leadership involves a set of interpersonal influence processes. The processes are aimed at motivating sub ordinates, creating a vision for the future, and developing strategies for achieving goals”, yang mana bahwa kepemimpinan melibatkan seperangkat proses pengaruh antar orang. Proses tersebut bertujuan memotivasi bawahan, menciptakan visi masa depan, dan mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan. Gibson et al (1992) berpendapat mengenai kepemimpinan bahwa kepemimpinan merupakan suatu upaya penggunaan jenis pengaruh, bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu. Pendapat Miftah Thoha (2007) mengemukakan bahwa pemimpin juga berperan sebagai simbol dan sebagai inspirasi bagi bawahannya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang telah diberikan kepada mereka.
2.3 Teori Lahirnya Kepemimpinan Berdasarkan Veithzal Rivai, 2003 menjelaskan bahwa ada tiga teori tentang bagaimana lahirnya kepemimpinan. Yaitu : a. Teori Genetik “Leaders are born and not made”, menjelaskan bahwa pemimpin ada karena ia telah dilahirkan dengan bakat sebagai pemimpin dalam keadaan bagaimanapun seseorang ditempatkan pada suatu waktu
7
kapanpun ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu, jadi takdir yang menjadikan ia pemimpin. b. Teori Sosial “leaders are made and not born”. Teori ini kebalikan dari teori genetic. Jadi setiap orang bisa menjadi pemimpin bila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu. c. Teori Ekologis Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori di atas yang berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik bila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat pemimpin kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman – pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat
yang
memang
telah
dimilikinya
itu.
Teori
ini
menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetic dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori lahirnya kepemimpinan.
8
2.4 Gaya Kepemimpinan Setiap pemimpin yang ada mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing, berikut macam-macam gaya kepemimpinan : Menurut Lewin, Lippitt, dan White (disadur dari Wibowo, 2011). Gaya kepemimpinan
itu ada tiga macam yaitu autocratic (autokratis), democratic
(partisipatif), dan laissez-faire (kendali bebas). Selain tiga gaya kepemimpinan tersebut saat ini terdapat dua lagi gaya kepemimpinan yang umum dalam organisasi di dunia modern yaitu gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional. 2.4.1 Kepemimpinan Autocratic (Autokratis) Menurut Rivai (2003), kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi. Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan. Menurut
Handoko
dan
Reksohadiprodjo
(1997),
ciri-ciri
kepemimpinan autokratis : a. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
gaya
9
b. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja. c. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota. d. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya. Sedangkan menurut Sukanto (1987) disadur (Rudy, 2013) menyebutkan cirri-ciri gaya kepemimpinan autokratis adalah : a. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin. b. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan dating selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas. c. Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota. Dalam kepemimpinan ini merujuk pada tingkat pengendalian yang tinggi tanpa kebebasan dan partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan. Pemimpin bersifat otoriter, tidak bersedia mendelegasikan wewenang dan tidak menyukai partisipasi anggota. 2.4.2 Kepemimpinan Democratic (Partisipatif) Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral
10
tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri (Rivai, 2006). Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan. Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987) : a. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin. b. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih. c. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok. Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997) : a. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. b. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
11
c. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.
Dalam kepemimpinan ini merujuk pada tingkat pengendalian longgar, namun pemimpin sangat aktif dalam menstimulasi diskusi kelompok dan pengambilan keputusan kelompok, kebijakan atau keputusan diambil bersama, komunikasi berlangsung timbal balik gaya democratic ini sangat baik dimana pemimpin baru saja bergabung dalam organisasi. 2.4.3 Kepemimpinan Laissez-faire (Kendali bebas) Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002). Menurut Sukanto (1987) ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas : a. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu dengan partisipasi minimal dari pemimpin. b. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberi informasi pada saat ditanya.
12
c. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas. d. Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian. Ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997) : a. Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri. b. Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum. c. Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan untuk mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok. Dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin bersifat pasif dan hampir tidak ada pengendalian ataupun pengawasan karena kebebasan mutlak diberikan oleh pemimpin. Dalam gaya ini bisa tercapai sukses bila bawahan berpengalaman dan terampil karena kesuksesan ditentukan per individu. 2.4.4 Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan
ini
bekerja
pada
prinsip
bahwa
ketika
bawahan
menandatangani kontrak untuk berpartisipasi dalam proyek tertentu, mereka mengikuti semua keputusan pemimpin mereka sebagai otoritas tertinggi. Jika kinerja bawahan baik, mereka akan dihargai dan jika kinerja mereka di bawah standar yang diharapkan, mereka akan terkena sanksi sesuai kontrak tertulis.
13
Burns
(Dunford,
1995)
mengemukakan
bahwa
“kepemimpinan
transaksional dicirikan dengan perancangan tujuan-tujuan tugas, penyediaan sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan penghargaan terhadap kinerja”. Dalam hal ini Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (2000) menambahkan, bahwa dalam membantu bawahan mengindentifikasi apa yang harus dikerjakan, pemimpin selalu mempertimbangkan konsep diri dan kebutuhan para bawahan terhadap penghargaan. 2.4.5 Kepemimpinan Transformasional Pemimpin menjual visinya kepada bawahannya, dengan cara yang paling menarik. dalam Kepemimpinan dalam organisasi yang bersifat transformasional memotivasi bawahannya dalam bekerja untuk tugas yang diberikan dengan antusiasme yang besar. Pemimpin benar-benar peduli untuk kesejahteraan anak buahnya dan ingin mereka untuk mempelajari hal-hal yang baru dan sesuai visinya.
Kepemimpinan
kepemimpinan
transformasional
transaksional,
yakni
lebih
merupakan dari
sekedar
perluasan
dari
pertukaran
dan
kesepakatan. Hoy dan Miskel (2008) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional itu proaktif, meningkatkan kesadaran bawahan tentang kepentingan kolektif yang inspirasional, dan membantu bawahan mencapai hasil kinerja yang tinggi luar biasa. Selanjutnya Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (2000) memaparkan bahwa kepemimpinan transaksional akan menyesuaikan berbagai tujuan, arah dan misi dengan alasan praktis.
14
Sementara itu kepemimpinan transformasional, di pihak lain, membuat perubahan besar pada misi unit kerja atau organisasi atau unit kerja, cara-cara menjalankan kegiatan, dan manajemen sumberdaya manusia untuk mencapai misi yang telah ditetapkan. Kouzes dan Posner (Dunford, 1995) mengemukakan karakteristik proses kepemimpinan transformasional sebagai berikut : a. Menantang praktek-praktek atau cara kerja yang sedang berjalan. b. Menginspirasi suatu visi bersama. c. Memberdayakan pegawai untuk bertindak. d. Bertindak sebagai “model berjalan”. e. Memperkuat tekad.
2.5 Kinerja Dalam sebuah proyek kontruksi kinerja merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran proyek. Berikut pengertian kinerja : Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda, maka pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung
15
jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika.(Rivai & Basri, 2004). Menurut Bernadin dan Russel yang dikutip Gomes Lardoso Faustino (2000) “Kinerja adalah outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode tertentu.” Menurut Smith W. Augt yang disadur oleh sedarmayanti (2001) mengungkapkan bahwa kinerja adalah “Output drive from process, human or otherwise” (Kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses). Sedangkan menurut Marihot Tua Efendy (2002) mengatakan bahwa “Kinerja adalah unjuk kerja yang merupakan hasil kerja dihasilkan oleh pegawai atau prilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan perannya dalam organisasi. Kinerja merupakan hasil dan keluaran yang dihasilkan oleh seorang pegawai sesuai dengan perannya dalam organisasi dalam suatu periode tertentu. Kinerja pegawai yang baik adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya instansi untuk meningkatan produktivitas. Kinerja merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi atau instansi. Dalam dunia kerja, kinerja merupakan tolok ukur kontribusi karyawan terhadap perusahaan. Kinerja seorang karyawan dikatakan baik jika karyawan tersebut memberikan hasil kerja maksimal sesuai standar yang telah ditetapkan atau standar yang telah disepakati bersama. Penilaian kinerja karyawan perusahaan, yang biasanya dituangkan dalam bentuk form penilaian kerja
16
karyawan, adalah bentuk evaluasi kinerja karyawan. Tujuan Evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja SDM organisasi, dalam penilaian kinerja tidak hanya semata –mata menilai hasil fisik tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal –hal khusus sesuai dengan bidang dan tugasnya semuanya layak untuk dinilai. Fokus dari penilaian kinerja karyawan tersebut adalah untuk mengetahui seberapa besar produktifitas seorang karyawan dan apakah karyawan tersebut bisa berkinerja baik atau lebih efektif pada masa-masa yang akan datang, sehingga para karyawan, organisasi, dan masyarakat secara keseluruhan semuanya bisa memperoleh manfaat. Menurut As’ad (1998) faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (Ability) dan faktor motivasi (Motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Lawler dan Porter dalam As’ad (1998) yang merumuskan bahwa : a. Human Performance
= Ability x Motivation
b. Motivation
= Attitude x Situation
c. Ability
= Knowledge x Skill
Penjelasan : a. Faktor Kemampuan (Ability) Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kempuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill ) I. Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ di atas rata – rata ( 110-120 ) apabila
17
yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam dalam mengerjakan pekerjaan sehari – hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal. b. Faktor Motivasi ( Motivation ) Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis (1996:346). Pengukuran kinerja juga berarti membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan kinerja sebenarnya yang terjadi. Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan penilaian dan bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat subyektif berarti pengukuran yang berdasarkan pendapat pribadi atau standar pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang lain.
18
Selain itu ada beberapa metode penilaian prestasi kinerja, yaitu Critical incidents (Insiden-insiden Kritis), Work standar (Standar Kerja), Ranking, Forced distribution (Distribusi yang Dipaksakan), Forced-choice and Weighted checklist performance Report (Pemilihan yang Dipaksakan dan Laporan Pemeriksaan Kinerja Tertimbang), Behaviorally anchored scales, Metode Pendekatan Management By Objective. Penilaian kinerja terdiri dari tiga langkah (Dessler, 1997) : a. Mendefinisikan jabatan, yaitu memastikan bahwa penilai dan yang dinilai sepakat tentang tugas-tugasnya dan standar jabatan. b. Menilai kinerja, yaitu membandingkan antara kinerja aktual dengan standard-standard yang telah ditetapkan. c. Sesi umpan balik, yaitu saat membahas kinerja dan kemajuan bawahan serta membuat rencana pengembangan. Penilaian kinerja karyawan merupakan sebuah metode untuk melakukan evaluasi dan apresiasi terhadap kinerja seorang karyawan di sebuah perusahaan. Secara umum terdapat beberapa tujuan utama dari dilakukannya sebuah proses penilaian kinerja karyawan, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Evaluasi yang dilakukan dengan melakukan perbandingan antar orang, yaitu Target dan tujuan utama dari sebuah proses penilaian kinerja karyawan adalah evaluasi penilaian yang dilakukan dengan membandingkan orang per orang. Pengukuran dan penilaian bisa
19
dilakukan
hanya
dengan
melakukan
perbandingan.
Maka
membandingkan kinerja orang per orang merupakan tujuan utama dari sebuah proses penilaian kinerja karyawan. b. Pengembangan sumber daya karyawan. Tujuan lain dari upaya penilaian kinerja karyawan adalah pengembangan kualitas kinerja orang per orang seiring dengan berjalannya waktu. Baik pengembangan yang sifatnya lahir dari diri karyawan sendiri atau dorongan langsung dari pihak pengelola perusahaan. c. Pemeliharaan sistem kerja perusahaan. Upaya penjagaan terhadap sistem kerja dari sebuah perusahaan bisa terus dilakukan salah satunya dengan melakukan penilaian kinerja karyawan. Evaluasi dilakukan secara terus menerus agar kinerjakinerja karyawan tidak keluar dari sistem yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. d. Dokumentasi terhadap keputusan-keputusan terkait sumber daya manusia. Dengan adanya sebuah upaya penilaian kinerja karyawan, akan menjadi bukti dan dokumentasi penting yang dapat berguna bagi pihak perusahaan mengambil keputusan di masa akan datang terkait dengan aspek sumber daya manusia, ataupun kebijakan yang langsung menyangkut kepada pihak individu karyawan.
20
Secara umum penilaian kinerja karyawan berdampak positif bagi banyak pihak, berikut ini pihak-pihak yang akan merasakan dampak positif dari sebuah proses penilaian kinerja karyawan: a. Pihak karyawan Adanya proses penilaian kinerja karyawan akan memberikan dampak positif bagi para karyawan diantaranya adalah munculnya motivasi kerja yang lebih baik, adanya kejelasan dari standar kerja yang sudah dilakukan, umpan balik terhadap kinerja yang sudah lalu, pengembangan
diri,
peluang
untuk
mendiskusikan
berbagai
permasalahan selama menjalankan kerja, peluang berkomunikasi dengan pihak atasan dan sebagainya. Hal-hal positif tersebut akan dirasakan oleh pihak karyawan melalui adanya proses penilaian kinerja karyawan. b. Pihak penilai Ada banyak hal positif yang akan didapatkan oleh pihak penilai melalui adanya upaya penilaian kinerja karyawan. Beberapa diantaranya adalah pihak perusahaan dapat mengetahui dan menilai kecenderungan kinerja masing-masing karyawan, upaya peningkatan kepuasan kinerja yang diinginkan oleh pihak perusahaan, upaya untuk memahami karyawan secara lebih dekat, meningkatkan efektifitas sumber daya manusia sebuah perusahaan, kesempatan bagi pihak atasan untuk menjelaskan kepada para karyawan apa sebenarnya yang menjadi keinginan pihak perusahaan.
21
Ada banyak dampak positif lainnya yang akan diperoleh oleh pihak karyawan maupun pihak perusahaan terhadap adanya proses penilaian kinerja karyawan. Upaya penilaian kinerja karyawan sebaiknya jangan ditakuti sebagai momen pemecatan terhadap karyawan, demikian juga pihak perusahaan hendaknya tidak terburu-buru membuat kebijakan yang menyakitkan bagi karyawan.