BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Konsep Pemasaran Pemasaran memiliki keanekaragaman definisi, seperti yang dikemukakan oleh Kotler (2000) (dalam Tjiptono, 2005: 2) bahwa pemasaran adalah proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai satu sama lain. Kemudian Chartered Institute of Marketing (1986) (dalam Tjiptono, 2005: 2) mendefinisikan pemasaran sebagai proses manajemen yang mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memasok kebutuhan pelanggan secara efisien dan menguntungkan. Sedangkan menurut Gonroos (1987) (dalam Tjiptono, 2005: 2), pemasaran bertujuan untuk menjalin, mengembangkan, dan mengomersialisasikan hubungan dengan pelanggan untuk jangka panjang sedemikian rupa sehingga tujuan masing-masing pihak dapat terpenuhi. Hal ini dilakukan melalui proses pertukaran dan saling memenuhi janji. Dari semua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk menemukan kebutuhan dan keinginan terkait halnya dengan pelanggan, baik perorangan maupun kelompok dengan cara yang menguntungkan melalui proses pertukaran produk dan penghantaran nilai sehingga kedua belah pihak, pelanggan dan pemasar, samasama dapat mencapai tujuannya. Konsep dari pemasaran itu sendiri adalah bagaimana cara memahami dan memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Karena tidak semua pelanggan
Universitas Sumatera Utara
memahami kebutuhan dan keinginan mereka, maka disinilah fungsi pemasaran sebagai media bagi pelanggan untuk mengenali kebutuhannya. Dalam aktivitasnya, pemasaran harus melalui beberapa tahap untuk dapat memuaskan dan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan mengingat luasnya pasar yang tidak mungkin dapat dilayani seluruhnya, yaitu dengan melakukan STP (Segmenting, Targetting, Positioning) (Kotler & Keller, 2009:13). Dimana inti dari tahapan STP ini adalah bagaimana seorang pemasar dapat memuaskan dan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan berdasarkan segmen yang telah ditentukan atau dipilih dengan menjual kekuatan produk kepada kelompok konsumen / target pasar yang telah ditetapkan. Konsep pemasaran juga mengalami perkembangan, mulai dari konsep produksi, konsep produk, konsep penjualan, konsep pemasaran, dan konsep pemasaran holistik (Kotler & Keller, 2009:19). Perkembangan konsep pemasaran ini mengalami perubahan fokus yaitu pemasaran diawali dari konsep yang berfokus pada penekanan biaya produksi dan peningkatan ketersediaan produk, inovasi produk, penjualan, kepuasan pelanggan, hingga pengembangan, perancangan, dan pengimplementasian program pemasaran, proses, dan aktivitasaktifitas yang menyadari keluasan dan sifat saling ketergantungan (integrasi).
2.2 Nilai Pelanggan (Costumer Value) Seperti halnya pemasaran, nilai pelanggan juga memiliki keberagaman arti. Seperti yang dikemukakan para ahli berikut (dalam Pemasaran Jasa, Tjiptono, 2005: 296). Monroe (1990) mendefinisikan nilai pelanggan (costumer value) adalah tradeoff (pertukaran) antara persepsi pelanggan terhadap kualitas
Universitas Sumatera Utara
atau manfaat produk dan pengorbanan yang dilakukan lewat harga yang dibayarkan. Sedangkan Butz & Goodstein (1996) (dalam Tjiptono, 2005: 297) menegaskan bahwa nilai pelanggan (costumer value) adalah ikatan emosional yang terjalin antara pelanggan dan produsen setelah pelanggan menggunakan produk atau jasa yang dihasilkan pemasok tersebut dan mendapati bahwa produk bersangkutan memberi nilai tambah. Menurut Widjaja (2009: 56), nilai pelanggan (costumer value) didefinisikan sebagai nilai lebih dari selisih total manfaat dan total pengorbanan dalam proses hubungan pelanggan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan keinginannya pada tingkat ekspektasi yang diharapkannya. Dinyatakan juga bahwa dalam pemasaran selalu diupayakan penciptaan dan delivery nilai (value) kepada konsumen. Nilai pelanggan (costumer value) ditentukan oleh selisih antara manfaat total (total benefit) dan biaya total konsumen (costumer cost). Total benefit terdiri atas manfaat fungsional (what the product does), manfaat psikologis (what the product mean) dan manfaat ekperiensial (what is derived from consumption). Sedangkan total cost terdiri atas biaya ekonomi/moneter, biaya waktu, biaya energi yang dikeluarkan konsumen, biaya fisik, dan biaya psikis yang merupakan pengorbanan konsumen untuk memperoleh produk/jasa. Menurut Holbrook (1994) (dalam Tjiptono, 2005: 297), nilai (value) memiliki sejumlah makna yang tidak hanya terbatas pada perspektif analisis moneter/ekonomis. Ia mendefinisikan nilai (value) sebagai “pengalaman preferensi relativistik interaktif”. Menurutnya nilai merupakan preferensi relativistik (komparatif, personal, situasional) berkenaan dengan pengalaman
Universitas Sumatera Utara
subjek dalam berinteraksi dengan objek tertentu. Dalam konteks nilai pelanggan (costumer value), subjek yang dimaksud adalah konsumen, sedangkan objek relevannya adalah produk (barang, jasa, orang/pribadi, tempat, gagasan, acara/aktivitas, dan organisasi). Definisi Holbrook ini mengandung empat poin penting, yaitu : 1. Nilai menyangkut preferensi, yang secara umum diinterpretasikan sebagai favorable disposition (kecondongan yang menguntungkan), general liking (keinginan umum), emosi positif, penilaian positif/baik, tendensi untuk menyukai, sikap “pro” versus “kontra”, dan seterusnya. 2. Nilai itu tidak sepenuhnya subjektif dan juga tidak 100% objektif, namun lebih merupakan interaksi subjek-objek. 3. Nilai bersifat relatif, karena tergantung kepada peringkat atau ranking sebuah objek daripada objek lainnya (komparatif); berbeda antar individu (personal); dan tergantung kepada konteks penilaian evaluatif yang digunakan (situasional). 4. Nilai bersifat eksperiensial, di mana nilai dalam perilaku konsumen tidak terletak pada pembelian atau pemerolehan suatu objek, tetapi lebih pada pengalaman konsumsi yang didapatkan dari objek bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa definisi nilai pelanggan adalah sesuatu yang diperoleh dan dirasakan oleh pelanggan setelah menggunakan produk/jasa, yaitu adanya nilai tambah yang dihasilkan dari perbandingan kualitas produk/jasa yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dengan pengorbanan/biaya yang dikeluarkan dalam mendapatkan produk/jasa tersebut.
2.3 Experiential Marketing 2.3.1 Pengertian Experiential Marketing Perubahan dan perkembangan zaman berpengaruh terhadap kemajuan pola pikir konsumen dalam menentukan keputusan pembeliannya. Hal ini berdampak pada perkembangan strategi pemasaran yang terus berubah dimana pemasaran tradisional yang berfokus pada feature and benefit beralih menjadi pemasaran yang berdasarkan pembentukan pengalaman atas suatu produk atau jasa atau dikenal dengan experiential marketing. Experiential marketing terdiri dari dua kata yaitu experiential dan marketing. Experiential berasal dari kata experience yang artinya pengalaman. Sedangkan marketing yang artinya adalah pemasaran. Definisi experience menurut Schmitt (1999: 60) yaitu “Experiences are private events that occur in response to some stimulation (e.g., as provided by marketing effort before and after purchase)“. Pengertian dari definisi tersebut adalah bahwa pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atas beberapa jenis stimulus (misalnya yang diberikan oleh upaya-upaya pemasaran sebelum dan sesudah pembelian). Kemudian menurut Pine II & Gilmore (dalam Irawan 2011: 27) : “Experiences are event that engage individuals in a personal way”. Dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan suatu kejadian yang terjadi dan dirasakan oleh masing-masing individu secara personal yang dapat memberikan kesan tersendiri bagi individu yang merasakannya.
Universitas Sumatera Utara
Dari definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pengalaman (experiences) adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dirasakan seseorang secara pribadi yang diakibatkan dari stimulus-stimulus yang diterima dari lingkungan di sekitarnya dan memberikan kesan-kesan tertentu bagi seseorang tersebut. Sedangkan pengertian marketing dalam Chartered Institute of Marketing (1986) (dalam Tjiptono, 2005: 2) mendefinisikan pemasaran sebagai proses manajemen yang mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memasok kebutuhan pelanggan secara efisien dan menguntungkan. Schmitt (1999: 22) menjelaskan istilah experiential marketing sebagai berikut: “Experiential marketing is everywhere. In a wide variety of markets-from consumer packaged goods to industrial and high technology companies are using experiential marketing for many different purposes: developing new products, communicating with costumer, improving sales relations, designing retail spaces and building websites. More and more, marketers are moving away from their ‘feature and benefits’ marketing and turning to Experiential Marketing.” (Experiential Marketing dapat terjadi dimana saja. Pada berbagai jenis pasar-mulai dari pasar penghasil barang konsumen kemasan sampai dengan industri dan perusahaan yang berteknologi tinggi menggunakan experiential marketing untuk berbagai macam tujuan: mengembangkan produk baru, berkomunikasi dengan pelanggan, meningkatkan relasi penjualan, merancang ruang retail dan membangun sebuah website (situs). Lebih dari itu, pemasar semakin meninggalkan pendekatan mereka yang lama, pemasaran dengan fitur dan keunggulan (feature and benefit) menuju Experiential Marketing) Dari pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa experiential marketing yaitu merupakan pendekatan pemasaran yang berusaha menghadirkan pengalamanpengalaman yang unik dan positif pada produk/jasa yang dapat diterapkan di berbagai bidang mulai dari bidang industri yang masih menerapkan cara
Universitas Sumatera Utara
tradisional dalam menciptakan produk/jasa sampai dengan perusahaan yang berteknologi tinggi sekalipun dalam berbagai tujuan mulai dari pengembangan produk baru hingga menciptakan situs tertentu yang dapat memperkenalkan industri atau perusahaan tersebut kepada masyarakat. Konsep experiential marketing pertama kali diperkenalkan oleh Pine & Gilmore dalam karyanya Experience Economy (1997) dan Schmitt dalam karyanya Experiential Marketing (1999). Dalam karyanya, Pine & Gilmore menyatakan bahwa experiential marketing dikatakan terjadi ‘ketika sebuah perusahaan sengaja menggunakan jasa/layanan sebagai sebuah panggung dan barang sebagai alat peraganya, sedikit banyak melibatkan pelanggan individu dalam menciptakan suatu acara yang mengesankan’ (dalam Schmitt dan Rogers, 2008: 132). Dapat diartikan bahwa maksud dari analogi tersebut yaitu berhasilnya penerapan experiential marketing suatu perusahaan adalah pada saat perusahaan mampu melibatkan barang dan jasanya serta pelanggan individu dalam menciptakan suatu hasil yang mengesankan, yaitu pengalaman yang positif bagi pelanggannya dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Schmitt menyatakan bahwa pemasar menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur – unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen. Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan – pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan service (Schmitt 2004, dalam Reinhard 2011).
Universitas Sumatera Utara
Schmitt (1999) (dalam Schmitt & Rogers, 2008: 116) memberikan suatu framework alternatif untuk me-manage pengalaman pelanggan yang terdiri dari dua elemen, yaitu Strategic Experience Modules (SEMs) dan Experience Providers (ExPros). Berikut penjelasan mengenai Strategic Experience Modules (SEMs) yang terdiri dari beberapa tipe experience, yaitu sense, feel, think, act, dan relate. 1.
Strategic Experience Modules (SEMs) a. Sense (Indera) Sense adalah aspek-aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu
produk yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Sense bagi konsumen berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain, untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat (Rini, 2009: 16).
b. Feel (Perasaan) Berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan. Feel
Universitas Sumatera Utara
campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama (Schmitt,1999) (dalam Rini 2009: 17). Affective experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan affective experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan dipahami (dalam Rini, 2009: 17) yaitu: 1.
Suasana hati (moods) Moods merupakan affective yang tidak spesifik. Suasana hati dapat
dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih. 2.
Emosi (emotion) Lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan pernyataan
afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, iri hati, dan cinta.
Universitas Sumatera Utara
Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).
c. Think (Cara Berpikir) Perusahaan
berusaha
untuk
menantang
konsumen,
dengan
cara
memberikan problem-solving experiences (pengalaman pemecahan-masalah), dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif dan/atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah (dalam Rini, 2009 : 17): 1. Menciptakan sebuah kejutan (surprise) yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun konseptual. Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif. Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan. Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa senang. Dalam experiential marketing, unsur surprise menempati hal yang sangat penting karena dengan pengalaman-pengalaman yang mengejutkan dapat memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama. 2. Berusaha untuk memikat pelanggan (intrigue). Jika kejutan berangkat dari sebuah harapan, intrigue campaign mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang memikat pelanggan. Namun, daya pikat ini
Universitas Sumatera Utara
tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap pelanggan. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalaman pelanggan tersebut. 3. Memberikan sedikit provokasi. Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif.
d. Act (Tindakan) Tindakan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik (Rini, 2009: 17). e. Relate (Pertalian/Hubungan) Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement (perbaikan diri), status socioeconomic (status sosial-ekonomi), dan image (citra). Relate campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama (Rini, 2009: 17).
Universitas Sumatera Utara
2. Experience Providers (ExPros) Kelima tipe dari experience yang telah disebutkan diatas dihantarkan oleh pemasar kepada konsumen melalui experience provider (ExPros) (dalam Schmitt & Rogers, 2008: 120). ExPros meliputi communications, visual/ verbal identity, product presence, co-branding, spatial environments, electronic media,
dan
people. a. Communications (komunikasi) Komunikasi meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun eksternal, dan public relation. Bentuk-bentuk komunikasi tersebut biasa digunakan oleh perusahaan untuk mengomunikasikan produk dan jasanya. b. Visual/Verbal Identity (nama dan logo) Yaitu identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan lain-lain. c. Product Presence (tampilan produk) Tampilan produk meliputi desain produk, pengemasan, tampilan produk dan karakter merek dimana digunakan sebagai bagian dari pengemasan dan poin penjualan. Produk yang menarik dengan desain yang unik menjadi kunci dalam menarik konsumen. d. Co-branding Co-banding dalam ExPros meliputi even-even pemasaran (event marketing) dan sponsorship, aliansi dan rekanan kerja, lisensi, penempatan
Universitas Sumatera Utara
produk dalam film, dan bentuk kerjasama lainnya. Event marketing dapat lebih efektif dan murah dibandingkan periklanan. e. Spatial Environment (tempat perusahaan) Tempat perusahaan termasuk di dalamnya gedung, kantor, toko, dan tempat pameran. Tempat perusahaan juga merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan pengalaman melalui desain ruangan, yaitu ruangan dirancang memiliki estetika dan keunikan dari mulai interior hingga lantai ruangan. f. Websites dan Elektronik Media Perusahaan besar saat ini memanfaatkan internet sebagai media untuk semakin memperoleh pelanggan. Internet juga menjadikan pelanggan dapat melakukan interaksi langsung dengan perusahaan. Hal ini menjadi nilai positif untuk menarik pelanggan yang harus dikelola dengan baik oleh perusahaan. g. People Meliputi penjual, representasi perusahaan, costumer service, operator call centre, dan lainnya yang berhubungan dengan orang-orang yang bekerja di perusahaan.
2.3.2 Karakteristik Experiential Marketing Schmitt (dalam Irawan 2011: 28) membagi experiential marketing menjadi empat kunci karakteristik antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1. Fokus pada pengalaman pelanggan Pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan nilai-nilai panca indera, emosional, kognitif, perilaku dan perilaku yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman tersebut dapat menghubungkakn perusahaan beserta produk dan layanannya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya. 2. Perasaan pada saat mengkonsumsi Konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut. 3. Konsumen sebagai makhluk rasional dan emosional Dalam experiential marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosinalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif. 4. Metode dan alat elektik Metode dan perangkat yang digunakan dalam mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Pada experiential
Universitas Sumatera Utara
marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal badan usaha saja, melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada kosumen terhadap perusahaan tersebut.
2.3.3 Manfaat Experiential Marketing Fokus utama dari experiential marketing adalah pada tanggapan panca indera, pengaruh, tindakan, serta hubungan. Oleh karena itu, suatu perusahaan harus dapat memberikan pengalaman yang dihubungkan dengan kehidupan nyata dari konsumen dan experiential marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada beberapa situasi tertentu dan hal ini dapat menjadi strategi yang tepat dalam mempertahankan pelanggan. Beberapa keuntungan yang dapat diterima dan dirasakan suatu perusahaan menurut pandangan Schmitt apabila menerapkan experiential marketing antara lain (dalam Irawan 2011: 30) : 1. Untuk membangkitkan kembali merek yang sedang merosot. 2. Untuk membedakan suatu produk dengan produk pesaing. 3. Untuk menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan. 4. Untuk mempromosikan inovasi. 5. Untuk membujuk percobaan, pembelian, dan loyalitas pelanggan.
2.4 Loyalitas Pelanggan 2.4.1 Definisi Loyalitas Pelanggan Bagi perusahaan maupun organisasi bisnis, memiliki pelanggan yang loyal atau setia terhadap merek/produk merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam jangka panjang. Karena dengan memiliki pelanggan yang loyal akan
Universitas Sumatera Utara
mendatangkan banyak keuntungan bagi perusahaan atau organisasi bisnis. Oleh karena itu, perusahaan atau organisasi akan menggunakan berbagai strategi untuk bisa mempertahankan pelanggannya agar tidak berpindah ke merek/produk perusahaan atau organisasi lain. Kebutuhan akan loyalitas pelanggan akan semakin penting di tengah lingkungan bisnis yang kian turbulen, terutama setelah berkembang pesatnya teknologi informasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Frederick Reichheld, seorang guru loyalitas pelanggan, bahwa loyalitas pelanggan adalah jaminan keunggulan bersaing, pertumbuhan, laba, dan sustainability (keberlanjutan) jangka panjang perusahaan (Kartajaya et al. 2003: 97). Mowen dan Minor (1998) (dalam Mardalis 2005: 111) mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi di mana pelanggan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan
pembeliannya di
masa mendatang.
Loyalitas
menunjukkan
kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Sedangkan menurut Istijanto (2005: 172) loyalitas atau kesetiaan menunjukkan probabilitas seorang konsumen untuk membeli atau memakai produk atau merek secara berulang dalam periode waktu tertentu. Seorang loyalist cenderung mau membeli lebih sering daripada pelanggan biasa. Bahkan dalam tingkatan tertinggi pelanggan yang loyal akan sukarela menjadi pembela brand (Mussry et al. 2007: 133). Selanjutnya, menurut Griffin (2002: 31), pelanggan yang loyal adalah orang yang:
Universitas Sumatera Utara
1. Melakukan pembelian berulang secara teratur 2. Membeli antar lini produk dan jasa 3. Mereferensikan kepada orang lain 4. Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan pesaing Dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan adalah kondisi dimana adanya suatu probabilitas, keinginan, hingga komitmen seorang pelanggan untuk melakukan pembelian ulang terhadap suatu merek atau produk. Tidak hanya melakukan pembelian ulang, namun sikap positif lainnya dari seorang pelanggan yang loyal terhadap merek atau produk dapat diketahui ketika pelanggan tersebut menunjukkan kekebalan terhadap tarikan pesaing dan bahkan bersedia dengan sukarela mereferensikan merek atau produk yang digunakannnya tersebut kepada orang lain.
2.4.2 Cara Mengukur Loyalitas Secara umum, loyalitas dapat diukur dengan cara-cara berikut (dalam Mardalis 2005, 113) : 1. Urutan Pilihan (choice sequence) Menurut Kotler (2000) (dalam Mardalis 2005: 113) terdapat pola pembelian ulang konsumen yaitu: 1. Sangat setia (hardcore loyal) Konsumen yang membeli satu merek saja setiap saat. Jadi pola pembelian A,A,A,A,A,A yang akan mencerminkan loyalitas yang tak terbagi pada merek A. Pola pembelian jenis ini dapat diilustrasikan, misalnya sesorang mengkonsumsi pasta gigi merek
Universitas Sumatera Utara
A, pada pembelian selanjutnya seseorang tersebut selalu memilih pasta gigi merek A, tidak memilih pasta gigi merek lain pada setiap pembelian pasta gigi. 2. Agak setia (softcore loyal) Konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Pola pembelian A,A,B,B,A,B mewakili setiap konsumen dengan loyalitas yang terbagi antara A dan B. Pola pembelian ini dapat diilustrasikan apabila seseorang yang menggunakan produk susu dengan dua merek yang berbeda. Misalnya untuk konsumsi susu yang berasa cokelat selalu dipilih susu dengan merek A, sedangkan untuk susu yang berasa vanila selalu dipilih susu dengan merek B. 3. Kesetiaan yang berpindah (shifting loyal) Konsumen yang pindah dari (menyukai) satu merek ke merek lain. Pola pembelian A,A,A,B,B,B akan mencerminkan seorang konsumen yang memindakan loyalitas dari merek A ke merek B. Untuk pola pembelian jenis ini dapat diilustrasikan apabila seseorang awalnya menggunakan produk kecap merek A, karena mendapat rekomendasi kecap yang lebih berkualitas dari rekannya maka untuk pembelian kecap selanjutnya seseorang tersebut berganti merek menjadi membeli kecap merek B. 4. Pengalihan (switcher) Konsumen yang menunjukkan ketiadaan loyalitas pada merek apapun. Pola pembelian A,C,E,B,D akan mencerminkan seorang
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang tidak setia. Untuk ilustrasi pola pembelian jenis ini bisa terjadi pada konsumen yang selalu ingin mencoba hal yang baru, misalnya setiap ada produk baru yang diiklankan di televisi selalu ingin mencobanya. Sehingga dengan banyaknya produk yang diiklankan di televisi, semakin banyak juga produk yang dicobanya. Dalam hal ini, produk yang dimaksud adalah produk yang sama dengan merek yang berbeda-beda.
2. Proporsi Pembelian (proportion of purchase) Berbeda dengan runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel pelanggan.
3. Preferensi (preference) Cara ini mengukur loyalitas dengan menggunakan komitmen psikologis atau pernyataan preferensi. Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang positif” terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk membeli.
4.
Komitmen (commitment) Komitmen lebih terfokus pada komponen emosional/perasaan. Komitmen
terjadi dari keterkaitan pembelian yang merupakan akibat dari keterlibatan ego dengan kategori merek. Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep-diri pelanggan.
Universitas Sumatera Utara
Cara pertama dan kedua di atas merupakan pendekatan perilaku (behavioural approach). Cara ketiga dan keempat termasuk dalam pendekatan attitudinal (attitudinal approach).
2.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Loyalitas
akan
muncul
dengan
adanya
faktor-faktor
yang
me-
latarbelakanginya. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas (dalam Mardalis, 2005: 114): 1. Kepuasan Pelanggan Kotler (2000) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai perasaan suka/tidak seseorang terhadap suatu produk setelah ia membandingkan prestasi produk tersebut dengan harapannya. Wilkie (1994), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai tanggapan emosional yang positif pada evaluasi terhadap pengalaman dalam menggunakan suatu produk atau jasa. Engel (1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi setelah pembelian di mana produk yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melebihi harapan pelanggan, sedangkan ketidak-puasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan.
2. Kualitas Produk/Jasa Salah satu faktor penting yang dapat membuat pelanggan puas adalah kualitas jasa (Shellyana dan Basu, 2002). Kualitas jasa ini mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan (Anderson dan Sullivan 1993). Pemasar dapat meningkat-kan kualitas jasa untuk mengembangkan loyalitas
Universitas Sumatera Utara
pelanggannya. Produk yang berkualitas rendah akan menanggung resiko pelanggan tidak setia. Jika kualitas diperhatikan, bahkan diperkuat dengan periklanan yang intensif, loyalitas pelanggan akan lebih mudah diperoleh. Bloomer, Ruyter dan Peeters (1998) mendapatkan kualitas jasa memiliki pengaruh langsung terhadap loyalitas dan mempengaruhi loyalitas melalui kepuasan.
3. Citra Kotler (2000, 553) mendefinisikan citra sebagai “seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek”. Seseorang yang mempunyai impresi dan kepercayaan tinggi terhadap suatu produk tidak akan berpikir panjang untuk membeli dan menggunakan produk tersebut bahkan boleh jadi ia akan menjadi pelanggan yang loyal. Kemampuan menjaga loyalitas pelanggan dan relasi bisnis, mempertahankan atau bahkan meluaskan pangsa pasar, memenangkan suatu persaingan dan mempertahankan posisi yang menguntungkan tergantung kepada citra produk yang melekat di pikiran pelanggan. Suatu perusahaan akan dilihat melalui citranya baik citra itu negatif atau positif. Citra yang positif akan memberikan arti yang baik terhadap produk perusahaan tersebut dan seterusnya dapat meningkat-kan jumlah penjualan. Sebaliknya penjualan produk suatu perusahaan akan jatuh atau mengalami kerugian jika citranya dipandang negatif oleh masyarakat (Yusoff, 1995).
Universitas Sumatera Utara
4. Rintangan untuk Berpindah Faktor lain yang mempengaruhi loyalitas yaitu besar kecilnya rintangan berpindah (switching barrier) (Fornell, 1992). Rintangan berpindah terdiri dari; biaya keuangan (financial cost), biaya urus niaga (transaction cost), diskon bagi pelanggan loyal (loyal customer discounts), biaya sosial (social cost), dan biaya emosional (emotional cost).
2.4.4 Pentingnya Loyalitas Kotler, Hayes dan Bloom (2002) (dalam Mardalis 2005: 111) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya. Pertama: pelanggan yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi. Kedua: biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar berbanding menjaga dan mempertahankan pelanggan yang ada. Ketiga: pelanggan yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat: biaya operasi institusi akan menjadi efisien jika memiliki banyak pelanggan loyal. Kelima: institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial dikarenakan pelanggan lama telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi. Keenam: pelanggan loyal akan selalu membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran kepada orang lain untuk menjadi pelanggan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Tahapan Loyalitas Menurut Oliver (2010: 433), ada empat tahap loyalitas antara lain : 1. Cognitive Loyalty (Loyalitas Kognitif) Pada tahapan loyalitas yang pertama ini, sebagai tahap performa atribut. Pelanggan yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan informasi keunggulan suatu produk atas produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik fungsional, terutama biaya, manfaat dan kualitas. Jika ketiga faktor tersebut tidak baik, pelanggan akan mudah pindah ke produk lain. Pelanggan yang hanya mengaktifkan tahap kognitifnya dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang paling rentan terhadap perpindahan karena adanya rangsangan pemasaran. 2. Affective Loyalty (Loyalitas Afektif) Munculnya loyalitas afektif ini didorong oleh faktor kepuasan yang menimbulkan kesukaan dan menjadikan objek sebagai preferensi. Kepuasan pelanggan berkorelasi tinggi dengan niat pembelian ulang di waktu mendatang. Pada loyalitas afektif, kerenta-nan pelanggan lebih banyak terfokus pada tiga faktor, yaitu ketidakpuasan dengan merek yang ada, persuasi dari pemasar maupun pelanggan merek lain, dan upaya mencoba produk lain. 3. Conative Loyalty (Loyalitas Konatif) Loyalitas konatif merupakan suatu loyalitas yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Jenis komitmen ini sudah melampaui afek. Afek hanya menunjukkan kecenderungan motivasional,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan komitmen untuk melakukan menunjukkan suatu keinginan untuk melaksanakan tindakan. Keinginan untuk membeli ulang atau menjadi loyal itu hanya merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana. 4. Action Loyalty (Loyalitas Tindakan) Aspek konatif atau niat untuk melaku-kan berkembang menjadi perilaku dan tindakan. Niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan keinginan untuk mengatasi hambatan dalam melakukan tindakan tersebut. Jadi loyalitas itu dapat menjadi kenyataan melalui beberapa tahapan, yaitu pertama sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif, dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan. Pelanggan yang terintegrasi penuh pada tahap loyalitas tindakan dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang rendah tingkat kerentanannya untuk berpindah ke produk lain. Dengan kata lain, loyalitas tindakan ini hanya sedikit bahkan sama sekali tidak memberi peluang pada pelanggan untuk berpindah ke produk lain. Pada loyalitas konasi dan tindakan, kerentanan pelanggan lebih terfokus pada faktor persuasi dan keinginan untuk mencoba produk lain. Gambar 2.1 : Tahapan Loyalitas
Cognitive Loyalty
Affective Loyalty
Conative Loyalty
Action Loyalty
Sumber: Oliver (2010), diolah 2013
Universitas Sumatera Utara
2.5 Hubungan experiential marketing dengan loyalitas pelanggan Dalam experiential marketing, perusahaan/instansi berusaha menciptakan pengalaman
yang
positif
kepada
konsumen.
Dengan
berhasilnya
perusahaan/institusi tersebut menciptakan pengalaman positif, maka hal ini akan berbekas dalam benak konsumen. Sehingga dengan demikian, pengalaman yang diperoleh konsumen menjadi dasar bagi konsumen dalam melakukan pembelian kembali produk maupun jasa yang ditawarkan oleh perusahaan/instansi. Pembelian kembali ini menjadi awal dari terbentuknya loyalitas pelanggan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa experiential marketing mempunyai pengaruh terhadap terbentuknya loyalitas pelanggan. Schmitt mempertahankan
menyatakan konsumen
bahwa loyal,
demi
mendekati,
produsen
melalui
mendapatkan produknya
dan perlu
menghadirkan pengalaman-pengalaman yang unik, positif dan mengesankan kepada konsumen.” (Schmitt, dalam Indriani 2006: 29). Dengan demikian produk maupun layanan yang mampu memberikan pengalaman yang positif kepada pelanggan akan membuat pelanggan melakukan pembelian
ulang sehingga
dapat
tercipta
loyalitas
pelanggan
terhadap
perusahaan/institusi.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Penelitian Terdahulu Tabel 1.1 : Matriks Penelitian Terdahulu No 1
Peneliti Nehemia H.S, (Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro)
Judul Penelitian Analisis Pengaruh Experiential Marketing terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Kasus : Waroeng Spesial Sambal Cabang Sompok Semarang)
Tahun 2010
Metode Analisis Regresi Linear Beganda
Hasil Penelitian ini menunjukkan angka Adjusted R Square diperoleh sebesar 0,617 yang menunjukkan bahwa 61,7 persen variasi loyalitas pelanggan bisa dijelaskan oleh kelima variabel independen (sense, feel, think, act, dan relate) yang digunakan dalam persamaan regresi, dimana variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan adalah variabel feel (perasaan).
2
Rifaatul Mahmudah (Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara)
2010
Analisis Regresi Linear Berganda
Berdasarkan hasil uji F, variabel bebas costumer experience (sense, feel, think, act, dan relate) secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan, secara parsial variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan hanya terdiri dari satu, yaitu variabel feel. Nilai Adjusted R Square yang diperoleh adalah 16,5%.
3
Reinhard H. S (Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Unversitas Sumatera Utara)
2011
Analisis Regresi Linear Berganda
Variabel bebas experiential marketing (sense, feel, think, act,dan relate) berdasarkan Uji F secara simultan berpengaruh terhadap customer loyalty, secara parsial berdasarkan Uji-t disimpulkan variabel sense yang paling dominan dan mempengaruhi costumer loyalty pada Toko Roti Bread Talk Sun Plaza Medan. Nilai Adjusted R Square yang diperoleh sebesar 57,4%.
4
Rudi Irawan, (Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia)
2011
Analisis Regresi Linear Berganda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan baik secara simultan maupun secara parsial. Pengaruh experiential marketing terbesar adalah melalui dimensi think, sedangkan dimensi act memiliki kontribusi terendah.
5
Rohmat Dwi Jatmiko dan Sri Nastiti Andharini (Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang)
Analisis Pengaruh Pengalaman Pelanggan (Costumer Experience) terhadap Kepuasan Pelanggan pada KFC Cabang Walikota Analisis Pengaruh Strategi Experiential Marketing terhadap Costumer Loyalty pada Konsumen Toko Roti Bread Talk Sun Plaza Medan Pengaruh Experiential Marketing terhadap Loyalitas Penumpang Costa Club: Survey pada Kapal Costa Magica. Analisis Experiential Marketing dan Loyalitas Pelanggan Jasa Wisata (Studi pada Taman Rekreasi Sengkaling Malang)
2012
Analisis Regresi Linear Berganda
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu: Pertama, experiential marketing pada Taman Rekreasi Sengkaling memiliki basis yang lemah dan pengaruhnya terhadap loyalitas responden sangat rendah. Kedua, experiential marketing secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan. Dimensi feel dan sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan, sedangkan dimensi think, act, dan relate berpengaruh positif tidak signifikan terhadap loyalitas pelanggan. Nilai Adjusted R Square yang diperoleh adalah 23%.
6
Vivi Novia (Fakultas Manajemen, Universitas Riau)
Pengaruh Experiential Marketing terhadap Costumer Loyalty pada Pelanggan Restoran Koki Sunda di Pekanbaru
2012
Analisis Regresi Linear Berganda
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa berdasarkan uji F, variabel bebas experiential marketing secara simultan berpengaruh signifikan pada costumer loyalty, sedangkan berdasarkan uji t, variabel bebas experintial marketing yang terdiri dari sense, feel, think, act, dan relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap costumer loyalty pada pelanggan Restoran Koki Sunda di Pekanbaru. Aspek sense lebih mempengaruhi costumer loyalty di Restoran Koki Sunda. Nilai Adjusted R Square yang diperoleh adalah 45,4%.
Universitas Sumatera Utara