BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diare Diare adalah buang air besar (defekasi) yang ditandai dengan feses yang konsistensinya berbentuk cair atau setengah cair, biasanya kandungan air pada feses lebih banyak dari biasanya yaitu biasanya lebih dari 200 g atau setara dengan 200 ml/jam. Definisi lain menyebutkan diare memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari tiga kali dalam sehari. Buang air besar encer tersebut dengan atau tanpa disertai lendir dan darah (Wilson. dkk, 2003). Diare akut, didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar (tiga kali atau lebih per hari atau setidaknya 200 g tinja per hari) yang berlangsung kurang dari 14 hari, mungkin disertai mual, muntah, kram perut, gejala sistemik yang signifikan secara klinis, atau malnutrisi (Manatsathit, 2002) Diare kronis didefinisikan sebagai diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu. Prevalensi diare kronis adalah variabel tergantung pada populasi yang disurvei dan inkonsistensi dalam definisi diare kronis. Namun, jika berdasarkan kriteria frekuensi buang air berlebihan (> 3 kali / hari) atau mencret (lebih dari 25% dari waktu), kecuali pasien diare dengan sakit perut prevalensi yang dilaporkan adalah 3%. Prevalensi diare kronis didasarkan pada peningkatan frekuensi buang air sendiri adalah sekitar 5%. (Navaneethan, 2011)
6
B. E. coli Escherichia coli merupakan anggota dari famili Enterobacteriaceae, berbentuk batang, bersifat Gram negatif dan dalam keadaan normal E. coli berada di usus, E. coli juga merupakan salah satu diantara bakteri anaerobik fakultatif. Famili Enterobacteriaceae adalah salah satu bakteri yang paling penting secara medis. Sejumlah genera dalam famili merupakan patogen pada usus manusia (misalnya Salmonella, Shigella, Yersinia). Beberapa jenis lain merupakan flora normal pada saluran pencernaan manusia (misalnya Escherichia, Enterobacter, Klebsiella), tetapi bakteri ini kadang-kadang dapat berhubungan dengan penyakit manusia (Todar, 2008). E. coli awalnya disebut “Bakteri coli komune”, pertama kali diisolasi dari tinja anak pada tahun 1885 oleh Theodor Escherich dan saat ini adalah bakteri seringkali dipelajari. E. coli merupakan bakteri normal saluran pencernaan manusia dan hewan. (de Sousa, 2006). Lebih dari 700 serotipe E. coli telah ditemukan. Pengklasifikasian serotipe pada E. coli berdasarkan antigen O, H, dan K. E. coli strain diarrheagenic (mikroorganisme
yang
menyebabkan
diare)
patogenik
diklasifikasikan
berdasarkan faktor-faktor virulensi khas yang hanya dimiliki bakteri tersebut. Oleh karena itu, analisis pertama untuk patogenik E. coli biasanya dibutuhkan sebelum pengujian untuk penanda virulensi (Todar, 2008). Strain-strain E. coli kebanyakan tidak menimbulkan dampak berbahaya, hanya saja strain seperti Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) dapat menimbulkan penyakit yang parah. EHEC dapat ditularkan dari manusia kemanusia terutama
melalui makanan yang terkontaminasi, seperti makanan yang tidak dimasak atau daging yang dimasak kurang matang. E. coli O157: H7 adalah serotipe EHEC yang paling penting dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat (WHO, 2011). Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh E. coli O157:H7 pada manusia antara lain hemorrhagic colitis (HC), hemolytic uremic syndrome (HUS), dan thrombotic thrombocytopenic purpura. memiliki gejala diare berdarah, kram perut, gagal ginjal, dan menyebabkan kematian mikroflora dalam usus. Jika terserang E. coli ini, kemungkinan terkena penyakit haemorrhagic colitis adalah 38-61%
dengan
masa
penyembuhannya
antara
5
hingga
10
hari.
Bila haemorrhagic colitis dibiarkan, penyakit ini dapat berakibat fatal karena adanya komplikasi yang disebabkan oleh haemolytic uraemic syndrome yang dapat
menyebabkan
kerusakan
sel
darah
merah,
dan
gagal ginjal,
serta diare dengan feses yang mengeluarkan darah (pendarahan yang dapat berakibat fatal, bahkan menyebabkan kematian, khususnya pada anak-anak). Sedangkan Thrombotic trombocytopenic purpura dapat menyebabkan thrombocytopenia, anemia, demam, kerusakan pencernaan, dan kerusakan saraf. Escherichia coli memiliki adhesin yang dikenal dengan intimin untuk pelekatan pada sel epitelial yang disandikan oleh gen eae. E. coli O157:H7 juga memiliki antigen flagella yaitu H yang memiliki struktur yang panjang. Antigen H ini memiliki spesifitas serologi yang ditentukan dari epitopnya. E. coli O157:H7 ini juga mempunyai antigen somatik yaitu antigen O. Escherichia coli O157:H7 ini memiliki toksin yang disebut dengan shiga (vero) toksin. Toksin yang dihasilkan E. coli galur ini adalah toksin yang mirip dengan Shigella dysenteriae. Shiga-like
toxin E. coli (STEC) adalah patogen yang berada dalam pencernaan dan manusia yang
terserang
serotipe
STEC
ini,
disebut
juga
dengan
terserang
enterohemorrhagic E. coli (EHEC). Vaktor virulensi dari Shiga ada shiga toxin 1 dan shiga toxin 2, toksin shiga yang mirip dengan Shigella adalah shiga toxin 1 (Todar , 2009). Escerichia coli enterotoksik (ETEC) merupakan jenis E. coli penyebab utama diare di negara berkembang. Keunggulan utama dari strain bakteri ini adalah ekspresi dari salah satu atau lebih enterotoksin dan kehadiran fimbriae untuk dilekatkan pada sel inang usus. ETEC diantaranya juga menghasilkan eksotoksin thermolabil yang berada dibawah kontrol genetik dari plasmid. Eksotoksin thermolabil merupakan antigen yang dapat bereaksi silang dengan enterotoksin untuk merangsang produksi antibodi penetralisir Immunoglobulin dalam
serum
orang
yang
terinfeksi
sebelumnya
dengan
E.
coli
enterotoksigenik. Orang-orang yang berada di lokasi-lokasi yang memiliki sangat lazim strain ini cenderung memiliki antibodi terhadap strain dan kurang rentan terhadap penyajian dengan diare jika terjadi paparan ulang. Beberapa strain ETEC menghasilkan toksin lain yang disebut enterotoksin tahan panas yang diatur oleh kelompok heterogen plasmid, mengaktifkan guanylyl adenilat dalam jalur sinyal sel-sel epitel usus dan memicu sekresi cairan. Gejala infeksi ETEC termasuk diare tanpa demam. Bakteri menyerang saluran pencernaan dengan cara adhesi fimbrial, misalnya CFA I dan CFA II, dan noninvasif, sehingga menghasilkan eksotoksin thermolabil atau enterotoksin tahan panas secara baik (Tortora, 2012)
Enterophatogenic E. coli (EPEC) merupakan penyebab utama diare infantil di negara berkembang. Wabah EPEC sering dikaitkan dengan dengan konsumsi air minum yang teremar serta beberapa produk daging olahan. Infeksi strain EPEC mengakibatkan konsistensi feses yang cair dan kadang-kadang disertai dengan darah. Patogenesis EPEC melibatkan protein plasmid-encoded disebut sebagai EPEC Adherence factor (EAF) yang memungkinkan kepatuhan lokal dari bakteri ke sel-sel usus dan fimbrial adhesin yang merupakan protein membran luar yang menengahi tahap akhir Adherence. Mereka tidak menghasilkan eksotoksin thermolabil atau enterotoksin. Strain EPEC Adherence pada mukosa usus adalah proses yang sangat rumit dan menghasilkan efek dramatis dalam ultrastruktur dari sel-sel yang mengakibatkan penyusunan ulang aktin di sekitar bakteri Adherent (Todar, 2012).
C. Antibiotik Antibiotik yaitu obat yang dapat digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan suatu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada tubuh manusia (Kemenkes, 2011). Istilah antibiotik diciptakan oleh Selman Waksman yaitu seorang ahli mikrobiologi yang berasal dari Amerika, pada tahun 1942. Selman Waksman mengemukakan bahwa untuk menggambarkan setiap substansi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang sifatnya antagonis terhadap pertumbuhan mikroorganisme dalam pengenceran tinggi.
1.
Sifat-sifat antibiotik Menurut Jawetz tahun 2001, sifat antibiotik berdasarkan daya hancurnya
dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal dan antibiotik yang bersifat bakteriostatik. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri. Sifat ini berkerja membunuh bakteri target dan cenderung lebih efektif serta tidak perlu menggantungkan pada sistem imun manusia. Sangat baik digunakan pada pasien dengan penurunan sistem imun. Beberapa jenis yang termasuk baterisidal adalah β-laktam, aminoglikoside, dan kuinolon. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri. Bakteriostatik justru bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat memanfaatkan sistem imun inang, obat bakteriostatik yang khas adalah tetrasiklin, sulfonamid, dan klindamisin. 2.
Mekanisme kerja antibiotik (Jawetz, 2005) Terdapat empat macam mekanisme kerja antibiotik, yaitu menghambat
sintesa dinding sel, merusak sitoplsma sel, menghambat sintesa protein dan menghambat sintesa asam nukleat. Antibiotik Lapisan paling luar bakteri adalah dinding sel yang fungsinya adalah memberikan bentuk sel dan melindungi membran protoplasma yang berada dibawah dinding sel terhadap trauma. Trauma ini disebabkan oleh kerja dari adanya antibiotik, trauma pada dinding sel menyebabkan lisisnya sel bakteri,
sehingga zat-zat yang mampu merusak dinding sel bakteri akan menyebabkan bakteri mati atau terhambat pertumbuhannya. Membran sitoplasma bakteri berfungsi sebagai membran yang selektif permiabel dan sebagai pengontrol komposisi internal sel, sehingga bila membran sel rusak akan terjadi kematian sel. Sintesis protein terjadi karena adanya transkripsi DNA menjadi mRNA dan mRNA ditranslasi menjadi protein. Antibiotik yang mampu menghambat transkripsi dan translasi maka akan menghambat sintesa protein didalam ribosom. Beberapa antibiotik dapat merusak struktur dan fungsi DNA, struktur molekul DNA berperan dalam traskripsi dan translasi sehingga zat yang mengganggu struktur DNA akan mempengaruhi seluruh fase pertumbuhan bakteri
D. Antibiotik yang diujikan 1.
Tetrasiklin Menurut Kemenkes 2011 golongan ini tetrasiklin mempunyai spektrum
luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria. Mekanisme Tetrasiklin dalam menghambat pertumbuhan bakteri yaitu dengan cara menghambat sintesis protein. Tetracyclin memasuki mikroba melalui difusi pasif dan transport aktiv sehingga pada mikroba yang rentan terdapat penumpukan obat ini di dalam sel. Tetracycline kemudian terikat reversible ke
reseptor pada subunit 30S. Ribosom dalam posisi yang menghambat pengikatan aminoasil-tRNA ke tempat akseptor pada komplek mRNA ribosom (Bhat, 2008). Menurut CLSI tahun 2011 dikatakan bahwa tetrasiklin mempunyai diameter daya hambat untuk sensitif ≥15 mm, intermediate 12-14 mm dan resisten ≤11 mm.
2.
Kloramfenikol Kloramfenikol berasal dari isolasi Stretomyces venezuelae. Sifat kristal
Kloramfenikol sangat larut dalam alkohol dan sukar larut dalam air. Namun Chloramphenicol sucsinate sangat larut dalam air. Kloramfenikol mempunyai efek kuat penghambat sintetis protein mikroba. Obat ini bersifat bakteriostatik untuk kebanyakan bakteri, namun tidak efektif untuk klamidia. Mekanisme resistensi muncul dengan berkurangnya permeabilitas terhadap chloramphenicol dan munculnya senyawa
cholramphenicol
acetyltransferase
yang dapat
menginaktifasikan obat ini (Bhat, 2008). Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S. Efek samping dari pemberian obat ini yaitu supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam (Kemenkes, 2011). Menurut CLSI tahun 2011 dikatakan bahwa kloramfenikol mempunyai diameter daya hambat untuk sensitif ≥18 mm, intermediate 13-17 mm dan resisten ≤12 mm.
3.
Asam nalidiksat Nalidixic acid atau yang disebut dengan asam nalidiksat ditemukaan pada
tahun 1962 dan diperkenalkan untuk digunakan sebagai obat klinis pada tahun 1967. Asam nalidiksat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis asam nukleat. Asam nalidiksat merupakan golongan kuinolon yang merupakan kemontrapetika sintesis dengan spektrum antibakteri yang luas terutama untuk bakteri Gram negatif. Asam nalidiksat ini dilisensikan untuk pengobatan UTI (Urinary tract infection) yang disebabkan oleh mayoritas bakteri Gram negatif kecuali Pseudomonas aeroginosa. Bakteri Gram positif biasanya tahan terhadap kuinolon (Renau, 1996). Mekanisme dari asam nalidiksat yaitu menghambat replikasi DNA bakteri dengan cara mengganggu kerja DNA girase. Pengikatan kuinolon pada enzim dan DNA untuk membentuk suatu kompleks menghambat langkah penggabungan
kembali
dan
dapat
menyebabkan
kematian
sel
dengan
menimbulkan keretakan DNA (Scholar, 2002). Menurut CLSI tahun 2011 dikatakan bahwa asam nalidiksat mempunyai diameter daya hambat untuk sensitif ≥19 mm, intermediate 14-18 mm dan resisten ≤13 mm.
4.
Siproflosaksasin Siprofloksasin mempunyai spektrum antibakteri yang sangat luas.
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang paling banyak digunakan karena availabilitasnya yang baik dalam bentuk oral dan intravena. Siprofloksasin berguna dalam penggunaan infeksi Pseudomonas pada fibrosis
kistik. Kadar serum yang dicapai efektif terhadap banyak infeksi sistem. Siprofloksasin juga berguna mengobati infeksi-infeksi yang disebabkan oleh bermacam-macam enterobacteriaceae dan bakteri Gram negatif lainnya. Mekanisme kerja dari antibiotik ini memasuki sel dengan cara difusi pasif melalui porins pada membran luar bakteri. Secara intraselular, menghambat replikasi DNA bakteri dengan cara menganggu kerja DNA girase (Rosen, 2000). Menurut CLSI tahun 2011 dikatakan bahwa siprofloksasin mempunyai diameter daya hambat untuk sensitif ≥21mm, intermediate 16-20 mm dan resisten ≤15 mm.
5.
Gentamisin Gentamisin efektif terhadap bakteri Gram negatif maupun bakteri Gram
positif. Spektrum dari antibiotik ini menghambat strain dari Staphylococcus, coliform, dan bakteri Gram negatif lainnya. Kombinasi efektif yaitu dengan Kabenisilin
dapat
mengobati
pseudomonas,
enterobacter
dan
klebseila
(kemenkes, 2011). Mekanisme kerja dari gentamisin yaitu menghambat sintesis protein melalui kerja di ribosom, sehingga tidak berpengaruh pada sintesis protein di dalam jaringan manusia (Bhat, 2008). Menurut CLSI tahun 2011 dikatakan bahwa gentamisin mempunyai diameter daya hambat untuk sensitif ≥15 mm, intermediate 14-18 mm dan resisten ≤19 mm.
E. Mekanisme Resistensi Resistensi bakteri terhadap antibiotika pada dasarnya terjadi karena adanya mekanisme dari sel bakteri untuk merespon ancaman terhadap keberadaannya. Terdapat beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik menurut Jawetz tahun 2001, antara lain: 1.
Mengurangi permeabilitas, yaitu dengan mencegah antibiotik masuk kedalam sel, dapat dilakukan dengan mengubah struktur membran.
2.
Inaktivasi antibiotik, yaitu dengan memiliki enzim khusus yang akan memodifikasi antibiotik, sehingga antibiotik tidak berbahaya lagi bagi bakteri.
3.
Mengubah tempat antibiotik menempel (berikatan), yaitu dengan mengubah tempat dimana biasanya antibiotik akan membentuk ikatan kimia lalu merusak bakteri. Mengubah binding site ini, antibiotiktidak bisa menempel dan tidak memiliki efek pada bakteri.
4.
Mengubah jalur metabolisme, yaitu dengan mengganti atau tidak memakai lagi suatu bahan intermediate dalam reaksi metabolisme yang diganggu oleh antibiotik.
5.
Memompa (efflux), yaitu dengan mengembangkan protein pump khusus pada membrannya untuk memompa antibiotik keluar dari sel. Sifat resistensi bakteri terhadap obat antibiotika juga dapat terjadi resistensi kromosomal dan resistensi ekstra-kromosomal.
F. Kerangka Teori
Sifat dan Mekanisme Kerja antibiotik : 1) Sifat: - Bakterisidal - Bakteriostatik
Diare
Penyebab : - Bakteri - Virus - Protozoa
Bakteri E. coli
Mekanisme resistensi : - Mengurangi permeabilitas - Inaktivasi antibiotik - Mengubah binding site - Mengubah jalur metabolisme - Memompa (efflux)
2) Mekanisme kerja : - Menghambat sintesa dinding sel - Merusak sitoplasma - Menghambat sintesa protein - Menghambat sintesa asam nukleat.
Antibiotik yang diujikan: - Tetrasiklin - Kloramfenikol - Asam Nalidiksat - Gentamisin - siprofloksasin
Pola Resistensi