4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Permen Jelly
Permen atau kembang gula dikenal sebagai confectionary atau candy, yaitu produk pangan berbentuk padat yang terdiri dari gula sebagai komponen utama. Produk dibuat dengan mendidihkan campuran gula, air, serta bahan pewarna dan pemberi rasa kemudian adonan dimasukkan ke dalam cetakan dan dibiarkan tercetak (Sudaryati et al., 2013). Permen dibedakan menjadi dua macam yaitu permen keras (hard candy) dan permen lunak (soft candy). Syarat dan mutu kembang gula lunak jelly dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Kembang Gula Lunak Jelly (Badan Standarisasi Nasional, 2008) No. Kriteria Uji 1. Keadaan - Rasa - Bau 2. Kadar Abu 3. Kadar Air 4. Gula reduksi (gula invert) 5. Sakarosa 6. Cemaran logam - Raksa (Hg) - Tembaga (Cu) - Timbal (Pb) - Timah (Sn) 7. Cemaran Arsen (As) 8. Cemaran mikroba - E. Coli - Coliform - Salmonella - Staphilococcus aureus - Kapang dan khamir
`
Satuan
Persyaratan
% fraksi massa % fraksi massa % fraksi massa % fraksi massa
Normal Normal Maks 3 Maks 20 Maks 25 Maks 27
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 0,03 Maks 2 Maks 2 Maks 4 Maks 1
APM/g APM/g
<3 Maks 20 Negatif/ 25 g Maks 1x102 Maks 1x102
koloni/g koloni/g
5
Permen jelly merupakan produk yang tersusun atas gula sebagai komponen utama atau campuran gula dengan pemanis lain serta dicampur dengan komponen hidrokoloid seperti agar, gum, gelatin, pati, agar, dan karagenan yang bertujuan memodifikasi tekstur produk menjadi lunak dan mudah dicetak (Nurismanto et al., 2015). Permen jelly memiliki kekenyalan yang tinggi, mudah dipotong, lembut, tidak lengket, dan tidak mudah pecah (Lesmana et al., 2008). Permen jelly termasuk dalam produk pangan semi basah karena tinggi akan kandungan airnya yaitu sekitar 10 – 40% dan nilai aktivitas air (aw) sekitar 0,6-0,9 (Koswara, 2009). Permen jelly memiliki kadar air maksimal 20% (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Penambahan gelling agent pada pembuatan permen jelly bertujuan untuk membentuk tekstur kenyal, empuk dan meleleh saat dimulut, salah satunya dengan penggunaan pati.
2.3.
Pati
Pati merupakan golongan polisakarida yang banyak terdapat pada bagian umbi sebagai cadangan energi tanaman. Pati didapat dengan menghancurkan umbi tanaman dengan ditambah sedikit air lalu diperas, dari hasil perasan tersebut akan terdapat endapan setelah didiamkan beberapa saat, endapan inilah yang disebut pati (Hartati, 2015). Pati memiliki ciri tidak berbau, tidak larut dalam air dingin dan alkohol, tidak berasa atau hambar, berwarna putih susu, serta apabila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi (Kolawole et al., 2013). Pati yang dimasukkan dalam air dingin hanya dapat menyerap air sekitar 5-30% namun larut sempurna dalam air panas (Winarno, 2004). Pengaplikasian pati pada
`
6
produk pangan dapat sebagai gelling agent atau agen pembentuk gel dan menyerap air yang akan membentuk tekstur kenyal pada produk. Pati pada tanaman, umumnya mengandung 20-25% amilosa dan 75-80% amilopektin, fraksi amilosa merupakan fraksi terlarut rantai terbuka dengan ikatan molekul D-glukosa 1,4 glikosidik sedangkan amilopektin termasuk fraksi tidak larut yang memiliki rantai terbuka serta bercabang dengan ikatan molekul Dglukosa 1,4 glikosidik dan sebagian 1,6 glikosidik (Kolawole et al., 2013). Semakin tinggi kandungan fraksi amilopektin maka pati semakin mudah mengalami gelatinisasi, hal ini dikarenakan amilopektin banyak mengandung bagian amorf dimana bagian amorf merupakan daerah yang renggang dan mudah menyerap air, sehingga daya serap granula semakin meningkat (Haryanti et al., 2014). Pati dengan kandungan amilopektin tinggi, membuat granula memiliki kemampuan membengkak lebih besar dibanding dengan pati rendah kandungan amilopektin, sehingga proses gelatinisasi semakin cepat terjadi dengan suhu gelatinisasi yang cenderung rendah (Imaningsih, 2012). Pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi pula dikarenakan daya pengembangan pati yang rendah membutuhkan suhu yang tinggi untuk menyerap air (Jading et al., 2011). Kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan gel yang terbentuk kokoh karena daerah kristal yang terbentuk semakin luas. Kekenyalan permen dipengaruhi oleh penggunaan gelling agent untuk membentuk gel lunak, empuk, dan meleleh saat dimulut, salah satunya dengan penambahan pati. Penambahan pati dalam pembuatan produk permen jelly berperan sebagai agen pembentuk gel yang kuat, pengikat air, menghambat
`
7
kristalisasi, dan berkontribusi terhadap tekstur permen yang dihasilkan yaitu kenyal, lunak, dan bersifat plastis (Sudaryati et al., 2013). Salah satu contoh umbi tanaman yang mengandung pati tinggi yaitu jahe (Zingiber officinale).
2.2.
Jahe (Zingiber officinale)
Jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam suku Zingiberaceae atau temutemuan yang satu famili dengan kunyit, kencur, temulawak, dan temu ireng. Bagian tanaman jahe yang sering dimanfaatkan yaitu bagian rimpangnya. Rimpang jahe mengandung pati, lemak, protein, vitamin A, B, C, asam organik, asam malat, asam oksalat, dammar, oleoresin, dan minyak atsiri atau minyak terbang (Setyaningrum dan Saparinto, 2013). Jahe mengandung senyawa polifenol seperti gingerol serta senyawa turunannya yaitu zingiberon, bisabolene, camphene, linalool, geranial dan borneol yang memberikan ciri khas aroma dan rasa pada produk olahan jahe (Chen et al., 1986 dalam Kaushal et al., 2014). Oleoresin merupakan komponen pemberi rasa pedas khas jahe yang tidak menguap, terdiri atas gingerol dan zingiberen, shogaol, minyak atsiri dan resin dimana zingerol yang dominan memberikan rasa pedas (Kurniasari et al., 2008). Minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap, berperan memberikan bau harum khas jahe serta memiliki warna kehijauan sampai kuning. Komponen utama minyak atsiri yang dominan memberikan aroma harum khas jahe yaitu zingiberen dan zingiberol, aroma harum ini biasanya digunakan sebagai flavouring pada produk pangan (Kurniasari et al., 2008).
`
8
Oleoresin jahe mudah teroksidasi, dimana oksigen akan mengaktifkan enzim polifenol oksidase (PPO), selanjutnya enzim PPO akan mengatalis senyawa fenol yang terkandung pada oleoresin jahe menyebabkan terbentuknya pigmen melonoidin yang berwarna kecoklatan (Andriani dan Yunianta, 2015). Hal inilah yang mempengaruhi warna produk pangan dengan penambahan jahe cenderung memiliki warna kuning hingga kecoklatan. Semakin tinggi senyawa fenol yang terkandung pada oleoresin jahe maka senyawa fenol semakn mudah teroksidasi, sehingga produk olahan jahe akan memiliki tingkat kecerahan yang rendah (Yazakka dan Susanto, 2015). Jahe dibedakan menjadi tiga klon yaitu jahe putih besar (gajah), putih kecil (emprit), dan merah (Setyawan, 2015). Jahe segar mengandung pati antara 40,5 – 59% (Reyes et al., 1982). Jahe emprit dinilai memiliki tingkat kepedasan dan aroma yang tepat untuk diaplikasikan pada produk pangan dibandingkan dua jenis jahe lainnya.
2.4.
Pati Jahe Emprit (Zingiber officinale var. amarum)
Jahe emprit mengandung pati sekitar 58% dari total berat basah (Rahmawati dan Yunianta, 2015). Pati jahe emprit masih mengandung komponen bioaktif yaitu 4-diaril-heptanoid, shogaol, gingerol, dan gingeron yang memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibanding vitamin E (Setyawan, 2015). Semakin banyak pati jahe emprit yang ditambahkan, maka semakin banyak pula kandungan gingerol, shogaol, dan zingeron yang terdiri dari golongan fenol, flavonoid, dan minyak atsiri yang merupakan senyawa bioaktif (Hartati 2015). Kandungan kimia
`
9
dalam pati jahe antara lain: protein 0,18%, lemak 0,1%, abu 0,15%, pH 6,54, amilosa 22,2%, amilopektin 77,8% serta memiliki suhu gelatinisasi antara 76° hingga 85°C (Reyes et al., 1982). Suhu gelatinisasi pati jahe yaitu 78°C, dimana suhu tersebut merupakan suhu minimum terjadinya penyerapan air yang bersifat irreversibel oleh granula menyebabkan pembengkakan dan peningkatan viskositas seiring meningkatnya suhu pemanasan (Kolawole et al., 2013). Terjadinya proses pembengkakan granula pati saat dipanaskan menyebabkan terbentuknya gel yang disebut dengan proses gelatinisasi.
2.5.
Gelatinisasi Pati
Gelatinisasi
merupakan
penyerapan
air
oleh
granula
pati
yang
menyebabkan terjadinya pembengkakan seiring peningkatan suhu, biasanya gelatinisasi mulai terjadi pada suhu 60°-70°C dan meningkat pesat pada suhu 80°90°C (Winarno, 2004). Proses gelatinisasi tiap jenis pati berbeda, pati jagung mengalami gelatinisasi sekitar suhu 50°-60°C dan diikuti peningkatan pembengkakan pesat pada suhu 80°C sedangkan pati jahe mengalami gelatinisasi sekitar suhu 50°-80°C dan diikuti pembengkakan pesat pada suhu 90°C dan diatasnya, sehingga dapat disimpulkan pati jahe memiliki daya pembengkakan lebih rendah dibandingkan pati jagung (Kolawole et al., 2013). Granula antar pati mula-mula berikatan hidrogen, proses pemanasan dan adanya air membuat ikatan hidrogen antar pati melemah dan putus, granula pati kemudian membentuk ikatan hidrogen dengan air yang bergerak bebas menyebabkan air terserap masuk, sehingga terjadi pembengkakan granula (Jading et al., 2011). Ikatan hidrogen
`
10
inilah yang menahan air agar tidak keluar dari granula pati (Harianingsih dan Wibowo, 2016). Daya pembengkakan pati dipengaruhi oleh kadar amilosanya, peningkatan suhu dan lama waktu pemasakan pati menghasilkan pati tinggi amilosa yang didominasi oleh fraksi amilosa dengan bobot molekul rendah, hal ini mengakibatkan rendahnya kemampuan pati untuk mengembang (Haryanti et al., 2014). Peningkatan daya pembengkakan pati (swelling power) disebabkan oleh kadar amilopektin lebih tinggi dibanding kadar amilosanya (Haryanti et al., 2014). Suhu gelatinisasi adalah suhu minimum granula mulai mengalami pembengkakan dan peningkatan viskositas, peningkatan suhu membuat viskositas semakin tinggi, apabila suhu terus ditingkatkan maka granula akan pecah dan amilosa keluar dari granula ke cairan menyebabkan viskositas menurun (Imaningsih, 2012). Viskositas pasta semakin meningkat seiring kenaikan suhu yang dipengaruhi oleh kemampuan granula dalam memerangkap air hingga titik optimal pembengkakan kemudian terjadi penurunan viskositas yang disebabkan pecahnya granula pati dan molekul pati terdispersi ke dalam fase air (Copeland et al., 2009). Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh konsentrasi pati yang ada dalam adonan. Adonan yang semakin kental maka suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Proses gelatinisasi yang memerlukan waktu pemasakan lebih lama mengakibatkan amilosa dengan berat molekul rendah meluruh, hal ini membuat kemampuan pembengkakan granula cenderung menurun (Haryanti et al., 2014). Mula-mula pati memiliki viskositas 0 Brabander Unit sebelum proses pemanasan,
`
11
setelah dilakukan pemanasan, granula mengalami pembengkakan sedikit demi sedikit hingga titik tertentu seiring diikuti kenaikan viskositas, setelah pembengkakan maksimum maka pati mengalami degradasi menyebabkan viskositasnya menurun (Hustiany, 2006). Proses gelatinisasi dimulai dari air mula-mula bergerak bebas di luar granula, kenaikan suhu membuat ikatan hidrogen antar molekul pati terputus, air kemudian terserap masuk ke dalam granula membentuk ikatan hidrogen antara pati yang ditandai dengan peningkatan viskositas (Jamaluddin et al., 2014). Granula akan mengalami pembengkakan akibat air yang terus diserap, terjadi perusakan ikatan hidrogen intramolekuler, gugus hidroksil akan bebas menyerap air
yang
menyebabkan
pembengkakan,
sehingga
berpengaruh
terhadap
viskositasnya (Richana dan Sunarti, 2004). Proses gelatinisasi juga terjadi pada pembuatan permen jelly yang ditambahkan pati sebagai bahan gelling agent, kemudian dicampur dengan bahan-bahan pembuatan permen lainnya seperti air, gelatin, agar-agar, pektin, dan sukrosa untuk memodifikasi tekstur.
2.6.
Bahan Baku Pembuatan Permen Jelly
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan permen jelly terdiri dari air, sukrosa, dan gelling agent (karagenan, gelatin, agar, gum, pektin, dan lain-lain). Air merupakan komponen terbanyak dalam permen jelly, berfungsi melarutkan semua bahan, gula berfungsi memberikan rasa manis, membentuk tekstur, dan komponen yang mengikat air, sedangkan gelling agent berfungsi sebagai pembentuk tekstur kenyal dan pengental.
`
12
2.6.1. Air
Air
merupakan
komponen
penting
dalam
bahan
pangan
yang
mempengaruhi kenampakan, tekstur, kesegaran, daya terima, cita rasa, dan daya tahan pada bahan pangan tersebut (Winarno, 2004). Penambahan air dalam pembuatan permen berfungsi untuk melarutkan gula serta mengontrol kepadatan permen. Air digunakan untuk melarutkan bahan pembentuk gel kemudian terus diaduk hingga larut lalu ditambahkan sukrosa dan yang terakhir penambahan flavor permen. Bila sebuah kristal gula melarut, molekul-molekul air bergabung secara ikatan hidrogen pada gugus polar molekul gula yang terdapat di permukaan air kristal gula tersebut (Winarno, 2004).
2.6.2. Sukrosa
Sukrosa termasuk golongan karbohidrat, rasanya manis, berwarna putih, higroskopis, dan larut dalam air. Sukrosa termasuk dalam golongan disakarida yang terdiri dari glukosa dan fruktosa. Sukrosa merupakan bahan dasar pembuatan permen sebagai pemanis dan sumber padatan (Daniela et al., 2015). Sukrosa jika dipanaskan akan membentuk cairan jernih yang kemudian berubah warna menjadi kecoklatan akibat terbentuk karamel (Koswara, 2009). Tekstur permen semakin bertambah keras seiring bertambahnya konsentrasi gula. Konsentrasi sukrosa yang terlalu tinggi membuat tekstur permen semakin keras, sebaliknya konsentrasi yang terlalu rendah, membuat tekstur permen menjadi kurang keras, mudah meleleh, dan lengket sehingga menurunkan mutu dan penerimaan permen (Daniela et al., 2015). Penggunaan sukrosa pada pembuatan permen jelly digunakan sebagai
`
13
bahan utama yang memberikan rasa, aroma, dan tekstur permen yang khas. Penambahan sukrosa membuat gel lebih kokoh terhadap kerusakan mekanik (Winarno, 2004).
2.6.3. Agar-Agar
Agar-agar merupakan produk olahan pangan dari ekstrak rumput laut yang tinggi akan kandungan serat dan tidak berasa. Agar-agar berasal dari rumput laut merah kelas Rhodophyceae dan memiliki polimer galaktosa yaitu dari marga Gracillaria, Gelidium dan Eucheuma (Rasyid, 2004). Agar-agar biasanya dimanfaatkan dalam industri farmasi, pangan, biologi, dan lainnya sebagai zat pengental, penstabil, pengemulsi, dan pensuspensi. Sifat agar-agar yaitu berbentuk serbuk kering, larut dalam air panas, apabila didinginkan sampai suhu tertentu akan membentuk gel yang jernih, hambar, dan sering digunakan sebagai bahan pembuat gel dan pemantap (Distantina et al., 2006). Terbentuk gel agar-agar yang mantap terjadi pada kisaran pH 4,5-9. Penggunaan agar-agar dalam pembuatan permen jelly dapat membentuk gel, penggunaan yang terlalu rendah menyebabkan gel yang terbentuk remah dan terlalu kenyal sedangkan jika konsentrasinya terlalu tinggi maka gel akan kaku, keras, dan tidak kenyal (Santoso, 2007). Proses pemasakan agar dengan air pada suhu 60-70°C membuat agar meleleh dan akan membentuk gel setelah didiamkan atau didinginkan hingga suhunya ± 37°C (Santoso, 2007).
`
14
2.6.4. Gelatin
Gelatin merupakan gelling agent dari kolagen pada kulit, tulang, dan kasein tulang. Gelatin adalah protein yang larut, diperoleh melalui hidrolisis parsial dari bahan yang tinggi akan kandungan kolagen seperti kulit dan tulang baik pada babi, sapi, ikan, atau hewan lainnya (Hastuti dan Sumpe, 2007). Gelatin dalam bentuk bubuk, memiliki kadar air 8-12% tinggi akan kandungan protein sekitar 84-86%, mineral 2-4%, dan hampir tidak mengandung lemak (Hastuti dan Sumpe, 2007). Gelatin dibedakan menjadi dua tipe, gelatin tipe A dibuat dari kulit hewan muda yang proses pelunakannya berlangsung cepat dengan melakukan perendaman dalam asam dan gelatin tipe B berbahan baku dari tulang atau kulit hewan tua yang proses perendamannya berlangsung lebih lama menggunakan larutan basa (Lesmana et al., 2008). Sifat gelatin yaitu tidak berbau, tidak berasa, larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glikol, manitol dan sorbitol, tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzena, petroleum eter dan pelarut organik lainnya. Penambahan gelatin dalam pembuatan permen lunak berkisar antara 7-9%, apabila penambahannya terlalu rendah akan menghasilkan tekstur remah dan sebaliknya apabila penambahannya terlalu banyak menyebabkan tekstur menjadi gumming dan elastis (Whistler dan Miller, 1993). Gel yang terbentuk oleh gelatin terjadi karena pemanasan menyebabkan denaturasi protein menjadi polipeptida dengan lipatan terbuka, polipeptida dengan lipatan terbuka kemudian bergabung membentuk jalinan yang disebut matriks yang memerangkap air didalamnya menjadi matriks yang kokoh (Ward dan Courts, 1997 dalam Lesmana et al.,
`
15
2008). Penambahan gelatin dalam pembuatan permen jelly berfungsi untuk menghambat kristalisasi gula, gelling agent yang bersifat reversible yaitu saat dipanaskan akan mencair dan apabila didinginkan akan membentuk gel serta mengubah sifat fisik dan kimia produk permen tersebut (Rahmi et al., 2012).
2.6.5. Pektin
Pektin termasuk gelling agent golongan karbohidrat polisakarida yang diperoleh dari ekstrak bagian buah-buahan yaitu pada bagian kulit buah. Pektin terdapat di antara dinding selulosa dan hemiselulosa sel primer tanaman yang berfungsi sebagai perekat antar dinding sel satu dengan lainnya (Winarno, 2004). Pektin memiliki ciri berwarna putih kekuningan, berbentuk serbuk, tidak berbau, serta larut dalam beberapa pelarut seperti air, asam, dan senyawa alkalis, tidak larut dalam alkohol maupun aseton yang sering digunakan dalam pembuatan jelly (Tuhuloula et al., 2013). Pektin didapatkan melalui ekstraksi, dalam proses tersebut terjadi hidrolisis protopektin menyebabkan perubahan protopektin menjadi pektinat atau pektin karena proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu dalam suasana asam (Tuhuloula et al., 2013). Protopektin merupakan senyawa pektin yang tidak larut, apabila protopektin dipanaskan dalam air suasana asam maka akan terjadi perubahan menjadi pektin yang dapat larut dalam air, hal inilah yang membuat buah maupun sayuran mengalami pelunakan tekstur bila dimasak dalam air panas (Winarno, 2004). Penambahan pektin dalam pembuatan permen jelly berfungsi sebagai pengental, pemantap, dan pembentuk tekstur gel. Pektin yang ditambahkan ke
`
16
dalam bahan pangan akan terbentuk sistem dispersi homogen yang kuat menyebabkan peningkatan kekentalan serta mengurangi kadar air pada bahan tersebut seiring meningkatnya konsentrasi pektin yang ditambahkan (Juwita et al., 2014). Terbentuknya gel oleh pektin dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, persentase gula, serta pH. Konsentrasi penambahan pektin yang semakin tinggi menyebabkan terbentuknya gel yang keras. Konsesntrasi pektin 1% telah menghasilkan kekerasan gel yang mantap (Winarno, 2004). Persentrase gula yang ditambahkan ke dalam bahan pangan maksimal 65%, konsentrasi yang terlalu tinggi menyebabkan terbentuk kristal-kristal di permukaan gel (Winarno, 2004).
2.7.
Parameter Kualitas Permen Jelly “Tuljaenak” Parameter kualitas permen “tuljaenak” yang diamati yaitu sifat-sifat fisik
terdiri dari kadar air, aktivitas air (aw), springiness (kekenyalan), warna lightness (L), serta mutu hedonik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan overall.
2.7.1. Kadar Air
Kadar air adalah komposisi air yang terikat secara fisik dalam jaringan matriks yang mudah diuapkan (air bebas) dan air yang terdapat pada komponen bahan pangan (air terikat), kedua jenis air ini berpengaruh terhadap laju dan lama proses pengeringan (Winarno, 2004). Air bebas adalah air yang terikat secara fisik dalam matrik komponen bahan pangan dan mudah dikeluarkan dengan proses pengeringan (Andarwulan et al., 2011). Kadar air kembang gula lunak bukan jelly maksimal sebesar 20% (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Penambahan bahan
`
17
pembentuk gel seperti pati memiliki kemampuan menyerap air yang tinggi karena kandungan gugus hidroksil pati yang sangat besar, semakin tinggi konsentrasi pati yang ditambahkan maka kadar airnya semakin besar (Harzau dan Estiasih, 2013). Penggunaan gelling agent berfungsi memerangkap air yang semula bergerak bebas mengalir, semakin banyak gelling agent yang ditambahkan dalam adonan permen maka semakin banyak jumlah air yang terikat daripada air yang menguap pada saat proses pemasakan (Rahmi et al., 2012). Penyerapan air oleh granula memiliki titik optimum, kemudian air yang terserap akan semakin banyak, sehingga ukuran pembengkakan granula makin meningkat hingga batas tertentu sampai akhirnya granula pati pecah menyebabkan kadar air turun karena air yang mulanya terikat menjadi terdifusi keluar (Prabasini et al., 2013). Kadar air bahan pangan berpengaruh terhadap kesegaran, kenampakan, penerimaan, tekstur, serta daya tahan bahan pangan tersebut (Winarno, 2004). Kandungan air yang tinggi mengakibatkan produk mudah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh bakteri, khamir, maupun kapang serta kerusakan enzimatik (Richana dan Sunarti, 2004). Penentuan kadar air dilakukan dengan metode pengovenan pada suhu 105°-110°C selama 4 jam hingga diperoleh berat konstan, selisih berat sebelum dan sesudah pengovenan merupakan banyaknya air yang dapat diuapkan (Winarno, 2004).
2.7.2. Aktivitas Air (aw) Aktivitas air (aw) adalah air bebas pada bahan pangan yang dapat membantu pertumbuhan mikroba serta aktivitas reaksi kimia pada bahan pangan
`
18
karena di dalam air bebas terkandung beberapa nutrien yang dapat dimanfaatkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang (Legowo et al., 2007). Aktivitas air (aw) merupakan parameter yang menunjukkan besarnya air bebas dalam suatu produk yang digunakan mikroba untuk hidup, semakin kecil nilai aw suatu produk maka semakin terhambat aktivitas mikroba pembusuk dan umur simpan produk tersebut semakin panjang (Sinurat dan Murniyati, 2014). Kandungan air dalam bahan pangan berpengaruh terhadap daya tahan mikroba, berbagai mikroba memiliki aw minimum agar dapat tumbuh baik misalnya aw bakteri : 0,90 ; aw khamir : 0,800,90; aw kapang : 0,60-0,70 (Winarno, 2004). Aktivitas air (aw) setiap produk pangan berbeda-beda. Permen jelly termasuk ke dalam produk semi basah memiliki kadar air yang tinggi sekitar 1040% dari beratnya serta memiliki nilai aw sekitar 0,6 – 0,9, dimana pada kisaran nilai aw tersebut mikroba patogen dan pembusuk terhambat pertumbuhannya (Koswara, 2009). Semakin tinggi kadar airnya maka nilai aktivitas air (aw) bahan pangan tersebut juga semakin meningkat karena semakin banyak air yang diserap (Sinurat dan Murniyati, 2014). Semakin tinggi penambahan konsentrasi pati jahe maka semakin tinggi nilai aw nya karena semakin banyak air bebas yang terikat dalam granula.
2.7.3. Warna Lightness (L)
Lightness (L) adalah derajat kecerahan bahan pangan yang apabila di ukur dengan alat digital colorimeter akan tampak dari nilai L yang semakin mendekati 100. Analisis warna metode Colorimeter menghasilkan nilai L*a*b* dimana nilai
`
19
L menyatakan parameter kecerahan dari hitam (0) sampai putih (100) (AOAC, 1995 dalam Koswara dan Diniari, 2015). Lightness (L) menyatakan tingkat gelap dan cerah dengan kisaran 0 hingga 100 dimana 0 menunjukkan warna sangat gelap, sedangkan 100 menunjukkan warna sangat terang atau putih (Purwanto et al., 2013). Warna pada produk pangan mempengaruhi daya penerimaan konsumen. Sebelum faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna cenderung tampil lebih dulu, sehingga daya terima konsumen berawal dari tampilan warna produk. Produk pangan dengan warna menarik membuat konsumen tertarik untuk mencicipi, kemudian timbul penilaian sensori lainnya. Jahe mengandung senyawa polifenol seperti gingerol serta senyawa turunannya yaitu zingiberon, bisabolene, camphene, linalool, geranial dan borneol yang memberikan ciri khas aroma dan rasa pada produk olahan jahe (Kaushal et al., 2014). Hal inilah yang mempengaruhi warna produk olahan jahe cenderung berwarna kuning hingga kecoklatan. Senyawa fenol merupakan senyawa yang mudah mengalami oksidasi, oksida inilah yang menyebabkan terbentuk senyawa keton yaitu kuinon menghasilkan warna coklat (Yazakka dan Susanto, 2015). Oksidasi yang terjadi pada oleoresin jahe menyebabkan warna cenderung gelap, oleoresin kaya akan senyawa fenol yang apabila teroksidasi membentuk senyawa melanoidin berwarna kecoklatan (Andriani dan Yunianta, 2015).
`
20
2.7.4. Springiness (Kekenyalan)
Springiness (kekenyalan) adalah kemampuan suatu produk pangan untuk kembali ke bentuk semula setelah diberikan gaya. Nilai springiness menunjukkan kemampuan produk pangan tersebut untuk kembali ke bentuk aslinya setelah gaya deformasi dihilangkan (Sarifudin et al. 2015). Permen lunak jelly memiliki tingkat kekenyalan yang tinggi. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut (Winarno, 2004). Penambahan pati dan bahan pembentuk gel lainnya dapat digunakan memodifikasi tekstur, sehingga menghasilkan produk cukup lunak (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Penggunaan gelling agent pada produk pangan akan memberikan aspek sensoris khususnya tekstur menjadi lebih baik, jenis gelling agent yang berbeda maka menghasilkan karakteristik gel yang berbeda pula. Terjadinya proses gelatinisasi berkontribusi dalam membentuk tekstur produk yang kenyal dan elastis. Proses pemanasan membuat ikatan hidrogen antar pati melemah dan terputus, air kemudian terserap masuk ke dalam granula pati menyebabkan pembengkakan (Jading et al., 2011). Ikatan hidrogen antar pati yang semakin mudah melemah menyebabkan semakin mudahnya air masuk dan membentuk ikatan hidrogen dengan pati, ikatan hidrogen inilah yang menahan air agar tidak keluar dari granula pati, sehingga tekstur produk menjadi kenyal atau elastis (Harianingsih dan Wibowo, 2016). Tingginya amilopektin membuat gel yang terbentuk kurang elastis, sedangkan amilosa berperan dalam membentuk gel yang kokoh dan kuat (Indrianti et al., 2013).
`
21
2.7.5. Mutu Hedonik
Uji mutu hedonik merupakan uji dimana panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan secara subjektif mengenai suka atau tidak suka terhadap produk pangan. Penilaian mutu hedonik menggunakan indera penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan, dan pendengaran dimana panel diminta untuk memberikan tanggapan terhadap suatu produk. Tingkat kesukaan disebut skala hedonik yang berkisar 1-5 (Daniela et al., 2015). Pengujian mutu hedonik dilakukan oleh panelis agak terlatih dengan jumlah sebanyak 25 orang. Pada uji mutu hedonik, masing-masing parameter memiliki skor penilaian mulai dari terendah hingga tertinggi yaitu 1,2,3,4, dan 5 dimana nilai 1 menunjukkan penilaian sangat tidak suka, nilai 2 menunjukkan tidak suka, nilai 3 menunjukkan agak suka, nilai 4 menunjukkan suka, dan nilai 5 menunjukkan sangat suka (Nurbaya dan Estiasih, 2013). Uji mutu hedonik terhadap kesukaan panelis dengan skala hedonik dari suka hingga tidak suka (Koswara dan Diniari, 2015).
`