BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Parasetamol
2.1.1
Uraian Kimia Parasetamol merupakan serbuk hablur, putih, tidak berbau dan rasa sedikit
pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida (NaOH) 1 N, mudah larut dalam etanol. Parasetamol mempunyai berat molekul 151,16 (DITJEN POM, 1995). Struktur kimia parasetamol ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur parasetamol (http://id.wikipedia.org/wiki/Paracetamol) Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol (APAP) merupakan metabolit aktif fenasetin. Sejarah parasetamol berawal dari asetanilid yang merupakan anggota pertama golongan obat turunan p-aminofenol. Asetanilid diperkenalkan di bidang kedokteran pada tahun 1886 dengan nama antifebrin oleh Cahn dan Hepp, yang secara kebetulan menemukan kerja antipiretiknya. Namun asetanilid ternyata sangat toksik. Dalam usaha menemukan senyawa yang kurang toksik, p-aminofenol dicoba dengan keyakinan bahwa tubuh akan mengoksidasi asetanilid menjadi senyawa ini. Namun, toksisitasnya tidak berkurang, dan sejumlah turunan kimiawi p-aminofenol kemudian diuji. Salah satu dari
Universitas Sumatera Utara
turunan tersebut yang lebih memuaskan adalah fenasetin atau asetofenetidin (Goodman dan Gilman, 2007). Fenasetin diperkenalkan ke dalam terapi pada tahun 1887 dan banyak digunakan dalam campuran analgesik sampai diketahui fenasetin menyebabkan nefropati akibat penyalahgunaan analgesik, akibatnya fenasetin tidak lagi tersedia khususnya di Amerika Serikat. Akhirnya ditemukan pada tahun 1949 metabolit aktif dari asetanilid dan fenasetin yaitu parasetamol yang relatif lebih aman (Goodman dan Gilman, 2007).
2.1.2
Farmakokinetika Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna dalam saluran
cerna. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit, waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Indeks terapi parasetamol berada di antara 5-20 μg/ml. Parasetamol sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat, yang secara farmakologi tidak aktif (Katzung, 1997). Jalur metabolisme parasetamol ditunjukkan pada Gambar 2.2. Kurang dari 5% parasetamol diekskresikan dalam bentuk tidak berubah. Parasetamol mengalami metabolisme menghasilkan suatu metabolit minor tetapi sangat aktif dan penting pada dosis besar yaitu NAPQI karena toksik terhadap hati dan ginjal. Pada jumlah toksik atau adanya penyakit hati, waktu paruhnya meningkat menjadi dua kali lipat atau lebih (Katzung, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Skema yang menggambarkan jalur metabolisme parasetamol (dikutip dari Goodman dan Gilman, 2007)
2.1.3
Farmakodinamika Parasetamol digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Meski pun efek
analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin, parasetamol berbeda karena efek antiinflamasinya hampir tidak ada. Parasetamol dapat digunakan untuk pasien yang dikontraindikasikan menggunakan aspirin (misalnya pasien ulser lambung) untuk penggunaan analgesik atau antipiretiknya (Katzung, 1997). Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang, bagaimana mekanismenya belum diketahui secara pasti. Parasetamol mengurangi produksi prostaglandin yaitu suatu senyawa proinflamasi, tetapi parasetamol tidak mempunyai sifat antiinflamasi seperti halnya aspirin. Sebagai antipiretik, parasetamol bekerja mengembalikan suhu tubuh
Universitas Sumatera Utara
dalam keadaan demam menjadi normal dengan menghambat produksi prostaglandin di susunan saraf pusat (Anonimd, 2008).
2.1.4
Toksisitas Dosis lazim oral parasetamol adalah sebesar 325-1000 mg. Dosis total
harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Pada dosis terapeutik, parasetamol biasanya ditoleransi dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan reaksi alergi lain. Namun, jika dosis parasetamol melebihi dosis lazim akan terjadi efek merugikan berupa nekrosis hati dan kemungkinan fatal serta tergantung pada dosis (Goodman dan Gilman, 2007). Pada
orang
dewasa,
hepatotoksisitas
terjadi
setelah
penggunaan
parasetamol dosis tunggal 10-15 g (150-250 mg/kg BB), dosis 20-25 g atau lebih kemungkinan dapat menyebabkan kematian. Berbagai gejala yang terjadi selama 2 hari pertama pada keracunan parasetamol akut mungkin tidak menggambarkan intoksikasi yang berpotensi menjadi serius. Mual, muntah, anoreksia dan nyeri abdomen terjadi selama 24 jam pertama dan dapat bertahan selama seminggu atau lebih. Indikasi klinis kerusakan hati akan tampak dalam 2 sampai 4 hari setelah pemberian dosis toksik. Kadar enzim aminotransferase dan konsentrasi bilirubin dalam plasma
meningkat,
serta
terjadi
pemanjangan
masa
protrombin
(Goodman dan Gilman, 2007). Hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada alkoholik kronis. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrilobularis. Keracunan akut seperti ini biasanya diobati secara simptomatik dan suportif, tetapi pemberian senyawa sulfhidril tampaknya bermanfaat,
yaitu dengan memperbaiki cadangan glutation hati.
Universitas Sumatera Utara
N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan per oral 24 jam setelah minum dosis toksik parasetamol (Wilmana, 1995).
2.2
Kafein
2.2.1
Uraian Kimia Tiga senyawa metilxantin yang penting adalah teofilin, teobromin, dan
kafein, ketiganya merupakan alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan. Sejak dulu ekstrak tumbuhan ini digunakan sebagai minuman. Kafein terdapat dalam kopi dari biji Coffea sp, teh dari daun Thea sinensis mengandung kafein dan teofilin, dan coklat dari biji Theobroma cacao mengandung kafein dan teobromin (Sunaryo, 1995). Teofilin merupakan 1,3-dimetilxantin, teobromin adalah 3,7-dimetilxantin, dan kafein adalah 1,3,7-trimetilxantin. Turunan xantin bekerja merangsang susunan saraf pusat dengan intensitas yang berbeda-beda, sehingga dapat dipilih senyawa xantin yang tepat untuk tujuan terapi tertentu (Katzung, 1997). Kafein, disebut juga tein berupa kristal putih, larut dalam air dengan perbandingan 1:46. Kafein-Na benzoat dan kafein sitrat berupa senyawa berwarna putih, rasa agak pahit, dan larut dalam air (Sunaryo, 1995). Struktur kafein ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur Kafein (http://id.wikipedia.org/wiki/Caffeine)
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Farmakokinetika Kafein diabsorpsi dengan cepat dan mendekati sempurna melalui saluran
ganstrointestinal dalam waktu 30-60 menit. Kafein didistribusikan secara merata ke seluruh jaringan tubuh. Konsentrasi maksimum dalam plasma (tmax) dicapai dalam waktu 1 jam dengan rentang 0,5-1,5 jam. Waktu paruh eliminasi sangat bervariasi rata-rata 5 jam dengan rentang 2-12 jam (Donovan dan Devane, 2001). Eliminasi kafein dari tubuh terjadi melalui metabolisme. Metabolisme kafein sangat kompleks, paling sedikit ada 25 metabolit yang dihasilkan. Kafein diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah yaitu hanya 1-4% setelah pemberian oral (Donovan dan Devane, 2001). Jalur utama eliminasi kafein melalui reaksi demetilasi yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P450 (CYP1A2) menghasilkan paraxantin (1,7-dimetilxantin) sebanyak 80%, teobromin 10% dan teofilin 4% (Anonima, 2005).
2.2.3
Farmakodinamika Kafein bekerja sebagai stimulan sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular,
dan pernapasan. Kafein merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin di otak (Donovan dan Devane, 2001). Telah diketahui bahwa adenosin jika terikat ke reseptor sel saraf akan menurunkan aktivitas sel saraf. Akibat kemiripan struktur molekul kafein dengan struktur adenosin maka kafein dapat terikat pada reseptor tersebut tetapi tidak memberi efek penurunan aktivitas sel saraf justru sebaliknya, aktivitas sel saraf ditingkatkan. Kafein meningkatkan konsentrasi monoamin di otak, termasuk dopamin dan serotonin pada striatum, serta peningkatan norepinefrin di korteks frontal. Jika kondisi ini terus berlangsung, akan terjadi beberapa efek, seperti denyut jantung, tekanan darah, dan aliran darah ke otot
Universitas Sumatera Utara
meningkat, sementara itu aliran darah ke kulit dan organ dalaman akan menurun, tetapi pelepasan glukosa oleh hati meningkat (Nurachman, 2004). Kafein mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif di jantung dengan cara mengaktivasi reseptor ryanodine yang meningkatkan pembukaan kanal rilis Ca2+, sehingga semakin banyak Ca2+ yang dilepaskan maka kontraktilitas jantung semakin meningkat (White, 1990). Secara tidak langsung kafein meningkatkan pelepasan epinefrin yang akan berikatan dengan β-adrenoseptor di jantung sehingga meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung.
Kafein merangsang diuresis dengan cara meningkatkan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dan menghambat reabsorpsi natrium dan air di tubular ginjal (Katzung, 1997).
2.3
Interaksi Obat Peristiwa perubahan efek yang dihasilkan oleh suatu obat dengan zat lain
jika diberikan bersamaan atau hampir bersamaan dapat menguntungkan atau merugikan. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah interaksi obat (drug interaction). Interaksi obat dapat terjadi antara suatu obat dengan obat lain (interaksi obat-obat), interaksi obat dengan makanan (interaksi obat-makanan), dan interaksi antara obat dengan unsur-unsur atau senyawa kimia lainnya. Interaksi obat melibatkan dua jenis obat yaitu obat objek (object drug) dan obat presipitan (precipitant drug). Obat objek adalah obat yang aksi/efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat lain, sedangkan obat presipitan adalah obat yang mengubah aksi/efek obat lain (Sinaga, 2008). Interaksi obat lebih banyak menghasilkan efek merugikan dibandingkan yang menguntungkan. Penggunaan dua macam obat atau lebih yang disebut
Universitas Sumatera Utara
dengan Polypharmacy atau Multiple Drug Therapy merupakan penyebab interaksi obat. Swamedikasi atau pengobatan sendiri yang kini banyak dilakukan juga sangat berpotensi menimbulkan interaksi obat. Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat, baik melalui penghambatan penyerapan atau absorpsinya atau dengan mengganggu metabolisme atau distribusi obat tersebut di dalam tubuh. Yang kedua, interaksi obat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping atau toksisitas dari obat-obat tertentu (Sinaga, 2008). Mekanisme interaksi obat beragam dan kompleks. Pada dasarnya dapat digolongkan sebagai berikut: a. interaksi farmasetika. b. interaksi farmakokinetika. c. interaksi farmakodinamika.
2.3.1
Interaksi Farmasetika Interaksi Farmasetika ialah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat
obat diformulasikan atau disiapkan sebelum obat digunakan oleh pasien. Misalnya interaksi antara obat dan larutan infus i.v (intravena) yang dicampur bersamaan sehingga menyebabkan pengendapan. Bentuk interaksi farmasetika yaitu: a. interaksi secara fisik, misalnya terjadi perubahan kelarutan. b. interaksi secara kimia, misalnya terbentuk endapan, terjadinya kekeruhan, perubahan warna, dan pengeluaran gas.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2
Interaksi Farmakokinetika Interaksi farmakokinetika bisa terjadi pada level absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Mekanisme dalam interaksi ini mencakup perubahan absorpsi pada gastrointestinal (level absorpsi), mengganggu ikatan dengan protein plasma (level distribusi), perubahan metabolisme (induksi atau inhibisi) (level metabolisme) dan perubahan ekskresi (level ekskresi). a. perubahan absorbsi pada gastrointestinal Perubahan absorbsi suatu obat oleh obat lain terjadi akibat: i. perubahan motilitas gastrointestinal, contoh obat-obat antikolinergik dapat menyebabkan penurunan motilitas gastrointestinal. ii. gangguan pada sistem transpor, contoh makanan dapat menurunkan absorpsi antibiotik seperti ampisilin. iii. pembentukan suatu kompleks, contoh terbentuknya khelat dari Ca, Al, Mg oleh tetrasiklin. b. penggeseran atau penggantian ikatan dengan protein plasma Suatu interaksi terjadi bila suatu obat (precipitant drug) menggeser atau menggantikan obat lain (object drug) dari tempat ikatannya pada protein plasma sehingga kadar obat yang bebas di dalam darah meningkat, akibatnya efek obat objek bertambah. Contoh, walfarin menggeser ikatan tolbutamid pada protein plasma sehingga kadar tolbutamid meningkat. c. perubahan metabolisme Metabolisme obat terutama terjadi di mikrosoma sel hati. Mikrosoma ini sangat peka terhadap aksi obat sehingga produksi enzim bertambah atau berkurang, perangsangan mikrosoma mengakibatkan aktivitas obat menurun
Universitas Sumatera Utara
sedangkan penghambatan menyebabkan aktivitas obat meningkat. Contoh obat pemacu enzim yaitu rifampisin, sedang penghambat aktivitas enzim adalah simetidin, alopurinol. d. perubahan ekskresi Hal ini terjadi bila suatu obat mempengaruhi ekskresi obat lain melalui ginjal sehingga terjadi perubahan aktivitas dan lama kerja obat. Contoh, interaksi probenesid dengan penisilin melalui kompetisi sekresi tubuli ginjal, sehingga proses sekresi penisilin terhambat dan kadar penisilin dipertahankan dalam tubuh.
2.3.3
Interaksi Farmakodinamika Interaksi ini terjadi bila suatu obat merubah kerja fisiologis obat lain baik
secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi farmakodinamika secara langsung terjadi jika dua obat memiliki aksi di tempat yang sama (antagonis atau sinergis) atau memiliki aksi pada dua tempat berbeda yang hasil akhirnya sama: a. interaksi yang menghasilkan kerja yang sama pada satu organ (sinergisme), contoh, antihipertensi dan obat-obat yang menyebabkan hipotensi misalnya antiangina dan vasodilator. b. interaksi obat yang kerjanya saling bertentangan (antagonisme), contoh, penurunan aksi walfarin oleh vitamin K. Interaksi farmakodinamika tidak langsung, terjadi jika efek farmakologi obat presipitan mengubah efek obat objek, tetapi
tidak berkaitan dan tidak
berinteraksi secara langsung. Obat-obat tersebut bekerja secara independen pada dua
tempat
terpisah.
Contoh,
jika
suatu
obat
menyebabkan
ulserasi
Universitas Sumatera Utara
gastrointestinal, akan menyebabkan pendarahan pada pasien karena pemberian antikoagulan, misalnya aspirin, indometasin atau NSAID lain (Muhlis, 2006).
2.4
Anatomi Hati Hati adalah organ tubuh terbesar dan mempunyai fungsi yang sangat
kompleks. Berat rata-rata sekitar 1,5 kg atau 2,5% dari berat badan pada orang dewasa normal. Dalam keadaan segar warnanya merah tua atau merah coklat, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997). Hati tersusun oleh beberapa tipe sel, yaitu: a. hepatosit Sel-sel ini merupakan 70% dari semua sel di hati dan 90% dari berat hati total. Hepatosit tersusun dalam unit-unit fungsional yang disebut asinus, atau lobulus. Setiap lobulus memiliki sebuah vena sentral (vena terminalis) dan traktus portal yang terletak di perifer. b. sel duktus biliaris Sel-sel duktus biliaris membentuk duktulus dalam traktus portal lobulus hati. Duktulus dari lobulus-lobulus yang berdekatan menyatu menjadi duktus yang berjalan menuju hilus hati, dengan ukuran dan garis tengahnya secara bertahap membesar. c. sel vaskular Hati memiliki pendarahan ganda. Organ ini menerima darah melalui arteri hepatika dan vena porta. Arteri hepatika dan vena porta masuk ke hati di porta hepatis lalu bercabang menjadi pembuluh yang lebih halus berjalan sejajar sampai mencapai traktus portal lobulus.
Universitas Sumatera Utara
Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur yang dinamakan lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ (Price dan Wilson, 1994). Gambar anatomi hati ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Anatomi hati (Dikutip dari Lee, et al., 1997) Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempenglempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun rapi mengelilingi vena sentralis. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer yang merupakan sistem monosit-makrofag, berfungsi menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah (Price dan Wilson, 1994).
2.5
Anatomi Ginjal Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk seperti
kacang dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Sebagai bagian dari sistem
Universitas Sumatera Utara
urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Pada orang dewasa, setiap ginjal memiliki ukuran panjang sekitar 11 cm dan ketebalan 5 cm dengan berat sekitar 150 g (Anonimf, 2009). Anatomi ginjal ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Anatomi ginjal (Dikutip dari Lee, et al., 1997) Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat bagi hati. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam goncangan. Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian yang lebih dalam lagi disebut medula, dan yang paling dalam disebut pelvis. Pada bagian medula ginjal manusia dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut kapsula (Anonimf, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Unit fungsional dasar ginjal adalah nefron yang berjumlah lebih dari satu juta dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin. Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang terdapat dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori pada glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen. Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasarkan penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sebagian besar air (97,7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus
Universitas Sumatera Utara
kolektivus melalui osmosis. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter (Anonimf, 2009).
2.6
Anatomi Jantung Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskular. Ukuran
jantung kira-kira panjang 12 cm, lebar 8-9 cm dan tebal sekitar 6 cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425 g dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Jantung merupakan organ berongga yang berbentuk kerucut tumpul (Damjanov, 1997). Jantung terletak dalam mediastinum di rongga dada yaitu di antara kedua paru-paru. Perikardium yang melapisi jantung terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan dalam disebut perikardium viseralis dan lapisan luar disebut perikardium parietalis. Kedua lapisan perikardium ini dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang berfungsi mengurangi gesekan pada gerakan memompa dari jantung itu sendiri. Perikardium parietalis melekat pada tulang dada di sebelah depan, dan pada kolumna vertebralis di sebelah belakang, sedangkan ke bawah pada diafragma. Perikardium viseralis langsung melekat pada permukaan jantung (Price dan Wilson, 1994). Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan (Price dan Wilson, 1994), yaitu: a. endokardium merupakan lapisan endotel. b. miokardium terdiri dari sel-sel otot. c. epikardium merupakan lapisan terluar membentuk permukaan luar jantung. Ada 4 (empat) ruangan dalam jantung yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Di antara atrium kanan dan ventrikel kanan ada
Universitas Sumatera Utara
katup yang memisahkan keduanya yaitu katup trikuspidalis, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel (Damjanov, 1997). Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh. Otot-otot jantung bergerak saat pemompaan jantung. Kedua atrium merupakan ruang dengan dinding otot yang tipis karena rendahnya tekanan yang ditimbulkan oleh atrium. Sebaliknya ventrikel mempunyai dinding otot yang tebal terutama ventrikel kiri mempunyai lapisan tiga kali lebih tebal dari ventrikel kanan. Sirkulasi darah ditubuh ada 2 (dua) macam yaitu sirkulasi paru dan sirkulasi sistemis. Sirkulasi paru mulai dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis, arteri besar dan kecil, kapiler lalu masuk ke paru, setelah dari paru keluar melalui vena kecil, vena pulmonalis dan akhirnya kembali ke atrium kiri. Sirkulasi ini mempunyai tekanan yang rendah kira-kira 15-20 mmHg pada arteri pulmonalis. Sirkulasi sistemis dimulai dari ventrikel kiri ke aorta lalu arteri besar, arteri kecil, arteriole lalu ke seluruh tubuh lalu ke venule, vena kecil, vena besar, vena kava inferior, vena kava superior akhirnya kembali ke atrium kanan (Damjanov, 1997). Gambar anatomi jantung ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Anatomi Jantung (Dikutip dari Lee, et al., 1997)
Universitas Sumatera Utara
2.7
Gangguan Fungsi Hati akibat Toksikan Kondisi toksisitas hati dipersulit oleh barbagai kerusakan hati dan
mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hati sering menjadi organ sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah toksikan diserap lalu dibawa oleh vena porta ke dalam hati. Hati mempunyai kadar enzim yang tinggi untuk memetabolisme xenobiotik (terutama sitokrom P-450), yang membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehigga mudah diekskresikan (Lu, 1994). Jenis-jenis kerusakan hati yang disebabkan oleh toksikan (Lu, 1994) yaitu: a. steatosis (perlemakan hati) Steatosis atau perlemakan hati yaitu jika hati mengandung berat lipid lebih dari 5%, sehingga terjadi lesi yang bersifat akut maupun kronik. Contoh, tetrasiklin yang menyebabkan banyak butiran lemak kecil dalam suatu sel dan etanol menyebabkan butiran lemak besar sehingga menggantikan inti pada sel. b. nekrosis Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, atau perifer) atau masif, dan biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan sebagai penyebab nekrosis hati. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya, tetapi tidak selalu kritis karena mempunyai kapasitas yang luar biasa untuk pertumbuhan kembali. Contoh penyebab nekrosis hati yaitu karbon tetraklorida (CCl4), kloroform, tetrakloroetan, isoniazid, dan parasetamol.
Universitas Sumatera Utara
c. sirosis Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hati. Kumpulan hepatosit muncul sabagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat. Pada sebagian besar kasus, sirosis disebabkan nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan sehingga terjadi aktivitas fibroblastik dan pembentukan jaringan parut. Penyebab sirosis yang paling penting adalah penggunaan kronis alkohol d. kolestasis Kolestasis bersifat akut dan lebih jarang ditemukan dibandingkan steatosis dan nekrosis. Kolestasis ditandai dengan berkurangnya aktivitas ekskresi empedu pada
membran
kanalikulus.
Contoh
penyebabnya
yaitu
ANIT
(α-
naftilisosianat), klorpromazin, dan eritromisin laktobionat. e. karsinogenesis Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum pada hati. Jenis kanker lain yaitu angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati yang tidak berdiferensiasi. Contoh penyebab karsinogenesis seperti vinil klorida, aflatoksin, dan dioksin. f. hepatitis yang mirip hepatitis virus Obat-obat tertentu mengakibatkan suatu sindroma klinis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus. Mekanismenya dapat melalui reaksi hipersensitivitas atau melalui kelainan metabolisme. Contoh halotan, fenitoin, dan iproniazid.
Universitas Sumatera Utara
2.8
Gangguan Fungsi Ginjal akibat Toksikan Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik,
dan hidrokarbon berhalogenasi tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh toksikan. Efeknya bervariasi mulai dari satu perubahan biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Lu, 1994) sebagai berikut: a. efek pada glomerulus Antibiotik puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap protein seperti albumin. Sebaliknya, antibiotik aminoglikosid seperti gentamisin dan kanamisin mengurangi filtrasi glomerulus selain mempengaruhi tubulus ginjal. b. efek pada tubulus proksimal Kadar toksikan pada tubulus proksimal sering lebih tinggi disebabkan karena terjadinya absorpsi dan sekresi aktif di tubulus proksimal serta kadar sitokrom P450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan, sehingga sering merupakan sasaran efek toksik. Logam berat seperti merkuri, kromium, kadmium, dan timbal dapat mengubah fungsi tubulus yang ditandai dengan glikosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Pada dosis yang lebih tinggi, logam berat menyebabkan kematian sel. Banyak antibiotik seperti streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, dan amfoterisin-B disekresi oleh tubulus proksimal yang menyebabkan perubahan beberapa fungsi tubulus. Diantaranya ada yang mengubah komposisi fosfolipid membran, permeabilitas, aktivitas Na+-K+-ATPase, aktivitas adenilat siklase, dan
Universitas Sumatera Utara
transpor K+, Ca2+, dan Mg2+. Sefaloridin tidak disekresikan dari tubulus proksimal, tetapi dikumpulkan di dalam sel sehingga menyebabkan kerusakan. Hidrokarbon berhalogen seperti karbon tetraklorida dan kloroform menyebabkan efek toksik terhadap ginjal terutama pada tubulus proksimal. Heksaklorobutadien terutama merusak pars rekta tubulus proksimal sehingga kemampuan memekatkan urin berkurang. c. beberapa tempat lain Tetrasiklin dan amfoterisin-B mempengaruhi tubulus distal dengan cara menurunkan keasaman urin. Seperti diketahui bahwa salah satu fungsi tubulus distal adalah mensekresi H+. Metoksifluran diketahui bersifat nefrotoksik dan menyebabkan payah ginjal. Metoksifluran mengalami biotransformasi menjadi fluorida dan oksalat anorganik. Ion fluor bertindak pada beberapa bagian nefron untuk mengurangi reabsorpsi air. Pertama, fluor mengganggu kemampuan tubulus proksimal menyerap kembali air, dan kedua menghambat pembuangan ion pada bagian lengkung Henle, sehingga mengurangi osmolaritas interstisium, dan menurunkan reabsorpsi air. Analgesik yang mengandung aspirin dan fenasetin juga menyebabkan payah ginjal kronis, akibat efek toksiknya terutama pada medula. Metabolit sulfapiridin dan glikol mempengaruhi ginjal dengan menginduksi penyumbatan tubulus. Penisilin dan sulfonamida telah dilaporkan sebagai penyebab feritis radang interstisial pada manusia.
2.9
Gangguan Fungsi Jantung akibat Toksikan Berbagai gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh toksikan
(Lu, 1994) antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a. kardiomiopati Kobalt dalam bir sebagai suatu stabilisator busa telah ditemukan menyebabkan beberapa kasus kardiomiopati yang berbahaya dan fatal. Toksisitas kobalt pada jantung diperparah jika penderita malnutrisi, terutama kekurangan asam amino tertentu. Ion kobalt menekan pengambilan oksigen dan mengganggu metabolisme energi jantung dalam siklus asam trikarboksilat seperti yang terjadi pada defisiensi tiamin. Isoproterenol, hidralazin dan diazoksid mampu menginduksi nekrosis miokardium.
Isoproterenol
mempunyai
efek
adrenergik
langsung,
sedangkan hidralazin dan diazoksid menunjukkan efek adrenergik lewat hipotensi yang diinduksinya. Efek ini menyebabkan meningkatnya pemasukan kalsium transmembran sehingga terjadi peningkatan laju dan kekuatan kontraksi. Efek obat tersebut berakibat hipoksia jantung. Hipoksia dan endapan kalsium dalam mitokondria menyebabkan disintegrasi organel dan sarkolema. b. gangguan pada sistem asam nukleat Antibiotik antrasiklin seperti doksorubisin dan daunorubisin dapat menyebabkan hipotensi, takikardia, dan atrofi sel otot jantung serta edema interstisial dan fibrosis karena antibiotik antrasiklin berikatan dengan DNA dan mitokondria sehingga mengganggu sintesis RNA dan protein. c. aritmia Beberapa fluorokarbon dapat menyebabkan aritmia jantung. Efek ini diperantarai
oleh
sensitisasi
jantung
terhadap
epinefrin,
depresi
kontraktilitas, penurunan aliran darah koroner, dan peningkatan refleks
Universitas Sumatera Utara
impuls simpatik dan vagus dalam jantung setelah iritasi mukosa pada saluran napas. d. depresi miokardium Antibiotik aminoglikosid seperti neomisin dan streptomisin menyebabkan hipotensi melalui depresi kontraktilitas jantung dengan cara menghambat sebagian Ca2+ yang terikat pada membran luar.
2.10
Pemeriksaan Biokimia Hati Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kelainan atau
kerusakan hati (Lu, 1994) antara lain: a. pemeriksaan patologi makroskopik Toksisitas pada hati seperti steatosis atau perlemakan hati dan sirosis dapat ditunjukkan dari warna dan penampilan hati. Berat organ hati juga merupakan petunjuk yang sangat peka terhadap kerusakan hati. Meski suatu efek tidak selalu menunjukkan toksisitas, pada kasus tertentu peningkatan berat hati merupakan kriteria paling peka sebagai petunjuk toksisitas. b. pemeriksaan mikroskopik Berbagai jenis kelainan histologi seperti perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik, dan neoplasia dapat dideteksi dengan pengamatan di bawah mikroskop cahaya. Dengan mikroskop elektron akan dapat mendeteksi perubahan dalam berbagai struktur subsel. c. uji biokimia hati Beberapa enzim serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria, lisosom, dan nukleus.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa uji pemeriksaan biokimia hati yang sering dilakukan meliputi serum transaminase, LDH (lactat dehidrogenase), alkalin fosfatase, GGT (γglutamil transferase), bilirubin serum, asam empedu, alfa feto protein, albumin, dan globulin serum (Sadikin, 2002). Transaminase merupakan sekelompok enzim, yang berperan sebagai katalisator dalam pemindahan gugus amino antara suatu asam α-amino dengan suatu α -keton. Enzim ini terdiri dari Aspartat aminotransferase (AST) dan Alanin aminotransferase (ALT). AST terdapat dalam semua jaringan tubuh, terutama di hati, dan dalam jumlah lebih kecil di ginjal dan otot rangka. Sebagian besar AST terikat pada organel sel dan hanya sedikit terdapat di sitoplasma. Bila kerusakan sel-sel hati sebagian besar mengenai membran sel, maka kenaikan ALT lebih menonjol dan bila kerusakan sel hati terutama mengenai organel sel, maka kenaikan AST lebih menonjol. Walaupun ALT lebih khas untuk penyakit hati dibandingkan AST, tetapi kedua enzim ini sering digunakan bersama-sama untuk mengevaluasi kelainan hati. Peningkatan aktivitas enzim transaminase merupakan petunjuk yang paling peka telah terjadinya nekrosis selsel hati, karena peningkatannya terjadi paling awal dan paling akhir kembali ke kondisi normal dibandingkan uji yang lain (Afifah, 1991). Pada orang dewasa normal, kadar AST berkisar 5-40 IU/L sedangkan pada tikus berkisar 77-157 IU/L. Kadar ALT pada orang dewasa normal sekitar 5-35 IU/L, sedangkan pada tikus berkisar 24-53 IU/L. Pada kerusakan membran sel hati kenaikan ALT lebih menonjol dibanding kadar AST (Suckow, et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.11
Pemeriksaan Biokimia Ginjal Pemeriksaan kimia darah untuk mengetahui adanya kerusakan ginjal
dapat dilakukan dengan menentukan parameter-parameter (Sutedjo, 2006) seperti: a. asam urat Kadar asam urat dapat memberikan informasi adanya gangguan pada ginjal atau tidak. b. kreatinin Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus. Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan penurunan fungsi ginjal. c. kreatinin clearance Kreatinin clearance dimaksudkan adalah mengukur kreatinin dalam darah yang diekskresikan dalam kurun waktu untuk mengukur fungsi ginjal. Jika clearance menurun berarti konsentrasi kreatinin dalam darah naik. d. BUN (Blood Urea Nitrogen) Blood Urea Nitrogen merupakan produk akhir metabolisme protein yang dibentuk oleh hati dan tidak mengalami perubahan molekul setelah berada dalam ginjal. Konsentrasi nitrogen urea dalam darah dapat digunakan untuk menentukan fungsi ginjal. e. asam fosfatase Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk mengukur keberadaan dan luasnya penyebaran karsinoma prostat. f. ureum Ureum adalah hasil metabolisme asam amino di dalam hati. Kadar ureum juga dapat memberi informasi normal atau tidaknya organ ginjal.
Universitas Sumatera Utara
2.12
Pemeriksaan Biokimia Jantung Pemeriksaan kimia darah/serum untuk mengidentifikasi penyakit jantung
(Sutedjo, 2006) dapat diketahui dari: a. CPK (Creatin Phospho Kinase) Peningkatan CPK merupakan indikator adanya kerusakan miokardium. b. CKMB (Creatinkinase Label M dan B) CKMB adalah jenis enzim yang terdapat pada berbagai jaringan terutama otot rangka, miokardium, dan otak. Peningkatan kadar enzim dalam serum merupakan indikator terpercaya adanya kerusakan jaringan pada jantung. c. LDH (Lactat Dehidrogenase) LDH adalah enzim yang melepas hidrogen dari suatu zat dan menjadi katalisator proses konversi laktat menjadi piruvat. Enzim ini tersebar luas pada jaringan terutama ginjal, rangka, hati, dan miokardium. Peningkatan LDH merupakan pertanda telah terjadinya kerusakan jaringan. d. troponin Peningkatan troponin menjadi pertanda positif adanya cedera sel miokardium dan potensi terjadinya angina. e. AST (Aspartat aminotransferase) Enzim ini berada pada serum dan jaringan terutama di hati dan jantung. Rilis enzim yang tinggi ke dalam serum menunjukkan adanya kerusakan terutama pada jaringan jantung dan hati. f. HBDH (Alfa Hydroxygutiric Dehidrogenase) HBDH merupakan enzim non-spesifik untuk diagnostik infarksi miokardium. Peningkatan HBDH juga menunjukkan peningkatan LDH.
Universitas Sumatera Utara