BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya; Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) menyebut harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi pembanding. Sedangkan Harper (2002) memberikan pengertian tentang harga diri adalah penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu. Shahizan (2003) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Gecas dan Rosenberg (dalam Hurlock, 2007) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi positif yang menyeluruh tentang dirinya. Berdasarkan uraian di atas, harga diri adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif yang dipengaruhi oleh hasil interaksinya dengan orang-orang yang penting dilingkungannya
6
7 serta dari sikap, penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap dirinya.
2.1.2 Aspek-Aspek Self-Esteem Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem, menurut Brown (dalam Santrock, 2003) terdapat 3 aspek, yakni : 1. Global self-esteem merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi 2.
Self-evaluation
merupakan
bagaimana
cara
seseorang
dalam
mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya ada seseorang yang kurang yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem sosial yang tinggi. 3.
Emotion adalah keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau menurunkan self-esteem mereka. Misalnya, seseorang memiliki self-esteem yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self-esteem yang rendah setelah mengalami perceraian.
8 2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem Monks (2004) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi self-esteem seseorang. Keempat faktor tersebut yaitu:
A. Lingkungan keluarga Lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis di dapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi. B. Lingkungan sosial Lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi bagi pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri. Sebaliknya pengalaman, keberhasilan, persahabatan, dan kemasyuran akan meningkatkan harga diri. C. Faktor psikologis Penerimaan diri akan mengarahkan individu mampu menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa. D. Jenis kelamin Perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam pola pikir, cara berpikir, dan bertindak antara laki-laki dan perempuan.
9 2.1.4 Kondisi Yang Mempengaruhi Self-Esteem Hurlock (2007) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi self-esteem seseorang, yaitu : 1. Teman
sebaya,
mereka
mempengaruhi
pola
kepribadian
seseorang dengan dua cara. Antara lain, konsep diri merupakan cerminan
tentang lingkungan
sosial terhadap diri.
Kedua,
terkadang seseorang memilih berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri kepribadian agar diakui oleh lingkungan sosial atau kelompok. 2. Cita-cita, bila seseorang memiliki keinginan yang tidak realistik akan
rentan
mengalami
kegagalan.
Dalam
hal
ini
akan
menimbulkan keadaan tidak mampu dan reaksi bertahan, dimana orang tersebut akan cenderung menyalahkan orang lain atas kegagalannya.
2.2
Konformitas 2.2.1 Pengertian Konformitas Terdapat beberapa definisi konformitas yang dikemukakan oleh para ahli, berikut diantaranya, menurut Muzafer (dalam Wade, 2001) menyebutkan “conformity can be defined as adjusting one’s behavior or think to match those of other people or a group standart”. Sementara Middlebrook (dalam Sarwono, 2005) mendefinisikan konformitas dengan “the pressure to modify what you say and do to make it correspond with
10 the other say and do.” Selanjutnya pengertian konformitas menurut Caldini, dkk (dalam Robbins, 2008) adalah “conformity is the tendency to change one’s belief or behaviors to match the behavior of others.” Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat bahwa konformitas merupakan penyesuaian atau perubahan perilaku dan pikiran yang dilakukan oleh seseorang individu agar sesuai dengan standar orang lain, sebagai hasil dari tekanan kelompok yang nyata atau yang dibayangkan. 2.2.2
Alasan Melakukan Konformitas Ada
beberapa
alasan
mengapa
seseorang
melakukan
konformitas, salah satunya adalah keinginan atau kebutuhan untuk mencocokan diri dengan orang lain agar dapat diterima dalam suatu lingkungan sosial (Sherif, dalam Robbins, 2008). Menurut Martin dan Hewstone (dalam Sarwono, 2005) ada dua alasan mengapa seseorang melakukan konformitas, yaitu untuk merasa benar dan untuk disukai. 2.2.3
Faktor Yang Mempengaruhi Konformitas
Menurut Baron dan Byrne (2008) konformitas dipengaruhi oleh : A. Kohesivitas Kohesivitas didefinisikan sebagai derajat ketertarikan individu terhadap kelompok. Semakin besar kohesivitas, maka akan semakin tinggi keinginan individu untuk konform terhadap kelompok. B. Ukuran Kelompok Jumlah anggota kelompok yang semakin besar akan mempengaruhi tinggi rendahnya konformitas dalam kelompok tersebut.
11
C. Jenis norma sosial yang berlaku pada situasi tertentu Norma sosial yang berlaku dapat berupa norma deskriptif atau norma injungtif. Norma deskriptif yaitu norma yang hanya mengindikasikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma injungtif yaitu norma yang menetapkan tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima pada situasi tertentu.
2.3
Hubungan Self-Esteem Dengan Konformitas Penelitian terdahulu mengasumsikan bahwa terdapat hubungan sebab dan akibat antara self-esteem dengan konformitas. Menurut penelitian Harris, dkk (dalam Robins Goodwin, dkk. 2004) menyatakan bahwa
peran
seeorang
dalam
keanggotaan
suatu
kelompok
memberikan pengaruh terhadap perkembangan self-esteem orang tersebut. Hal itu karena perilaku berkelompok yang terkait dengan sikap atau attitude yang diambil individu di dalam kelompok akan menentukan apa yang dilakukannya selama interaksi sosial berlangsung Robbins (2008). Perilaku individu didalam kelompok merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar total jumlah dari setiap tindakan dengan cara mereka sendiri-sendiri. Sarwono (2005) mengatakan bahwa jika berada dalam kelompok, seseorang cenderung akan bertindak berbeda ketika saat berada seorang diri. Kelompok didefinisikan
sebagai dua atau lebih individu yang
saling berinteraksi dan bergantung satu dengan yang lain yang bersama-sama ingin mencapai tujuan tertentu Robbins (2008). Dalam hal ini kelompok dapat terbentuk secara formal atau informal. Kelompok
12 formal lebih ditekankan pada adanya suatu penugasan pekerjaan yang membentuk kelompok tugas, dan kelompok kerja. Robbins (2008) juga menambahkan bahwa dalam kelompok formal, perilaku yang harus ditunjukan seseorang harus ditentukan dan diarahkan untuk tujuan kelompok. 2.4 Alasan Bergabung Dalam Kelompok Alasan seseorang bergabung dalam suatu kelompok diungkapkan oleh Baron dan Byrne (2008) adalah sebagai berikut : 1. Keamanan Dengan bergabung dalam suatu kelompok, seseorang dapat mengurangi rasa ketidaknyamanan untuk “berdiri sendiri”. Orang tersebut akan merasa lebih kuat, memiliki lebih sedikit keragu-raguan pada diri sendiri, dan menjadi lebih resisten terhadap ancaman ketika mereka berada dalam suatu kelompok. 2. Status Masuknya kedalam suatu kelompok bagi sebagian orang dirasa sangat penting, karena kelompok memberikan pengakuan dan status bagi anggotanya. 3. Harga Diri Kelompok dapat memberikan perasaan akan berharganya seseorang, disamping memberikan status pada meraka yang berada didalam kelompok tersebut. Keanggotaan juga memberi tambahan perasaan berharga sebagai anggota dari kelompok itu sendiri.
13
4. Afiliasi interaksi regular yang berasal dari keanggotaannya dalam kelompok. Bagi banyak orang interaksi “on the job” merupakan sumber utama bagi mereka untuk memenuhi kebutuhannya akan keanggotaan (afiliasi) 2.5 Konsep Dasar Kelompok Terbentuknya kelompok tidak sekedar adanya gerombolan orang banyak, namun juga memiliki suatu struktur yang membentuk perilaku dari masing-masing anggotanya. Baron dan Byrne (2005) juga mengungkapkan adanya beberapa konsep yang membentuk suatu kelompok, yaitu : 1. Peran Menunjukan serangkaian pola perilaku yang diharapkan, sehubungan dengan posisi yang diberikan dalam suatu unit sosial. Pemahaman tentang perilaku peran dapat disederhanakan secara dramatis, jika masing-masing memilih suatu peran dan memainkannya secara regular dan konsisten. Sayangnya dalam suatu kelompok, kita diminta untuk memainkan beragam peran, baik didalam maupun diluar pekerjaan. 2. Norma Norma adalah standar perilaku yang diterima dalam suatu kelompok yang kemudian akan dirasa secara bersama-sama dengan anggota kelompok yang lain. Baron (2005) juga menambahkan bahwa hal yang perlu diingat dalam norma adalah kelompok cenderung menggunakan tekanan terhadap anggotanya untuk menuntun perilaku anggota tersebut agar
14 dapat
sesuai
dengan
standar
kelompok.
Sarwono
(2005)
juga
mengungkapkan bahwa analogi mengenai peran norma dalam kelompok sama seperti teori Asch, yang menjelaskan bahwa kelompok memberikan tekanan yang sangat kuat dalam merubah sikap dan perilaku anggota individu agar menyesuaikan diri dengan standar kelompok. 3. Kohesivitas atau Kekompakan Adalah sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Baron dan Byrne (2005) mengungkapkan ada beberapa cara yang sering dilakukan oleh orang-orang didalam kelompok dalam mengaplikasikan kohesivitas, yaitu dengan menghabiskan banyak waktu bersama, menyediakan sarana interaksi intensif serta berpengalaman menghadapi ancaman dari luar. Dengan kata lain, kohesivitas dilakukan oleh kelompok, dilakukan dengan tujuan agar membuat anggotanya menjadi lebih dekat satu sama lain. 4. Ukuran Ukuran kelompok mempengaruhi perilaku kelompok secara keseluruhan, suatu stereotip yang umum mengenai kelompok adalah adanya rasa memiliki semangat tim (team spirit) yang memacu usaha individu dan meningkatkan produktivitas kelompok secara keseluruhan Baron dan Byrne (2005) 5. Komposisi Kebanyakan aktivitas kelompok memerlukan berbagai kemampuan dan pengetahuan. Dengan kata lain bahwa kelompok heterogen yang terdiri
15 dari individu tidak sama atau beragam, mungkin akan memiliki kemampuan dan informasi beragam dan akan efektif jika dibandingkan dengan kelompok homogen. Perbedaan individu heterogen adalah sebagai berikut, jenis kelamin, kepribadian, pendapatan, kemampuan, keterampilan dan perspektif. 6. Status Merupakan faktor penting dalam memahami perilaku. Karena status merupakan motivator yang berpengaruh dan memiliki konsekuensi. Status merupakan perbedaan peningkatan gengsi, posisi, atau peringkat dalam kelompok yang ditentukan secara formal dalam suatu kelompok. 2.6
Kerangka Berfikir dan Hipotesis
Mahasiswa
Self Esteem
Konformitas
Organisasi
Gambar 2.1. Pola Kerangka Berfikir
16
2.6.1
Penjelasan Deskriptif Kerangka Berfikir Mahasiswa yang kemudian disebut sebagai sampel dalam
penelitian akan menjadi fokus tujuan peneliti untuk mencaritahu mengenai kecenderungannya dalam berperilaku tampak (overt) saat memilih suatu kelompok organisasi kemahasiswaan. Dari pelaku yang tampak tersebut kemudian peneliti akan menghubungkannya dengan dua variabel bebas dan terikat yaitu (IV = konformitas) dengan (DV = self-esteem), dari hasil penelitian tersebut maka penelitian akan mencaritahu mengenai hubungan mana yang paling signifikan berpengaruh terhadap kecenderungan sampel (mahasiswa) saat bergabung ke dalam suatu organisasi. 2.6.2
Hipotesa Penelitian Dengan demikian hipotesis yang akan ditarik oleh peneliti adalah
Ho : tidak ada hubungan antara self-esteem dengan konformitas dalam hal mengikuti suatu organisasi mahasiswa Ha : terdapat hubungan antara self-esteem dengan konformitas dalam mengikuti suatu organisasi mahasiswa