8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Lipid dan Kolesterol Lemak dalam tubuh manusia dibagi menjadi 3, yakni; kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid. Sekitar 2/3 dari kolesterol plasma disebut kolesterol teresterifikasi dan sisanya disebut kolesterol bebas. Kolesterol merupakan komponen terbanyak pada membran sel yang disintesis pada semua sel tubuh kecuali eritrosit. Molekul lemak memiliki karakteristik hidrofobik, sehingga agar lemak dapat dimetabolisme oleh tubuh, dibutuhkan suatu pelarut, yaitu apolipoprotein atau apoprotein. Ikatan antara lipid dan apoprotein disebut lipoprotein. Setiap lipoprotein terdiri atas kolesterol (bebas atau ester), trigliserida (satu gliserol dan 3 asam lemak bebas), fosfolipid, dan apoprotein. Dikenal enam jenis lipoprotein berdasarkan hasil ultrasentifusi, yaitu; High Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), Intermediate Density Lipoprotein (IDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), kilomikron, dan lipoprotein a. Masing-masing dari lipoprotein memiliki apolipoprotein tersendiri (Adam, 2009).
9
Peran utama kolesterol dalam proses patologi adalah sebagai faktor risiko terjadinya ateroskelosis pembuluh darah. Timbunan kolesterol berlebih dalam darah dapat menyebabkan perlekatan kolesterol pada dinding tunica intima pembuluh darah. Kolesterol kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag, kemudian berproliferasi sebagai foam cell dengan gambaran plak lipid yang besar. Plak ini kemudian meluas hingga bagian lumen lainnya, dan menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah. Sumbatan akibat plak lipid yang terjadi menyebabkan terjadinya penumpukan materi degeneratif, sehingga sumbatan lipid makin membesar dan berubah menjadi plak ateroma. Penyumbatan oleh plak ateroma menyebabkan peningkatan tekanan intravaskular, yang kemudian dapat menyebabkan penyempitan atau bahkan sobeknya bagian pembuluh yang tersumbat. Penyempitan dan/atau kerusakan ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai gejala sindrom koroner akut (Adam, 2009).
Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah;
1. Induksi peningkatan jumlah reseptor LDL pada sel hati oleh hormon tiroid, sehingga konsentrasi kolesterol plasma akan menurun (Guyton & Hall, 2005). 2. Penurunan kolesterol LDL dan peningkatan kolesterol HDL oleh hormon estrogen. 3. Obstruksi empedu dan diabetes yang menyebabkan peningkatan kolesterol plasma (Ganong, 2005).
10
4. Peningkatan kolesterol HDL dan penurunan kolesterol LDL oleh vitamin niasin dosis tinggi. 5. Kompaktin, mevinolin menghambat HMG-KoA reduktase sehingga menurunkan kadar kolesterol plasma. 6. Diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol, terutama pada lemak hewani dan minyak tumbuhan tropis
(minyak kelapa,
minyak sawit),
yang
meningkatkan kadar kolesterol plasma. Asam-asam lemak ini merangsang sintesis kolesterol dan menghambat perubahannya menjadi garam-garam empedu. 7. Suplemen serat dari makanan, yang mempengaruhi penyerapan kolesterol di usus, misalnya; kulit gandum dan sekam biji-psilium (Ganong, 2005). 8. Peningkatan pemakaian glukosa oleh tubuh akibat aktivitas hormon insulin, sehingga akan mengurangi pemakaian lemak (Guyton & Hall, 2005). 9. Faktor genetik, misalnya pada hiperkolesterolemia familial, penderitanya tidak memiliki gen untuk membentuk protein reseptor LDL, sehingga selsel tidak dapat menyerap LDL dari darah (Ganong, 2005). 10. Penyakit pada hati yang merupakan tempat degradasi insulin. Hati merupakan tempat pembentukan kolesterol, mengekstraksi kolesterol lama, dan mensekresikannya ke dalam kantung empedu, sehingga bila hati rusak, jumlah insulin akan meningkat dan akan menyebabkan penurunan kadar kolesterol darah (Guyton & Hall, 2005).
11
11. Stres yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis yang melepaskan epinefrin dan norepinefrin, yang kemudian akan meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah (Guyton & Hall, 2005).
II.1.2 Metabolisme Lipoprotein Lipoprotein memiliki tiga jalur metabolisme, yaitu jalur eksogen, endogen, dan reverse cholesterol transport. Jalur eksogen dan endogen berkaitan dengan metabolisme LDL dan trigliserida, sedangkan jalur reverse cholesterol transport berkaitan dengan metabolisme HDL (Adam, 2009).
1. Jalur Eksogen Lemak yang didapat oleh tubuh dari diet terdiri dari trigliserida dan kolesterol, selain itu lemak juga disintesis oleh tubuh dalam bentuk kolesterol hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus. Trigliserida diserap oleh enterosit usus halus dalam bentuk Free Fatty Acid (FFA), sedangkan kolesterol diserap dalam bentuk kolesterol ester. Keduanya diubah kembali ke bentuk semula dalam usus halus, lalu bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein membentuk lipoprotein yang dikenal sebagai kilomikron. Kilomikron masuk ke saluran limfe, dan melalui duktus torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron kemudian mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase (LPL) dari sel endotel menjadi FFA untuk disimpan dalam jaringan adiposa dan selebihnya disimpan di hati. Kilomikron dengan sisa kolesterol ester disebut kilomikron remnant (sisa), kemudian juga akan disimpan dalam organ hati (Gambar 1) (Adam, 2009).
12
2. Jalur Endogen Sintesis lemak di hati akan menghasilkan VLDL. Dalam sirkulasi, trigliserida dalam VLDL akan mengalami hidrolisis oleh LPL menjadi IDL. IDL kemudian mengalami hidrolisis lebih lanjut menjadi molekul yang lebih kecil yaitu LDL. VLDL, IDL, dan LDL sebagian akan kembali ke hati sebagai kolesterol ester, sedangkan sisa LDL diangkut kembali ke hati dan jaringan steroidogenik seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang memiliki reseptor LDL (Gambar 1). Dalam keadaan hiperlipidemia, LDL dapat terakumulasi pada tunica intima pembuluh darah, dan rentan terhadap oksidasi oleh radikal bebas. Apabila LDL mengalami oksidasi, endotel akan mengekspresikan molekul adhesif pada permukaan dindingnya. Hal ini direspon oleh reseptor scavenger-A (SRA) pada makrofag dengan migrasi dan penempelan makrofag pada molekul tersebut. LDL yang teroksidasi kemudian mengalami fagositosis oleh makrofag, dan LDL teroksidasi didalam makrofag kemudian memicu proliferasi makrofag menjadi sel busa (Adam, 2009).
Gambar 3. Jalur Metabolisme Eksogen dan Endogen (Ganong, 2005)
13
3. Reverse Cholesterol Transport HDL bermula sebagai HDL nascent yang berasal dari usus halus dan hati. HDL nascent mendekati makrofag dan mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Kolesterol bebas dari makrofag kemudian mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester oleh enzim Lechitin Cholesterol Acyltransferase (LCAT). Setelah terjadi esterifikasi, kolesterol ester kemudian ditransportasikan ke hati melalui dua jalur. Jalur pertama yaitu dimana kolesterol ester diangkut oleh Scavenger Receptor Class B type 1 (SR-B1). Jalur kedua adalah ketika kolesterol ester dalam HDL ditukar dengan trigliserida dari VLDL dan LDL dengan bantuan Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) (Gambar 2) (Adam, 2009).
Gambar 4. Jalur Metabolisme Reverse Cholesterol Transport (Cho, 2009)
14
II.1.3 HDL (High Density Lipoprotein) HDL adalah salah satu lipoprotein yang merupakan bagian dari 6 hasil sentrifusi lipoprotein. Pada penderita dislipidemia, rasio dari LDL/HDL masih menjadi alat standar untuk evaluasi risiko PJK (Fernandez & Webb, 2008).
Kolesterol HDL disintesis dan disekresikan terutama oleh hati dan sebagian kecil di epitel usus selama absorbsi lemak dari usus. Kolesterol HDL mengandung konsentrasi protein yang tinggi, kira-kira 50% protein, dengan konsentrasi kolesterol dan fosfolipid lebih kecil (Gambar 3) (Guyton & Hall, 2005).
Gambar 5. Struktur HDL (Cho, 2009)
Kolesterol HDL berfungsi sebagai tempat penyimpanan apo C dan E yang dibutuhkan dalam metabolisme kilomikron dan VLDL. Konsentrasi kolesterol HDL berbanding lurus dengan aktivitas lipoprotein lipase, dan terbalik terhadap konsentrasi triasilgliserol plasma (Navab et al, 2009).
15
Keadaan
ini
mungkin
terjadi
karena
konsentrasi
kolesterol
HDL
mencerminkan efisiensi pembersihan kolesterol dari jaringan, namun hanya kolesterol HDL yang hanya mengandung apo A-I bersifat protektif terhadap aterosklerosis, dengan mekanisme antioksidan terhadap oksidasi LDL (Navab et al, 2009).
HDL bertugas untuk membawa kolesterol di dinding arteri, sehingga kadar kolesterol HDL yang tinggi (>60 mg/dl atau 1.6 mmol/l) memiliki efek protektif terhadap insidensi PJK, sedangkan kadar HDL dalam jumlah rendah (<40 mg/dl atau 1,0 mmol/l) adalah faktor risiko dari timbulnya PJK (Ingellson et al, 2002).
Peningkatan HDL memiliki efek positif, dimana peningkatan 1% HDL menunjukkan penurunan kejadian PJK sebesar 0,7-3,0%. Namun, HDL sendiri dapat menjadi HDL disfungsional (Gambar 4) oleh karena deteriorasi fungsi dan struktur HDL oleh berbagai faktor, antara lain; oksigen reaktif, mieloperoksidase, dan lipoksigenase, sehingga HDL menjadi aterogenik dan prooksidatif, dimana dalam kadar yang tinggi justru meningkatkan angka kejadian PJK. Fungsi antiaterosklerotik HDL didapat melalui kemampuannya untuk melakukan transpor balik kolesterol dari sel perifer ke hati (Navab et al, 2009).
16
Gambar 6. HDL Fungsional dan Disfungsional (Yamashita et al, 2010)
Berikut adalah klasifikasi kadar kolesterol pada manusia yang dikutip dari ATP III (Adult Treatment Panel III) yang ditetapkan oleh National Cholesterol Education Program, National Institutes of Health, Lung and Blood Institutes (2002);
Tabel 1. Klasifikasi Kadar Kolesterol LDL Total Kolesterol (mg/dL) <200 200-239 ≥240
Kolesterol LDL (mg/dL)
Yang diharapkan Borderline Tinggi
<100 100-129 130-159 160-189 ≥190
Optimal Sedikit Optimal Borderline Tinggi Sangat Tinggi
Sumber : NHLBI, 2002.
Tabel 2. Klasifikasi Kadar Kolesterol Trigliserida Kategori Trigliserida
Level ATP II
Level ATP III
Trigliserida normal
<200 mg/dL
<150 mg/dL
Trigliserida ambang batas normal Trigliserida tinggi
200-399 mg/dL
150-199 mg/dL
400-1000 mg/dL
200-499 mg/dL
Trigliserida sangat tinggi
>1000 mg/dL
≥500 mg/dL
Sumber : NHLBI, 2002.
17
Tabel 3. Klasifikasi Kadar Kolesterol HDL Serum Kolesterol HDL (mg/dL) <40 Rendah Kolesterol HDL Tinggi Kolesterol HDL ≥60 Sumber : NHLBI, 2002.
II.1.4 Dislipidemia Dislipidemia diklasifikasikan dalam dua bentuk, yakni hiperlipidemia dan hipolipidemia. Hiperlipidemia dapat terjadi secara primer maupun sekunder (disebabkan penyakit lain, contohnya diabetes mellitus dan obesitas), dimana pada hiperlipidemia dapat ditemukan hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia atau campuran keduanya (Warwe, 2006).
Hiperlipidemia adalah bagian dari dislipidemia, yaitu keadaan dimana terdapat kelainan kadar profil lipid yang diklasifikasikan menjadi ringan (LDL 130– 159 mg/dl), sedang (LDL 160–219 mg/dl dan/atau kolesterol total 240–300 mg/dl) dan berat (LDL>220 mg/dl) (Price & Wilson, 2006).
Pada suatu penelitian ditemukan 15% pasien PJK tahap awal memiliki riwayat hiperlipidemia
familial.
Dimana
anggota
keluarga
yang
mengidap
hiperlipidemia familial dapat mengalami kenaikan kadar trigliserid, kolesterol LDL, bahkan penurunan kadar kolesterol HDL (Seiko et al, 2010).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2009, prevalensi dislipidemia di Indonesia pada usia 25 hingga 34 tahun sebesar 9.3% sementara pada usia 55-64 tahun sekitar 15.5% (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
18
Beberapa faktor predisposisi yang telah teridentifikasi sebagai penyebab hiperlipidemia antara lain;
1. Genetik Hiperlipidemia familial adalah bentuk kelainan pada gen yang mengatur metabolisme lemak yang terwaris dari orangtua penderita. Penderita kelainan genetik ini mempunyai kadar lemak yang kian meningkat dan derajatnya bervariasi sesuai jenis kelainan genetiknya. Pada tikus dengan galur yang berbeda juga terdapat variasi dalam metabolisme lemak maupun dalam jumlah normal kolesterol di dalam darah (Karyadi, 2006).
2. Usia Telah diketahui bahwa proses degeneratif pada penuaan dapat mengurangi efektivitas metabolisme lemak, yang menyebabkan kadar kolesterol meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Jaagus et al, 2010).
3. Jenis kelamin Pria memiliki risiko lebih besar untuk mengalami aterosklerosis dibanding wanita dalam usia pre-menopause. Hal ini disebabkan faktor hormonal wanita, yakni hormon estrogen, yang memiliki efek protektif terhadap penyakit kardiovaskuler (Jaagus et al, 2010).
4. Diet Sekresi VLDL oleh hati sangat dipengaruhi oleh asupan energi yang melampaui kebutuhan untuk aktivitas fisik dan metabolisme basal. Hal ini mencerminkan bahwa peningkatan asupan kolesterol pada manusia tidak
19
sepenuhnya diimbangi dengan penurunan kolesterogenesis di hepar. Pembatasan diet kolesterol hingga kurang dari 200 mg/hari pada individu normal atau dengan diet rendah lemak jenuh hingga 8% dari total kalori diet dapat mengurangi 10-15% kadar kolesterol serum. Konsumsi makanan tinggi karbohidrat dapat menimbulkan hipertrigliseridemia setelah 48-72 jam dan akan mencapai maksimum dalam 1-5 minggu (deDenus et al, 2004).
5. Obesitas Tingginya kadar kolesterol darah umumnya ditemukan pada pasien obesitas. Beberapa penelitian membuktikan individu dengan presentasi fisik yang tinggi akan lemak tubuh juga memiliki kadar kolesterol LDL yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal (Karyadi, 2006).
6. Aktivitas fisik Minimnya aktivitas fisik yang dilakukan menjadi faktor risiko untuk terjadinya PJK akibat penurunan metabolisme makanan oleh tubuh, penurunan kolesterol HDL, peningkatan kolesterol LDL, peningkatan tekanan darah, dan penurunan sensitivitas insulin (Karyadi, 2006).
7. Gaya hidup dan penggunaan obat Pada tikus, paparan asap rokok menunjukkan penurunan kadar HDL yang signifikan. Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan kadar kolesterol darah yang lebih tinggi umumnya ditemukan pada individu dengan tingkat stres tinggi, dibandingkan dengan kondisi pada individu dengan tingkat
20
stres terkendali. Pemakaian obat anti hipertensi dan pil kontrasepsi yang terlalu lama atau tidak sesuai dengan anjuran penggunaan yang diberikan juga dapat mempengaruhi metabolisme lemak (Karyadi, 2006).
8. Penyakit pendahulu Studi terkini menemukan adanya hiperlipidemia pada penderita penyakit metabolik seperti diabetes. Penyakit lain seperti hipotiroid, penyakit ginjal dan aterosklerosis juga memperlihatkan pola lipoprotein abnormal sekunder yang mirip dengan keadaan yang diwariskan secara primer (Karyadi, 2006).
Hiperkolesterolemia merupakan karakteristik hiperlipidemia yang sebelumnya telah disebutkan sebagai pencetus kejadian PJK. Hiperkolesterolemia diyakini mengganggu fungsi endotel dengan meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan nitrat oksida, yaitu faktor endotheliatrelaxing pembuluh darah yang utama, sehingga pembuluh darah tidak dapat berdilatasi dengan normal. Apabila keadaan ini berlangsung kronis, lipoprotein akan tertimbun dalam lapisan intima pembuluh darah. Pajanan radikal bebas dalam sel endotel dinding arteri menyebabkan terjadinya oksidasi LDL, yang menyebabkan timbulnya plak ateroma. Rendahnya kadar HDL yang merupakan faktor pencegah penimbunan lipoprotein dalam pembuluh darah, penyakit diabetes melitus, defisiensi estrogen, hipertensi, dan adanya derivat rokok dalam pembuluh darah memungkinkan proses oksidasi ini berlangsung terus-menerus tanpa adanya perbaikan (Price & Wilson, 2006).
21
Rendahnya kadar HDL memicu adhesi monosit, migrasi sel otot polos subendotel, dan penimbunan LDL yang teroksidasi dalam makrofag akibat proses fagositosis LDL yang tertimbun dalam lapisan intima. Apabila terpajan LDL yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa, yang terlihat secara makroskopis sebagai bercak lemak. Akhirnya, deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini menjadi ateroma lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti bagian dalam plak terpajan dan meningkatnya perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Lalu deposisi lemak dan jaringan ikat mengubah plak fibrosa menjadi ateroma, yang dapat mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi , atau trombosis (Price & Wilson, 2006).
II.1.5 Bawang Putih (Allium sativum L.) Berikut adalah data kedudukan botani bawang putih; Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Liliales
Suku
: Liliaceae
Marga
: Allium
Jenis
: Allium sativum L.
Bawang putih adalah tumbuhan berumbi lapis dengan siung yang bersusun, yang tumbuh secara berumpun setinggi 30-75 cm, dengan mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun, dan batang sejati di dalam tanah. Helaian daunnya berbentuk pipih dan memanjang, sedangkan akar bawang putih berbentuk serabut-serabut kecil yang bejumlah banyak. Setiap
22
umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) yang terbungkus kulit tipis berwarna putih. Bawang putih umumnya merupakan tumbuhan dataran tinggi, namun di Indonesia, jenis bawang putih tertentu dibudidayakan di dataran rendah. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian tanah berkisar 200-250 meter di atas permukaan laut (IPTEKnet, 2005).
Kandungan nutrisi dalam 100 gram umbi bawang putih terkandung (Oey, 1998);
1. Energi
: 112 kkal (477 KJ)
2. Air
: 71 g
3. Protein
: 4.5 g
4. Lemak
: 0.20 g
5. Hidrat arang : 23.10 g 6. Mineral
: 1.2 g
7. Kalsium
: 42 mg
8. Fosfor
: 134 mg
9. Besi
: 1 mg
10. Vitamin B1 : 0.22 mg 11. Vitamin C : 15 mg
Di samping itu, dari beberapa penelitian didapatkan bahwa umbi bawang putih mengandung zat aktif alliin, allicin, enzim alinase, germanium, sativine, sinistrine, selenium, scordinin, serta asam nikotinat (IPTEKnet, 2005).
23
2. Senyawa aktif pada bawang putih (Allium sativum L.) yang berhubungan dengan peningkatan kolesterol HDL.
a. Organosulfur Organosulfur dalam umbi bawang putih membentuk mekanisme pertahanan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya, serta berperan saat pembentukan tunas (Amagase et al, 2001).
Dua senyawa organosulfur paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino non-volatile γ-glutamil-Salk(en)il-L-sistein, dan minyak atsiri S-alk(en)ilsistein sulfoksida atau alliin. Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar senyawa organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari keseluruhan senyawa organosulfur di dalam umbi (Zhang, 1999). Senyawa
γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein
merupakan
senyawa
intermediet biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk allisin. Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein, reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan, melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan S-allil sistein (SAC) (Gambar 5). Dari jalur pembentukan thiosulfinat akan dibentuk kelompok allil sulfida, dithiin, ajoene, dan senyawa sulfur lain. Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein berlangsung dengan bantuan enzim γ-glutamil–transpeptidase dan γ-glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan allisin (Song & Milner, 2001).
24
Gambar 7. Jalur Pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il- L-sistein (Amagase et al, 2001)
Gambar 8. Reaksi Pembentukan Allisin (Amagase et al, 2001)
Allisin merupakan senyawa prekursor dari pembentukan berbagai senyawa allil sulfida (Gambar 7). Allisin bersifat tidak stabil sehingga mudah mengalami reaksi lanjut. Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di bawah 0oC akan menghasilkan alliin, sedangkan ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25oC akan menghasilkan allisin dan tidak menghasilkan alliin. Ekstraksi dengan metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan allisin berubah menjadi senyawa allil sulfida. Pengolahan ekstrak dengan microwave selama 1 menit dapat menyebabkan hilangnya 96% kinerja enzim allinase (Amagase et al, 2001; Song & Milner, 2001).
25
Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam etanol 15–20%. Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan Aged Garlic Extract (AGE). Selama penyimpanan, kandungan allisin akan menurun dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawa-senyawa baru. Pada saat allisin disimpan pada suhu 20°C selama 20 jam, allisin mengalami perubahan menjadi DADS (dialil disulfida) dan DATS (dialil trisulfida), dan sulfur dioksida (Banerjee & Maulik, 2002; Amagase et al, 2001).
Selain dalam bentuk padatan, umbi bawang putih dapat diolah melalui distilasi uap menjadi minyak maserasi. Minyak bawang hasil maserasi mengandung kelompok vinyl-dithiin 0.8 mg/g dan ajoena 0.1 mg/g, sedangkan ekstrak eter mengandung vinyl-dithiin 5.7 mg/g, allil sulfida 1.4 mg/g, dan ajoena 0.4 mg/g (Banerjee & Maulik, 2002).
Gambar 9. Reaksi Pembentukan Senyawa Allil Sulfida (Amagase et al, 2001)
26
b. Organosulfur volatile Pada hasil maserasi bawang putih dan minyak esensial bawang putih, ditemukan senyawa organosulfur volatile berjumlah lebih dari 20 sulfida yang berkontribusi pada aroma dan rasa bawang putih yang khas pada saat dicerna (Amagase et al, 2001).
c. Senyawa organosulfur yang larut air Ekstraksi bawang putih dengan air ataupun alkohol mempunyai kandungan utama S-allil-L-sistein yang berasal dari γ-glutamyl-S-allilL-sistein (Gambar 8), SAC dan trans-S-1-propenyl-L-sistein (SIPC). Derivat sistein ini tidak berwarna, tidak berbau, dan stabil dalam keadaan padat ataupun cair, pada kondisi yang netral maupun asam. SAC memberikan proteksi terhadap oksidasi, radikal bebas, kanker dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, SAC secara in vivo menunjukkan efek hepatoproteksi dan sifat proteksi terhadap kanker prostat pada manusia, sedangkan secara in vitro menunjukkan sifat antioksidan. Sifat-sifat ini menunjukkan bahwa standarisasi preparat bawang putih menggunakan SAC sebagai marker kimia dianggap benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Amagase et al, 2001).
Gambar 10. Pembentukan S-alil sistein dari γ-glutamil-S–alil-L-sistein (Amagase et al, 2001)
27
3. Bawang putih (Allium sativum) sebagai anti kolesterol. Penelitian tentang khasiat umbi bawang putih terhadap penurunan kadar kolesterol darah telah dilakukan pada hewan coba dan manusia. Diketahui pemberian ekstrak bawang putih dengan kandungan 10 mg alliin dan/atau 4000 μg allisin dapat menurunkan kolesterol total serum antara 10-12%; kolesterol LDL sekitar 15%; trigliserida 15%, dan kolesterol HDL naik sekitar 10% (Liu & Yeh, 2001).
Komponen bioaktif yang berperan dalam penurunan kolesterol pada tubuh antara lain adalah DADS dan allisin, dimana DADS memiliki rantai allil yang dengan mudah akan tereduksi menjadi rantai propil yang jenuh, sehingga terjadi penurunan kadar NADH dan NADPH yang penting untuk sintesa trigliserida dan kolesterol, sedangkan allisin menghambat bagian fungsional dari Ko-A yang diperlukan untuk biosintesis kolesterol karena sifat SH-binding yang dimilikinya (Sunarto & Susetyo, 1995).
Gambar 11. Inhibisi Enzim Sintesis Kolesterol oleh Bawang Putih (King, 2014)
28
Ekstrak segar umbi bawang putih 1 g/L menunjukkan 50% IC 50 (inhibitory
concentration)
pada
aktivitas
enzim
squalene
mono-
oksigenase, dimana enzim tersebut merupakan enzim yang berperan penting dalam biosintesis kolesterol. Senyawa bawang putih yang menunjukkan aktivitas inhibisi adaah selenosistein, SAC, aliin, DATS dan DADS. Reaksi penghambatan kerja enzim tersebut bersifat irreversible. Kemungkinan mekanisme penghambatannya melalui dua cara, yaitu; a. Penghambatan pada reaksi enzim hidroksimetilglutaril-KoA reduktase (rate limiting enzym). b. Penghambatan pada reaksi enzim lain, seperti squalene monooksigenase dan lanosterol-14-demetilase (Pizzorno & Murray, 2000; Gupta & Porter, 2001).
II.1.6 Efek Samping dan Toksisitas Hingga kini diketahui bahwa konsumsi bawang putih dinyatakan aman dalam penggunaannya sebagai bahan pangan sehari-hari (sebagai bumbu/bahan penyedap). Efek samping yang sering ditemukan adalah bau mulut dan bau keringat akibat konsumsi bawang putih. Penelitian terkini juga belum menunjukkan adanya bukti toksisitas dari bawang putih (Handayani, 2006).
II.1.7 Kuning Telur Sebagai Diet Tinggi Lemak Pemberian diet kuning telur dapat menaikkan kadar profil lipid, terutama kadar kolesterol total dan trigliserida. Diet kuning telur yang kaya kolesterol dan trigliserida akan diemulsikan oleh garam empedu, kemudian diuraikan oleh enzim lipase dari lambung. Hasil penguraiannya berupa asam lemak
29
bebas dan dua monogliserid dalam bentuk misel dalam usus halus. Asam lemak bebas dan monogliserid akan disintesis kembali oleh epitel usus halus, menjadi trigliserida dan fosfolipid, kemudian bersama kilomikron diangkut menuju hati dan jaringan. Kecepatan sintesis kolesterol dalam tubuh berbanding terbalik dengan jumlah kolesterol yang diabsorbsi (Prasetyo et al, 2000).
II.1.8 Tikus Putih Sebagai Hewan Coba Klasifikasi biologi tikus putih adalah sebagai berikut; Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodenta
Subordo
: Odontoceti
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Tikus putih merupakan hewan yang sering digunakan sebagai hewan coba dalam berbagai penelitian karenak klasifikasi biologisnya yang berasal dari golongan mamalia dan biokomparasinya yang tinggi terhadap tubuh manusia dalam skala yang berbeda. Komparasi yang tinggi ini ditinjau dari berbagai aspek, antara lain; kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, sistem pernafasan, sistem peredaran darah, dan sistem eksresi (Isroi, 2010).
30
Galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian antara lain Wistar, Sprague-Dawley, Long-Evans, dan Holdzman. Tikus putih galur Sprague– Dawley sering dipilih sebagai hewan coba pada berbagai penelitian ilmiah dikarenakan keuntungan biologis yang tinggi, antara lain mudah berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, dan sifatnya yang jinak/tidak agresif. Berikut adalah data biologi tikus putih galur yang dikembangbiakkan di laboratorium;
Tabel 4. Data Biologi Tikus Putih DATA BIOLOGI Lama hidup Newborn Pubertas Dewasa jantan Dewasa betina Kematangan seksual Siklus estrus Gestasi Penyapihan Suhu tubuh
KETERANGAN 2,5-3,5 tahun Berat badan 5-6 gr 150-200 gr 300-800 gr 200-400 gr Reproduksi 65-110 hari 4-5 hari 20-22 hari 21 hari Fisiologi 35,90-37,50 C
Denyut jantung
250-600 kali/menit
Laju nafas
66-144 kali/menit
Tekanan darah diastole
60-90 mmHg
Tekanan darah sistol
75-120 mmHg
Feses
Padat, berwarna coklat tua, bentuk memanjang dengan ujung membulat
Urine
Jernih dan berwarna kuning Kebutuhan Konsumsi
Konsumsi makan Konsumsi air
15 – 30 gr/hari atau 5 – 6 gr/100 gr BB 24 – 60 ml/hari atau 10 -12 ml/100 gr BB Sumber : Isroi, 2010