BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstruksi Sosial Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmanmelalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise inthe Sociological
of
Knowledge
(1966).
Ia
menggambarkan
proses
sosial
melaluitindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerussuatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosialdengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas diartikansebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagaimemiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata(real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger
dan
Luckman
(Bungin,
2008:15)
mengatakan
terjadi
dialektikaantara indivdu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.Proses
dialektis
tersebut
mempunyai
tiga
tahapan;
Berger
menyebutnya sebagaimomen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahanatau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupunfisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan dirike tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita 23
mengerti sebagaiketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya,dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupunfisik dari
kegiatan
eksternalisasi
manusia
tersebut.
Hasil
itu
menghasilkan
realitasobjektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatufaktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris.
Hasildari
eksternalisasi
kebudayaan
itu
misalnya,
manusia
menciptakan alat demikemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baikalat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapandengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah
dihasilkan,
baik
benda
atau
bahasa
sebagai
produk
eksternalisasitersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusiasebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatussebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiaporang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Iamenjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga,
internalisasi.
Proses
internalisasi
lebih
merupakan
penyerapankembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifindividu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari duniayang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluarkesadarannya,
sekaligus
sebagai
24
gejala
internal
bagi
kesadaran.
Melaluiinternalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itutidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacamini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yangberbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
2.2 Konstruksi Sosial Media Massa Susbtansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun
1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah
fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
25
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Proses konstruksi sosial media massa melalui tahapan sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal yaitu kedudukan, harta, dan perempuan. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial yaitu : a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui, saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual berita demi kepentingan kapitalis. c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar. Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan pada kepentingan kapitalis menjadi sangat
26
dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan.
2. Tahap sebaran konstruksi Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda, namun prinsip utamanya adalah real time. Media cetak memiliki konsep real time terdiri dari beberapa konsep hari, minggu atau bulan, seperti terbitan harian, terbitan mingguan atau terbitan beberapa mingguan atau bulanan.Walaupun media cetak memiliki konsep real time yang sifatnya tertunda, namun konsep aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh berita tersebut. Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas a. Tahap pembentukan konstruksi realitas Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan telah sampai pada pembaca yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui
27
tiga tahap yang berlangsung secara generik.Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif. Tahap pertama adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian. Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa. Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila apabila ia belum membaca koran. b. Pembentukan konstruksi citra Pembentukan konstruksi citra
bangunan yang diinginkan oleh tahap
konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model : 1) model good news dan 2) model bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik.Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik
28
dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sementara, pada model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri.
4. Tahap konfirmasi Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberiargumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa, b) kedekatan dengan media massa adalah life style orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki kemampuan media,namun
mengkonstruksi kehadiran
realitas
media
media
massa
berdasarkan
dalam
kehidupan
subyektivitas seseorang
merupakansumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses.
2.3 Media Adalah Agen Konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media.Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran.Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke
29
penerima (khalayak).Media dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita.Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen melainkan hanya saluran.Media dilihat sebagai sarana yang netral.Kalau ada berita yang menyebutkan kelompok tertentu atau menggambarkan realitas dengan citra tertentu, gambaran semacam itu merupakan hasil dari sumber berita (komunikator) yang menggunakan media untuk mengemukakan pendapatnya.Pendeknya, media disini tidak berperan dalam membentuk realitas.Apa yang tampil dalam pemberitaan itulah yang sebenarnya terjadi. Ia hanya saluran untuk menggambarkan realitas,menggambarkan peristiwa. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihatsebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas.Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menujukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan.Media memilih realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil.Dalam peristiwa demonstrasi mahasiswa, bisa jadi (hanya) peristiwa bentrokan itu saja yang diberitakan, sementara peristiwa demonstrasi yang berlangsung damai, luput atau tidak mendapat tempat dalam pemberitaan.Media juga memilih (secara sadar atau tidak) aktor demonstrasi yang dijadikan sumber berita sehingga hanya sebagian saja dari
30
sumber berita yang tampil dalam pemberitaan.Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa.Lewat bahasa yang dipakai, media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan, dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.Lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai peristiwa demonstrasi dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu.
2.4 Masyarakat Pedesaan Masyarakat dan pedesaan atau desa, dua kata yang mempunyaarti tersendiri.Untuk mendapatkan pengertian dari dua kata iniharus diartikan terlebih dahulu kata perkata. Misalnya,Masyarakat diartikan golongan besar atau kecil yang terdiri daribeberapa manusia dengan atau karena sendirinya bertaliansecara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. 15Masyarakat dapat juga diartikan sebagai sekumpulan manusiayang saling berinteraksi. 16 Paul H. Landis seorang sarjana sosiologi perdesaan dari AmerikaSerikat, mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuattiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuananalisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yangpenduduknya kurang dari 2500 orang.Untuk tujuan analisa
sosial
psikologi,
desa
didefinisikan
sebagai
suatu
lingkungan
yangpenduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal diantara
15
Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,1993) hlm 47. 16 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hlm. 144.
31
sesama warganya.Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomi, desa di definisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknyatergantung kepada pertanian. 17 Pandangan tentang kedua kata diatas yaitu masyarakat pedesaan atau desa dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat dan sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat-istiadat dan sebagainya. Dengan kata lain masyarakat pedesaan identik dengan istilah gotong royong yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan kepentingan mereka. Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, biasanya tanpak dalam perilaku keseharian mereka.Pada situasi dan kondisi tertentu,
sebagian
karakteristik
dapat
digeneralisasikan
pada
kehidupan
masyarakat desa di daerah tertentu. Masyarakat desa juga ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang amat kuat dan pada hakekatnya bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
17
Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999),hlm. 30
32