BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan tentang teori dan konsep yang digunakan untuk menganalisis hasil penelitian., yaitu service quality, employee’s service, quality of physical environment, food quality, restaurant image, customer satisfaction, dan intention to repurchase. Selain itu, pada bab ini juga diuraikan tinjauan tentang penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis penelitian. A. Tinjauan Pustaka 1. Service Quality Bowen dan Schneither dalam Gover et al (1996), menunjukkan bahwa service secara fundamental berbeda dari barang fisik. Layanan cenderung berwujud, melibatkan produksi dan konsumsi simultan, dan terpadu melibatkan pelanggan dalam penciptaan pelayanan tersebut, serta menekankan bahwa layanan bukanlah hal, melainkan sebuah proses. Service quality adalah hasil dari perbandingan konsumen atas layanan yang
diharapkan
dengan
pelayanan
yang
dirasakan,
namun
dapat
mempengaruhi perilaku masa depan (Parasuraman, 1985), dan tidak membedakan antara tipe ekspektasi yang ada (Boulding, 1993). Service quality oleh Caruana (2000) didefinisikan sebagai: "Keseluruhan evaluasi perusahaan jasa tertentu yang dihasilkan dari membandingkan kinerja perusahaan yang dengan harapan umum pelanggan tentang bagaimana perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut seharusnya memberikan pelayanan" .
10
Sementara dalam Bussiness Dictionary, diungkapkan bahwa service quailty merupakan penilaian seberapa baik layanan yang disampaikan sesuai dengan harapan konsumen. Perusahaan jasa sering menilai kualitas layanan yang diberikan kepada pelanggannya dalam rangka untuk meningkatkan layanan, untuk dengan cepat mengidentifikasi masalah, dan untuk lebih menilai kepuasan konsumen. Service quality merupakan istilah administrasi bisnis yang digunakan untuk menggambarkan prestasi dalam pelayanan. Hal ini mencerminkan pada setiap layanan yang dialami. Pelanggan membentuk harapan layanan dari pengalaman masa lalu, dari mulut ke mulut dan iklan. Secara umum pelanggan membandingkan pelayanan yang dirasakan dengan pelayanan yang diharapkan (http://wikipedia.org). Service quality juga dapat didefinisikan sebagai efek kolektif kinerja layanan yang menentukan tingkat kepuasan pengguna layanan. Artinya, kualitas adalah persepsi pelanggan dari layanan yang disampaikan. Service quality mengacu pada pemantauan dan pemeliharaan layanan untuk pelanggan tertentu atau kelas pelanggan (http://dougmcclure.net). Riset pemasaran terbaru mengenai sikap pelanggan terhadap pelayanan telah difokuskan pada kualitas pelayanan yang dirasakan. Kualitas pelayanan yang dirasakan didefinisikan sebagai penilaian pelanggan terhadap keseluruhan
keunggulan
atau
keunggulan
layanan
(Zeithaml
1996).
Parasuraman et al (1985, 1988) menganggap bahwa penilaian pelanggan terhadap kualitas layanan secara keseluruhan tergantung pada kesenjangan
11
antara harapan dan persepsi dari tingkat kinerja yang sebenarnya. Kualitas layanan secara keseluruhan dievaluasi pada lima dimensi yang mendasari, yaitu tangibles, kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati. Setiap dimensi kualitas dapat diukur dengan mendapatkan ukuran harapan dan persepsi dari tingkat kinerja untuk atribut layanan yang relevan pada masingmasing dimensi, menghitung perbedaan antara harapan dan persepsi dari kinerja aktual pada atribut-atribut, dan kemudian rata-rata di seluruh atribut. Selain itu, harapan konsumen harus dipengaruhi berkaitan dengan kebutuhan pribadi, komunikasi mulut ke mulut, dan pengalaman masa lalu. Faktor-faktor penentu persepsi yang tidak dibahas dalam model tersebut adalah bahwa persepsi dipengaruhi oleh atribut proses pelayanan. Realibilitas melibatkan konsistensi kinerja dan dapat diandalkan. Ini berarti bahwa perusahaan melakukan hak layanan sejak kali pertama pelayanan diperoleh. Artinya bahwa perusahaan menghormati janji-janjinya. Secara khusus, melibatkan ketepatan dalam penagihan, membuat catatan dengan
benar,
melakukan
layanan
pada
waktu
yang
ditetapkan.
Responsiveness menyangkut kesediaan atau kesiapan karyawan untuk menyediakan layanan. Ini melibatkan ketepatan waktu layanan, misalnya mengirim surat transaksi dengan segera, memanggil pelanggan kembali dengan cepat, dan memberikan layanan yang cepat. Kompetensi berarti kepemilikan keterampilan yang diperlukan dan pengetahuan untuk melakukan layanan. Ini melibatkan pengetahuan dan keterampilan dari kontak personil, dukungan operasional pengetahuan dan keterampilan personil, kemampuan
12
penelitian dari organisasi. Akses melibatkan kemampuan untuk dekat dan kemudahan kontak. Ini berarti layanan mudah diakses melalui telepon (jalur tidak sibuk dan tidak membuat konsumen menunggu karena telepom ditahan), waktu tunggu untuk menerima layanan, jam operasi nyaman nyaman, lokasi yang nyaman (Parasuraman, 1985). Kualitas layanan mempengaruhi kepuasan pelanggan dengan memberikan kinerja (manfaat nyata) (Millend M Lele, 1995 dalam http://herobusinness.com). Terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, termasuk hubungan antara perusahaan dan keharmonisan konsumen, memberikan dasar yang baik bagi pembelian dan penciptaan loyalitas pelanggan, dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang dapat menguntungkan perusahaan (Fandy Tjiptono, 1997) Guna memberikan service quality yang tinggi, perusahaan harus belajar cara mendengarkan secara aktif. Mendengarkan secara aktif dapat dilakukan dengan mencatat atau mengajukan pertanyaan untuk memperjelas yang perusahaan pikirkan tentang situasi pelanggan (ehow.com). Dari perspektif pelanggan, dikenal dan disapa dengan namanya membuat interaksi sosial dan memperluas jaringan pelanggan. Jaringan tersebut memiliki nilai tambah karena memberikan ukuran anonimitas dan kerahasiaan, sehingga memfasilitasi pengungkapan diri secara lebih terbuka dan jujur. Pada tingkat yang lebih tinggi dan pada dasar dari perspektif konsumen, melihat kualitas sebagai menjadi dua dimensi, yang terdiri dari output dan proses kualitas (Caruana, 2000). Selanjutnya Gronroos dalam
13
Caruana (2000) memaparkan bahwa peran technical service quality (atau output) dan functional service quality (atau proses) yang terjadi sebelum, yang menghasilkan, dan kualitas hasil. Technical service quality mengacu pada hal yang disampaikan kepada konsumen, baik itu makanan di sebuah restoran, solusi yang disediakan oleh konsultan, atau rumah yang diidentifikasi oleh agen real estate (Deshmukh dan Vrat, 2004). Sementara functional service quality adalah cara konsumen mendapatkan hasil teknis tersebut, dan ini penting bagi konsumen maupun pandangannya atas pelayanan yang diterima. Functional service quality berkaitan dengan hasil akhir dari proses yang ditransfer ke pelanggan. Hal ini menyangkut aspek psikologis dan perilaku yang meliputi aksesibilitas ke perusahaan yang dikatakan dan media pelayanan yang dilakukan. Sementara technical service quality sering dapat cukup mudah dievaluasi secara obyektif, functional service quality lebih sulit untuk dievaluasi. Konsumen juga memiliki beberapa jenis citra perusahaan, yang memiliki dampak kualitas dalam dirinya sendiri dan fungsi sebagai filter. Service quality yang dirasakan konsumen adalah hasil dari evaluasi yang mereka
buat
dari
yang
diharapkan
dan
yang
dialami,
dengan
mempertimbangkan pengaruh citra organisasi. Service quality sebagaimana telah diuraikan oleh Parasuraman (1985) berkaitan dengan hasil dari perbandingan konsumen atas layanan yang diharapkan konsumen pada umumnya dengan pelayanan yang dirasakan konsumen, dipengaruhi oleh berbagai macam unsur salah satunya keramahan pegawai atau karyawan. Unsur - unsur layanan yang dimaksud tersebut dapat
14
dikaitkan dengan keseluruhan unsur pelayanan yang diberikan pada pelanggan. Termasuk dalam hal ini adalah pelayanan yang diberikan oleh para pegawai dalam rangkaian proses pelayanan tersebut. Hal ini merujuk pada konsep employee’s service. Unsur employee’s service menjadi sangat penting dalam mewujudkan pelayanan yang berkualitas untuk pelanggan. Sebagaimana diketahui bahwa service secara fundamental berbeda dari barang fisik (Bowen dan Schneither dalam Gover et al., 1996). Hal ini dikarenakan layanan melibatkan produksi dan konsumsi simultan, melibatkan pelanggan dalam penciptaan pelayanan tersebut, serta menekankan bahwa layanan bukanlah hal, melainkan sebuah proses. Oleh sebab itu, pelayanan yang diwujudkan oleh pegawai kepada para pelanggan kemudian sangat lekat dalam proses tersebut. Sama halnya dengan harapan atas pelayanan secara menyeluruh yang dimiliki konsumen, dalam rangkaian proses pelayanan tersebut setiap konsumen juga memiliki harapan atas employee’s service yang berkualitas. Penilaian pelanggan terhadap kualitas layanan secara keseluruhan tergantung pada kesenjangan antara harapan dan persepsi dari tingkat kinerja yang sebenarnya (Parasuraman et al., 1988). Apabila harapan tersebut terpenuhi atau sesuai dengan employee’s service yang dirasakan konsumen, maka employee’s service quality akan dapat diwujudkan. Employee’s service merupakan salah satu elemen penting yang mendasar dalam membentuk pengalaman positif konsumen pada suatu pelayanan (Minkiewicz et al; 2011). Kemampuan pegawai dalam memberikan
15
pelayanan dan memenuhi harapan konsumen atas pelayanan yang diterima akan sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan pegawai merupakan salah satu unsur yang berinteraksi secara langsung dengan konsumen. Proses interaksi tersebut melibatkan adanya transmisi nilai-nilai perusahaan kepada konsumen melalui para pegawainya. Terkait dengan hal tersebut, pelayanan yang baik dari pegawai dinilai berpengaruh positif pada terbentuknya kepuasan konsumen yang mendapat pelayanan (Minkiewicz et al., 2011). Employee’s service tersebut dilihat dari beberapa aspek, yaitu organized, responsible, sincere, considerate, sociable. Hasil penelitian Minkiewicz et al., (2011) menunjukkan bahwa employee’s service secara langsung berpengaruh terhadap pembentukan customer satisfaction. 2. Quality of Physical Environment Physical environment merupakan setiap aspek di dalam lingkungan pelayanan yang terkait dengan interaksi antara konsumen dan pegawai. Termasuk di dalamnya yaitu setiap elemen yang tangible yang memfasilitasi berlangsungnya proses pelayanan kepada konsumen (Ariffin dan Aziz, 2012). Artinya bahwa quality of physical environment dalam hal ini merujuk pada kualitas dari elemen-elemen tangible yang terdapat dalam rangkaian proses pelayanan kepada pelanggan. Terdapat berbagai elemen dari quality of physical environment yang merujuk pada pelayanan restaurant. Menurut Ryu dan Jang (2007), quality of
16
physical environment untuk restaurant dapat dilihat dari enam hal, yaitu estetika fasilitas pelayanan, tata cahaya, suasana (ambience), tata ruang, tata letak meja untuk pelanggan, dan staf pelayanan. Keseluruhan dimensi dari physical environment tersebut dapat membantu individu untuk membentuk gambaran mental dalam pikiran masing-masing. Dampaknya adalah terbentuk respon afektif dan penilaian secara lebih spesifik mengenai lingkungan fisik dari restaurant secara keseluruhan (Ariffin dan Aziz, 2012). Selain itu, physical environment dalam hal ini juga diperlukan karena konsumen memiliki kecenderungan untuk melihat pelayanan yang tidak terlihat dari bukti-bukti fisik yang dapat dilihat selama proses pelayanan berlangsung (Simpeh, dkk., 2011). 3. Food Quality Food quality merupakan satu komponen utama dalam kepuasan pelanggan restaurant (Namkung dan Jang, 2007). Hal ini dikarenakan tidak dapat dipungkiri bahwa hal utama yang ditawarkan restaurant kepada pelanggannya adalah unsur makanan. Lebih lanjut, food quality dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagian service quality secara keseluruhan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa service quality dapat dibedakan menjadi dua, yaitu technical service quality (atau output) dan functional service quality (Caruana, 2000). Food quality sendiri dalam konteks service quality tersebut merupakan bagian dari technical service quality.
17
Gronroos dalam Caruana (2000) technical service quality mengacu pada hal yang disampaikan kepada konsumen, seperti makanan di sebuah restaurant. Deshmukh dan Vrat (2004) menyampaikan bahwa technical service quality adalah kualitas dari yang konsumen benar-benar terima sebagai hasil dari interaksinya dengan perusahaan jasa dan penting untuk konsumen dan evaluasinya terhadap service quality. Oleh sebab itu, food quality dalam hal ini merupakan salah satu aspek dari service quality suatu restaurant secara keseluruhan (Namkung dan Jang, 2007). 4. Restaurant Image Ada banyak cara yang berbeda untuk mendefinisikan dan membangun operasionalisasi citra merek karena sifat kesan yang kompleks (Ryu et al., 2008). Brand image dapat didefinisikan sebagai makna simbolik bahwa pelanggan ingat ketika menghadapi fitur spesifik dari produk atau jasa yang dirasakan (Padgett dan Allen, 1997). Baloglu dan Brinberg (1997) juga mendefinisikan citra merek sebagai jumlah dari keyakinan, ide, dan kesan bahwa orang memiliki suatu tempat atau tujuan. Selain itu, Low dan Lamb (2000, hal. 352) mendefinisikan bahwa citra merek sebagai suatu persepsi yang beralasan atau emosional konsumen terkait dengan suatu merek tertentu. Dalam studi ini, restaurant image mengacu pada jumlah dari persepsi emosional, ide, atau sikap simbolis bahwa pelanggan mengasosiasikan dengan restoran.
18
Restaurant image tidak dapat dilepaskan dari pemahaman mengenai konsep image secara umum. Image merupakan sekumpulan keyakinan, ide, dan kesan seorang individu terhadap suatu tempat tertentu (Baloglu and Brinberg, 1997). Terkait dengan hal tersebut, maka restaurant image pada dasarnya dapat dipahami sebagai kesan atau keyakinan pengunjung terhadap suatu restaurant tertentu yang dikunjungi. Menurut Ryu, dkk., (2008) restaurant image lekat dengan persepsi. Artinya bahwa unsur subjektivitas pelanggan menjadi suatu unsur penting yang dapat menentukan baik atau buruknya penilaian terhadap restaurant image. Oleh sebab itu, mewujudkan kesan atau keyakinan yang baik pada pengunjung terhadap restaurant yang dikunjungi menjadi perlu diwujudkan. 5. Customer Satisfaction Customer satisfaction merupakan salah satu indikator penting bagi kinerja suatu perusahaan (Namkung dan Jang, 2007). Customer satisfaction bahkan menjadi salah satu tujuan utama dari sebagian besar perusahaan. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan customer satisfaction kemudian menjadi banyak dilakukan oleh perusahaan karena dapat mengarah pada pencapiaan profit yang baik, positif word of mouth, hingga penurunan biaya pemasaran (Dougall dan Levesque, 2000). Customer satisfaction tidak dapat dilepaskan dari evaluasi konsumen terhadap terpenuhinya harapan atas produk atau layanan yang diterima (Ryu, dkk.,2008). Customer satisfaction juga dapat dipahami sebagai tingkat
19
terpenuhinya harapan konsumen atas konsumsi yang dilakukan (Oliver, 1997). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa customer satisfaction dalam hal ini memuat unsur harapan konsumen, serta pengalaman yang diperoleh konsumen ketika proses pelayanan berlangsung. 6. Intention to Repurchase Intention to repurchase tidak dapat dilepaskan dari keputusan untuk menggunakan kembali suatu merek di masa mendatang (Namkung dan Jang, 2007). Terdapat beberapa unsur yang dapat digunakan untuk melihat adanya intention to repurchase. Misalnya adalah memberikan pernyataan-pernyataan positif mengenai suatu merek tertentu yang telah digunakan kepada orang lain (Boulding, dkk., 1993), merekomendasikan merek tertentu kepada orang lain (Reichheld dan Sasser, 1990), serta tidak beralih pada merek lain (Rust dan Zahorik, 1993). Mengupayakan intention to repurchase bagi perusahaan menjadi penting karena dalam hal ini sikap tersebut berkaitan dengan pengembangan sikap yang stabil di dalam diri konsumen mengenai rasa suka atau tidak suka pada produk atau merek tertentu (Oliver, 1997). Lebih lanjut, pelanggan sendiri sering mengembangkan sikap terhadap pembelian berdasarkan pengalaman atas layanan sebelumnya (Colgate and Lang, 2001). Artinya bahwa tumbuhnya intention to repurchase dalam diri konsumen merupakan proses yang melibatkan pengalaman pribadi dari konsumen atas pembelian yang pernah dilakukan pada masa lalu. Muara dari proses tersebut adalah
20
keputusan untuk tetap menggunakan merek yang sama atau beralih ke merek lain (Ryu, dkk., 2008). Apabila diputuskan untuk tetap menggunakan merek yang sama, maka dalam hal ini dapat dikatakan telah tumbuh intention to repurchase dalam diri konsumen.
B. Penelitian Terdahulu Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah menghubungkan service quality dengan beragam jenis macam pengukuran kinerja bisnis, seperti kepuasan konsumen (Boulding et al, 1993), behavioral intention (Carlson dan O’Cass, 2011), word of mouth, purchase intention dan loyalitas konsumen (Pollack, 2009), price insensitivity, sales growth, dan market share (Woodside et al, 1989; Ziethaml et al 1996). Ziethaml et al, 1996 menghubungkan antara service quality dan behavioral intention terhadap konsekuensi finansial yang ada. Park (2007) meneliti bagaimana perusahaan dapat meningkatkan service quality mereka untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan kinerja keuangan. Empat faktor yang diteliti yaitu karyawan, service quality yang dirasakan, konsumen, dan kinerja keuangan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelatihan karyawan memiliki pengaruh terhadap service quality yang dirasakan. Palmer (2009) secara kritis menilai validitas konseptual customer experience
sebagai
mengintegrasikan
konstruksi
hubungan
dan
mengusulkan
antar-pribadi,
kualitas
suatu
model
layanan
dan
yang merek.
Pengalaman menguraikan suatu proses pembelajaran, yang mengarah ke respon belajar, tetapi sebagai kata benda menekankan belajar yang baru dan kurang dapat
21
diprediksi. Selain itu, juga terkait dengan menggabungkan emosi dan distorsi persepsi atas waktu, pengalaman pelanggan mengatasi masalah yang terkait dengan statis, serta langkah-langkah parsial service quality. Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No Peneliti Alat Uji Sample Hasil 1 Bell, et al Hierarchical 514 TSQ&FSQ Cust Loyalty (2002) moderated TSQ&FSQ Cust Loyalty, regression moderated by IE analysis TSQ cust loyalty, moderated by switch cost, moderated by IE 2 3
4
Caruana (2002). Gorn et (1990)
LISREL al LISREL
1000 110
Gwinner et al Regresi (1998) Hellier et al EQS (2003)
299
6
Kang (2006)
LISREL
19
7
Kwon (2003)
Regresi
324
8
Pollack (2009)
5
9
10
11
200
SQ SL SQCustomer satisfaction SL Priceperceived price quality and value Quality SQ Benefit LT cust loyalty
Structural equation model Stern dan SCR Hammond (2004) Yoo Park. LISREL (2007).
550
Cust satisfaction cust loyalty Cust satisfaction switching cost brand preferen TSQ Cust Loyalty FSQ Cust Loyalty Process Quality Quality Outcome Product Involvement PI Product Type PI Switching Cost PI SQ Cust satisfaction Loyalty
200
Cust Loyalty PI
129
Employee training SQ cust satisfaction
Kisang Ryu, Structural Hye-Rin-Lee equation dan Woo model Gon Kim. 2010
300
QPE → RI →VAL FQ → RI → VAL → CS→BI SQ → RI
22
Keterangan: TSQ : Technical Service Quality FSQ : Functional Service Quality SQ : Service Quality SL : Service Loyalty PI : Purchase Incidence QPE : Quality of Physical Environment RI : Restautant Image VAL : Customer Perceived Value CS : Customer Satisfaction BI : Behavioral Intentions
Topik hubungan konsumen serta loyalitas konsumen sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun penelitian mengenai peningkatan pengalaman konsumen dan hambatan perpindahan merek dalam hubungannya terhadap perubahan service quality yang dirasakan konsumen serta kepuasan konsumen secara keseluruhan belum banyak dilakukan (Boulding et al, 1993; Woodside et al, 1989, Zeithaml et al, 1996, Bell et al, 2002). Khususnya, terkait dengan keahlian konsumen (customer’s expertise) dan switching cost yang dirasakan mempengaruhi kepentingan relatif komponen fungsional dan teknis dari service quality dalam menentukan loyalitas konsumen terhadap perusahaan (Bell et al, 2002).
C. Kerangka Pemikiran Menurut sekaran (2000) kerangka teoritis merupakan suatu model konseptual yang menggambarkan atau menjelaskan bagaimana suatu teori atau gambar menghubungkan antara beberapa faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah. Kerangka teoritis dapat membantu menjelaskan hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan tinjauan pustaka dan
23
beberapa teori yang ada serta pemahaman terhadap penelitian sebelumnya, maka dapat susun kerangka pemikiran sebagai berikut: QPE
RI
CS
IR
FQ SQ
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: QPE = Quality of Physical Environment FQ = Food Quality SQ = Service Quality RI
= Restaurant Image
CS
= Customer Satisfaction
IR
= Intention to Repurchase
D. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat petanyaan.Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta yang empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2008:64).
24
Hipotesis merupakan hasil dari refleksi penelitian berdasarkan pengkajian pustaka dan landasan teori yang digunakan sebagai dasar argumentasi. Pada penelitian ini hipotesis yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: 1. Quality of physical environment berpengaruh positif pada restaurant image. 2. Food quality berpengaruh positif pada restaurant image. 3. Service quality berpengaruh positif pada customer satisfaction. 4. Restaurant image berpengaruh positif pada customer satisfaction. 5. Customer satisfaction berpengaruh positif pada intention to repurchase. 6. Food quality memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intention to repurchase.
25