BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu Okta Ryan Pranata Yudha (2013), dalam skripsi Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Indonesia Tahun 2009-2011. Variabel yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi, upah minimum, tingkat pengangguran, inflasi dan tingkat kemiskinan. Tulisan ini menjadi acuan tesis ini karena penulis meneliti tentang kemiskinan dengan variabel dependent yang sama dengan skripsi tersebut. Skripsi Okta Ryan Pranata Yuhda meneliti seluruh provinsi di Indonesia sedangkan tesis ini cakupan wilayah penelitiannya hanya di seluruh Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara. Tri Wahyu Rejekiningsih (2011), dalam jurnal Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan di Kota Semarang dari Dimensi Kultural. Dalam penelitian ini mencoba menjelaskan hubungan antara orientasi nilai-nilai budaya dan sikap mental penduduk miskin terhadap lima masalah dasar manusia yaitu hakekat hidup, hakekat waktu, hakekat karya, hakekat hubungan dengan alam, dan hakekat hubungan dengan sesama. Kelima masalah mendasar tersebut diduga merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan. Kesimpulan dari jurnal tersebut adalah ciri-ciri warga miskin di Kota Semarang antara lain, kepala rumah tangga sebagian besar berpendidikan rendah (tamat SD) dan mempunyai pekerjaan sebagai buruh, serta mempunyai tanggungan 3 jiwa. Terjadi ketidakmerataan dalam distribusi bantuan kepada warga 22
miskin. Jurnal tersebut menjadi salah satu bahan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan di suatu wilayah dan membandingkannya dengan wilayah yang diteliti oleh tulisan ini. Chairul Nizar, Abubakar Hamzah, Sofyan Syahnur (2013), dalam jurnal Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Hubungannya
terhadap
Tingkat
Kemiskinan
di
Indonesia.
Penelitian
ini
menggunakan data sekunder berupa data time series, 1980-2010. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDB) terhadap tingkat kemiskinan secara langsung sangat kecil namun hubungannya negatif dan signifikan. Investasi pemerintah dan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Perbedaan dengan tulisan ini adalah hasil dari penelitian berbeda, di penelitian ini pengangguran terbuka dan upah minimum tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Keunggulan tulisan ini secara keseluruhan adalah penelitian tentang kondisi perekonomian di Sumatera Utara pada tahun 2009-2013. Penelitian kemiskinan ini yang berkaitan dengan variablel pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan pengangguran. Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah meneliti variabel yang sama yaitu variabel kemiskinan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah hasil dari penelitian berbeda. Keunggulan tulisan ini secara keseluruhan adalah penelitian tentang kondisi perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2009-2013 penelitian kemiskinan yang berkaitan dengan variabel pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan pengangguran.Variabel dependent yaitu kemiskinan, sedangkan variabel independent yaitu pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan pengangguran. 3 23
variabel independent ini sangat berpengaruh penting pada tingkat kemiskinan di Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara, dilihat dari tabel dan gambar upah minimum rata-rata kabupaten/ kota tiap tahun meningkat, pertumbuhan ekonomi tiap tahun tahun terbilang stabil, tingkat pengangguran tiap tahun menurun. Faktor inilah yang menarik penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara tahun 2009-2013.
2.2
Pertumbuhan Ekonomi Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang
apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Kuncoro, 2003). Sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah inovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur. Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita dimana ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu sisi output totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya. Menurut pandangan teori Neo-Klasik yang dikembangkan oleh Abramovits dan Solow, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada perkembangan faktor-faktor produksi yang dinyatakan dalam persamaan : ∆Y = f (∆K, ∆L, ∆T)
24
Dimana : ∆Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi ∆K adalah tingkat pertumbuhan modal ∆L adalah tingkat pertumbuhan penduduk ∆T adalah tingkat perkembangan teknologi Analisis Solow menyimpulkan bahwa faktor terpenting yang mewujudkan pertumbuhan ekonomi bukanlah pertambahan modal dan pertambahan tenaga kerja. Faktor yang paling penting adalah perkembangan teknologi dan pertambahan kemahiran dan kepakaran tenaga kerja. Sejalan dengan teori pertumbuhan neoklasik, Todaro (2003) mengemukakan tiga faktor utama pertumbuhan ekonomi yaitu : 1.
Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang ditabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal manusia, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap angka produksi.
2.
Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang 25
pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya. 3.
Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni : a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama. b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif. Case dan Fair (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan terjadi bila :
1.
Masyarakat bisa mendapatkan lebih banyak sumber daya, atau
2.
Masyarakat menemukan cara menggunakan sumber dara yang tersedia secara efisien. Faktor-faktor dasar yang membatasi pertumbuhan ekonomi Negara berkembang
mencakup pembentukan modal yang tidak memadai, kekurangan sumber daya manusia dan kemampuan kewiraswastaan, kekurangan modal tetap (overhead) sosial dan kendala-kendala yang dipaksakan oleh ketergantungan pada negara-negara maju. 26
Sukirno (2010) menyimpulkan bahwa hambatan-hambatan Negara berkembang dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antara lain : 1.
Kegiatan sektor pertanian masih tetap tradisional dan produktivitasnya sangat rendah;
2.
Kebanyakan Negara menghadapi masalah kekurangan dana modal dan barang modal (peralatan produksi) yang modern;
3.
Tenaga terampil, terdidik dan keahlian keusahawanan penawarannya masih jauh dibawah jumlah yang diperlukan;
4.
Perkembangan penduduk yang sangat pesat;
5.
Berbagai masalah institusi, sosial, kebudayaan dan politik yang sering dihadapi.
2.3
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara Menurut Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Utara Triwulan II 2014,
perekonomian Provinsi Sumatera Utara mengalami perlambatan. Perlambatan ekonomi disebabkan adanya perlambatan pada konsumsi dan ekspor pada sisi permintaan dan perlambatan pertumbuhan pada sektor sekunder dan tersier pada sisi penawaran. Hasil Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara menganalisa perlambatan pertumbuhan ekonomi dengan memaparkan perkembangan pada beberapa sektor dan dirangkum pada Tabel 2.1 yang memperlihatkan pergerakan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 triwulan kedua.
27
Tabel 2.1 Indikator Ekonomi Terpilih Sumatera Utara Pertumbuhan Ekonomi
2011
2012
PDRB (%, yoy) 6.6 6.2 Sisi Permintaan Konsumsi 6.5 5.9 Konsumsi Rumah Tangga 6.6 6.0 Konsumsi Pemerintah 5.8 5.2 PMTB 7.8 7.5 Ekspor 15.0 3.8 Impor 16.7 4.9 Sisi Produksi Pertanian 4.8 4.7 Pertambangan dan Penggalian 6.7 2.0 Industri Pengolahan 2.1 3.6 Listrik, Gas dan Air Bersih 8.2 3.4 Bangunan 8.5 6.8 Perdagangan, Hotel dan Restoran 8.1 7.2 Angkutan dan Komunikasi 10.0 8.3 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 13.6 11.2 Jasa-jas 8.3 7.5 Inflasi IHK (%, yoy) 3.7 3.9 Sumber : diolah dari Data BPS Provinsi Sumatera Utara
2013
2014 I
II
6.0
5.6
5.5
7.0 6.9 4.3 7.5 4.9 7.5
6.6 6.2 4.4 3.9 5.8 4.8
6.5 6.9 3.7 4.4 3.9 3.8
4.0 5.5 4.1 4.1 7.0 7.8 7.6
2.9 3.5 5.8 4.4 6.2 5.7 5.5
3.4 4.7 5.4 6.8 4.9 7.2 4.0
8.3 7.1 10.2
10.5 7.5 7.7
5.9 8.3 6.2
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada 2 (dua) triwulan 2014 melambat jika dibandingkan pada 2 (dua) tahun terakhir. Perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan berasal dari perlambatan konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga. Harga komoditas internasional yang masih rendah terutama pada komoditas utama Sumatera Utara yaitu karet dan CPO juga diperkirakan menahan konsumsi swasta. Menurunnya konsumsi swasta sebagai dampak dari menurunnya pendapatan masyarakat karena masih terbatasnya pemulihan harga komoditas internasional.
28
Meningkatnya aktivitas perdagangan dan mulai meningkatnya pertumbuhan sub sektor hotel dan restaurant mendorong optimisme sektor Perdagangan, Hotel dan Restaurant. Sektor PHR ini akan menahan perlambatan pertumbuhan karena berkembang positif dari tiga tahun belakangan.
2.4
Pengangguran Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya (Sukirno, 2010). Faktor-faktor yang menimbulkan pengangguran adalah : 1.
Menganggur karena ingin mencari kerja lain yang lebih baik.
2.
Pengusaha menggunakan peralatan produksi modern yang mengurangi penggunaan tenaga kerja.
3.
Ketidaksesuaian di antara keterampilan pekerja yang sebenarnya dengan keterampilan yang diperlukan di industri-industri. Sukirno (2010) menggolongkan pengangguran berdasarkan (i) sumber/ penyebab
yang mewujudkan pengangguran dan (ii) ciri pengangguran yang wujud. Jenis pengangguran berdasarkan penyebabnya yaitu : 1.
Pengangguran normal atau friksional Penganggur yang tidak bekerja bukan karena tidak mendapat pekerjaan tetapi sedang mencari kerja lain yang lebih baik.
2.
Pengangguran siklikal Pengangguran terjadi akibat perusahaan-perusahaan yang mengurangi pekerja atau menutup perusahaannya. 29
3.
Pengangguran struktural Pengangguran struktural terjadi karena industri dan perusahan yang mengalami kemunduran yang disebabkan oleh faktor wujudnya barang baru yang lebih baik, kemajuan teknologi yang mengurangi permintaah terhadap barang yang diproduksi, biaya penyeluaran yang tinggi dan tidak mampu bersaing. Kemerosotan tersebut menyebabkan kegiatan produksi menurun dan sebagian pekerja terpaksa diberhentikan dan menjadi penganggur.
4.
Pengangguran teknologi Pengangguran yang terjadi akibat penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan bahan kimia. Jenis pengangguran berdasarkan cirinya yaitu :
1.
Pengangguran terbuka Pengangguran yang tercipta akibat lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Pengangguran terbuka secara nyata dan sepenuh waktu.
2.
Pengangguran tersembunyi Pengangguran tersembunyi terjadi /di sektor pertanian atau jasa. Kegiatan ekonomi yang mempekerjakan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan, tenaga kerja yang digunakan merupakan pengangguran tersembunyi.
30
3.
Pengangguran bermusim Terjadi di sektor pertanian dan perikanan, misalnya petani yang tidak mengerjakan sawahnya pada musim kemarau atau nelayan yang tidal melakukan pekerjaannya pada musim hujan.
4.
Setengah menganggur Pekerja yang bekerja dibawah jam kerja normal, misalnya hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu atau satu hingga 4 jam sehari. Dumiary (1997) menyatakan bahwa pengangguran adalah orang yang tidak
mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan. Masalah yang dihadapi adalah masalah setengah menganggur atau pengangguran tidak kentara. a. Setengah Menganggur Keadaan setengah menganggur (underemployment) terletak antara full employment dan sama sekali menganggur. Pengertian yang digunakan ILO, Underemployment yaitu perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang secara normal mampu dan ingin dikerjakannya. -
Setengah menganggur yang kentara adalah jika seseorang bekerja tidak tetap (part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
-
Setengah menganggur yang tidak kentara adalah jika seseorang bekerja secara penuh (full time) tetapi pekerjaannya itu dianggap tidak mencukupi
31
karena pendapatannya terlalu rendah atau pekerjaan tersebut tidak memungkinkan ia untuk mengembangkan seluruh keahliannya b. Pengangguran Tidak Kentara Pengangguran tidak kentara (disguised unemployment), dalam angkatan kerja mereka dimasukkan dalam kegiatan bekerja, tetapi sebetulnya mereka menganggur jika dilihat dari segi produktivitasnya. Jadi disini mereka sebenarnya tidak mempunyai produktivitas dalam pekerjaannya. Misalnya mereka terdiri dari 4 orang yang bersama-sama bekerja dalam jenis pekerjaaan yang sesungguhnya dapat dikerjakan oleh 3 orang sehingga 1 orang merupakan ‘disguised unemployment’. c. Penganguran Friksional Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang terjadi akibat pindahnya seseorang dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan akibatnya harus mempunyai waktu tenggang dan berstatus sebagai penganggur sebelum mendapatkan pekerjaan yang lain tersebut. Menurut Elfindri dan Nasri (2004), pemicu pengangguran di Indonesia mengikuti trend globalisasi, kuatnya magnetic Negara Cina dalam menawarkan investasi dari Indonesia, munculnya pemicu sebagai akibat dari kejadian terorisme, lambannya masa pulih resesi tahun 1997, salah alokasi dalam anggaran pemerintah, ekonomi biaya yang tinggi dan stagnannya konsumsi masyarakat. Case dan Fair (2004) berpendapat bahwa tingkat pengangguran (persentase angkatan
kerja
yang
menganggur)
merupakan
indikator
kunci
kesehatan
perekonomian karena pengangguran berhubungan erat dengan keluaran agregat 32
perekonomian. Adanya pengangguran tampaknya mengimplikasi bahwa pasar tenaga agregat tidak berada dalam keseimbangan, bahwa ada sesuatu yang menghalangi jumlah yang ditawarkan dan jumlah yang diminta menjadi sama. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa pengangguran merupakan masalah besar perekonomian makro dengan mengemukakan beberapa alasan keberadaannya, salah satunya adalah alasan upah. Tingkat pengangguran yang diukur bias kelihatan tinggi walaupun pasar tenaga kerja berfungsi dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh adanya orang yang berkeinginan untuk bekerja dengan upah lebih tinggi dibanding dengan upah riil. Tabel 2.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013 No. Tahun Pebruari Agustus 2009 1 6.32 8.45 2010 2 6.4 7.43 2011 3 6.41 6.37 2012 4 6.55 6.2 2013 5 6.45 6.53 Sumber : diolah dari Data BPS Provinsi Sumatera Utara
2.5
Upah Dalam teori ekonomi pengertian upah adalah sebagai pembayaran ke atas jasa-
jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Sukirno (2011) membedakan upah menjadi 2 (dua) pengertian yaitu upah uang dan upah riil. Upah uang adalah jumlah uang yang diterima pekerja dari para pengusaha sebagai pembayaran ke atas tenaga mental atau fisik para pekerja yang digunakan dalam proses produksi sedangkan upah riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur
33
dari suatu kemampuan upah tersebut membeli barang-barang dan jasa-jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja. Menghitung upah riil disuatu Negara bergantung pada indeks harga yaitu gambaran tentang tingkat rata-rata dari perubahan harga-harga dari waktu ke waktu. Salah satu dari indeks harga adalah indeks harga barang konsumen yang akan digunakan untuk menaksir upah riil para pekerja dari tahun ke tahun. Tentu saja upah riil yang diberikan oleh perusahaan bergantung pada produktivitas tenaga kerja tersebut. Sukirno (2011) menjelaskan beberapa faktor-faktor penting yang menjadi sumber dari perbedaan upah adalah : 1. Perbedaan corak permintaan dan penawaran dalam berbagai jenis pekerjaan. Jika dalam suatu pekerjaan terdapat penawaran tenaga kerja yang cukup besar tetapi tidak banyak permintaan, upah cenderung rendah. Sebaliknya jika terdapat penawaran tenaga kerja yang terbatas tetapi permintaannya sangat besar, upah cenderung tinggi. 2. Perbedaan dalam jenis-jenis pekerjaan. Kegiatan ekonomi meliputi berbagai jenis pekerjaan mulai dari pekerjaan yang ringan dan sangat mudah dikerjakan hingga pekerjaan yang menuntut pikiran dan tenaga yang lebih besar. Ada pekerjaan yang harus dilakukan dengan mengeluarkan fisik yang besar, ada pula pekerjaan yang harus dilakukan dalam lingkungan yang kurang menyenangkan.
34
3. Perbedaan kemampuan, keahlian dan pendidikan. Kemajuan perekonomian membuat kegiatan-kegiatan ekonomi yang memerlukan tenaga kerja terdidik. Semakin rumit pekerjaan yang diperlukan, makin lama pendidikan dari tenaga ahli yang diperlukan. Upah yang diperoleh oleh tenaga terdidik lebih tinggi daripada para pekerja yang lebih rendah pendidikannya. Tenaga kerja yang lebih tinggi pendidikannya memperoleh pendapatan yang lebih tinggi karena pendidikannya mempertinggi kemampuan kerja menaikkan produktivitas. 4. Terdapatnya pertimbangan bukan keuangan dalam memilih pekerjaan. Faktor bukan keuangan misalnya ada tidaknya perumahan yang tersedia, jauh dekatnya kepada rumah pekerja, apakah ada di kota besar atau daerah terpencil atau pekerjaannya terpisah dari keluarga atau tidak. Faktor-faktor bukan keuangan diatas mempunyai peranan cukup penting dalam memilih pekerjaan. Seseorang dapat menerima upah yang lebih rendah dari upah yang ditawarkan jika terdapat faktor pertimbangan bukan keuangan yang sesuai dengan keinginannya. 5. Ketidaksempurnaan dalam mobilitas tenaga kerja. Jika dalam pasar tenaga kerja terjadi perbedaan upah, maka tenaga kerja akan mengalir ke pasar tenaga kerja yang upahnya lebih tinggi. Upah dari suatu pekerjaan di berbagai wilayah tidak selalu sama yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan dalam mobilitas tenaga kerja. Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, sebab itu upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan karyawan dan keluarganya dengan wajar. Kenyataan menunjukkan bahwa masih pekerja Indonesia berpenghasilan sangat kecil, 35
lebih kecil dari kebutuhan hidup minimum (Sumarsono, 2003). Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan penerapan upah minimum. Upah minimum yang diatur dalam PP No. 8 Tahun 1981 yang disadur kembali oleh Sumarsono (2003) merupakan upah yang ditetapkan secara Minimum Regional, Sektoral Regional maupun Sub Sektoral. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memuat tentang Upah Minimum pada pasal 88 ayat 3 sebagai berikut : a. Upah Minimum berdasarkan wilayah berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/ kota; b. Upah Minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/ kota. Berdasarkan undang-undang tersebut berarti pemerintah harus menyusun peraturan pemerintah tentang upah minimum, agar apa yang dimaksud oleh undang-undang menjadi lebih jelas. Upah minimum yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota (Bachrun, 2012).
2.6
Keterkaitan Keberadaan Pengangguran dengan Upah Teori upah sangat berpengaruh pada banyaknya pengangguran, namun belum
banyak teori yang membahas secara detail tentang teori tersebut. Case dan Fair (2004) membahas upah yang berkaitan erat dengan keberadaan pengangguran. Upah kaku atau sering disebut sebagai kekakuan upah yaitu upah keseimbangan kaku pada tingkat tertentu dan tidak turun ketika permintaan tenaga kerja turun.
36
S Pengangguran W0 Tingkat Upah W*
Upah Keseimbangan baru
L1
L*
D1
L0
Unit Kerja
Gambar 2.1 Grafik Kekakuan Upah
Kekakuan upah diilustrasikan pada Gambar 2.1 , dimana upah keseimbangan terjadi pada W0 (upah semula) dan tidak turun ke W* ketika permintaan menurun dari D0 ke D1. Pengangguran sejumlah L0 - L1 , dimana L0 adalah jumlah tenaga kerja yang ingin ditawarkan oleh rumah tangga pada tingkat upah W0 dan L1 adalah jumlah tenaga kerja yang ingin dipekerjakan oleh perusahaan pada tingkat upah W0 . L0 - L1 adalah jumlah pekerja yang ingin bekerja pada W0 tetapi tidak menemukan pekerjaan. Ketika terjadi penurunan permintaan agregat maka akan menyebabkan kurva permintaan tenaga kerja akan turun bergeser ke kiri bawah, dari D0 ke D1 . Jika tingkat upah cukup kaku pada tingkat W0 , maka tingkat kesempatan kerja akan turun lebih besar bukan pada L* tapi sampai pada L1. Dengan demikian terjadi pengangguran yang lebih besar yaitu sebesar L0L1 (Santoso, 2012). 37
D0
Sukirno (2010) memaparkan pandangan ahli-ahli ekonom klasik bahwa apabila terjadi pengangguran, mekanisme pasar akan menciptakan penyesuaian-penyesuaian di dalam pasar tenaga kerja sehingga akhirnya pengangguran dapat dihapuskan. Penganggur akan bersedia bekerja pada tingkat upah yang lebih rendah dari yang berlaku di pasar. Keadaan ini akan menimbulkan kekuatan-kekuatan yang akan menurunkan tingkat upah dan penurunan dalam tingkat upah ini akan memperluas kegiatan ekonomi. Namun pandangan ekonom klasik tersebut memiliki kelemahan karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai terjadinya pengangguran yang disebabkan oleh kekurangan permintaan agregat yang dapat terjadi. Ahli-ahli ekonomi klasik memusatkan perhatian kepada permintaan yang cukup besar terkait hasil produksi yang terbatas dan efisien tanpa menghiraukan permintaan kebutuhan masyarakat yang menurun. Case dan Fair (2004) juga menjelaskan bahwa pengangguran berpusat pada teori upah efisiensi, yang mengatakan bahwa produktivitas pekerja akan naik mengikuti kenaikan tarif upah. Jika demikian, perusahaan terdorong untuk membayar upah diatas tingkat yang mampu menormalkan kelebihan penawaran di pasar. Manfaatnya adalah perputaran tenaga kerja (turn over) yang lebih rendah, semangat kerja yang meningkat dan kelalaian kerja yang berkurang.
2.7
Kemiskinan Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS, 2002). Sirojuzilam (2011) berpendapat bahwa kemiskinan bersifat 38
multidimensional yang mencakup dimensi rendah tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya jaminan masa depan, kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan, ketidakmampuan menyalurkan aspirasi dan ketersisihan dalam peranan sosial. Todaro (2006) berpendapat bahwa besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. a. Kemiskinan absolut adalah tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup. Angka KFM ini berbedabeda dari satu Negara ke Negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya serta bias berubah-ubah dari waktu ke waktu. PBB pernah menetapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US$ 125.- per tahun dapat digolongkan berada di bawah Garis Kemiskinan atau berada dalam Kemiskinan Absolut b. Kemiskinan relatif dapat dilihat dengan memperbandingkan proporsi atau persentase penduduk yang berada pada dan di bawah garis kemiskinan absolut dengan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang tingkat kemiskinan relatif atau pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Ukuran disribusi pendapatan dapat diukur dengan “Rasio Konsentrasi Gini” (Gini Consentration Ratio) atau Koefisien Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ ketimpangan (pendapatan, kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara 39
nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini pada Negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di kalangan penduduknya berkisar 0,50 hingga 0.70. sedangkan untuk Negaranegara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata, Koefisien Gini berkisar antara 0,20 sampai 0,35. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai “poverty is lack of shelter. Poverty is beinh sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being able to go to school and not knowing how to read. Poverty is not having a job, is fear of the future, living one day at time. Poverty is losing a child to illness brought about by clean water. Poverty is powerlessness. Lack of representation ang freedom”. Kemiskinan berkenaan dengan ketiadaan tempat tinggal, sakit dan tidak mampu untuk berobat ke dokter, tidak mampu untuk sekolah dan tidak tahu baca tulis. Kemiskinan adalah bila tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa depan, tidak memiliki akses akan sumber air bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kurangnya representasi dan kebebasan (Maipita, 2014). Menurut Sajogyo (1977) garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg beras setiap orang per tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini yang setara dengan nilai beras dimaksudkan untuk dapat membandingkan tingkat hidup antar waktu dan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah. Indikator kemiskinan menurut Departemen Sosial RI (2005) sebagai berikut :
40
1. Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah provinsi dan kabupaten/ kota. 2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/ beras untuk orang miskin/ santunan social). 3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap per orang per tahun). 4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit. 5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya. 6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama 3 bulan atau 2 kali batas garis sangat miskin. 7. Tinggal dirumah yang tidak layak huni. 8. Sulit memperoleh air bersih. Sedangkan indikator miskin menurut BPS (2007) yaitu : 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu/ kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain. 41
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindungi/ sungai/ air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/ Poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000.- per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; tidak bersekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000.- seperti : sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Suharto (2009) berpendapat bahwa secara konseptual kemiskinan diakibatkan oleh 4 (empat) faktor yaitu : 1. Faktor individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
42
2. Faktor sosial. Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi. 3. Faktor kultural. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjukkan pada konsep “kemiskinan kultural” atau “budaya kemiskinan” atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap-sikap negatif seperti malas, fatalism atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering ditemukan pada orangorang miskin. 4. Faktor struktural. Menunjuk pada struktur atau system yang tidak adil, tidak sensitive dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh, system ekonomi neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari, kemiskinan. Sebaliknya stimulus ekonomi, pajak dan iklim investasi lebih menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan. Case dan Fair (2004) membahas kehidupan Negara-negara berkembang dengan menjelaskan suatu hipotesis lingkaran setan kemiskinan yang mengemukakan bahwa Negara miskin harus mengkonsumsi hampir semua pendapatannya hanya untuk 43
mempertahankan standar hidupnya yang sudah rendah. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa kemiskinan menjadi penyebab berlanjutnya kemiskinan karena Negara-negara miskin tidak mampu menghemat dan berinvestasi secara memadai untuk menghimpun stok modal yang akan membantu mereka bertumbuh. Kelangkaan modal tersebut mungkin disebabkan oleh kekurangan dorongan bagi warga Negara untuk menabung dan melakukan investasi secara produktif dibandingkan oleh kelangkaan mutlak pendapatan apapun yang tersedia bagi akumulasi modal. Kebijakan pemerintah Negara-negara berkembang termasuk plafon harga, kontrol impor dan kecocokan seketika dari property swasta cenderung menghambat investasi yang
mempengaruhi
perlambatan
pertumbuhan
ekonomi
di
Negara-negara
berkembang tersebut. Ciri-ciri umum dari setiap Negara berkembang dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori utama sebagai berikut : 1. Standar hidup yang relatif rendah, ditunjukkan oleh tingkat pendapatan yang rendah ketimpangan pendapatan yang parah, kondisi kesehatan yang buruk dan kurang memadainya sistem pendidikan. 2. Tingkat produktivitas yang rendah. Rendahnya tingkat produktivitas dapat dinaikkan dengan cara memobilitasi tabungan domestik dan penarikan ketentuan modal serta investasi di bidang pendidikan dan pelatihan untuk menambah keterampilan pengelolaan setiap orang (tenaga kerja) guna memaksimumkan potensi investasi manusia dan fisik tersebut. 3. Tingkat pertumbuhan penduduk serta beban ketergantungan yang tinggi. Selain harus membanting tulang untuk mendapatkan penghasilan yang tidak seberapa 44
banyak penduduk di Negara-negara berkembang yang masih berjuang melawan kekurangan gizi, penyakit dan kesehatan yang buruk. Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah kekurangan gizi (malnutrition) dan buruknya kondisi kesehatan di Negara-negara berkembang kebih disebabkan oleh kemiskinan dan bukannya oleh kelangkaan produksi makanan, walaupun kedua faktor tersebut secara tidak langsung saling berkaitan. 4. Ketergantungan pendapatan yang sangat besar kepada produksi sektor pertanian serta produk-produk primer (bahan-bahan mentah). Dudley Seers (1969) menyatakan bahwa makna pembangunan ekonomi bukan semata peningkatan pendapatan per kapita, akan tetapi penanggulangan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pendapatan. Pengurangan pengangguran merupakan cara untuk menghilangkan masalah utama kemiskinan dan ketimpangan pendapatan penduduk (antar wilayah). Pembangunan yang dilakukan belum sepenuhnya berjalan karena pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi pengangguran dan kemiskinan dalam persentase signifikan ditengah investasi yang jauh dibawah target pembangunan jangka menengah.
2.8
Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Walaupun pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara relatif tinggi, tetapi antar
wilayahnya mengalami disparatis yang relatif besar. Hal ini disebabkan oleh karena strategi pembangunan di Sumatera Utara yang belum merata. Berdasarkan hasil analisis Sirojuzilam (2008) menggunakan indeks Williamson, pembangunan yang dilaksanakan di wilayah dataran tinggi relatif lebih merata berkisar 0,1402 hingga 45
0,1604. Sedangkan wilayah timur memiliki indeks Williamson terbesar berkisar 0,1598 hingga 0,1720. Ketimpangan terjadi pada Kabupaten Asahan, Kota Medan, Kabupaten Labuhan Batu dan Deli Serdang. Dijelaskan bahwa ketimpangan relatif lebih besar terjadi di wilayah timur dibandingkan dengan wilayah barat. Ketimpangan yang terjadi diantara wilayah barat dan wilayah timur akibat adanya perbedaan potensi sumber daya wilayah, infrastruktur transportasi, pengeluaran pemerintah, pendidikan, sumber daya manusia, kepadatan penduduk, investasi, sumber daya alam dan heterogenitas suku (open region). Sirojuzilam (2011) menganalisa bahwa lebih dari 50% total penduduk Sumatera Utara berdomisili di wilayah timur yang mengalami ketimpangan yang lebih besar dari wilayah barat. Secara umum penduduknya hidup di sektor pertanian dan bermukim di daerah pesisir dengan tingkat kehidupan yang minim alias miskin dengan pendapatan perkapita rendah tetapi pola konsumsi yang relatif tinggi. Kemampuan menyerap tenaga kerja oleh pihak pemerintah dan pihak swasta merupakan faktor yang mendukung terpuruknya kondisi masyarakat yang diperburuk oleh ketidakberdayaan masyarakat untuk hidup mandiri. Rendahnya pendapatan masyarakat juga diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan. Sirojuzilam (2011) berpendapat bahwa dengan dikembangkannya konsep agromarinpolitan yang terpadu antara wilayah barat dan timur maka diharapkan akan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat nelayan, meningkatkan lapangan pekerjaan, berkurangnya pengangguran, diversifikasi pekerjaan dan produk hingga pada akhirnya berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin.
46
Jumlah penduduk miskin di wilayah Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara ditunjukkan pada tabel 2.2. Tabel 2.3 Jumlah penduduk miskin Sumatera Utara Tahun 2009-2012 No. Wilayah Kabupaten/ Kota 2009 2010 1. Nias 98.94 26.4 2. Mandailing Natal 55.24 50.9 3. Tapanuli Selatan 33.24 31.5 4. Tapanuli Tengah 57.01 52.2 5. Tapanuli Utara 35.09 34.9 6. Toba Samosir 17.34 17.6 7. Labuhan Batu 102.09 44.3 8. Asahan 83.66 76.3 9. Simalungun 107.5 87.7 10. Dairi 27.09 26.9 11. Karo 41.82 38.7 12. Deli Serdang 91.44 96 13. Langkat 133.14 104.8 14. Nias Selatan 59.91 60.1 15. Humbang Hasundutan 17.65 18.2 16. Pakpak Bharat 5.93 5.6 17. Samosir 22.85 19.7 18. Serdang Bedagai 60.42 62.8 19. Batubara 49.5 46 20. Padang Lawas Utara 22.74 25 21. Padang Lawas 21.91 25 22. Labuhan Batu Selatan … 43.4 23. Labuhan Batu Utara … 40.9 24. Pematang Siantar 29.13 27.5 25. Tanjung Balai 28.3 25.2 26. Tebing Tinggi 20.53 18.9 27. Medan 200.4 212.3 28. Binjai 17.88 18 29. Padang Sidimpuan 18.51 20.3 30. Sibolga 15 11.7 31. Nias Utara … 40.7 32. Nias Barat … 25.1 33. Gunung Sitoli … 42.5 Sumber : diolah dari Data BPS Provinsi Sumatera Utara
47
2011 25.39 49.05 30.39 90.21 33.57 16.93 42.61 73.39 84.35 25.87 37.22 92.33 100.8 57.8 17.5 5.39 18.95 60.5 44.34 24.04 24.04 41.74 39.34 26.45 24.24 18.27 204.19 17.41 19.52 11.25 39.15 24.24 40.97
2012 24.63 47.62 29.48 48.68 32.58 16.39 41.31 71.19 81.85 25.12 36.08 89.5 97.75 56.05 16.97 5.24 18.33 58.67 43.96 23.27 23.27 40.44 38.11 25.6 23.47 17.75 198.03 16.87 18.91 10.96 37.92 23.47 39.76
Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, sehingga melalui pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (Rofiq, 2014). Pada Maret 2014 garis kemiskinan Sumatera Utara sebesar Rp 318.398,- per kapita per bulan. Untuk daerah perkotaan, garis kemiskinannya sebesar Rp 338.234,- per kapita per bulan, dan untuk daerah perdesaan sebesar Rp 299.145,- per kapita per bulan. Dibanding September 2013, garis kemiskinan Sumatera Utara pada Maret 2014 naik 2,36 persen. Garis kemiskinan di perkotaan naik 2,33 persen dan garis kemiskinan di perdesaan naik 2,38 persen. BPS (2014) dalam berita resmi statistik Provinsi Sumatera Utara, perkembangan garis kemiskinan ditunjukkan pada Tabel 2.3.
48
Tabel 2.4 Garis Kemiskinan Sumatera Utara Tahun 2004 – 2014 Tahun
Perkotaan
Perdesaan
Kota + Desa
Maret 2004
142 966
114 214
122 414
Juli 2005
175 152
117 578
143 095
Mei 2006
184 694
142 095
155 810
Maret 2007
205 379
154 827
178 132
Maret 2008
218 333
171 922
193 321
Maret 2009
234 712
189 306
210 241
Maret 2010
247 547
201 810
222 898
Maret 2011
271 713
288 023
222 226
September 2011
239 208
246 560
263 209
Maret 2012
286 649
238 368
262 102
September 2012
295 080
249 165
271 738
Maret 2013
307 352
263 061
284 853
September 2013
330 517
292 186
311 063
Maret 2014 338 234 299 145 Sumber : Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
2.9
318 398
Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah suatu skema dalam penelitian yang menggambarkan
hubungan antar konsep/variabel yang diteliti yang diturunkan dari kerangka teori (Polit & Hungler, 1999). Hubungan antar konsep (relational statement) yang digambarkan pada kerangka konsep akan menentukan independen dan dependen variabel, hipotesis yang akan dirumuskan, disain yang dipilih, metode statistik yg akan digunakan, serta hasil penelitian yang diharapkan. Dalam penelitian ini variabel independen meliputi Data Pertumbuhan Ekonomi, Data Tingkat Pengangguran Terbuka dan Data Upah Minimum. Sebagai variabel
49
dependen
dalam
penelitian
ini
adalah
Tingkat
Kemiskinan.
Berdasarkan
pertimbangan diatas maka dibuat kerangka konsep, hubungan antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengaangguran dan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. Data yang diamati adalah data 5 (lima) tahun belakangan di setiap wilayah Kabupaten Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
2.10 Skema Kerangka Konsep Penelitian Kerangka Konsep dari penelitian ini dapat dilihat dari bagan berikut :
PERTUMBUHAN EKONOMI (X1) TINGKAT PENGANGGURAN (X2)
KEMISKINAN (Y)
UPAH MINIMUM (X3)
2.11 Hipotesis Sesuai dengan judul yang diambil yaitu “Analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan upah minimum terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara” maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : 1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara.
50
2. Tingkat pengangguran berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. 3. Upah minimum berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. 4. Pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka dan upah minimum berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara.
51