BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1994). Komposisi daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non protein yang larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003). Daging dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu daging segar dan daging olahan. Daging segar ialah daging yang belum mengalami pengolahan dan dapat dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Sedangkan daging olahan adalah daging yang diperoleh dari hasil pengolahan dengan metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, misalnya sosis, dendeng, daging burger dan daging olahan dalam kaleng dan sebagainya (Desroiser, 1988). Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau. Selama proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan dan kurang menarik (Putra, 2008). Warna daging segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin, warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen, warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak (Soeparno, 1994). 2.1.1 Sosis Sosis (dalam bahasa Inggris sausage) berasal dari bahasa Latin salsus yang artinya asin adalah suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan dan rempah, serta bahan-bahan lain. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, tapi sekarang
seringkali menggunakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan (Anonim, 2010 ). Komponen utama sosis terdiri dari daging, lemak, dan air. Selain itu, pada sosis juga ditambahkan bahan tambahan seperti garam, fosfat, pengawet (biasanya nitrit/nitrat), pewarna, asam askorbat, isolat protein, dan karbohidrat. Sosis daging sapi dapat mengandung air sampai 60% (Soeparno, 1994). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. 2.1.2 Daging Sapi Olahan untuk Burger Burger merupakan produk daging giling segar. Daging burger sapi merupakan produk olahan daging sapi yang digiling dan dihaluskan, dicampur bumbu dan kemudian diaduk dengan lemak hingga tercampur rata dengan proses kuring (Soeparno, 1994). Bahan baku yang diperlukan dalam pembuatan burger adalah daging giling atau cacah, lemak, bahan pengikat, bahan pengisi dan aneka bumbu (Senior, 2006). Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya ikat air-daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat terutama berasal dari susu kering dan produk kedelai misalnya tepung kedelai. Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi mempunyai pengaruh kecil terhadap emulsifikasi (Soeparno, 1994). Bahan pengisi yang umum digunakan adalah tepung terigu, tapioka dan sagu (Senior, 2006). Lemak ditambahkan untuk memberikan rasa lezat. Penyedap dan bumbu mempunyai pengaruh preservatif terhadap produk daging proses namun terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavor (Soeparno, 1994).
Bahan tambahan pangan yang sering digunakan adalah pemanis, pengawet dan pewarna. Pemanis yang dipakai adalah sukrosa, dekstrosa, laktosa dan sirop jagung. Di dalam burger sering ditambahkan pewarna buatan khususnya pewarna merah. Selain itu untuk memperkuat cita rasa pada burger juga biasa ditambahkan flavor daging seperti daging sapi dan daging ayam. Bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai pengawet adalah nitrit (Senior, 2006). 2.2 Nitrit Nitrit adalah senyawa nitrogen yang reaktif. Kalium nitrat dan nitrit serta natrium nitrat dan nitrit telah digunakan dalam daging olahan (kuring) selama berabad-abad (Silalahi, 2005). Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas karena manfaat nitrit dalam pengolahan daging (seperti sosis, korned, dan burger) selain sebagai pembentuk warna dan bahan pengawet antimikroba, juga berfungsi sebagai pemberi aroma dan cita rasa (Cahyadi, 2006). Curing adalah cara proses daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Natrium nitrit dan atau Natrium nitrat dan gula serta bumbu-bumbu (Harris, 1989). Maksud curing antara lain adalah untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik dan memperpanjang masa simpan produk daging. Produk daging yang diproses dengan curing disebut daging cured (Soeparno, 1994). Menurut Winarno (2004), Pada umumnya proses curing terjadi karena: a. Reaksi biologis yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi ferri menjadi ferro. b. Terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang di-curing dipanaskan pada suhu 150o F atau lebih, maka terjadi proses denaturasi.
c.
Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin bila tidak dimasak, dan nitrosilhemokromogen bila telah dimasak. Nitrit mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri,
terutama
bakteri patogen Clostridium botulinum (Silalahi, 2005). Bakteri ini merupakan mikroorganisme patogenik paling berbahaya dan sangat fatal yang dapat mengkontaminasi daging cured. Nitrit menghambat produksi toksin Clostridium botulinum dengan
menghambat pertumbuhan
dan perkembangan
spora.
Keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin Clostridium botulinum disebut botulisme (Soeparno, 1994). Nitrit juga merupakan antioksidan yang efektif menghambat pembentukan WOF (Warmed-Over Flavor) yaitu berubahnya warna, aroma dan rasa yang tidak menyenangkan pada produk daging yang telah dimasak. Penambahan nitrit pada konsentrasi 156 mg/kg cukup efektif menghambat pembentukan WOF dan menurunkan angka TBA pada produk daging sapi dan ayam. TBA (Thio Barbiturat Acid) adalah senyawa yang dapat bereaksi dengan senyawa aldehid membentuk warna merah yang bisa diukur menggunakan spektrofotometer. Angka TBA adalah angka yang dipakai untuk menentukan adanya ketengikan dari senyawa aldehid yang dihasilkan dari oksidasi minyak atau lemak (Raharjo, 2006). Sumber utama nitrit secara umum adalah makanan, terutama sayuran dan air minum. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemakaian pupuk pada sayuran. Jika pupuk urea banyak digunakan akan berdampak pada manusia melalui sayuran, terutama berdaun hijau serta sayuran dari umbi dan air minum. (Silalahi, 2005).
2.3 Efek Toksik Nitrit Efek toksis nitrit adalah methaemoglobinemia, yaitu hemoglobin yang di dalamnya ion Fe2+ diubah menjadi ion Fe3+ dan kemampuannya mengangkut oksigen
telah
berkurang.
Darah
manusia
secara
normal
mengandung
methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi 2% (Muchtadi, 2008). Kandungan methaemoglobin menjadi 30-40% dapat menyebabkan gejala klinis berkaitan dengan kekurangan oksigen dalam darah (hipoxia). Penderita menjadi pucat, kulit menjadi biru (cianosis), sesak nafas, muntah dan shock. (Cahyadi, 2006). Kematian dapat terjadi jika kadarnya mencapai 70% (Silalahi, 2005). Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging atau ikan ternyata menimbulkan efek yang membahayakan. Nitrit dapat berikatan dengan amino atau amida dan membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. Nitrosamin merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat menimbulkan tumor pada bermacam-macam organ, termasuk hati, ginjal, kandung kemih, paru-paru, lambung, saluran pernapasan, pankreas dan lain-lain (Muchtadi, 2008). Senyawa nitrosamin yang dihasilkan dari reaksi nitrit dengan amin sekunder merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Amin-amin sekunder yang paling banyak ditemukan didalam daging adalah piperidin, dietil amin, pirolidin dan dimetil amin (Lawrie, 2003). Agen nitrosasi yang paling penting dalam pembentukan nitrosamin adalah N2O3 yang mudah terbentuk dari nitrit dalam suasana asam. N2O3 bereaksi dengan pasangan elektron bebas yang ada pada amin sekunder membentuk nitrosamin. Kondisi pH yang optimum untuk nitrosasi senyawa amin sekunder berkisar antara 2,5 dan 3,5. Walaupun makanan
biasanya lebih tinggi dari pH 3,5, biasanya tingkat keasaman makanan cukup untuk memicu reaksi nitrosasi dengan laju yang lebih lambat dari maksimum. Keasaman lambung mendekati pH 2,5-3,5 sehingga akan menjadi kondisi yang cukup baik untuk reaksi nitrosasi (Silalahi, 2005). Beberapa
contoh
senyawa
nitrosamin
adalah
nitrosodimetilamin,
nitrosodietilamin, nitrosopiperidin,dan nitrosopirolidin. Nirosodimetilamin dapat menimbulkan resiko kanker yang lebih berbahaya daripada nitrosopirolidin. Konsentrasi nitrosodimetilamin sampai 5 ppb di dalam daging dapat bersifat karsinogenik (Soeparno, 1994). Menurut Silalahi (2005), nitrosodimetilamin bersifat karsinogenik paling kuat diantara karsinogen kimia. Untuk mencegah terbentuknya nitrosamin maka dianjurkan untuk menambahkan zat yang dapat menghambat proses tersebut misalnya asam askorbat (Silalahi, 2005). Di Amerika dianjurkan penambahan asam askorbat sebanyak 550 mg/kg dalam daging olahan melalui reaksi sebagai berikut ini: asam askorbat + N2O3
asam dehidroaskorbat + 2NO + H2O
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722 tahun 1988, penggunaan nitrit maksimum pada daging olahan dan daging awetan yakni 125 µg/ml dan untuk korned kaleng 50 µg/ml (Badan Standardisasi Nasional, 2001). Batas penggunaan nitrit di negara-negara barat telah diturunkan dari 150 ppm menjadi 50 ppm saja karena telah terbukti adanya kemungkinan terbentuknya senyawa nitrosamin. Nitrosamin merupakan sekelompok senyawa kimia yang bersifat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker (Harris, 1989). 2.4 Analisis Nitrit 2.4.1 Pemeriksaan Kualitatif Nitrit
Pemeriksaan kualitatif nitrit dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu menggunakan asam sulfanilat dan larutan NED, serbuk antipirin, dan serbuk kalium iodida. Larutan yang mengandung nitrit bila ditambahkan beberapa tetes larutan asam sulfanilat dan larutan NED, dibiarkan selama beberapa menit akan memberikan hasil warna ungu merah (Vogel, 1990). Persamaan reaksinya adalah: NaNO2
+
HCl
NaCl
N
HSO3
NH2+HNO2 +HCl
HSO3
+
HNO2
Cl +2H2O
N Garam diazonium
Asam sulfanilat
NHCH2CH2NH2 HSO3
N
Cl
+
N NED
Garam diazonium
HSO3
N
N
NHCH2CH2NH2 +
HCl
Senyawa azo (merah)
Larutan yang mengandung nitrit, dipekatkan diatas penangas air, kemudian pada sisa larutan diteteskan beberapa tetes asam klorida encer dan ditambahkan sedikit serbuk antipirin, kemudian diaduk akan memberikan hasil warna hijau (Roth, 1988). Persamaan reaksinya adalah: NaNO2
+
HCl
HNO2
+
NaCl
O
O N
+
HNO2
N
+
H2O
N CH3
N CH3 NO
CH3
CH3 Antipirin
4-Nitrosoantipirin
Larutan yang mengandung nitrit, ditambahkan sedikit serbuk kalium iodida lalu diasamkan dengan asam klorida encer, iod akan dibebaskan, yang dapat diidentifikasi dengan pasta kanji memberikan hasil warna biru (Roth, 1988). Persamaan reaksinya adalah: NaNO2+HCl KI + HCl
HNO2 + NaCl KCl + HI
2 HI + 2 HONO I2 + kanji 2.4.2
I2 + 2 NO + 2 H2O
kanji Iod (biru)
Penetapan Kadar Nitrit Penetapan kadar nitrit dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain
spektrofotometri sinar tampak dan volumetri. Metode spektrofotometri sinar tampak digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif nitrit dengan pereaksi asam sulfanilat dan NED yang membentuk warna ungu merah dan dapat diukur dengan panjang gelombang maximum 540 nm (Herlich, 1990; Vogel, 1994). Metode ini berdasarkan atas reaksi diazotasi dimana senyawa amin primer aromatik dikopling dengan N-(1-naftil) etilen diamin dihidroklorida (NED). Dengan adanya nitrit maka akan menghasilkan senyawa yang berwarna ungu kemerahan yang dapat diukur secara spektrofotometri sinar tampak (Rohman, 2007).
Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu molekul pada suatu panjang gelombang tertentu untuk tujuan analisa kualitatif dan kuantitatif. Bila suatu molekul dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diserap oleh larutan zat berbanding lurus dengan tebal dan kosentrasi larutan dan berbanding terbalik dengan transmitan. (Day, 2002; Rohman, 2007). Menurut Day (2002), hukum tersebut dituliskan dengan: A = abc = log 1/T Keterangan : A = absorbansi (energi radiasi yang diserap oleh molekul) a = koefisien ekstingsi b = tebal sel (cm) c = konsentrasi analit T = transmitan (energi radiasi yang dilewatkan) Pada analisis menggunakan alat spektrofotometri sinar tampak dilakukan pemilihan panjang gelombang dan pembuatan kurva kalibrasi. Panjang gelombang yang digunakan adalah panjang gelombang yang memiliki absorbansi maksimum dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Kurva kalibrasi menunjukkan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi baku sehingga diperoleh persamaan regresi linier. Persamaan regresi ini dipakai untuk menghitung kadar dalam sampel (Rohman, 2007). Penetapan kadar nitrit dengan metode volumetri dilakukan secara permanganometri dan serimetri. Permanganometri adalah suatu cara titrasi memakai kalium permanganat sebagai pentiter. Serimetri menggunakan serium
(IV) sulfat dimana kelebihan serium (IV) sulfat dititrasi dengan amonium besi (II) sulfat dan asam N-fenilantranilat sebagai indikator. Tetapkan volume larutan serium (IV) sulfat standar yang telah bereaksi dengan larutan nitrit, dan dihitung kadar nitrit (Vogel,1994). Penelitian tentang penetapan kadar nitrit dalam makanan telah dilakukan sebelumnya. Diantaranya pada sampel korned sapi kalengan, daging burger sapi dan sop daging sapi. Metode yang dipakai pada pemeriksaan korned sapi kalengan, daging burger sapi dan sop daging sapi tersebut adalah spektrofotometri sinar tampak dimana digunakan pereaksi asam sulfanilat dan NED. Hasil dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1 Hasil pemeriksaan kadar nitrit pada berbagai sampel No
Kode Sampel
Kadar Nitrit (mg/kg)
Referensi
1.
Korned sapi kalengan
70,34-109,75
Rangkuti, 2008
2.
Daging burger sapi
40,00-160,00
Cory, 2009
3.
Sop daging sapi
64,67-101,45
Alamsyah, 2009
2.5 Validasi Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Beberapa parameter validasi adalah kecermatan (accuracy), keseksamaan (precision), selektivitas (spesifitas), linieritas dan rentang, batas deteksi dan batas kuantitasi, ketangguhan metode (rugged-ness), dan kekuatan (robustness) (Harmita, 2004). Validasi dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik,
reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis (Rohman, 2007). Beberapa parameter analisis dalam validasi diuraikan di bawah ini. 2.5.1 Perolehan Kembali Persen perolehan kembali digunakan untuk menyatakan kecermatan. Kecermatan merupakan ukuran yang menunjukkan kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Kecermatan dapat ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni pembanding kimia ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa lalu dianalisis lagi dengan metode tersebut. Perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Harmita, 2004) : % perolehan kembali =
CF − C A x100 C*A
Keterangan : CF = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan larutan baku C A = konsentrasi sampel awal C * A = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan
2.5.2 Batas Deteksi Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit yang masih dapat dideteksi. Batas deteksi dapat diperoleh dari kalibrasi standar yang diukur sebanyak 6
sampai 10 kali. Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Rohman, 2007) : Batas Deteksi =
3SD Slope
Keterangan : SD = simpangan baku 2.5.3 Batas Kuantitasi Batas kuantitas adalah jumlah terkecil analit yang masih dapat diukur dalam kondisi percobaan yang sama dan masih memenuhi kriteria cermat. Batas kuantitas dapat diperoleh dengan mempersiapkan larutan standar kemudian dianalisis sebanyak 6 sampai 10 kali. Batas kuantitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Rohman, 2007) : Batas Kuantitasi =
10 SD Slope
Keterangan : SD = simpangan baku