BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penatalaksanaan Gizi Pasien Rawat Inap Pelayanan gizi rumah sakit merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan paripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan pelayana gizi yang diberikan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien melalui makanan yang sesuai penyakit yang diderita. Proses pelayanan gizi pasien rawat inap terdiri atas empat tahap, yaitu (1) assesmen atau pengkajian gizi meliputi data antropometri, data biokimia, data klinis dan fisik, data kebiasaan makan, serta data riwayat personal, (2) perencanaan pelayanan gizi meliputi penentuan diet (preskripsi diet), tujuan diet, dan strategi mencapai tujuan, (3) implementasi pelayanan gizi, dan (4) monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier, 2006). Preskripsi diet atau penentuan diet adalah batasan pengaturan makanan mencakup kebutuhan energi dan zat gizi serta zat-zat makanan lainnya yang disusun berdasarkan diagnosis penyakit dan kebutuhan gizi. Penentuan diet memberikan arah khusus kepada pasien untuk merubah perilaku makannya sehingga mendapat kesehatan yang optimal (Kemenkes, 2010). Dalam keadaan khusus, diet disusun secara individual dengan mencantumkan kebutuhan energi dan zat-zat gizi, bentuk makanan, frekuensi dan jadwal pemberian, serta besar porsi (Almatsier, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Penyajian makanan merupakan salah satu kegiatan dari penyelenggaran makanan rumah sakit yang dimulai dari perencanaan menu sampai dengan distribusi makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Makanan yang disajikan sesuai dengan standar rumah sakit yang disajikan pada alat makan dan diantarkan ke ruang rawat inap. Makanan yang disajikan kepada pasien harus tepat waktu, harus sesuai dengan jumlah atau porsi yang telah ditentukan, serta kondisi makanan yang disajikan juga harus sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan temperatur makanan yang disajikan baik dalam kondisi dingin maupun kondisi hangat (Moehyi, 1992). Penatalaksanaan diet HIV/AIDS bertujuan untuk mencapai status gizi yang baik bagi pasien infeksi HIV dalam mencapai daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga memperlambat memasuki tahap AIDS. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit Felege Hiwot Negara Ethiopia menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi kurang pasien HIV/AIDS rawat inap disebabkan oleh jenis kelamin responden, gejala HIV, status ART, durasi ART, maupun kesulitan makan (Daniel, et al, 2013). Status gizi sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan asupan zat gizi. Asupan zat gizi yang tidak memenuhi kebutuhan akibat infeksi HIV akan menyebabkan kekurangan gizi yang bersifat kronis serta apabila pada stadium AIDS terjadi kurang gizi yang kronis dan drastis akan mengakibatkan penurunan resistensi terhadap infeksi lainnya. Hal itu disebabkan asupan gizi kurang mengakibatkan pemecahan protein lebih cepat sehingga konsentrasi albumin menjadi rendah (Pettalolo, 2013). 2.2. HIV/AIDS
Universitas Sumatera Utara
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang disebut HIV atau Human Immunodeficiency Virus. AIDS merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan serangan-serangan infeksi oportunistik. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih termasuk limfosit yang disebut TLimfosit atau “Sel CD4” (Zein, 2006). CD4 adalah salah satu jenis daya tahan tubuh yang berfungsi menghidupkan dan menghentikan kegiatan sistem kekebalan tubuh, tergantung ada tidaknya kuman yang harus dilawan. Jumlah normal CD4 dalam sirkulasi darah sekitar 800 hingga 1200 per millimeter kubik darah. HIV yang masuk ke tubuh menginfeki sel CD4 sehingga akan rusak dan mati (Lasmadiwati, dkk, 2005). Orang yang tertular HIV pada mulanya tidak merasakan dan tidak kelihatan sakit selama CD4-nya masih dalam jumlah lumayan dan hingga sekitar 5 tahun jumlahnya menurun hingga setengah. Sesudah jumlah CD4 kurang dari 200/mm3 dan tanpa diimbangi upaya intervensi, maka daya pertahanan tubuh terhadap berbagai infeksi akan menurun membuka peluang terjadinya infeksi oportunistik (Hutapea, 2003). Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS sejalan dengan penurunan sistem kekebalan tubuh. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
HIV ditemukan didalam darah, cairan sperma, cairan vagina, Air Susu Ibu. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual (baik homoseksual maupun heteroseksual), melalui darah, serta dari ibu ke anak (selama kehamilan atau kelahiran, atau melalui air susu ibu). Penularan lebih mungkin dan sering terjadi dari pria ke wanita melalui hubungan seks, daripada sebaliknya. Salah satu sebabnya adalah karena kuman HIV lebih banyak ditemui di dalam cairan semen daripada cairan vagina, serta sel-sel rahim sangat rentan terhadap infeksi HIV (Hutapea, 2003). Penyebaran infeksi sudah terjadi sejak penderita belum menunjukkan gejala klinis. Oleh karena itu, diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan. HIV didiagnosis melihat tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium (Nursalam & Ninuk, 2007). Infeksi HIV dapat diperiksa dengan tes darah yang disebut ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV. Tes lain yang dapat mengkonfirmasi hasil ELISA, antara lain western Blot (WB), indirect immunofluorensence assay (IFA), ataupun radioimmunoprecipitation assay (RIPA). Adanya antibodi HIV tidak berarti atau memberi petunjuk waktu bahwa seseorang yang tertular HIV akan memperoleh AIDS. Diagnosa AIDS menuntut adanya penyakit-penyakit indikator tertentu, seperti sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumosistis Karinii, atau kanker leher rahim inpasif pada seorang yang seropositif terhadap HIV. Tindakan yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kuantitas fungsi imunologi pasien dengan infeksi HIV. Pada
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan dengan kadar sel CD4-nya berada di bawah 200 per cc darah berarti sudah berada stadium AIDS (Hutapea, 2003). Bila seseorang baru saja terinfreksi HIV, biasanya tidak merasakan gejala apapun. Hanya sekitar 20% yang menunjukkan gejala menyerupai influenza yang kemudian hilang atau sembuh sendiri. Beberapa tahun kemudian, gejala penyakit muncul dan hilang timbul. Makin lama makin berat hingga pasien masuk dalam tahap AIDS. Sesudah diagnosis AIDS ditegakkan, biasanya penderita meninggal sekitar 6 bulan sampai 1 tahun kemudian bila tidak mendapat pengobatan, atau meninggal 2-4 tahun kemudian bila mendapat pengobatan yang adekuat. Penampilan penderita HIV bervariasi, ada orang yang terinfeksi tampak sehat tanpa gejala, ada dengan gejala ringan, tetapi banyak juga yang dengan gejala akut berupa panas tinggi, diare hilang timbul, dan badan kurus. Gejala penyakit AIDS lebih dari 90% menunjukkan penurunan berat badan drastis, panas tinggi yang lama, sariawan, sesak nafas, serta diare. Adapun penyakit infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan adalah jamur kandida saluran cerna, Pneumonia P. Carinii, tuberculosis paru dan kelenjar, virus herpes pada mulut dan kulit, toksoplasma otak, kandiloma serta kanker kaposi (Djoerban, 2000). WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS menjadi klasifikasi laboratorium dan klinis. a. Klasifikasi laboratorium
Universitas Sumatera Utara
WHO mengklasifikasikan laboratorium HIV/AIDS dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang ditunjukkan oleh limfosit dan limfosit CD4+ dan stadium klinis Tabel 2.1. Klasifikasi laboratorium menurut WHO
Limfosit
CD4 /mm
Stadium Klinis I: Asimptomatik
> 2000
> 500
1A
2A
3A
4A
1000-2000
200-500
1B
2B
3B
4B
< 1000
< 200
1C
2C
3C
4C
+
3
Stadium Klinis 2: Awal
Stadium Klinis 3: Intermediet
Stadium Klinis 4: Lanjut
Sumber : Depkes RI (2003)
b. Klasifikasi Klinis Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Dalam hal ini, pasien bisa didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor di tambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. Adapun gejala mayor yang dialami penderita HIV/AIDS adalah penurunan berat badan ≥ 10% , demam memanjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis, dan tuberculosis, sedangkan gejala minor yaitu kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari satu bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, limfadenopati generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia, dan sarkoma kaposi (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian menunjukkan reliabilitas klasifikasi derajat klinis menurut WHO bisa memprediksi morbiditas dan mortalitas pasien HIV/AIDS. Tabel 2.2
Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
Stadium
Skala Aktivitas Gambaran Klinis
I
a. Asimptomatik b. Limfadenopati menyeluruh dan persisten Skala penampilan 1: asimptomatik, aktivitas normal
II
a. Penurunan berat badan < 10 % b. Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis) c. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir d. Manifestasi mukokutaneus ringan (Angular cheilitis, ulserasi oral berulang, ulkus mulut berulang, dermatitis sereboik, infeksi jamur pada kuku) Dan/atau skala penampilan 2: simptomatik, aktifitas normal
III
a. Penurunan berat badan > 10% b. Diare kronik yang tidak bisa dijelaskan (intermitten atau konstan) > 1 bulan c. Kandidiasis oral persisten Skala Aktivitas Gambaran Klinis
Stadium
d. Oral hairly leukoplakia (OHL) e. Tuberculosis paru f. Infeksi bakteri yang berat (yakni pneumonia, pymyositis, empiema, infeksi tulang atau sendi) g. Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis Dan/atau skala penampilan 3: terbaring < 50% hari dalam bulan terakhir
Universitas Sumatera Utara
IV
a. b. c. d. e.
HIV wasting syndrome Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) Pneumonia bakterial berat yang berulang Diare karena kriptospiridiosis > 1 bulan Infeksi herpes simplex kronik (orolabial, genital, atau anorektal yang lamanya > 1 bulan atau beberapa tempat viseral) f. Progressive Multifocal Leucoencephalopathy (PML) g. Kandidiasis esofagus h. Tuberkulosis ekstra paru i. Sarkoma Kaposi j. Infeksi cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ-organ lainnya) k. Toxoplasmosis otak l. Ensefalopati HIV m. Limfoma Dan/atau skala penampilan 4: > 50% dalam masa 1 bulan terakhir terbaring
Sumber : Kemenkes (2010)
Penyakit AIDS hingga saat ini belum ditemukan obatnya, maupun vaksin yang aman dan manjur. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien tetapi bukan untuk menyembuhkan, namun untuk menghentikan aktifitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecatatan (Nursalam dan Ninuk, 2007). Menurut Zein, pemberian ARV jika pasien berada pada stadium AIDS atau CD4 ≤ 200/ml atau CD4 ≤ 350 disertai dengan penurunan kondisi klinis yang nyata. Penggunaan ARV dapat menimbulkan efek samping berbeda setiap jenisnya pada umumnya seperti timbulnya ruam kulit, mual, muntah, mata dan kulit kuning, anemia, kesemutan, bahkan sindroma Steven Johnson (paling berat). Pengobatan infeksi oportunistik dengan penggunaan ARV menimbukan interaksi baik saling menguatkan atau saling
Universitas Sumatera Utara
melemahkan, oleh sebab itu pengobatan infeksi oportunistik lebih didahulukan karena hal ini penyebab kematian pada penderita AIDS. 2.2.1. Status Gizi dan HIV/AIDS Sejak seseorang terinfeksi HIV, terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh sampai ke tingkat yang lebih parah hingga terjadi pula penurunan status gizi. Salah satu faktor yang berperan dalam penurunan sistem imun adalah defisiensi zat gizi baik makro maupun gizi mikro. Memburuknya status gizi disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik, serta kurangnya aktifitas fisik (Kemenkes RI, 2010). Orang yang terinfeksi HIV akan mengalami hal-hal berikut: 1. Orang yang terinfeksi HIV akan kehilangan nafsu makan dan susah makan sehingga asupan makanan kurang dan tidak sesuai dengan syarat menu. Hilangnya nafsu makan dapat disebabkan karena adanya infeksi pada mulut dan demam atau efek dari obat-obatan yang diberikan. 2. Daya serap tubuh kurang baik terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi. Orang dengan HIV positif biasanya mengalami diare. Akibat HIV juga bisa timbul kerusakan sel-sel di dalam usus sehingga daya serap terhadap karbohidrat dan lemak berkurang. Kelemahan daya serap juga mengakibatkan vitamin A dan E yang sangat berguna bagi sistem kekebalan tidak termanfaatkan.
Universitas Sumatera Utara
3. Dengan daya serap nutrisi yang tidak baik sehingga tidak mampu mencerna makanan dengan sempurna sehingga tubuh tidak dapat mendayagunakan sari-sari makanan dengan baik seperti karbohidrat, lemak, dan protein. 4. Demam dan peradangan yang menyertai infeksi HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan berat badan berkurang dengan cepat. 5. Jaringan otot menjadi lemah sehingga mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh (Lasmadiwati, dkk, 2005). Intervensi gizi secara khusus bertujuan untuk mencapai berat badan normal; mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual, dan muntah; menghambat progresivitas HIV menjadi AIDS; serta mencapai kualitas hidup yang optimal pada orang dengan HIV/AIDS untuk tetap produktif (Kemenkes, 2010). Berikut contoh manisfestasi klinis dan gangguan gizi yang sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS dan rekomendasinya. Tabel 2.3
Manisfestasi klinis pada Orang Dengan HIV/AIDS
Manisfestasi Klinis
Gangguan gizi
Rekomendasi Gizi
Anoreksia dan disfagia
Penurunan nafsu makan, kesulitan menelan karena infeksi jamur mulut
Diet: makanan lunak, disajikan menarik, porsi kecil dan sering.
Diare
Kehilangan zat gizi dalam tubuh
Diet: rendah laktosa, rendah serat, rendah lemak, dan banyak mengonsumsi cairan seperti oralit.
Sesak nafas
Asupan kalori tidak
Anjuran: makanan tinggi lemak MCT dan rendah
Universitas Sumatera Utara
Malabsorbsi lemak
Manisfestasi Klinis
mencukupi, pasien lemah
karbohidrat. Makanan diberikan dalam posisi setengah tidur.
Gangguan penyerapan lemak
Anjuran: sumber lemak nabati, MCT, tambahkan
Gangguan gizi
Rekomendasi Gizi vitamin larut lemak
Demam
Peningkatan pemakaian kalori dan kehilangan cairan
Anjuran: minum lebih dari 2 liter/hari, makanan lunak.
Penurunan berat badan
Gangguan makan secara oral
Tinggi kalori protein, padat kalori, rendah serat.
Muntah
Porsi kecil tapi sering, menghindari aroma makanan yang merangsang.
Sumber: Kemenkes (2010)
2.3 Diet HIV/AIDS Asuhan gizi rumah sakit pada penderita HIV/AIDS rawat inap dapat dilakukan dengan menjalankan diet yang teratur. Diet merupakan makanan yang ditentukan dan dikendalikan untuk tujuan tertentu. Dalam diet jenis dan banyaknya suatu makanan ditentukan. Disamping itu dalam diet jumlah asupan dan frekuensi makan juga dikendalikan sehingga tercapai tujuan diet tersebut (Budianto, 2009). Di rumah sakit terdapat pula pedoman diet tersendiri yang akan memberikan rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang bertujuan bukan hanya
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan atau memperhatikan status gizi pasien, tetapi juga untuk mencegah permasalahan lainnya yang timbul. Dengan memperhatikan tujuan diet tersebut, rumah sakit umumnya menyediakan makanan dengan kriteria seperti : makanan dengan komposisi gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit dan status gizi masing-masing pasien, makanan dengan tekstur dan konsistensi yang sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien, makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (Hartono, 2000). Kebutuhan nutrisi pada orang dengan HIV/AIDS lebih tinggi dibandingkan
orang sehat. Kebutuhan energi dihitung berdasarkan ada atau tidaknya gejala seperti demam, penurunan berat badan dan wasting (Jafar, 2004). Penelitian menunjukkan, 40-44% dewasa dan 59% anak-anak menderita gizi kurang dan wasting. Seseorang dikatakan wasting bila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan normal disertai demam lebih dari 30 hari, diare, dan gangguan penyakit lainnya (WHO, 2012). Untuk mengatasi masalah gizi pada pasien HIV/AIDS, maka diberikan makanan tinggi kalori-protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air. Tujuan diet penyakit HIV/AIDS secara umum adalah: 1. Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV. 2. Mencapai dan mempertahankan berat badan serta komposisi tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass). 3. Memenuhi kebutuhan energi dan semua zat gizi.
Universitas Sumatera Utara
4. Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga, dan relaksasi. Tujuan diet penyakit HIV/AIDS secara khusus adalah: 1. Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual, dan muntah. 2. Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indera pengecap, dan kesulitan menelan. 3. Mencapai dan mempertahankan berat badan normal. 4. Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot). 5. Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan. Syarat-syarat diet penyakit HIV/AIDS adalah: 1. Makanan yang diberikan harus mengandung kalori tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stress, aktifitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan 10C. 2. Protein tinggi yaitu sebesar 1,1-1,5 g/Kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati. 3. Makanan yang disediakan harus mengandung lemak cukup yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total dan jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. 4.
Makanan mengandung vitamin dan mineral tinggi yaitu 1½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) terutama vitamin A, B12, C,
Universitas Sumatera Utara
E, folat, kalsium, magnesium, seng, dan selenium. Bila perlu, dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh. 5. Makanan harus cukup serat untuk mencegah komplikasi. 6. Cairan harus cukup, khususnya dengan gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan secara bertahap dengan konsistensi yang sesuai. 7. Elektrolit harus diganti (natrium, kalium dan klorida) jika terjadi muntah dan diare. 8. Bentuk makanan harus disesuaikan dengan keadaan penyakit. 9. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering. 10. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia (Almatsier, 2006). Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral, enteral (sonde), dan parenteral (infus). Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, AIDS II, dan AIDS III. 1. Diet AIDS I Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengan gejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan. Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan
Universitas Sumatera Utara
diberikan dalam bentuk sonde atau kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin, dan vitamin C. Nilai gizi bahan makanan cair oral dan makanan lewat pipa diet AIDS I dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel.2.4. Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet AIDS I Makanan lewat pipa/sonde
Makanan Cair Oral
Buatan Sendiri
Komersial
2207
2240
2100
Protein (g)
73
95
90
Lemak (g)
103
83
61
Karbohidrat (g)
251
284
306
Energi (kkal)
Besi (mg) Vitamin A (RE) Tiamin (mg)
6,4 1361 0,7
6.3 1349 1
42,5 1800 4,1
Universitas Sumatera Utara
Vitamin C (mg)
12
66
540
Sumber : Almatsier (2006)
2. Diet AIDS II Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan diet AIDS I setelah tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Nilai gizi bahan makanan saring oral dan makanan enteral komersial diet AIDS II dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.5
Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet AIDS II Makanan Saring Oral
Makanan Enteral Komersial
1900
2100
Protein (g)
72
90
Lemak (g)
83
61
223
306
Energi (kkal)
Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Tiamin (mg) Vitamin C (mg)
1300 25,6 2940 0,8 176
32500 42,5 1800 4,5 540
Sumber : Almatsier (2006)
Universitas Sumatera Utara
3. Diet AIDS III Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energi, protein, vitamin, dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau makanan utama. Nilai gizi bahan makanan biasa/lunak dan makanan enteral (sonde) diet AIDS III dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.6
Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet AIDS III
Energi (kkal)
Makanan Biasa/lunak
Makanan Sonde
2503
2520
Protein (g)
90
Lemak (g)
65
107 73
Karbohidrat (g)
387
367
Kalsium (mg)
673
39000
Besi (mg) Vitamin A (RE) Tiamin (mg) Vitamin C (mg)
27,9 29502 1,2 145
50,9 2163 4,98 644
Sumber: Almatsier (2006)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Almatsier (2006), ada beberapa bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan berdasarkan golongan bahan makanan dalam diet HIV/AIDS. Adapun bahan makanan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.7
Tabel 2.7
Bahan Makanan Yang Dianjurkan Dan Tidak Dianjurkan Dalam Diet HIV/AIDS
Bahan Makanan Sumber Karbohidrat
Sumber Protein Hewani Sumber Protein nabati Sumber lemak
Sayuran
Buah-buahan
Bumbu
Minuman
Dianjurkan Semua bahan makanan kecuali yang menimbulkan gas. Susu, telur, daging, dan ayam tidak berlemak; ikan Tempe, tahu, dan kacang hijau Minyak, margarine, santan, dan kelapa dalam jumlah terbatas Sayuran yang tidak menimbulkan gas seperti labu kuning, wortel, bayam kangkung, buncis, kacang panjang, dan tomat. Papaya, pisang, jeruk, apel, dan sebagainya Bumbu yang tidak merangsang, seperti bawang merah, bawang putih, daun salam, ketumbar, laos, kecap Sirup, teh, dan kopi
Tidak Dianjurkan Bahan makanan yang menimbulkan gas seperti ubi jalar. Daging dan ayam berlemak, kulit ayam Kacang merah Semua makanan yang mengandung lemak tinggi (digoreng, bersantan kental) Sayuran yang menimbulkan gas seperti kol, sawi, dan ketimun
Buah-buahan yang mengandung gas, seperti nangka dan durian Bumbu yang merangsang seperti cabe, lada, asam, cuka, dan jahe
Minuman bersoda mengandung alcohol
dan
Sumber : Almatsier (2006)
Universitas Sumatera Utara
Penurunan berat badan secara drastis sering terjadi pada pasien HIV/AIDS. Pemberian diet TKTP bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh, serta menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang mengandung energi dan protein diatas normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging, atau bentuk minuman enteral Tinggi Kalori Tinggi Protein. Diet ini diberikan bila pasien telah mempunyai nafsu makan dan dapat menerima makanan lengkap. Pada prinsipnya diet TKTP diberikan secara bertahap secara oral (melalui mulut), mengandung energi yang memadai, protein yang sesuai dan berkualitas tinggi, bahan makanan yang mempunyai efek antioksidan yang tinggi serta mengandung vitamin dan mineral yang cukup (Almatsier, 2006). Asupan zat gizi mikro penting dalam fungsi kekebalan tubuh dan infeksi penyakit menular. Penelitian yang dilakukan oleh Ive Maryani, dkk di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien HIV/AIDS memiliki asupan antioksidan rendah seperti vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Padahal antioksidan berfungsi untuk melindungi sel-sel, mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki nafsu makan dan stabilitator berat badan (Maryani dkk, 2012). Penelitian pada pria Amerika Serikat menemukan asupan vitamin C menghambat menurunnya laju limfosit dan viral load.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian diet TKTP pada pasien HIV/AIDS rawat inap harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB. 2. Protein tinggi, yaitu 2-2,5 g/kg BB. 3. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total. 4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total. 5. Vitamin dan mineral cukup, sesuai kebutuhan normal. 6. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna. Pemberian diet TKTP disesuaikan dengan jenis diet TKTP yang harus diberikan. Adapun jenis diet TKTP adalah berupa diet TKTP I dan diet TKTP II. Diet TKTP I dengan energi 2600 kkal dan protein 100 g (2 g/kg BB). Diet TKTP II dengan energi 3000 kkal dan protein sebesar 125 g (2,5 g/kg BB). Bahan makanan TKTP adalah bahan makanan biasa seperti yang terdapat pada Tabel 2.8 Tabel 2.8
Bahan makanan yang ditambahkan pada makanan biasa TKTP I
TKTP II
Bahan Makanan Berat (g) Susu
Urt
Berat (g)
Urt
200
1 gls
400
2 gls
Telur ayam
50
1 btr
100
2 btr
Daging
50
1 ptg sdg
100
2 ptg sdg
1 gls
200
1gls
Formula komersial
200
Universitas Sumatera Utara
Gula pasir
50
3 sdm
50
3 sdm
Sumber: Almatsier (2006)
Nilai gizi berdasarkan jenis diet TKTP nya dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9
Kandungan Zat Gizi Diet TKTP TKTP I
TKTP II
2690
3040
Protein (g)
103
120
Lemak (g)
73
98
Karbohidrat (g)
420
420
Kalsium (mg)
700
1400
Energi (kkal)
Besi (mg) Vitamin A (RE) Tiamin (mg) Vitamin C (mg)
30,2 2746 1,5 114
36 2965 1,7 136
Sumber: Almatsier (2006)
2.4 Penilaian Status Gizi Pada Pasien HIV/AIDS Rawat Inap Status gizi merupakan hasil keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi dalam bentuk variabel tertentu. Umumnya pasien HIV/AIDS yang rawat inap mengalami penurunan status gizi yang terlihat dari penurunan berat badan akibat gangguan gizi yang disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik, serta kurangnya aktivitas fisik. Gangguan gizi memegang peranan penting dalam
Universitas Sumatera Utara
patogenesis penyakit HIV/AIDS, terapi diet dan konsultasi gizi memegang peranan penting dalam upaya penyembuhan. Penilaian status gizi yang tepat untuk kategori dewasa adalah pengukuran indeks massa tubuh (IMT), karena pengukuran indeks massa tubuh paling sederhana dan banyak digunakan.
𝐵𝐵𝐵𝐵𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 (𝑘𝑘𝑘𝑘 ) (𝑚𝑚 )×𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 (𝑚𝑚 )
IMT = 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
Hasil perhitungannya dapat diinterpretasikan dengan cara membandingkan dengan klasifikasi IMT yang tersedia. Berikut adalah klasifikasi IMT untuk orang Indonesia. Tabel 2.10
Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia Kategori
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan
17,0 – 18,4
Normal Gemuk
IMT
18,5 – 25,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan
25,1 – 27,0
Kekurangan berat badan tingkat berat
> 27,0
Sumber: Depkes RI (2009)
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Penatalaksanaan diet HIV/AIDS: -
Status Gizi Pasien HIV/AIDS
Frekuensi pemberian diet Jumlah pemberian diet Kandungan zat gizi (kalori, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, dan i i C)
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Penatalaksanaan diet HIV/AIDS pada pasien HIV/AIDS rawat inap didukung oleh frekuensi, jumlah, dan kandungan zat gizi yang diberikan. Selain itu, peneliti ingin mengetahui status gizi pasien HIV/AIDS rawat inap.
Universitas Sumatera Utara