BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DIARE 1. Pengertian Diare Diare adalah buang air besar atau defekasi yang encer dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja (Mansjoer, 2000). 2. Etiologi atau Faktor penyebab Penyebab diare berkisar 70% sampai 90% sudah dapat diketahui dengan pasti, dimana Penyebab diare ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu (Suharyono, 2003): a. Penyebab tidak langsung Penyebab tidak langsung atau faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat terjadinya diare seperti: keadaan gizi, hygiene dan sanitasi, sosial budaya, kepadatan penduduk, sosial ekonomi dan faktor faktor lain. b. Penyebab langsung Termasuk dalam peyebab langsung antara lain infeksi bakteri virus dan parasit, malabsorbi, alergi, keracunan bahan kimia maupun keracunan oleh racun yang diproduksi oleh jasad renik, ikan, buah dan sayur-sayuran Di tinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi 2 golongan yaitu (Suharyono, 2003):
1). Diare sekresi a) Disebabkan oleh Infeksi dari golongan bakteri seperti Shigella, Salmonella,
E.coli,
Goongan
Vibrio,
Bacillus
Cereus,
Clostridium. Golongan virus seperti: protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia lamblia, cacing perut, Ascaris, Jamur. b) Hiperperistaltik usus halus yang berasal dari bahan-bahan makanan, kimia misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalu asam, gangguan psikis, gangguan syaraf, hawa dingin, alergi. c) Defisiensi imun yaitu kekurangan imun terutama IgA yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri atau flora usus dan jamur. 2) Diare osmotik yaitu malabsorbsi makanan, kekurangan kalori protein dan berat badan lahir rendah 3. Patogenesis Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah: (Ngastiyah, 1997). a. Gangguan osmotik yaitu yang disebabkan adanya makanan atau zat yang tidak diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare. b. Gangguan sekresi yang menyebabkan adanya rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus yang akan terjadi suatu
peningkatan
sekresi, yang selanjutnya menimbulkan diare karena
terdapat peningkatan isi rongga usus. c. Gangguan motilitas usus yaitu hiperistaltik yang mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan yang menimbulkan diare, sebaliknya bila peristaltik usus menurun mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang menimbulkan diare. 4. Gejala Klinis Awalnya seorang balita akan sering cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada nafsu makan, yang disertai dengan timbulnya diare. Keadaan kotoran (tinja) makin cair, kemungkinan mengandung darah atau lendir, yang berwarna menjadi kehijau-hijauan yang disebabkan karena bercampur dengan empedu anus dan sekitarnya menjadi lecet yang mengakibatkan tinja menjadi asam (Mansjoer, 2000). Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan sesudah diare, bila telah banyak kehilangan air dan elektrolit maka akan terjadi dehidrasi, berat badan menurun. Pada bayi disekitar ubun-ubun besar dan cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir menjadi kering (Mansjoer, 2000). 5. Cara Penularan Kuman penyebab diare ditularkan melalui fecal-oral antara lain melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja dan kontak langsung dengan tinja penderita (Depkes, 2000).
6. Pencegahan Diare Pencegahan diare dapat dilakukan dengan memberikan ASI, memperbaiki makanan pendamping ASI, mengunakan air bersih yang cukup, mencuci tangan sebelum makan, mengunakan jamban, membuang tinja anak pada tempat yang tepat (Depkes, 2000). 7. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Diare Pada Balita (Pudjiadi, 2005, Notoatmodjo, 2003) a. Karakteristik Ibu Balita 1) Umur Ibu Umur adalah usia ibu yang menjadi indikator dalam kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu yang mengacu pada setiap pengalamannya. Umur seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi perilaku, karena semakin lanjut umurnya, maka semakin lebih bertanggung jawab, lebih tertib, lebih bermoral, lebih berbakti dari usia muda (Notoatmodjo, 2002). Karakteristik pada ibu balita berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap cara penanganan dalam mencegah terjadinya diare pada balita, dimana semakin tua umur seorang ibu maka kesiapan dalam mencegah kejadian diare akan semakin baik dan dapat berjalan dengan baik. 2) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang
lebih tanggap adanya masalah kesehatan terutama kejadian diare didalam keluarganya dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Kodyat, 1996). Menurut analisa umum profil Jawa Tengah, untuk tingkat pendidikan ibu sebagian besar berpendidikan tamat atau belum tamat SD sekitar 78% serta pengaruh budaya masyarakat terutama kepercayaan dan kebiasaan turun temurun masih sangat dirasakan besar pengaruhnya terhadap daya tahan tubuh individu terhadap penyakit menular seperti diare (Depkes, 2000). Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, prevalensi diare berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan ibu, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin rendah prevalensi diarenya. Lamanya menderita diare pada balita yang ibunya berpendidikan rendah atau tidak sekolah adalah lebih panjang dibandingkan dengan anak dari ibu yang berpendidikan baik. Insiden diare lebih tinggi pada anak yang ibunya yang tidak pernah sekolah menengah (Julianti P, 1999). Tingkat rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengertian tentang cara pencegahan kejadian diare, kesadarannya terhadap bahaya dari adanya diare pada balita yang dilakuan bagi keluarga dan masyarakat. Tingkat pendidikan turut pula menentukan rendah tidaknya seseorang menyerap dan memakai pengetahuan tentang pencegahan diare. Tingkat pendidikan ibu balita yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan tentang
cara pencegahan terjadinya diare pada balita menjadi terhambat atau terbatas (Suhardjo, 1999). Pendidikan yang rendah, adat istiadat yang ketat serta nilai dan kepercayaan akan takhayul disamping tingkat penghasilan yang masih rendah, merupakan penghambat dalam pembangunan kesehatan. Pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, khususnya di kalangan ibu balita merupakan salah satu masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap cara penangganan diare, sehingga sikap hidup dan perilaku yang mendorong timbulnya kesadaran masyarakat masih rendah. Semakin tinggi pendidikan ibu maka mortalitas (angka kematian) dan morbidilitas (keadaan sakit) semakin menurun, hal ini tidak hanya akibat kesadaran ibu balita yang terbatas, tetapi karena kebutuhan status ekonominya yang belum tercukupi (Suhardjo, 1999). 3) Status Pekerjaan Ibu Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada anak balita. Pada pekerjaan ibu maupun keaktifan ibu dalam berorganisasi sosial berpengaruh pada kejadian diare pada balita. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi ibu balita apabila ingin berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan. Dengan pekerjaannya tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan diare. Terdapat 9,3% anak balita menderita diare pada ibu yang bekerja, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 12% (Irianto, 1996).
Pada ibu balita yang terkena diare biasanya kurang cepat tertanggani karena kesibukan dari pekerjaan ibu. Dimana penanganan balita yang terkena diare di karenakan ketiadaan waktu untuk memeriksakan ke tenaga kesehatan, hal ini terjadi karena waktunya kadang bersamaan dengan waktu kerja yang tidak bisa ditinggalkan yang akibatnya diare pada balitanya akan semakin kritis. Dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja biasanya akan cepat tertangani dengan penanganan sederhana seperti pemberian cairan oralit serta banyaknya waktu
untuk
mengontrol
keadaan
balitanya,
hal
ini
dapat
memperlambat diare pada balita. b. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga menentukan ketersediaan fasilitas kesehatan yang baik. Dimana semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik fasilitas dan cara hidup mereka yang terjaga akan semakin baik (Berg, 1986). Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan di suatu keluarga. Walaupun demikian ada hubungan yang erat antara pendapatan dan kejadian diare yang didorong adanya pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkatkan, maka perbaikan sarana atau fasilitas kesehatan serta masalah keluarga lainnya, yang berkaitan dengan kejadian diare, hampir berlaku terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan (Berg, 1986). Tingkatan pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup, dimana status ekonomi orang tua yang baik akan berpengaruh
pada fasilitasnya yang diberikan (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan dalam menjaga kebersihan dan penanganan yang selanjutnya berperan dalam prioritas penyediaan fasilitas kesehatan (misal membuat kamar kecil yang sehat) berdasarkan kemampuan ekonomi atau pendapatan pada suatu keluarga. Bagi mereka yang berpendapatan sangat rendah hanya dapat memenuhi kebutuhan berupa fasilitas kesehatan apa adanya, sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila tingkat pendapatan baik, maka fasilitas kesehatan mereka, khususnya di dalam rumahnya akan terjamin misalnya dalam penyediaan air bersih, penyediaan jamban sendiri, atau jika mempunyai ternak akan dibuatkan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu memenuhi fasilitas kesehatannya sesuai kebutuhannya (BPS, 2005). Pada ibu balita yang mempunyai pendapatan kurang akan lambat dalam penanganan diare misalnya karena ketiadaan biaya berobat ke petugas kesehatan yang akibatnya dapat terjadi diare yang lebih parah lagi. c. Tingkat Pengetahuan 1) Pengertian Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, dimana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Menurut Notoadmodjo (2003) pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (penglihatan) dan telinga (pendengaran) (Notoatmodjo, 2003). Menurut Padmonodewo (2000) menyatakan pengetahuan sebagai sesuatu yang diketahui oleh seseorang dengan jalan apapun dan sesuatu yang diketahui orang dari pengalaman yang didapat (Notoatmodjo, 2003). Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu yang benar. Untuk memenuhi rasa ingin tahu, manusia sejak zaman dahulu telah berusaha mengumpulkan pengetahuan. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain. 2) Tingkat Pengetahuan Pengetahuan (Kognitif) merupakan domain yang sangat penting untuk dibentuknya suatu tindakan seseorang. Menurut Notoadmodjo (2003), dimana tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif, meliputi :
a) Tahu (know) Pengetahuan (tahu yaitu mengingat kembali materi yang dipelajari sebelumnya. Termasuk didalam pengetahuan yang paling rendah dengan cara menyebutkan, mendefinisikan dan menyatukan sesuatu. Pengetahuan ibu balita tentang diare yang baik akan mempengaruhi ibu balita dalam memahami tentang bahaya dari diare bagi anaknya. b) Memahami (comprehension) Memahami yaitu sesuatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek untuk materi, harus dapat menjelaskan, contohnya ibu balita dapat memahami dan mengetahui cara penanganan diare yang benar. c) Aplikasi (application) Aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan penggunan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam kondisi yang lain, misalnya ibu balita dapat menggunakan cara pencegahan atau tindakan awal dalam mencegah terjadinya diare pada balita serta dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah dalam penanganan diare.
d) Analisis (analysis) Analisis yaitu kemampuan untuk materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi di dalam struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitanya dengan yang lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan dari kata-kata kerja yang dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, serta mengelompokkan tentang penanganan diare. e) Sintesis (synthesis) Sintesis yaitu kemampuan untuk menghubungkan bagianbagian dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, menyesuaikan. Dimana pada ibu yang memiliki balita yang diare maka dapat melakukan penanganan secara benar agar diare dapat berhenti. f) Evaluasi (evaluation) Evaluasi adalah kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria-kriteria yang telah ada. Pengaruh pengetahuan terhadap seseorang sangat penting sebab mempunyai cukup pengetahuan dan pendidikan yang tinggi
akan
lebih
memperhatikan
pertumbuhan
dan
perkembangan serta kesehatan setiap anggota keluarganya (Notoadmodjo, 2003). 3) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003), yaitu : a) Tingkat Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia akan mudah menerima dan menyesuaikan hal-hal yang baru. b) Informasi Seseorang yang mempunyai sumber informasi banyak akan memberikan pengetahuan yang lebih jelas. c) Kultur Budaya Budaya
sangat
berpengaruh
terhadap
tingkat
pengetahuan seseorang karena informasi yang baru akan disaring sesuai dengan budaya dan agama yang dianut. Pada ibu balita akan melakukan penanganan terjadinya diare sesuai dengan apa yang mereka lihat di lingkungannya. Biasanya mereka mengetahui penanganan diare secara sederhana sebagai penanganan pertama yaitu dengan mengunakan oralit. d) Pengalaman Pengalaman
disini
berkaitan
dengan
umur
dan
pendidikan, dimana pada remaja dengan umur yang bertambah dan pendidikan yang lebih baik akan memudahkan dalam
menyerap informasi yang diberikan serta bersikap lebih bijak. Pengalaman ibu balita dengan kejadian diare mempengaruhi dalam penanganan diare selanjutnya. 4) Pengukuran Tingkat Pengetahuan Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawacara atau kuesioner, untuk menyatakan tentang isi materi yang akan diukur dari responden. Pengetahuan yang ingin diketahui oleh peneliti dapat disesuaikan dengan tingkat responden yang ada (Notoadmodjo, 2003). 5) Cara Mencari Pengetahuan Ada berbagai macam cara untuk mencari atau menperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah yang di kelompokkan sebagai berikut: a) Cara tradisional Untuk
memperoleh
pengetahuan,
cara
kuno
atau
tradisional dipakai orang memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah untuk metode penemuan secara sistematik dan logis (Notoadmodjo, 2003). b) Cara coba-salah (trial and error) Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada seseorang yang menghadapi persoalan, maka upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja. Dimana metode ini telah
digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah. Bahkan sekarang ini metode coba-coba masih sering dipergunakan terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui cara memecahkan masalah (Notoadmodjo, 2003). c) Cara kekuasaan atau otoritas Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini biasanya diwariskan turuntemurun dari generasi berikutnya. Dimana pengetahuan, diperoleh berdasarkan otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, otoritas ilmu pengetahuan (Notoadmodjo, 2003). d) Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman adalah guru yang baik, demikian kata pepatah dengan maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengetahuan itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan
dengan benar maka diperlukan berpikir kritis dan logis (Notoadmodjo, 2003). e) Melalui jalan pikiran Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya.
Dengan
kata
lain
dalam
memperoleh
kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi dan deduksi (Notoadmodjo, 2003). f) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau metodologi penelitian. Cara ini mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasil pengamatannya tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan dan akhirnya diambil kesimpulan umum (Notoadmodjo, 2003). Tingkat pengetahuan ibu berkaitan erat dengan bagaimana seorang ibu balita yang mampu melakukan penanganan terhadap balita yang mengalami diare. Bagi ibu diharuskan memiliki pengetahuan tentang diare secara langsung yang berdampak pada terhindar dari terjadinya diare pada balita (Julianti, 1999).
Sebagian masyarakat masih ada yang beranggapan bahwa penyakit
diare
banyak
disebabkan
karena
bertambahnya
kepandaian anak, salah makan, masuk angin. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat yang disebabkan kurangnya mendapat informasi atau tidak mengetahui tentang penyebab terjadinya diare.
d) Perilaku Cuci Tangan Kebersihan diri pada ibu dan balita terutama dalam hal perilaku mencuci tangan setiap makan, merupakan sesuatu yang baik. Dimana sebagaian besar kuman infeksi diare ditularkan melalui jalur fecal oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalkan dari air minum dan makanan. Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan adalah bagian penting dalam penularan kuman diare, dengan mengubah kebiasaan tidak mencuci tangan menjadi mencuci tangan dapat memutuskan penularan. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan dan minuman, telah dibuktikan memiliki dampak dalam kejadian diare dan menjadi sasaran utama pendidikan tentang kebersihan. Penularan 14-48% terjadinya diare diharapkan sebagai hasil pendidikan tentang kesehatan dan perbaikan kebiasaan (Depkes, 2000).
e) Hygiene Sanitasi Hygiene
adalah
suatu
usaha
kesehatan
masyarakat
yang
mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjamin
pemeliharaan
kesehatan.
Termasuk
upaya
melindungi,
memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa sehingga berbagai faktor lingkungan yang menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan (Azwar, 1990). Pada ibu balita yang memiliki lingkungan yang tidak sehat misalnya sumber air yang tercemar dan menimbulkan dampak pada pencemaran air yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi atau mungkin
mempengaruhi
derajat
kesehatan
manusia,
lebih
mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat terhindari (Azwar, 1990). Sanitasi lingkungan berupa adanya jamban umum, MCK (Mandi, Cuci, Kakus), tempat sampah. Perilaku masyarakat khususnya ibu balita yang dalam pemanfaatannya kurang terpelihara sebagaimana mestinya. Hal ini berhubungan erat dengan pendidikan kesehatan pada ibu balita yang berdampak pada tingkat kesadaran atau pengetahuan dalam
menjaga sanitasi lingkungannya, yang selanjutnya menimbulkan tercapainya perilaku kesehatan yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari misalnya cara membuang sampah sembarangan, maka hal ini akan menimbulkan pencemaran pada sumber air, udara serta bau yang menyengat yang tidak sehat dan menggangu dalam segi kesehatan (Notoatmodjo, 2003). 1) Kualitas Sumber Air Bagi manusia air minum merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia yang menggunakan air untuk berbagai keperluan seperti mandi, mencuci, kakus, produksi pangan, papan dan sandang. Mengingat berbagai penyakit dapat dibawa oleh air kepada manusia pada saat memanfaatkannya, maka tujuan penyediaan air bersih atau air minum bagi masyarakat adalah mencegah penyakit bawaan air. Dengan
demikian
diharapkan
semakin
banyak
pengetahuan
masyarakat yang mengunakan air bersih, maka akan semakin turun morbiditas penyakit akibat bawaan air (Juli, 1994). Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang paling penting yang berkaitan dengan kejadian diare. Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumbersumber air ini dapat digambarkan sebagai berikut: air hujan, dimana air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Air sungai dan danau, kedua sumber air ini sering juga disebut air permukaan. Mata air yaitu air yang keluar dan berasal dari air tanah yang muncul
secara alamiah. Air sumur dngkal yaitu air yang berasal dari lapisan air didalam tanah yang dangkal biasanya berkisar antara 5-15 meter. Air sumur dalam yaitu air yang berasal dari lapisan air kedua didalam tanah, dalamnya dari permukaan tanah biasanya diatas 15 meter. Oleh karena itu, sebagian besar air sumur dalam ini adalah cukup sehat untuk dijadikan air minum langsung. Sebagian besar kuman-kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral yang dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja. Air merupakan salah satu media yang sangat mudah untuk proses itu. Sumber air yang bersih baik kualitas maupun kuantitasnya akan dapat mengurangi tertelannya kuman penyebab diare oleh balita. Kualitas air minum hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan kesehatan, setidaknya diusahakan mendekati persyaratan air sehat yaitu persyaratan fisik yaitu tidak berasa, bening atau tidak berwarna. Sedangkan secara bakteriologi air harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen. Dari sisi
kimiawi air minum yang sehat itu harus
mengandung zat-zat tertentu didalam jumlah tertentu seperti flour, chlor, besi, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003). Sebuah keluarga yang dapat mengambil air dari sumber air bersih yang baik, menunjukkan angka penurunan terjadinya diare yang lebih baik daripada keluarga yang tidak mengunakan air bersih (Depkes, 1999). Dalam penelitian ini yang diteliti hanya kualitas air
bersih berdasarkan syarat fisik yaitu tidak berasa, bening atau tidak berwarna. 2) Kebersihan Jamban Jamban jenis septic merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan, oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan (Notoatmodjo, 1999). Dengan adanya jamban dalam suatu rumah mempengaruhi kesehatan lingkungan sekitar. Untuk mencegah atau mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan tinja manusia harus disatu tempat tertentu agar menjadi jamban yang sehat. Jamban yang sehat untuk daerah pedesaan harus memenuhi persyaratan yaitu tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban, tidak mengotori permukaan air di sekitarnya, tidak terjangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, sederhana desainnya, murah, dapat diterima oleh pemakainya (Notoatmodjo, 1999). Penularan penyakit diare bersifat fecal-oral, maka pembuangan kotoran melalui jamban menjadi
penting. Penggunaan jamban
keluarga dengan baik dan bersih, dapat mengurangi resiko diare. Dari hasil penelitian dampak proyek air bersih dan penggunaan jamban keluarga dari 28 negara menunjukkan penurunan angka kesakitan diare sekitar 22-27% dan angka kematian diare sekitar 2130% (Depkes, 2003).
f) Status Gizi Balita Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi makanan, penyimpanan, dan penggunaan makanan. Menurut Robinson (1988) dalam Rekosodikusumo (1996), status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang dihubungkan dengan penggunaan makanan didalam tubuh. Menurut Habicht (1979) dalam Reksodikusumo (1996) mendefinisikan status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan
oleh
keadaan
keseimbangan
disatu
pihak
dengan
pengeluaran oleh organisme dan pihak lain yang terlihat melalui variable tertentu, disebut indikator misalnya Berat Badan dan Tinggi Badan. Hubungan antara malnutrisi dengan infeksi, dimana derajat infeksi apapun dapat memperburuk keadaan gizi balita, sebaliknya malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh balita terhadap infeksi (Pudjiadi, 2000). Kurang gizi juga berpengaruh terhadap diare. Pada anak yang kurang gizi karena pemberian makanan yang kurang, diare akut lebih berat, yang berakhir lebih lama dan lebih sering terjadi pada diare persisten juga lebih sering dan disentri lebih berat. Resiko meninggal akibat diare persisten atau disentri sangat meningkat, apabila anak sudah kurang gizi secara umum, hal ini sebanding dengan derajat kurang gizinya dan paling parah jika anak menderita gizi buruk (Depkes, 1999). Diare dan muntah merupakan gejala khas pada penyakit gastrointestinal, dimana diare harus mengurangi jumlah makanan yang dapat
diserap karena terdapat transit time yang memendek. Gangguan pencernaan atau penyerapan merupakan penyebab diare. Pemberian diet pada penderita diare khususnya balita diusahakan harus terdiri dari makanan yang tidak mengandung banyak serat. Pada diare yang menahun harus diwaspadai karena akan terjadi penurunan berat badan yang selanjutnya akan mempengaruhi status gizi balita. Pada diare menahun didamping makanan yang tidak mengandung banyak serat, juga harus memperhatikan banyaknya energi dan zat gizi essensial yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan yang normal (Pudjiadi, 2005). Penilaian status gizi pada balita secara antropometri, dimana metode ini didasarkan atas pengukuran keadaan fisik dan komposisi tubuh pada umur dan tingkat gizi yang baik. Dalam penilaian status gizi khususnya untuk keperluan klasifikasi, maka harus ada ukuran baku atau referensi. Baku antropometri yang digunakan NCHS atau National Center of Healh Statistic USA adalah grafik perbandingan yang merupakan data baru yang dikatakan lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Berat badan tinggi badan pada balita dijadikan sebagai pengukuran dimana berat badan mempunyai hubungan linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan sesuai dengan pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang
baik untuk mengetahui status gizi saat ini, terlebih bila data umur yang sangat sulit diperoleh. Karena indeks BB/TB memberikan gambaran tentang proporsi BB, maka dalam penggunaannya indeks ini merupakan pada indikator kekurusan. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks BB/TB adalah indeks yang independen terhadap umur dan merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang) (Supariasa, 2002) Cara penyajian antropometri dari berbagai jenis indeks tersebut di atas, untuk menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas dapat disajikan ke dalam tiga cara yaitu : Persen terhadap median, Persentil dan Standar Deviasi Unit. Dari ketiga cara ini, dipilih metode Standar Deviasi Unit (Z_Score BB/U) untuk menghitung status gizi bayi (Supariasa, 2002). Adapun rumus Perhitungan Z_Score adalah : Z_Score =
nilai _ individu _ subyek¬nilai _ median _ baku _ rujukan Nilai _ simpangan _ baku _ rujukan
Klasifikasi penilaian status gizi berdasarkan parameter antropometri berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) adalah : Tabel. 1. Klasifikasi Status Gizi Klasifikasi
Batas Ambang
Gizi lebih
> 2,0 SD
Gizi baik
< -2,0 SD – + 2 SD
Gizi kurang
< -2,0 SD
Gizi buruk
< -3,0 SD
(Sumber : WHO – NCHS, 1996)
B. Kerangka Teori Karakteristik Ibu Pendapatan Keluarga Tingkat Pengetahuan Perilaku Cuci Tangan Terjadinya D iare Pada B alita Hygiene Sanitasi - Kualitas sumber air - Kebersihan jamban Status Gizi Balita
Skema.1. Kerangka Teori: Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita
C. Kerangka Konsep Variabel Independent
Variabel Dependent
Faktor-faktor terjadinya diare
- Tingkat Pengetahuan - Perilaku Cuci Tangan - Hygiene Sanitasi - Status Gizi Balita Skema.2. Kerangka Konsep
Terjadinya Diare Pada Balita
D. Variabel Penelitian 1. Variabel Independent: Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya diare yang meliputi tingkat pengetahuan, perilaku cuci tangan, hygiene sanitasi (kualitas sumber air, kebersihan jamban), status gizi balita. 2. Variabel Dependent: Terjadinya diare pada balita.
E. Hipotesis 1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan terjadinya diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banjardawa Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang 2. Ada hubungan antara perilaku cuci tangan dengan terjadinya diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banjardawa Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang 3.
Tidak ada hubungan antara kualias sumber air dengan terjadinya diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banjardawa Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang
4. Tidak ada hubungan antara kebersihan jamban dengan terjadinya diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banjardawa Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang 5. Ada hubungan antara status gizi dengan terjadinya diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banjardawa Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang