BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Biologi Ikan Nilem (Ostheochilus hasselti C.V)
2.1.1 Klasifikasi dan Ciri-ciri Ikan Nilem (Ostheochilus hasselti C.V) Ikan nilem yang terletak pada gambar 1 merupakan ikan air tawar yang termasuk famili cyprinidae. Menurut Retno (2002) klasifikasi ikan nilem adalah sebagai berikut : Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus Species
: Pisces : Ostariophysi : Cyprinoidea : Cyprinidae : Cyprininae : Ostheochilus : Ostheochilus hasselti cuvier and valenciennes (Ostheochilus hasselti C.V)
Gambar 1. Ikan Nilem (Ostheochilus hasselti C.V)
Ciri – ciri ikan nilem adalah badan memanjang dan pipih ke samping (compress) memiliki panjang baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat disembulkan dengan bibir berkerut, sungut ada dua pasang dan permukaan sirip punggung terletak di permukaan sirip dada. Menurut siripnya warna ikan nilem dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan nilem yang berwarna coklat kehitaman dan coklat kehijauan pada punggungnya, terang dibagian perut dan ikan nilem dengan punggung merah (Hardjamulia 1980 dalam Retno 2002).
5
6
Ikan nilem merupakan jenis ikan sungai atau perairan tawar yang bentuknya mirip ikan mas, tawes, dan karper, hanya perbedaannya lebih kecil, badannya memanjang, dan sirip punggungnya lebih panjang. Pada kedua sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba. Ukuran yang dipelihara di kolam biasanya hanya sekitar 25 cm dengan berat lebih kurang 150 gram. Di perairan bebas dapat mencapai 32 cm. 2.1.2 Habitat Ikan Nilem Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan endemik (asli) Indonesia yang hidup di sungai – sungai dan rawa – rawa. Di habitat tersebut mudah ditumbuhi pakan alami dari kelompok peryphyton seperti cyanophyceae, chlorophyceae yang berfungsi sebagai sumber makanan penting bagi invertebrata, berudu, dan ikan. Peryphyton juga berfungsi sebagai indikator penting dari kualitas air, dan mampu menghilangkan polutan padat dan terlarut serta mampu mengurangi kekeruhan. Peryphyton memiliki respon yang cepat terhadap perubahan kualitas air. Selain peryphyton di sungai dan rawa-rawa ditumbuhi dengan ceratophyllum atau tanaman hornwort yang sering mengambang di bawah permukaan air dan bereproduksi dalam jumlah besar, yang mana berfungsi untuk melindungi ikan yang sedang bertelur, serta mampu memproduksi oksigen tinggi, biasanya tanaman hornwort ini digunakan di akuarium air tawar. Ikan nilem hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran kandungan oksigen terlarut yang cukup yaitu 5-8 mg/L (Cholik et al.2005). Di daerah tropis umumnya ikan nilem dipelihara dengan baik pada daerah dengan ketinggian 150 – 1000 m dari permukaan laut, tapi ketinggian optimumnya 800 m dari permukaan laut. Ikan nilem akan melakukan pemijahan pada kondisi oksigen berkisar antara 5-6 mg/L, karbondioksida bebas yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan yaitu ≤ 1 ppm (Willoughby 1999). Suhu yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan nilem berkisar antara 18 - 28°C (Asmawi 1983) dan untuk pH berkisar antara 6 - 8,6 ppm, serta kandungan ammonia yang disarankan adalah < 0,5 mg/L (Susanto 2001) .
7
2.1.3 Kebiasaan Makan Ikan Nilem Makanan ikan nilem yaitu detritus dan jasad penempel peryphyton seperti ganggang (chlorophyceae, cyanophyceae), cyanobacteria, mikroba heterotrofik, dan detritus yang melekat dan terendam pada permukaan air. Pada stadia larva dan benih, ikan nilem memakan fitoplankton dan zooplankton atau jenis alga ber-sel satu seperti diatom dan ganggang yang termasuk ke dalam kelas cyanophyceae dan chlorophyceae yang mengandung klorofil a dan klorofil b dan protein (Syandri 2004; Cholik et al. 2005), sedangkan ikan nilem dewasa memakan tumbuh-tumbuhan air seperti chlorophyceae, characeae, ceratophyllaceae, polygonaceae (Susanto 2001). Dari kelompok famili ciprinidae ikan nilem termasuk ikan yang tahan terhadap serangan penyakit, diduga dengan kebiasaan makan ikan nilem termasuk kedalam kelompok omnivora dimana pakan yang dikonsumsi didominasi dengan pakan alami dari kelompok ganggang yang mudah tumbuh di perairan, yang disinyalir banyak mengandung anti bodi. Dengan mayoritas makanannya berupa peryphyton dan tumbuhan yang menempel di jaring apung, dengan demikian ikan nilem dapat berfungsi sebagai pembersih jaring apung (Jangkaru 1989). 2.1.4 Reproduksi Ikan Nilem Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenis atau kelompoknya. Ikan memiliki reproduksi yang berbeda-beda tergantung pada jenis, tingkah laku dan habitatnya. Sebagian ikan memiliki jumlah telur banyak, namun ukuran telur tersebut relatif kecil dan sintasannya rendah. Sebaliknya ikan yang memiliki telur yang sedikit mempunyai ukuran telur yang besar. Reproduksi ikan dikontrol oleh kelenjar pituitari yaitu kelenjar hipotalamus, hipofisis dan gonad yang dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi reproduksi diantaranya yaitu temperatur, cahaya, dan cuaca. Ikan nilem betina dapat mulai dipijahkan dari umur satu hingga satu setengah tahun dengan berat badan sekitar 100 g. Ikan jantan sudah mulai dipijahkan sekitar umur delapan bulan. Induk betina dapat dipijahkan setiap tiga
8
dan empat bulan sekali. Ikan jantan dan betina dapat dibedakan dengan cara memijit bagian perut ke arah anus. Ikan jantan akan mengeluarkan cairan putih susu dari lubang genitalnya, sedangkan betina tidak. Induk betina yang sudah matang telur dapat dicirikan dengan perutnya yang relatif membesar dan lunak bila diraba, serta dari lubang genital keluar cairan jernih kekuningan bila perut perlahan-lahan ke arah anus. Induk yang dipijahkan diberok dahulu selama tiga sampai tujuh hari. Pemberokan jantan dan betina sebaiknya pada kolam yang terpisah (Sumantadinata 1983). Ikan nilem memiliki potensi reproduksi yang cukup tinggi. Seekor nilem betina dapat menghasilkan telur sebanyak 80.000 – 110.000 butir telur/ kg bobot induk dan memijah sepanjang tahun. Pemijahan secara alami di mulai pada awal musim penghujan. Ikan nilem mulai memijah pada umur sekitar satu tahun dengan panjang sekitar 20 cm dan berat di atas 120 g (Cholik et al. 2005). Telur ikan nilem banyak mengandung kuning telur yang mengumpul pada suatu kutub. Warna telur ikan nilem transparan dan bersifat demersal atau terbenam di dasar perairan. Telur ikan nilem mempunyai diameter berkisar antara 0,8 mm – 1,2 mm (Triyani 2002). Menurut Effendie (1979) berat rata-rata dan panjang total untuk ikan nilem diantaranya : 1. Berat rata-rata induk betina 200,7 gram, panjang total rata-rata induk betina 28,7 cm, dan 2. Berat rata-rata induk jantan 187,3 gram , panjang total rat-rata induk jantan 28,2 cm. Perkembangan embrio ikan nilem secara keseluruhan hampir sama dengan ikan mas. Perbedaannya terletak pada ukuran dan kecepatan prosesnya. Perkembangan embrio ikan nilem lebih cepat dibandingkan perkembangan embrio ikan mas. Telur ikan nilem menetas 31-32 jam setelah pembuahan pada suhu 24,7°C dan kuning telur diserap habis setelah 96 jam. Masa kritis embrio ikan nilem terjadi 6-9 dan 12 jam setelah pembuahan (pada fase grastulasi dan proses pembentukan mata dan otak) serta pada larva berumur 60-96 jam (fase penyerapan seluruh kuning telur) (Harris 1974 dalam Saputra 2000).
9
Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh, dan pada ikan jantan 5-10 %. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar (Effendie 1997). Pendapat ini diperkuat oleh Chinabut et al. (1991) bahwa kematangan gonad ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran telurnya. Tingkat kematangan gonad ikan betina secara morfologi dan histologi adalah sebagai berikut : a.
Tingkat I : Ovari masih kecil dan seperti benang, warna ovari merah muda, memanjang di rongga perut. Secara histologi didominasi oleh oogonia berukuran 7.5-12.5 μm, dan inti sel besar.
b.
Tingkat II : Ukuran ovarium bertambah besar, warna ovari berubah menjadi coklat muda, butiran telur belum terlihat. Secara histologi, Oogonia menjadi oosit, ukuran 200-250 μm membentuk kantung kuning telur. Sitoplasma berwarna ungu.
c.
Tingkat III : Ukuran ovari relative besar dan mengisi hampir sepertiga rongga perut. Butiran-butiran telur telihat jelas dan berwarna kuning muda. Secara histologi luben berisi telur. Ukuran oosit 750-1125 μm. Inti mulai tampak.
d.
Tingkat IV : Gonad mengisi penuh rongga perut, semakin pejal dan warna butiran telur kuning tua. Butiran telur besarnya hampir sama dan mudah dipisahkan. Kantung tubulus seminifer agak lunak. Secara histologi inti terlihat jelas dan sebaran kuning telur mendominasi oosit. Ukuran oosit 1300-1500 μm.
10
2.2
Kinerja Reproduksi Kinerja reproduksi merupakan suatu proses yang berkelanjutan pada ikan
akibat adanya rangsangan dari luar ataupun dari dalam tubuh ikan itu sendiri. Rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan hormonal ataupun rangsangan lingkungan. Rangsangan hormonal yang terjadi pada induk ikan betina berbeda dengan induk jantan. Pada induk betina, rangsangan hormonal ditujukan untuk pembentukan telur dan pematangannya, sedangkan pada ikan jantan rangsangan tersebut untuk pembentukan sperma (Dodi 2009). Perkembangan gonad pada ikan membutuhkan hormon gonadotropin yang dilepaskan oleh kelenjar pituitari yang kemudian terbawa aliran darah masuk ke gonad. Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka, menstimulasi terbentuknya testosteron yang kemudian akan masuk ke sel granulosa untuk dirubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol 17β. Hormon estradiol 17β kemudian masuk ke dalam hati melalui aliran darah dan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini desertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006 dalam Dodi 2009). Perkembangan telur pada tahap penyerapan vitelogenin akan kembali berhenti ketika oosit telah mencapai ukuran maksimal. Proses pematangan oosit terjadi karena rangsangan Luteinizing Hormone (LH) pada folikel, kemudian terjadi proses pembentukan hormon sreroid, pada sel teka membentuk 17αhidroksiprogesteron dan pada sel granulose terbentuk 17α, 20β-hidroksi-4pregnen-3-one, dan hormon steroid yang terakhir inilah yang mempunyai peranan sebagai mediator kematangan oosit lebih lanjut (Nagahama et al.1995). Menurunnya produksi estradiol 17β dan aktivitas aromatase, ternyata diikuti oleh peningkatan testosterone, dan 17α, 20β-hidroksi-4-pregnen-3-one (17α, 20β-DP) sehingga oosit mengalami GVBD (Germinal Vesicle Break Down) dan berakhir pada ovulasi. Ovulasi merupakan proses keluarnya sel telur (yang telah mengakhiri pembelahan miosis kedua) dari folikel ke dalam lumen ovarium atau rongga perut (Nagahama 1987). Proses ovulasi terdiri dari beberapa tahapan. Pada tahap awal lapisan folikel melepaskan diri dari oosit, pada saat akan terjadi
11
ovulasi, mikrofili pada kedua permukaan tersebut sedikit demi sedikit terpisah, hal tersebut dimungkinkan dilakukan oleh enzim proteolitik (Dodi 2009). Mekanisme kerja hormon dipengaruhi oleh adanya ion Mg++ dalam sel target. Mg++ berperan dalam proses perubahan ATM menjadi AMP siklik (adenosine 3’,5’ monofosfat) atas sinyal yang berasal dari adenine silkase (Poedjiadi,1994). Gambar 2 dibawah ini merupakan reaksi biokimia yang terjadi saat proses penyerapan asam lemak. Sel mukosa Asam lemak
Asam lemak
KoA
ATP ADP + Pi Glukosa
Asil KoA sintetase
Asil KoA Fosfogliserat
+Mg++
Membran mikrovilus Monogliserat-P
Gliserol Asil KoA
Digliserida-P
Monogliserida
Digliserida Asil KoA Trigliserida Lipoprotein Khilomikron
Khilomikron
Gambar 2. Bagan Reaksi Biokimia Selama Absorpsi dalam Usus Sumber : Poedjiadi,1994
12
Proses penyerapan asam lemak oleh dinding usus dapat terjadi apabila monogliserida telah diubah dan berikatan dengan protein pembawa asam lemak membentuk
lipoprotein,
ikatan
ini
disebut
khilomikron.
Pembentukan
khilomikron dari monogliserida membutuhkan ion phospat dan salah satu enzim yang membantu dalam transformasi bentuk monogliserida menjadi khilomikron yaitu asil KoA yang dibentuk dari asam lemak dan enzim asil KoA sintetase dengan bantuan ion Mg++ (Poedjiadi 1994). Pemberian tepung biji pepaya muda yang terkandung akan meningkatkan kinerja dari ion Mg++ akan semakin cepat, sehingga pergerakan inti telur akan semakin cepat. Sebelum terjadi ovulasi, sel telur akan mengalami pembesaran. Folikel membentuk semacam benjolan yang semakin membesar sehingga menyebabkan dinding folikel pecah. Pecahnya dinding folikel terjadi pada bagian yang paling lemah (bagian membran) dengan bantuan enzim. Sel-sel teka bertindak sebagai otot halus yang dapat mendorong oosit keluar dari folikel. Hal ini disebabkan adanya semacam sel otot halus yang pipih dan serat kolagen yang terletak berdekatan dengan basal lamina (Dodi 2009). Mekanisme hormonal untuk vitelogenesis, pematangan serta ovulasi oosit melibatkan GnRH, gonadotropin, estradiol 17β, testosteron, 17α-20β dihidroksiprogesteron, dan aromatase (Basuki 2007). Menurut Purdom (1993) oogonia merupakan sel kecil yang belum terdiferensiasi yang memiliki nukleus besar dan sitoplasma yang sangat kecil. Oosit primer merupakan perkembangan lebih lanjut dari oogonia, pada fase ini terjadi perkembangan sitoplasma dengan cepat. Telur mengalami 2 kejadian pada saat oosit primer matang, yaitu peningkatan ukuran dan modifikasi susunan kromosom atau meiotic cell division. Ukuran telur meningkat dari beberapa mikrometer hingga centimeter pada beberapa spesies tertentu, namun pada umumnya selang maksimum dari ukuran telur adalah 1-2 mm. Peningkatan ukuran diameter telur ini disebabkan karena penyerapan glikolipoprotein dalam jumlah besar yang disebut Vitelogenesis. Glikolipoprotein dibuat di liver dibawah kontrol hormon steroid yang terdapat pada ovarian folikel. Glikolipoprotein ini juga berperan dalam perkembangan telur. Pada keadaan ini telur dalam tahap oosit
13
sekunder dan dapat terlihat dengan ukuran beraneka macam/ beragam. Ukuran telur ikan sangat penting untuk diketahui dalam budidaya karena telur yang besar akan menghasilkan larva yang besar dan ini berpengaruh terhadap waktu pemberian pakan alaminya (Purdom 1993). Gambar 3 menjelaskan tahap perkembangan oosit, dengan oogonia sebagai stadia awal perkembangan telur dengan diameter 0.01 mikron. Perkembangan oogonia terjadi cepat pada saat mengalami pertumbuhan yaitu pembelahan sel secara meiosis hingga mencapai ukuran 1.00 mikron. Pertumbuhan ini terjadi karena oogonia aktif melakukan pembelahan kemudian istirahat dan berhenti pada fase diplotein atau profase II. Pada saat itu terjadi akumulasi kuning telur hingga ukurannya bertambah lagi mencapai 10 mikron disertai dengan pergerakkan inti ke tepi. Pada saat inti telah mengalami GVBD maka telur telah matang dan siap dibuahi. Oogonia
Growing Oocyte
Resting Oocyte
Yolk formation
Mature
10,00
1,00 0,10
0,01
Tahap perkembangan oosit
Gambar 3. Grafik Diameter Oosit Dalam Perkembangannya Sumber : Purdom (1993) dalam Prabowo (2007).
2.3
Manipulasi Hormon dalam Maturasi Proses kematangan gonad ikan nilem, tidak luput dari pemberian pakan
secara intensif. Menurut Subagja dkk. (2006) peranan pakan induk memberikan dampak/ hasil terhadap jumlah indukan yang matang gonad, hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Watanabe (1998), kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan kepada induk ikan penting untuk keberhasilan pematangan,
14
pemijahan dan kualitas telur. Peranan pakan buatan yang diberikan pada induk dengan kadar protein 42% dengan ransum harian sebanyak 2% dari bobot biomass diberikan 2 kali yakni pagi dan sore hari (Djajasewaka dkk. 2005). Pemeriksaaan tingkat kematangan gonad dilakukan setiap 3 minggu dengan jalan pengamatan terhadap > 50 butir telur hasil kanulasi. Telur ini diperoleh dari masing-masing betina (masing-masing betina diberi tanda dengan stream tagging), diameter oosit diukur garis tengahnya menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer, sebaran frekuensi oosit yang diamati dipetakan dalam grafik, kriteria betina yang matang gonad dan siap dilakukan pemijahan saat modul diameter oosit sudah mencapai kisaran 1,1 mm. Manipulasi hormon merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menginduksi kematangan gonad, ovulasi, dan pemijahan (Abdullah 2007 dalam Dodi 2009). Berbagai jenis hormon terdapat pada tubuh ikan, salah satu yang dapat memicu terjadinya ovulasi adalah LHRH (Luteinizing Hormone Realeasing Hormone), yaitu hormon dari golongan protein yang dihasilkan oleh hipotalamus. LHRH memiliki molekul yang sangat kecil sehingga bila diberikan pada ikan maka terjadi penguraian yang sangat cepat. LHRH memiliki waktu paruh yang pendek. Oleh karenanya, para ahli menciptakan LHRH sintetik (LHRHa) yang bertujuan untuk memperpanjang waktu paruh atau keberadaannya lebih lama dalam darah. Sejak tahun 1980, LHRH-a telah digunakan untuk merangsang ovulasi dan pemijahan ikan. LHRH-a bekerja merangsang sekresi hormon gonadotropin dari kelenjar hipofisa yang dapat merangsang terjadinya ovulasi dan pemijahan (Abdullah 2007). Penggunaan LHRH-a melalui penyuntikan pada induk betina ternyata dapat meningkatkan produksi telur, sedangkan pada induk jantan dapat meningkatkan jumlah spermatozoa (Linhart et al. 2000). Pengukuran fitohormon untuk kematangan gonad ikan masih jarang dilakukan oleh pembudidaya ikan air tawar. Padahal fitohormon memiliki kandungan nutrisi alami yang baik yang dibutuhkan bagi ikan, khususnya untuk pematangan gonad ikan. Selain mudah ditemukan dan bernilai ekonomis, hormon
15
yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan tidak memberikan efek samping dan memberi pengaruh yang baik bagi gonad ikan. Vitamin E atau α-tokoferol yang berasal dari ekstrak tauge dapat mempertahankan asam lemak tak jenuh yang mensintesis prostaglandin secara enzimatik (Yulfiperius 2009). Prostaglandin diperlukan untuk mempercepat proses pematangan gonad pada ikan. Jadi dapat dikatakan dalam setiap siklusnya induk ikan membutuhkan α-tokoferol untuk mempertahankan asam lemak tak jenuh yang digunakan untuk mensintesis prostaglandin. Sehingga mampu memicu kembali pemijahan induk ikan, dan mengurangi hambatan perkembangan embrio sehingga dapat meningkatkan derajat penetasan (Fajrin 2012). 2.4
Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)
2.4.1 Klasifikasi Pepaya Tanaman pepaya mudah tumbuh di daerah tropis dengan tanah yang subur. Tanaman pepaya memiliki berbagai macam jenis yang dapat dicirikan dari getahnya, warna dagingnya, warna kulitnya, dan jumlah bijinya. Dalam sistematika tumbuhan pepaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta : Dicotyledonaeae : Cistales : Caricaceae : Carica : Carica papaya L.
Gambar 4. Tanaman Pepaya (Carica papaya.,L)
16
Tanaman Carica papaya L. ini merupakan tanaman yang berasal dari Amerika. Pusat penyebaran tanaman diduga berada di daerah sekitar Meksiko bagian Selatan dan Nikaragua. Batang, daun, biji, dan buah pepaya mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut enzim papain (Kalie 1996). Biji pepaya banyak mengandung khasiat ampuh sebagai obat (Muljana 1985). Penyuntikan ekstrak biji pepaya gandul (Carica papaya L.) selama empat siklus epitel seminiferus (40 hari) dengan dosis 5 mg/0,1 ml/ mencit / hari, 10 mg/0,1 ml/ mencit /hari dan 20 mg/ 0,1 ml/ mencit/ hari menekan proses spermatogenesis mencit jantan, yaitu terhadap spermatogonia A, spermatosit primer pakhiten, spermatid tingkat 7 dan jumlah anak yang dilahirkan (Amir 1992), sedangkan ekstra biji pepaya muda yang ditampilkan pada gambar 5, mampu menurunkan jumlah spermatogonia A, hal ini diduga juga karena kadar hormon estradiol (E2) maupun hormon progesteron (P4) yang tinggi terdapat dalam fraksi heksan (Satriyasa 2009).
Gambar 5. Biji pepaya muda
2.4.2 Kandungan Senyawa Pada Biji Pepaya Muda Biji pepaya muda, dengan memiliki ciri biji yang berwarna coklat muda dengan selaput bening ini memiliki nutrisi penting dengan khasiat sebagai Anti bakteri, yang efektif melawan bakteri E.colli, Salmonella, dan infeksi Staphylococcus. Selain itu, menjaga kesehatan ginjal dengan melindungi ginjal dari racun yang memicu masalah gagal ginjal, serta mampu membunuh parasit
17
dalam pencernaan. Dalam sebuah studi terhadap anak-anak Nigeria yang mengidap parasit dalam pencernaan, 76,6% dinyatakan bebas parasit setelah tujuh hari mengkonsumsi biji pepaya (Warisno 2003 dalam Ilyas 2012). Minyak biji pepaya yang berwarna kuning diketahui mengandung asam lemak esensial yakni, 71,60% asam oleat, 15,13% asam palmiat, 7,68% asam linoleat (Omega-6), 3,60% asam stearat, asam linolenat (Omega 3) dan asamasam lemak lain dalam jumlah relatif sedikit atau terbatas. Asam Alfa Linoleat (ALA) merupakan asam lemak omega-3 yang utama. Pada tubuh sehat, zat ini akan diubah menjadi asam eicosapentaenoic (EPA) dan kemudian menjadi asam docosahexaenoic (DHA). EPA beserta GLA, yang disintesis dari asam linoleat (omega-6), kemudian diubah menjadi senyawa seperti hormon yang dikenal sebagai eikosanoid, yang membantu dalam banyak fungsi tubuh termasuk fungsi organ vital dan aktivitas intraseluler. Hormon yang dihasilkan akan terbawa oleh aliran darah kemudian masuk ke dalam hati, dan merangsang hati untuk mengsintesis vitelogenin dan dialirkan oleh darah menuju gonad. Fungsi asam lemak untuk mempengaruhi jumlah telur yang dihasilkan. Peningkatan nilai fekunditas juga dapat disebabkan oleh kandungan nutrien pakan seperti lemak dan protein serta karbohidrat. Vitamin E fungsinya sebagai antioksidan yang dapat mencegah teroksidasinya asam lemak (Yaron 1995) sehingga hal tersebut dapat dijelaskan bahwa apabila jumlah vitamin E dalam pakan yang sudah mencukupi maka dapat mempertahankan keberadaan asam lemak esensial di dalam telur. Omega-3 digunakan dalam pembentukan dinding sel, menjadi lentur dan fleksibel, serta meningkatkan sirkulasi dan penyerapan oksigen dan fungsi sel darah merah. Asam lemak esensial berfungsi mendukung reproduksi, dan kekebalan tubuh serta susunan syaraf. Asam lemak esensial ini, sangat diperlukan oleh tubuh, karena mampu memperbaiki membran sel, serta memampukan sel untuk memperoleh nutrisi yang optimal. Fungsi utama lainnya adalah untuk memproduksi prostaglandin, yang mengatur kesuburan, pembuahan serta memainkan peranan pada fungsi kekebalan tubuh dengan mendorong tubuh melawan infeksi. Selain mengandung asam lemak esensial dalam jumlah cukup
18
tinggi, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia dari golongan fenol, alkaloid, dan saponin (Warisno 2003 dalam Ilyas 2012). Kandungan senyawa kimia lain yang terkandung dalam biji pepaya adalah enzim proteolitik, 25% atau lebih minyak campuran, 26,2% lemak, 24,3% protein, 17% serat, 15,5% karbohidrat, 8,8% abu, dan 8,2% air (Burkill 1996 dalam Ilyas 2012). Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Secara kualitatif, berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya (Sukadana 2007). Biji pepaya muda mengandung vitamin E yang berperan terhadap fertilitas. Vitamin E mampu mempengaruhi epididimis yang merupakan jaringan komplek
yang secara anatomi dan histologi dipisahkan menjadi 4 bagian kelompok yang berbeda, yaitu segmen awal, caput, korpus dan cauda epididimis. Keempat bagian tersebut responsif terhadap faktor umur. Beberapa perubahan terkait dengan umur misalnya akumulasi lipofuscin yang distribusinya diubah menjadi sistem antioksidan. Penurunan ekpresi gen dipengaruhi oleh pertahanan antioksidan. Kemungkinan stres oksidatif berperan dalam penuaan epididimis. Stres oksidatif yang berkepanjangan berdampak pada proses penuaan epididimis dan kerusakan yang semakin meluas (Ilyas 2012). Vitamin E berfungsi sebagai faktor anti kemandulan dan penting untuk pembentukan dan kesehatan jaringan tulang, juga berperan dalam melawan lipid peroksidasi, radikal bebas menyerang asam lemak yang menyebabkan kerusakan struktural pada membran dan hasilnya terbentuk malondialdehyde dan 4-hidroxy, 2-nonenal (4-HNE). Vitamin E merupakan kelompok lipid yang mudah larut dalam lemak, dapat memutuskan rantai ikatan radikal bebas terutama α-tokoferol (Tabel 2). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, membuktikan defisiensi vitamin E menyebabkan korpus epididimis mengalami peningkatan 4-HNE. Difesiensi vitamin E pada jaringan juga berdampak meningkatnya immunoreactivity dalam sitoplasma sepanjang epididimis (Ilyas 2012). Vitamin E tidak menyebabkan
19
racun, efek racun seperti pengurangan berat badan juga tidak terjadi. Tingkat kesuburan dapat dipulihkan kembali (aktivitas antifertilitas reversible) dalam waktu 4-6 minggu. Dalam kondisi ini, bahan aktifnya stabil terhadap panas. Dibawah ini merupakan tabel kandungan gizi biji pepaya muda per 100 gram. Tabel 1. Kandungan Gizi Biji Pepaya per 100 gram Komposis Gizi Air Energi Hidrat arang Kalsium Lemak Phosphor Protein Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Zat besi
Pepaya Muda 92,4 gram 26 kalori 4,9 gram 50 miligram 0,10 gram 16 miligram 2,1 gram 50 SI 0,02 miligram 19 miligram 0,4 miligram
Sumber:Tietze 2002 .
Tabel 2. Komponen Tokoferol dan Karotenoid dan Total Fenol yang Terkandung dalam Biji Pepaya Muda per 100 gram.
Komponen Total Tokoferol α-tokoferol β-tokoferol γ-tokoferol δ-tokoferol Total carotenoids β-cryptoxanthin β-carotene Total phenolics b
Nilai (mg.kg–1)a 74.71 51.85 ± 0.75 2.11 ± 0.15 1.85 ± 0.04 18.89 ± 0.39 7.05 4.29 ± 0.26 2.76 ± 0.13 957.60 ± 24.77
Keterangan : a Mean values ± standar deviasi (n = 3); b Total fenol kedalam milligrams gallic acid equivalent (GAE).kg–1. Sumber : Masson et.al., 2008
20
2.4.3 Analisis Proksimat Tepung Biji Pepaya Muda Hasil dari analisis proksimat pada tepung biji pepaya / Dried Pawpaw Seed (DPS) (Tabel 3) memperlihatkan bahwa tepung biji pepaya per 100 gram terdiri dari 30.08% Protein kasar, 34.80% Lemak, 1.67% Serat kasar dan Nitrogen bebas 23.67%. Sedangkan untuk kandungan Abu 7.11%, dengan kandungan bahan kering 97.27%. Tepung biji pepaya dapat digunakan sebagai alternatif sumber protein dengan 30,08% protein kasar untuk bahan tambahan kedalam pakan campuran karena suplemen protein yang terkandung adalah lebih dari 20% (Atteh 2000 dalam K.Idris, et al. 2009). Table 3. Analisis Proksimat pada Tepung Biji Pepaya Muda per 100 gram Nutrien Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Kandungan Abu Bahan kering Nitrogen bebas K. Idris, et al. (2009)
Komposisi (%) 30.08 34.08 30.08 7.11 97.27 23.67