BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil RSUP H. Adam Malik Medan RSUP H. Adam Malik Medan adalah unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementrian Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan. RSUP H. Adam Malik Medan dipimpin oleh seorang Kepala yang disebut Direktur Utama. 2.1.1 Tugas pokok Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.244/MENKES/PER/III/2008 tanggal 11 Maret 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan mempunyai tugas menyelenggarakan Upaya Penyembuhan dan Pemulihan, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan secara serasi, Terpadu dan Berkesinambungan dengan Upaya Peningkatan Kesehatan lainnya serta Melaksanakan Upaya Rujukan. 2.1.2 Fungsi Dalam melaksanakan tugas Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan menyelenggarakan fungsi: a. pelayanan medis b. pelayanan dan asuhan keperawatan c. penunjang medis dan non medis d. pengolahan sumber daya manusia e. pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang profesi kedokteran dan pendidikan kedokteran berkelanjutan
Universitas Sumatera Utara
f. pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan lainnya g. penelitian dan pengembangan h. pelayanan rujukan i. administrasi umum dan keuangan 2.1.3 Struktur organisasi Susunan organisasi RSUP H. Adam Malik Medan terdiri dari: a. direktorat medik dan keperawatan b. direktorat sumber daya manusia dan pendidikan c. direktorat keuangan d. direktorat umum dan operasional e. unit – unit non struktural Setiap Direktorat dipimpin oleh seorang Direktur yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama. 2.1.4 Visi dan Misi Visi RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2015-2019 adalah “Menjadi Rumah Sakit Pendidikan dan Pusat Rujukan Nasional Yang Terbaik dan Bermutu di Indonesia tahun 2019”. Visi tersebut diwujudkan melalui Misi RSUP H Adam Malik Medan yaitu : a. melaksanakan pelayanan pendidikan, penelitian dan pelatihan di bidang kesehatan yang paripurna, bermutu dan terjangkau. b. melaksanakan pengembangan kompetensi SDM secara berkesinambungan. c. mengampu Rumah Sakit Jejaring dan Rumah Sakit di Wilayah Sumatera (Profil RSUP H. Adam Malik Medan, 2014).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Definisi High Care Unit (HCU) High care unit (HCU) adalah unit pelayanan rumah sakit bagi pasien dengan kondisi stabil dari fungsi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran namun masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pemantauan secara ketat. Pelayanan
HCU
adalah
pendekatan multidisiplin
tindakan
medis
yang
dilaksanakan
melalui
yang terdiri dari dokter spesialis dan dokter serta
dibantu oleh perawat yang bekerja secara interdisiplin dengan fokus pelayanan pengutamaan pada pasien yang membutuhkan pengobatan, perawatan dan observasi secara ketat sesuai dengan standar prosedur operasional yang berlaku di rumah sakit (Kemenkes RI, 2010). Ruang lingkup pemantauan yang harus dilakukan adalah: a. tingkat kesadaran. b. fungsi pernapasan dan sirkulasi dengan interval waktu minimal empat jam atau disesuaikan dengan keadaan pasien. c. oksigen dengan menggunakan oksimeter secara terus menerus. d. keseimbangan cairan dengan interval waktu minimal delapan jam atau disesuaikan dengan keadaan pasien (Kemenkes RI, 2010). Penentuan indikasi pasien masuk ke HCU dan keluar dari HCU serta pasien yang tidak dianjurkan untuk dirawat di HCU ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: a. indikasi masuk i. pasien gagal organ tunggal yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi komplikasi ii. pasien yang memerlukan perawatan perioperatif.
Universitas Sumatera Utara
b. indikasi keluar i. pasien sudah stabil yang tidak lagi membutuhkan pemantauan yang ketat ii. pasien/keluarga yang menolak untuk dirawat di HCU (atas dasar “informed consent”) (Kemenkes RI, 2010).
2.3 Antibiotika 2.3.1 Definisi antibiotika Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia mikroorganisme lain. Istilah “antibiotika” sekarang meliputi senyawa sintetik seperti sulfonamida dan kuinolon yang bukan merupakan produk mikroba. Sifat antibiotika adalah harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007). 2.3.2 Penggolongan antibiotika berdasarkan struktur kimia Berdasarkan struktur kimianya antibiotika dapat dibedakan sebagai berikut: a. β-laktam, contoh: penisilin (contoh: benzyl penisilin, oksasilin, kloksasilin, ampisilin, amoksisilin, piperasilin), sefalosforin (contoh: generasi pertama: sefalotin, sefaleksin, sefadroksil; generasi kedua: sefaklor, sefuroksim; generasi ketiga: sefatoksim, seftriakson, sefoperazon, seftazidim; generasi keempat: sefepim, karbapenem (contoh: imipenem, meropenem). b. makrolida, contoh: eritromisin, spiramisin, azitromisin, klaritromisin. c. aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin,
kanamisin,
gentamisin,
Universitas Sumatera Utara
amikasin, tobramisin. d. tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin. e. kuinolon, contoh: asam nalidiksat. f. fluorokuinolon, contoh: siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin. g. glukopeptida, contoh: vankomisin, teikoplanin. h. antibiotika lain: kloramfenikol, tiamfenikol, metronidazol, klindamisin, kotrimoksazol (Kasper, dkk, 2005; Setiabudy, 2007). 2.3.3 Mekanisme kerja Berdasarkan mekanisme kerjanya, ada lima kelompok antibiotika, yaitu: a. inhibisi sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Obat ini dapat melibatkan otosilin bakteri (enzim yang mendaur ulang diniding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, sikloserin. Pada umumnya bersifat bakterisidal. b. inhibisi sintesis protein bakteri. Sel bakteri mensintesis berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Selain aminoglikosida, pada umumnya oabat ini bersifat bakteriostatik. c. inhibisi metabolisme bakteri: obat mempengaruhi sintesis asam folat bakteri. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: sulfonamida, trimetoprim, asam paminosalisilat dan sulfon. Pada umumnya bersifat bakteriostatik.
Universitas Sumatera Utara
d. inhibisi sintesis atau aktivasi asam nukleat bakteri. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: rifampisin dan golongan kuinolon. e. mempengaruhi permeabilitas membrane sel bakteri. Antibiotika yang termasuk kelompok ini adalah polimiksin (Kasper, dkk, 2005; Setiabudy, 2007). 2.3.4 Spektrum dan aktivitas antibiotika Berdasarkan
spektrumnya,
antibiotika
dibagi
menjadi
dua
yaitu
berspektrum luas dan sempit. Batas antara kedua spektrum ini terkadang tidak jelas. Antibiotika berspektrum luas efektif baik terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif. Sifat antibiotika berbeda satu dengan lainnya, misalnya Penisilin G bersifat aktif terhadap bakteri gram positif sedangkan bakteri gram negatif pada umumnya tidak sensitif terhadap Penisilin G. contoh lain, streptomisin bersifat aktif terhadap bakteri gram negative (Setiabudy, 2007). Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan menjadi antibiotika yang mempunyai aktivitas bakterisid dan bakteriostatik. Antibiotika yang bakterisid adalah antibiotika yang bersifat membunuh bakteri, misalnya penisilin, sefalosporin, streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, dan basitrasin. Antibiotika
yang bakteriostatik bersifat
menghambat
pertumbuhan atau
perkembangbiakan bakteri, misalnya sulfonamida, trimetoprim, kloramfenikol, tetrasiklin, linkomisin dan klindamisin (Setiabudy, 2007). 2.3.5 Mekanisme resistensi antibiotika Bakteri dapat bersifat resisten pada obat secara intrinsik (misalnya bakteri anaerob resisten terhadap aminoglikosida) atau mendapatkan resistensi melalui mutasi terhadap gen tertentu atau membentuk gen baru. Mekanisme utama resistensi yang dilakukan bakteri yaitu inaktivasi obat, mempengaruhi atau over
Universitas Sumatera Utara
produksi target antibiotika, akuisisi target baru yang tidak sensitif obat, menurunkan permeabilitas obat dan efluks aktif terhadap obat (Kasper,dkk, 2005). 2.4 Prinsip Penggunaan Antibiotika Prinsip penggunakan antibiotika yang tepat: a. penggunaan antibiotika tepat yaitu penggunaan antibiotika dengan spectrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat. b. kebijakan penggunaan antibiotika ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotika dan mengutamakan penggunaan antibiotika lini pertama. c. pembatasan penggunaan antibiotika dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman
penggunaan
antibiotika
dan
penerapan
kewenangan
dalam
penggunaan antibiotika tertentu. d. indikasi ketat penggunaan antibiotika dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, penunjang lainnya. e. pemilihan jenis antibiotika harus berdasar pada: i. informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotika ii. hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi iii. profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika iv. melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat v. cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman. f. penerapan penggunaan antibiotika secara bijak dilakukan dengan beberapa
Universitas Sumatera Utara
langkah sebagai berikut: i. meningkatkan
pemahaman
tenaga
kesehatan
terhadap
penggunaan
antibiotika secara bijak ii. meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada
laboratorium
hematologi,
imunologi
dan
mikrobiologi
atau
laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi iii. menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi iv. mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work) v. membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotika secara bijak yang bersifat multi disiplin vi. memantau penggunaan antibiotika secara intensif dan berkesinambungan vii. menetapkan kebijakan dan pedoman penggunakan antibiotika secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat (PerMenKes, 2011).
2.5 Kebijakan Penggunaan Antibiotika Resistensi antimikroba terutama antibiotika merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikroba khususnya antibiotika yang rasional dan tidak terkendali merupakan penyebab utama timbulnya resistensi menyebarkan resistensi antimikroba secara global. Termasuk munculnya mikroba yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotika terutama di lingkumgan rumah sakit (health care associated infection). Masalah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak di tanggapi secara sungguh-sungguh, akan timbul dampak
Universitas Sumatera Utara
yang merugikan. Kebijakan penggunaan antibiotika di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu sebagai berikut: a. lakukan pemeriksaan kultur sensitivitas sebelum memulai terapi antibiotika. b. terapi empirik harus berdasarkan data epidemiologi setempat (Peta Kuman). c. terapi defenitif harus berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas patogen penyebab. Pada kondisi dimana kultur tidak dapat dilakukan / tidak berhasil, terapi dilakukan berdasaarkan patogen penyebab yang paling mungkin menurut data statistik dan epidemiologi. d. pemilihan agen, dosis, cara pemberian dan durasi terapi antibiotika ditentukan oleh hal-hal berikut : i. aktivitas spektrum antibiotika tersebut terhadap patogen penyebab ii. farmakokinetik obat iii. faktor pejamu, seperti usia, kehamilan, fungsi ginjal dan hepar. iv. efek samping yang mungkin timbul pada pejamu atau fetus e. terapi antimikroba yang dipilih harusnya yang paling efektif dan spesifik mungkin untuk melawan patogen penyebab, yang paling tidak toksik, dan paling tidak mahal. Lebih disukai penggunaan antibiotika spektrum sempit. f. kombinas antibiotika diindikasikan pada keadaans ebagai berikut : i. efek sinergistik, seperti pada kasus Endokarditis Bakterialis ii. mencegah resistensi, seperti pada kasus TBC iii. memberi cakupan untuk beberapa patogen pada kasus infeksi campur iv. memberi cakupan spektrum luas secara empiris pada pasien dengan infeksi yang berpotensi fatal sambil menunggu data bakteriologi.
Universitas Sumatera Utara
g. drainase secara bedah wajib dilakukan untuk mengatasi abses, dengan beberapa pengecualian. h. terapi parenteral berdosis tinggi dan lama, penting pada penatalaksanaan Endokarditis Bakterialis, osteomielitis dan infeksi jaringan yang hampir mati (devatilized tissue). i. terkadang perlu untuk menghilangkan material asing untuk menyembuhkan infeksi seperti pada katup jantung prostetik atau implan sandi. j. pemberian antibiotika profilaksis adalah pemberian antibiotika ½ - 1 jam sebelum operasi dan atau pemberian durante operasi bila terjadi pendarahan > 1500 ml atau bila operasi > 3 jam. Pemberian antibiotika profilaksis dilakukan di kamar tunggu operasi. k. lama pemberian antibiotika secara empiris sampai pada hari ke 4 (hasil kultur keluar), setelah hasil kultur keluar maka pemberian antibiotika disesuaikan dengan patogen penyebab. Bila hasil kultur menunjukkan tidak ada ditemukan pertumbuhan mikroba dan tanda-tanda klinis pasien masih menunjukkan tidak adanya infeksi maka dilakukan kultur ulang. Sementara hasil kultur kedua belum keluar pemberian antibiotika empiris tetap dilanjutkan sampai hari ke 10 (sepuluh). l. untuk kasus infeksi khususnya di ruang Rawat Instalasi Anestesi Terapi Intensif (IATI) pemberian antibiotika generasi lanjutan dapat diberikan, terapi pemberiannya harus bersamaan dengan pemeriksaan kultur. Bila pasien pindah dari IATI ke ruangan maka pemberian antibiotika yang sama tetap dilanjutkan sampai hasil kultur keluar yaitu hari ke 4 (empat). Bila pertumbuhan mikroba
Universitas Sumatera Utara
tidak dijumpai maka pemberian antibiotika maksimum 10 hari (pedoman penggunaan antibiotika RSUP. H. Adam Malik, 2012).
2.6 Evaluasi Penggunakan Antibiotika Evaluasi penggunaan antibiotika dilakukan bertujuan untuk: a. mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotika di Rumah Sakit b. mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di Rumah Sakit c. sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotika di Rumah Sakit secara sistematik dan terstandar (Permenkes, 2011). 2.6.1 Evaluasi antibiotika secara kualitatif Pada fasilitas pelayanan kesehatan, antibiotika digunakan pada tiga jenis situasi: a. terapi empiris: pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif pada pendekatan buta (blind) sebelum mikroorganisme penyebab diidentifikasi dan antibiotika yang sensitif ditentukan b. terapi definitif: pemberian antibiotika untuk mikroorganisme spesifik yang menyebabkan infeksi aktif atau laten c. profilaksis: pemberian antibiotika untuk mencegah timbulnya infeksi. Kualitas penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia pada penelitian lokal dan resistensi mikroba serta dari informasi yang didapatkan pada epidemiologi infeksi dan organisme penyebab secara lokal. Laboratorium mikrobiologi berperan penting pada pengumpulan data, analisis dan pelaporan data surveilan dan menyediakan informasi yang digunakan untuk terapi empiris (perkiraan berdasarkan data) atau
Universitas Sumatera Utara
profilaksis. Pedoman terapi empiris dan profilaksis berdasarkan surveilans ini seharusnya ada pada fasilitas pelayanan kesehatan (Gyssens, 2005). Metode Gyssens berbentuk diagram alir yang diadaptasi dari kriteria Kunin, dkk. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotika, seperti: penilaian, alternatif yang lebih efektif, lebih tidak toksis, lebih murah, spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluasi lama pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2005). Diagram alir ini merupakan alat yang penting untuk menilai kualitas penggunaan antibiotika. Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan yang berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu kategori. Dengan alat ini, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005). Kualitas penggunaan antibiotika dinilai dengan menggunakan data yang terdapat pada Rekam Pemberian Antibiotika (RPA), catatan medik pasien dan kondisi klinis pasien. Barikut ini adalah langkah yang sebaiknya dilakukan dalam melakukan penilaian kualitas penggunaan antibiotika: a. untuk melakukan penilaian, dibutuhkan data diagnosis, keadaan klinis pasien, hasil kultur, jenis dan regimen antibiotika yang diberikan. b. untuk setiap data pasien, dilakukan penilaian sesuai alur. c. hasil penilaian dikategorikan sebagai barikut: i. kategori 0
: penggunaan antibiotika tepat / rasional
ii. kategori I
: penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
iii. kategori IIA
: penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
iv. kategori IIB
: penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian
Universitas Sumatera Utara
v. kategori IIC
: penggunaan antibiotika tidak tepat rute/ cara pemberian
vi. kategori IIIA : penggunaan antibiotika terlalu lama vii. kategori IIIB : penggunaan antibiotika terlalu singkat viii. kategori IVA : ada antibiotika lain yang lebih efektif ix. kategori IVB : ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman x. kategori IVC : ada antibiotika lain yang lebih murah xi. kategori IVD : ada antibiotika lain yang spektrumnya lebih sempit xii. kategori V
: tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
xiii. kategori VI
: data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat di evaluasi.
Alur Penilaian Kualitatif Penggunaan Antibiotika menggunakan Gyssens Classification terdapat pada: Mulai
Tidak Data lengkap
Ya
VI
Stop
V
Stop
Tidak
AB diindikasikan
Ya Alternatif lebih efektif
Tidak IVa
Tidak Alternatif lebih tidak toksik
Ya IVb
Tidak Alternatif lebih murah
Ya IVcYa
Tidak Spektrum alternatif lebih sempit
Ya
IVd
Tidak
Universitas Sumatera Utara
Pemberian terlalu lama
Ya
Tidak
Pemberian terlalu singkat
Tidak
Ya III a
Dosis tepat
Tidak
II a
Ya III b
Interval tepat
Tidak II b
Ya Rute tepat
Tidak II c
Ya Waktu tepat
Tidak I
Ya Tidak termasuk I-VI 0
Gambar 2.1 Diagram alir penilaian kualitas metode Gyssens (Gyssens, 2005).
pemberian
antibiotika
Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat apakah data lengkap atau tidak untuk mengkatagorikan penggunaan antibiotika. a. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi. Pemeriksaan penunjang/laboratorium tidak harus dilakukan karena mungkin tidak ada biaya, dengan catatan sudah direncanakan pemeriksaannya untuk mendukung diagnosis. Diagnosis kerja dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotika?
Universitas Sumatera Utara
b. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat? c. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IV a Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang kurang toksik? d. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IV b Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lebih murah? e. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori IV c Pada alternatif lain yang lebih murah, peneliti berpatokan pada daftar harga obat yang dikeluarkan dari RSUP H. Adam Malik Medan dan semua antibiotika dianggap sebagai obat generic dalam perhitungan harganya. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit? f. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IV d Jika tidak ada alternetif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang? g. Bila durasi pemberian terlalu panjang, berhenti di kategori III a Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah durasi antibiotika terlalu singkat? h. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori III b
Universitas Sumatera Utara
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan berikutnya. Apakah dosis antibiotika yang diberikan sudah tepat? i. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori II a Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval antibiotika yang diberikan sudah tepat? j. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori II b Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. Apakah rute pemberian antibiotika sudah tepat? k. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori II c Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya. l. Bila antibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotika tersebut merupakan kategori 0. 2.6.2 Evaluasi antibiotika secara kuantitatif Evaluasi antibiotika secara kuantitatif dilakukan dengan menilai jumlah antibiotika yang digunakan dan dinyatakan dengan DDD/100 patient days. DDD (defined daily dose) adalah dosis rata-rata perhari untuk indikasi tertentu pada orang dewasa (BB 70 kg). Evaluasi ini dapat dilakukan secara retrospektif maupun prospektif. Evaluasi antibiotika kuantitatif secara prospektif dilakukan wawancara pada pasien investigator mengevaluasi dosis antibiotika dari peresepan dokter dan catatan perawat untuk mengetahui dosis obat yang sebenarnya yang sudah diterima pasien (Dirjen Binfar, 2011). Untuk mempermudah perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan piranti lunak ABC ca1c yang dikembangkan oleh World Health Organization
Universitas Sumatera Utara
(WHO). Kuantitas penggunaan antibiotika dapat dinyatakan dalam DDD 100 patient-days. Cara perhitungan (Dirjen Binfar, 2011): a. kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotika b. kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Length Of Stay atau LOS semua pasien) c. hitung jumlah dosis antibiotika (gram) selama dirawat d. hitung DDD 100 patient-days:
DDD 100 patient-days =
x
Universitas Sumatera Utara