BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kinerja Pegawai Kinerja Pegawai menurut Kusriyanto yang dikutip oleh Harbani Pasolong
dalam bukunya “Teori Administrasi Publik” adalah “Kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi”. (Pasolong, 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja individu dari seorang pegawai, mengacu dari sejumlah studi empiris, beberapa ahli berpendapat sebagai berikut: 1) Teori kinerja menurut Gie dan Ibrahim Sebagaimana dikemukakan oleh Gie dan Ibrahim (1999) menyatakan bahwa kinerja sangat ditentukan antara lain oleh dimensi-dimensi : a. Motivasi kerja, b. Kemampuan kerja, c. Perlengkapan dan fasilitas, d.Lingkungan eksternal, e. Leadership, f. Misi strategi, g. Fasilitas kerja h. Kinerja individu dan organisasi, i. Praktik manajemen, j. Struktur, k. Iklim kerja. Motivasi kerja dan kemampuan kerja merupakan dimensi yang cukup penting dalam penentuan kinerja. Motivasi sebagai sebuah dorongan dalam diri pegawai akan menentukan kinerja yang dihasilkan. Begitu juga dengan kemampuan kerja pegawai, dimana mampu tidaknya pegawai dalam melaksanakan tugas akan berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan. Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki pegawai akan semakin menentukan kinerja yang dihasilkan.
Universitas Sumatera Utara
2) Teori kinerja menurut Schermerhorn (1996), untuk mengetahui kinerja organisasi dan individu dapat dilihat dari 5 (lima) faktor yang mempengaruhi, yaitu : a. Pengetahuan, b. Ketrampilan, c. Kemampuan, d. Sikap, e. Perilaku Schermerhorn mengungkapkan kemampuan dan ketrampilan sebagai faktor individual masing-masing pegawai. Semakin kompeten kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki masing-masing pegawai, akan mempengaruhi pencapaian hasil kinerja. 3) Teori kinerja menurut Stephen Robbins Menurut pendapat Robbins (1996), tingkat kinerja pegawai akan sangat tergantung pada dua faktor yaitu kemampuan pegawai dan motivasi kerja. Kemampuan pegawai seperti: tingkat pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman. Tingkat kemampuan akan dapat mempengaruhi hasil kinerja pegawai dimana semakin tinggi tingkat kemampuan pegawai akan menghasilkan kinerja yang semakin tinggi pula. Faktor lain adalah motivasi kerja yaitu dorongan dari dalam pegawai untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan adanya motivasi kerja yang tinggi pegawai akan terdorong untuk melakukan suatu pekerjaan sebaik mungkin yang akan mempengaruhi hasil kinerja. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki semakin tinggi pula kinerja yang dapat dihasilkan. 4) Teori Kinerja menurut Peter Ducker Menurut pendapat Peter Ducker (dalam Handoko, 1997) bahwa kinerja adalah tes pertama kemampuan manajemen untuk melakukan suatu perbandingan dari hasil kegiatan senyatanya yang dinyatakan dalam presentase yang berkisar antara 0% sampai 1%. Ditambah pula faktor-faktor yang menunjang kinerja antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a. Pendidikan dan program pelatihan, b. Gizi, nutrisi, dan kesehatan, c. Motivasi, d. Kesempatan kerja, e. Kebijakan ekstern, f. Pengembangan secara terpadu. 2.1.1. Penilaian Kinerja Pegawai Penilaian kinerja dapat diartikan sebagai poses dimana organisasi menilai kineja individu pegawai. Penilaian ini dapat meliputi produktivitas, sikap, disiplin, dan lain sebagainya. Untuk menemukan di level mana seorang pegawai melaksanakan pekerjaannya (Davis, 1996). Bagi organisasi yang cukup maju hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk promosi, demosi, diklat, kompensasi, pemutusan hubungan kerja dan sebagainya. Dengan digunakannya penilaian kinerja ini sebagai bahan pertimbangan hal-hal tesebut akan memotivasi pegawai untuk selalu meningkatkan kinerjanya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula kinerja organisasi. Melihat betapa pentingnya hasil penilaian kinerja ini baik terhadap organisasi maupun pegawai, maka pelaksanaannya perlu diupayakan seobyektif mungkin, dengan menghindari faktor suka dan tidak suka dari penilai. Menurut Henry Simamora (1999), maksud ditetapkan tujuan kinerja adalah untuk menyusun sasaran yang berguna tidak hanya evaluasi kinerja pada akhir periode, tetapi juga untuk mengelola proses kerja selama periode tesebut. Terdapat 3 (tiga) alasan yang berkaitan mengapa penentuan sasaran mempengaruhi kinerja : 1. Mengarahkan karyawan untuk memfokuskan kegiatan-kegiatan kearah tertentu (sasaran) dari pada lainnya. 2. Karyawan akan dapat mengarahkan kemampuannya secara proporsional terhadap kualitas dalam pencapaian sasaran.
Universitas Sumatera Utara
3. Sasaran yang sukar akan membuahkan suatu kekuatan. Dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja sebuah organisasi itu sangat penting baik yang proses maupun hasil,
baik
para
karyawan
maupun
organisasi,
khususnya
organisasi
publik/pemerintah guna mengetahui apakah kinerja yang dilakukan karyawan itu sudah memenuhi harapan atau sebaliknya. Dengan penilaian tersebut dapat diketahui pengukuran kinerja, menurut Gibson et.al (1995) dapat dilakukan berdasarkan waktu: 1) Waktu jangka pendek; a. Produksi, b. Mutu (kualitas) c. Efisiensi dan fleksibilitas 2) Waktu jangka menengah; a. Persaingan, b. Pengembangan 3) Waktu jangka panjang adalah merupakan kelangsungan hidup suatu organisasi. Menurut Robbins (1996:20) hakekat penilaian terhadap individu merupakan hasil kerja yang diharapkan berupa sesuatu yang optimal. Penilaian pekerjaan yang mencukup: kerja sama, kepemimpinan, kualitas pekerjaan, kemampuan teknik, inisiatif, semangat, kehandalan/tanggung jawab, kuantitas pekerjaan.
2.2.
Budaya Organisasi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring
Universitas Sumatera Utara
dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli : a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan polapola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi. c. Menurut Robbins (1996), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu. d. Menurut Schein (1992), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi. e. Menurut Cushway dan Lodge (2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya
Universitas Sumatera Utara
organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi. 2.2.1. Fungsi Budaya Organisasi Menurut
Robbins
(1996),
fungsi
budaya
organisasi
sebagai
berikut
:
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggoa organisasi. c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari pada kepentingan diri individual seseorang. d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan. e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
2.3.
Komitmen Organisasi
Mowday, Porter, dan Steers (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's identification with and involvement in aparticular organization. Definisi menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiiki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. Komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Mowday dkk ini bercirikan adanya: (1) belief yang kuat serta penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi; (2) kesiapan
Universitas Sumatera Utara
untuk bekerja keras; serta (3) keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Komitmen ini tergolong komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauhmana individu merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Semakin besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.
Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya. Menurut Greenberg dan Baron (1993), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga lebih menguntungkan bagi organisasi. Bagi individu dengan komitmen organisasi tinggi, pencapaian tujuan organisasi merupakan hal penting. Sebaliknya, bagi individu atau karyawan dengan komitmen organisasi rendah akan mempunyai perhatian yang rendah pada pencapaian tujuan organisasi, dan condong berusaha memenuhi kepentingan pribadi. Komitmen organisasi yang kuat didalam diri individu akan menyebabkan individu berusaha keras mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tujuan dan kepentingan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural berhubungan pada keadilan prosedural yang digunakan untuk menentukan hasil-hasil yang terdistribusi yaitu seperti beban kerja, penghasilan dan yang lain (Leventhal, 1980). Keadilan prosedural berhubungan dengan persepsi bawahan akan suatu bentuk keadilan dari semua proses yang diterapkan oleh pihak atasan dalam perusahaan tersebut dan untuk mengevaluasi kinerja mereka. Mengkomunikasikan umpan balik kinerja dan menentukan apakah penghargaan yang mereka terima seperti promosi atau kenaikan jabatan dan peningkatan gaji (McFarlin & Sweeny, 1992). Keadilan prosedural yang bernilai tinggi atau rendah akan terjadi saat pihak bawahan merasakan bahwa prosedur dalam perusahaan dan proses yang terjadi dalam perusahaan adalah adil atau tidak adil. Menurut Lind dan Tyler (1998), Keadilan prosedural berhubungan dengan apakah pihak pegawai mempercayai bahwa prosedur dalam perusahaan dan hasil akhirnya adalah adil. Lind dan Tyler (1998) menjelaskan bahwa Keadilan prosedural dimulai dengan hipotesis yang menyatakan adanya kelompok reaksi psikologis atas suatu kepatuhan atau pelanggaran terhadap norma yang menjelaskan pola perlakuan tertentu atau dalam pola lokasi tertentu. Reaksi semacam ini sudah dikenal lama akan mendayagunakan pengaruhnya yang kuat terhadap kognisi individu dan perilakunya. Norma yang membentuk suatu dasar dari respon keadilan dapat dibagi menjadi dua kategori; salah satu kategori berhubungan dengan hasil akhir sosial (keadilan distributif) dan kategori satunya
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan proses sosial (keadilan prosedural), yaitu perilaku yang tepat dan perlakuan terhadap individu. Dalam hasil studinya mengenai keadilan prosedural, Thibaut dan Walker (1975) membantah bahwa prosedur yang berbeda akan dipandang secara berbeda pula oleh individu yang berbeda dibawah kondisi lingkungan yang berbeda pula. Sehingga mereka menjelaskan bahwa prosedur yang berbeda dibutuhkan untuk menempatkan berbagai jenis permasalahan yang berbeda yang berpotensi muncul. Karena studi ini berdasarkan pada sistem keadilan hukum untuk meredakan suatu
permasalahan
atau
pertikaian
hukum,
mereka
menganggap
dan
mempertimbangkan lingkungan individu menjadi nilai penting. Menurut mereka, untuk mengatasi suatu pertikaian atau permasalahan akan kepentingan pribadi dan distribusi hasil akhir, maka prosedur bernilai tinggi dalam pengendalian proses atas sebuah konflik sebaiknya digunakan. Karena prosedur ini meskipun mengalami bias dalam pengumpulan informasi, namun menjamin dan memastikan pertimbangan disertakannya lingkungan individu yang diperlukan untuk memaksimalkan suatu keadilan’ (Thibaut dan Walker, 1975). Karenanya, keberadaan pengendalian konflik (yang berlawanan dengan pihak ketiga) memiliki proses untuk membantu mencapai sebuah keputusan (pengendalian proses) dianggap berguna dalam menilai suatu keadilan. Dengan kata lain, keadilan prosedural dipengaruhi oleh keberadaan konflik yang dibiarkan terjadi untuk memberikan solusi atau pemecahan terhadap suatu konflik legal atau konflik hukum.
Universitas Sumatera Utara
Selain pengendalian terhadap proses seperti diidentifikasi oleh Thibaut dan Walker (1975), untuk menilai suatu keadilan prosedural, maka Leventhal (1980) mengidentifikasi empat kriteria lebih lanjut yang dapat mempengaruhi persepsi akan sebuah keadilan. Kriteria tersebut adalah: (i) Keadilan atau kesesuaian, yang artinya adalah prosedur yang ada harus diterapkan secara keadilan antar individu dan terjadi sepanjang waktu; (ii) penekanan terhadap bias, yang artinya adalah pengambil keputusan tidak boleh memiliki kepentingan pribadi; (iii) akurasi informasi yang menjadi dasar suatu keputusan; dan (iv) kesepakatan terhadap standar etika personal dan moralitas. Empat kriteria tambahan ini, menjadi dasar sebuah keadilan prosedural, menjelaskan bahwa partisipasi dalam proses tunggal tidak akan mencukupi untuk meyakinkan persepsi pihak bawahan akan keadilan sebuah prosedur dalam perusahaan. Misalkan, pihak bawahan yang diijinkan untuk berpartisipasi dalam permasalahan perusahaan akan diterapkan secara tidak keadilan atau perusahaan kekurangan alat untuk mengumpulkan informasi yang akurat atau tidak memiliki spesifikasi utuk mengkoreksi keputusan yang salah. Studi dari Leventhal (1980) diakui untuk menjabarkan riset mengenai keadilan prosedural dengan latar belakang hukum menuju latar belakang organisasional. Hal ini akan membuka riset tentang keadilan prosedural terhadap pengaruh dari beragam faktor yang terjadi dengan latar belakang organisasional. Misalnya, riset lanjutan yang dipengaruhi oleh faktor tingkat keadilan dalam aplikasi atau penerapan sebuah prosedur (Greenberg, 1986). Leung dan Lind (1986) menyatakan bahwa budaya bangsa dari pegawai dapat mempengaruhi persepsi
Universitas Sumatera Utara
pegawai tersebut akan keadilan prosedural dalam perusahaan. Karena riset dengan latar belakang legal memiliki efek terhadap pemberian pendapat (dalam bentuk partisipasi), sehingga Lind dan Tyler (1988) menyimpulkan bahwa hal ini bukanlah studi lanjutan dari Leventhal dengan latar belakang organisasional, karena sebagian besar variasi atau keragaman individu tentang persepsi dan penilaian mereka tentang sebuah bentuk keadilan disebabkan adanya dua faktor: yaitu pendapat mereka dan hasil akhir tentang prosedur yang memberikan kontribusi untuk menilai suatu keadilan. 2.4.1.
Teori Keadilan Teori keadilan pertama kali dipopulerkan oleh J Stacy Adam tahun 1963.
teori ini menganggap bahwa individu membandingkan masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan atau keluaran orang lain untuk menghapuskan setiap ketidakadilan.(Ikhsan A dan Iskhak M, 2005). Peran Keadilan selama anggaran telah difokuskan pada penelitian akuntansi perilaku, seperti penelitian Lindquist (1995) yang menemukan bahwa suatu organisasi cenderung ingin mempertahankan keadilan dalam proses anggaran Keadilan telah dinyatakan sebagai cara untuk memecahkan konflik, menyeleksi pegawai, menyelesaikan perselisihan tenaga kerja, negoisasi gaji (Greenberg, 1986). Pendekatan yang dilakukan dengan cara yang berbeda terhadap keadilan akan sangat berguna untuk menjelaskan bermacam perilaku dalam konteks organisasi pada saat ini. Berdasarkan teori keadilan, bila karyawan mempersepsikan suatu ketidakadilan mereka dapat meramalkan untuk mengambil salah satu dari enam
Universitas Sumatera Utara
pilihan yaitu: mengubah masukan, mengubah keluaran, mendistorsikan persepsi mengenai diri, mendistorsi persepsi mengenai orang lain, memilih acuan yang berlainan dan meninggalkan (Robbin PS, 2003). Teori tentang keadilan mengindikasikan bahwa ada dua bentuk keadilan: (i) keadilaan distributif, yang memfokuskan pada respon yang berorientasi pada keadilan terhadap hasil akhir dan (ii) keadilan prosedural, yang memfokuskan pada respon yang berorientasi pada keadilan aturan dan prosedur dalam perusahaan. Dalam tinjauan pustaka literatur tentang keadilan, Lind dan Tyler (1998) menyimpulkan bahwa keadilan prosedural menjadi penyebab utama keadilan distributif. Dengan adanya studi berlatar belakang legal, mereka menemukan bahwa gambaran yang tampaknya muncul adalah individu yang merasa cemas dengan proses interaksi hukum dan tidak terlalu mencemaskan dengan adanya hasil akhir dari interaksi yang diduga oleh seorang individu. Mereka menyimpulkan bahwa beberapa dari contoh persuasif yang paling alamiah dari sebuah nilai proses adalah situasi dimana seorang individu menerima hasil akhir yang mereka inginkan, tetapi bagaimanapun juga kurang memuaskan. Ketidakpuasan semacam ini susah untuk dipahami dan jika ini diasumsikan bahwa seseorang individu merasa cemas tentang hasil akhir yang akan mereka terima, tetapi lebih mudah dijelaskan jika hal ini diasumsikan bahwa seseorang merasa cemas akan proses dalam perusahaan. Penjelasan diatas menyatakan bahwa keadilan prosedural sangat penting dan bahkan lebih penting dari keadilan distributif.
Universitas Sumatera Utara
Dengan mempertimbangkan nilai dari keadilan prosedural, maka ada kecenderungan bahwa perusahaan yang terikat dengan nilai dari pemeliharaan suatu keadilan, akan bertindak untuk memastikan bahwa keadiaan prosedural yang ada bernilai tinggi. Selain itu, juga banyak terdapat bukti riset tentang keadilan prosedural yang mengindikasikan bahwa penerapan atau implementasi dari prosedur yang dianggap tidak adil cenderung merugikan kepentingan perusahaan. Bukti ini menjelaskan bahwa implementasi akan prosedur yang adil mengarah pada terpenuhinya atau dipatuhinya aturan dan keputusan yang berhubungan dengan prosedur. Sebaliknya, kurang dipatuhinya suatu prosedur dianggap tidak adil. Berdasarkan tinjauan pustaka mengenai riset keadilan prosedural maka Lind dan Tyler (1998) menyimpulkan bahwa riset tentang keadilan prosedural mengacu pada bahaya praktis penggunaan prosedur palsu. Riset tentang kepatuhan dan keadilan prosedural memberikan hasil yang memuaskan bahwa suatu prosedur yang dianggap palsu dan tidak hanya akan menyebabkan ketidakpatuhan, tetapi juga kepatuhan dengan tingkatan rendah. Dengan mempertimbangkan nilai dari keadilan prosedural, mereka menjelaskan bahwa Prosedur yang adil adalah aspek kritis dalam kualitas kehidupan kerja dan memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap hubungan antara perusahaan dan pegawai., perusahaan yang mengabaikan kecemasan akan keadilan prosedural berhadapan dengan resiko yang membahayakan yaitu munculnya perilaku organisasional yang negatif ketidakpuasan dengan hasil akhir perusahaan dan tidak
Universitas Sumatera Utara
dipatuhinya sebuah keputusan yang telah dicapai, dengan aturan dan prosedur dan menyebabkan penurunan kinerja (Lind dan Tyler, 1998).
2.5.
Konflik Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1996). 2.4.1.
Faktor penyebab konflik
1.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda
Universitas Sumatera Utara
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompok. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 3.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan
Universitas Sumatera Utara
yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. 4.
Perubahan-perubahan masyarakat
nilai
yang
cepat
dan
mendadak
dalam
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilainilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu 1. Subroto (2008)
Universitas Sumatera Utara
“Analisis Kinerja Pegawai Kantor Pertanahan Kota Semarang”. Variabel dependen kinerja pegawai. Sedangkan variabel independennya kemampuan kerja, motivasi kerja dan fasilitas kerja Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan positif dan signifikan antara kemampuan, motivasi dan fasilitas kerja dengan kinerja pegawai dan secara bersama-sama mempengaruhi kinerja pegawai. 2. Said (2008)
“Analisis Kinerja Pegawai pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Semarang”. Variabel dependen adalah kinerja pegawai. Sedangkan variabel independennya adalah produktivitas pegawai dan kemampuan pegawai. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Ada pengaruh yang signifikan antara produktivitas pegawai dan kemampuan pegawai secara simultan terhadap kinerja pegawai di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Semarang. 3. Mudjiati (2008) “Studi Pengaruh Penggunaan Sistem Informasi terhadap Kinerja Karyawan Fakultas Ekonomi”. Variabel dependen adalah kinerja karyawan. Sedangkan variabel independennya adalah penggunaan sistem informasi. Kesimpulannya adalah adanya sistem informasi di Fakultas Ekonomi jelas sangat mempengaruhi kinerja karyawan. 4. M. Rangga Yuzar (2005) “Implementasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia dan Budaya Organisasi Dampaknya terhadap Kinerja Karyawan CV. Bi-ensi Fesyenindo Bandung”. Variabel dependen adalah Kinerja Karyawan, sedangkan variabel independennya adalah SDM dan Budaya Organisasi. Kesimpulannya adalah secara
Universitas Sumatera Utara
simultan SDM dan Budaya Organisasi berpengaruh secara simultan terhadap Kinerja Karyawan. Dan secara parsial SDM berpengaruh terhadap Kinerja karyawan di CV. Bi-ensi Fesyenindo Bandu. 5. Kunto Wibisono (2003) “Manajemen Konflik sebagai Variabel pemoderasi Hubungan antara Relationship Conflict dengan Kreatifitas dan Kepuasan Anggota Tim”. Variabel dependen adalah Kepuasan Anggota Tim. Variabel independen adalah Relation Conflict dengan Kreatifitas dan Variabel Moderatingnya Manajemen Konflik”. Kesimpulannya manajemen konflik tidak memberikan efek moderasi positif pada hubungan antara relationship conflict dengan kepuasan anggota terhadap tim. 6. Fitri Nugraheni dan Ratna Yulia Wijayanti (2009) “Pengaruh keadilan distributif dan keadilan prosedural terhadap kinerja : studi kasus pada akademisi universitas muria kudus”. Variabel dependen adalah Keadilan distributif dan keadilan prosedural variabel dependennya adalah Kinerja dosen. Kesimpulannya keadilan distributif dan keadilan prosedural berpengaruh secara bersama-sama terhadap kinerja dosen; (2) variabel keadilan distributif lebih berpengaruh terhadap kinerja dibanding variabel prosedural.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu
No 1
Nama Peneliti (Tahun)
Judul Penelitian
Variabel yang Digunakan
Hasil Penelitian
Titien Indarwati Subroto
“Analisis Kinerja Pegawai Kantor Pertahanan Kota Semarang”.
Variabel dependen kinerja pegawai, variabel independen kemampuan kerja, motivasi kerja, fasilitas kerja.
Ada hubungan positif dan signifikan antara kemampuan kerja, motivasi kerja dan fasilitas kerja dengan kinerja pegawai dan secara bersama-sama mempengaruhi kinerja pegawai.
“Analisis Kinerja Pegawai pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Semarag”.
Variabel dependen kinerja Pegawai, variabel independen adalah produktivitas pegawai dan kemampuan pegawai.
Johanna Mudjiati (2008)
“Studi Pengaruh Pengguna Sistem Informasi terhadap Kinerja Karyawan Fakultas Ekonomi”.
Variable dependen kinerja Karyawan Variable independen Pengguna Sistem Informasi
Adanya sistem informasi di Fakultas Ekonomi jelas sangat mempengaruhi kinerja karyawan.
M. Rangga Yuzar (2005)
“Implementasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia dan Budaya Organisasi Dampaknya terhadap Kinerja Karyawan CV. Biensi Fesyenindo Bandung”. “Manajemen konflik sebagai variabel pemoderasi hubungan antara relationship conflict dengan kreatifitas dan kepuasan
Variabel dependen kinerja karyawan variabel independen SDM dan Budaya organisasi
Adanya pengaruh signifikan simultan SDM dan Budaya organisasi terhadap kinerja karyawan dan SDM berpengaruh secara parsial terhadap kinerja karyawan
Variabel independen relationship conflict, kreatifitas, kepuasan Anggota Tim”. Variabel moderating
manajemen konflik tidak memberikan efek moderasi positif pada hubungan antara relationship conflict
(2008)
2
Moh. Dachirin Said (2008)
3
Ada pengaruh yang signifikan antara produktivitas pegawai dan kemampuan pegawai secara simultan terhadap kinerja pegawai
4
Kunto Wibisono (2003)
Universitas Sumatera Utara
Fitri dan Ratna 5
(2009)
Anggota Tim”
Manajemen konflik
Pengaruh keadilan distributif dan keadilan prosedural terhadap kinerja : studi kasus pada akademisi universitas muria kudus
Variabel dependen adalah Keadilan distributif dan keadilan prosedural variabel dependennya adalah Kinerja dosen.
dengan anggota tim.
kepuasan terhadap
keadilan distributif dan keadilan prosedural berpengaruh secara bersama-sama terhadap kinerja dosen; (2) variabel keadilan distributif lebih berpengaruh terhadap kinerja dibanding variabel prosedural.
Universitas Sumatera Utara