BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet 2.1.1 Tablet Secara Umum Tablet adalah sediaan padat yang dibuat dengan cara kempa cetak dalam bentuk umumnya pipih, permukaan rata atau cembung mengandung obat dengan atau tanpa zat pengisi. Obat tunggal atau campuran beberapa jenis obat, diramu dengan zat tambahan yang cocok, digranulasikan, jika perlu digunakan zat pembasah, kemudian dikempa cetak. Granulasi dilakukan dengan cara kering atau basah tergantung dari sifat obatnya (Admar, 2004). Menurut Anief (1986), zat tambahan dapat berupa: bahan pengisi, penghancur, pengikat dan pelicin. Penggunaan bentuk tablet dapat digunakan baik untuk tujuan pengobatan lokal maupun sistemik. Pengobatan lokal misalnya: −
Tablet yang digunakan melalui vagina, dikenal sebagai tablet vagina, berbentuk seperti amandel digunakan sebagai antiinfeksi, antifungi, dan penggunaan hormon secara lokal.
−
Lozenges, bentuk obat yang menyenangkan dan efektif untuk efek lokal di mulut dan tenggorokan, umunya digunakan sebagai antiinfeksi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak
dan tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat
Universitas Sumatera Utara
dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja.Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan.Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet. Bolus adalah tablet besar yang digunakan untuk obat hewan, umumnya untuk hewan besar (Anief, 1986). Tablet cetak dibuat tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada ikatan kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak tergantung pada kekuatan tekanan yang diberikan (Ditjen POM, 1995). 2.1.2 Jenis-jenis Tablet Menurut Ansel (1989) jenis-jenis tablet adalah sebagai berikut: 1. Tablet Kompresi Tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya ke dalam bahan obat, diberi tambahan sejumlah bahan pembantu antara lain: −
Pengencer atau pengisi
−
Pengikat atau perekat
−
Penghancur
−
Zat pelincir
−
Bahan tambahan lain seperti zat pewarna dan zat pemberi rasa
2. Tablet Kompresi Ganda Tablet kompresi berlapis, dalam pembuatannya memerlukan lebih dari satu kali tekanan. Hasilnya menjadi tablet dengan beberapa lapisan
Universitas Sumatera Utara
atau tablet di dalam tablet, lapisan dalamnya menjadi inti dan lapisan luarnya disebut kulit. 3. Tablet Salut Gula Tablet kompresi ini mungkin diberi lapisan gula berwarna dan mungkin juga tidak.Lapisan ini larut dalam air dan cepat terurai begitu ditelan.Gunanya bermacam-macam, melindungi obat dari udara dan kelembaban serta memberi rasa atau untuk menghindarkan gangguan dalam pemakaiannya akibat rasa atau bau bahan obat. 4. Tablet Diwarnai Coklat Yaitu lapisan coklat merupakan hal yang penting dalam sejarah karena diwaktu itu hanya coklat yang dipakai untuk menyalut dan mewarnai tablet. Sekarang ini coklat telah digantikan oleh bahan-bahan pewarna lain seperti oksida besi yang dipakai sebagai warna tiruan coklat. 5. Tablet Salut Selaput Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet.Biasanya lapisan ini berwarna, kelebihannya dari penyalutan dengan gula ialah lebih tahan lama, menggunakan sedikit bahan, waktu yang lebih sedikit untuk penggunaannya.Selaput ini pecah dalam saluran lambungusus. 6. Tablet Salut Enterik Tablet salut enterik adalah tablet yang disalut dengan lapisan yang tidak melarut atau hancur di lambung tapi di usus.
Universitas Sumatera Utara
7. Tablet Sublingual Atau Bukal Yaitu tablet yang disisipkan di pipi dan di bawah lidah biasanya berbentuk datar, tablet oral yang direncanakan larut dalam kantung pipi atau di bawah lidah untuk diabsorbsi melalui mukosa oral. 8. Tablet Kunyah Tablet kunyah umumnya lembut dan segera hancur ketika dikunyah atau dibiarkan melarut dalam mulut, menghasilkan dasar seperti krim dari mannitol yang berasa dan berwarna khusus. 9. Tablet Effervescent Yaitu tablet berbuih yang dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan-bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air. 10. Tablet Triturat Tablet ini bentuknya kecil dan biasanya berbasis silinder digunakan untuk memberikan jumlah terukur yang tepat untuk peracikan obat. 11. Tablet Hipodermik Yaitu tablet untuk dimasukkan di bawah kulit, merupakan tablet triturat, asalnya dimaksudkan untuk digunakan oleh dokter dalam membuat larutan parenteral secara mendadak Beberapa macam istilah tablet menurut Anief (1986), antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a. Kaplet: tablet yang bentuknya seperti kapsule. Misalnya: Neuralgin kaplet (Kalbe). b. Tablet multi layer: tablet berlapis-lapis dengan berwarna-warni. Maksudnya ialah untuk menarik, dapat menghindari antara zat berkhasiat yang satu dengan zat yang lain apabila dalam satu campuran dapat rusak. Sebagai contoh misalnya: Bodrex (Bode) tablet. 2.1.3 Persyaratan Tablet Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dan persyaratan beberapa industri, tablet harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Keseragaman Bobot Tablet harus memenuhi uji keseragaman untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet yang bobotnya seragam diharapkan memiliki kandungan bahan obat yang sama, sehingga menpunyai efek terapi yang sama. 2. Kekerasan Tablet harus memiliki kekuatan atau kekerasan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan pada saat pengepakan dan pengangkutan.Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Hardness Tester.Tablet diletakkan diantara alat penekan punch dan dijepit dengan memutar sekrup pengatur sampai tanda lampu menyala, lalu ditekan tombol sehingga tablet terpecah.Tekanan dapat ditunjukkan melalui skala yang tertera. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg.
Universitas Sumatera Utara
3. Kerenyahan Uji ini dilakukan untuk mengetahui kerenyahan tablet, karena tablet yang rapuh dan rusak kandungan zat berkhasiatnya berkurang sehingga mempengaruhi efek terapi. Kerenyahan ditandai dengan massa partikel yang berjatuhan dari tablet. Uji ini menggunakan alat yang disebut Roche Friabilator yang terdiri dari sebuah tabung yang berputar, ke arah radial disambungkan sebuah bilah lengkung.Tablet dimasukkan ke dalam drum tersebut, dihidupkan alat maka drum berputar dan tablet bergulir jatuh sampai pada putaran berikutnya dipegang kembali oleh bilah. Pemutaran dilakukan 100 kali dengan persyaratan tablet tidak boleh kehilangan berat lebih dari 0,8%. 4. Waktu Hancur Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet dirancang untuk pelepasan kandungan obat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau melepaskan obat dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas diantara periode pelepasan tersebut.Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna.Interval waktu hancur yaitu tidak lebih dari 15 menit.Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila tidak ada sisa sediaan yang tidak larut tertinggal pada kasa.
Universitas Sumatera Utara
5. Disolusi Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan pada suatu medium. Uji ini digunakan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi. 6. Penetapan Kadar Zat Berkhasiat Penetapan kadar ini dilakukan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat, berarti obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai tertera pada monografi antara lain di Farmakope Indonesia. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet.
2.2 Analgesik-Antipiretik Analgesik-antipiretik adalah zat-zat yang mampu mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri sekaligus menurunkan panas tubuh.Nyeri adalah
Universitas Sumatera Utara
perasaan sensori yang tidak baik dan berkaitan dengan kerusakan jaringan.Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dengan ambang toleransi yang berbedabeda.Nyeri dianggap sebagai tanda adanya gangguan di jaringan seperti peradangan dan infeksi.Sedangkan demam pada umumnya adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri (Tjay dan Rahardja, 2007). Analgesik merupakan obat yang mampu mengurangi rasa sakit dengan meningkatkan batas ambang rasa sakit.Analgesik digolongkan menjadi dua kelompok besar, yakni (1) analgesik non narkotika; dan (2) analgesik narkotika.Analgesik non-narkotika yang umum digunakan adalah asetosal dan parasetamol, sementara contoh analgesik narkotika adalah morfin dan heroin.Selain itu, terdapat beberapa analgesik narkotik sintetik seperti meperidin.Sementara itu, antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan demam (suhu tubuh yang tinggi).Pada umumnya (90%) analgesik mempunyai efek antipiretik.Karena alasan inilah, maka analisis obat analgesik dan antipiretik dijadikan satu.Obat-obat analgesik non-narkotik juga berguna sebagai obat antiinflamasi non steroid atau popular dikenal dengan obat NSAIDs (non steroid antiinflammatory drugs)(Tjay dan Rahardja, 2007). Analgesik-antipiretik dapat dikelompokkan sebagai turunan-turunan struktur asam salisilat seperti asetosal, turunan p-aminofenol seperti parasetamol, turunan asam fenamat seperti asam mefenamat, turunan asam propionat seperti ibuprofen, ketopren dan naproksen, derivat asam fenilasetat seperti natrium diklofenak, turunan pirazolon seperti fenilbutazon dan oksifenbutazon, serta turunan oksikam seperti piroksikam dan meloksikam (Sudjadi, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Non Steroidal anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) Obat antiinflamasi utama adalah non steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dan glukokortikoid. NSAIDs merupakan obat antiinflamsi yang paling banyak digunakan.Obat NSAIDs mempunyai tiga efek farmakologi yaitu antiinflamasi, analgesik dan antipiretik.Obat ini beraksi dengan menghambat enzimsiklooksigenase,
selanjutnya
terjadi
penghambatan
pada
produksi
prostaglandin dan tromboksan.Obat NSAIDs generasi awal menghambat baik pada COX-1 dan COX-2, bahkan lebih dominan menghambat COX-1. Efek antiinflamsi berkaitan dengan penghambatan pada manifestasi inflamasi yaitu vasodilatasi, edema dan nyeri.Manifestasi inflamasi tersebut diperantarai oleh mediator-mediator yang merupakan produk dari aksi COX2.NSAIDs beraksi menghambat COX, menurunkan produksi vasodilator prostaglandin (PGE2 dan PGI2), sehingga menurunkan vasodilatasi, kemudian menurunkan edema yang terjadi. Lebih lanjut, akumulasi sel inflamasi akan berkurang (Endro, 2012). NSAIDs juga termasuk analgesik karena menghambat salah satu manifestasi
inflamasi
yaitu
nyeri.Pada
reaksi
inflamasi,
prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor (reseptor nyeri) terhadap mediator nyeri yaitu bradikinin atau 5-hidroksitriptamin.Secara klinik, NSAIDs digunakan untuk kasus nyeri ringan hingga moderat seperti arthritis, sakit gigi, pusing, dan dismenorea (haid) (Munaf, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Efek antipiretik NSAIDs berkaitan dengan suhu tubuh yang diatur oleh pusat keseimbangan panas di hipotalamus.Pusat keseimbangan tersebut ibarat suatu termostat.Kondisi demam (panas) diakibatkan terjadinya gangguan pengaturan keseimbangan panas di hipotalamus tersebut mengakibatkan kenaikan suhu tubuh.Pada reaksi inflamasi, bakteri endotoksin menyebabkan pelepasan pirogen yaitu IL-1 dari makrofag, yang menyebabkan produksi PGE yang dapat mengubah pengaturan suhu menjadi meningkat.Berkaitan dengan produksi PGE tersebut, COX-2 dan COX-3 berperan dalam patofisiologis demam.NSAIDs berperan menurunkan panas dengan menghambat produksi PGE tersebut, namun pada kondisi normal NSAIDs tidak menurunkan suhu tubuh. Artinya, NSAIDs berperan dalam pengaturan kembali keseimbangan panas pada demam(Endro, 2012) .
2.4 Asam Mefenamat
Gambar 1. Struktur Asam Mefenamat Menurut Ditjen POM (1995), asam mefenamat memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul : C15H15NO2 Nama Umum : Asam Mefenamat
Universitas Sumatera Utara
Pemerian
: Serbuk hablur, putih atau hampir putih; melebur pada suhu lebih kurang 230ºC disertai peruraian.
Kelarutan:Larut dalam larutan alkali hidroksida; agak sukar larut dalam kloroform; sukar larut dalam etanol dan dalam metanol; praktis tidak larut dalam air. Persyaratan: Asam mefenamat mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C15H15NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Penyimpanan:Dalam wadah tertutup baik. Pada suhu tidak lebih dari suhu 30ºC. Asam mefenamat atau asam 2-[2,3-dimetilfenil)amino]-benzoat dan asam flufenamat atau asam 2-[[3-trifluorometil)fenil]amino]-benzoat, serta asam tofetamat merupakan kelompok asam fenamat. Obat-obat ini termasuk obat pereda nyeri yang digolongkan sebagai NSAIDs (non steroidal inflammatory drugs). Obat ini digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri namun lebih sering diresepkan untuk mengatasi sakit gigi, nyeri dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga mempunyai efek analgesik, anti-inflamasi dan antipiretik (Sudjadi, 2012). Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik dan sebagai antiinflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin.Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma, sehingga interaksi obat ini dengan antikoagulan harus diperhatikan (Munaf, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Meklofenamat dan asam mefenamat menghambat COX dan phospholipase A2. Derivat-derivat asam fenamat ini mencapai kadar puncak plasma dalam 30-60 menit dan mempunyai waktu-paruh serum yang pendek yaitu 1-3 jam. Asam mefenamat mugkin kurang efektif daripada aspirin sebagai agen antiinflamasi dan jelas lebih toksik.Asam mefenamat tidak boleh dipakai selama lebih dari 1 minggu dan tidak boleh dipakai untuk anak-anak (Katzung, 2004). Efek sampingnya dapat berupa diarrhea, memperhebat gejala asthma, dan kemungkinan gangguan ginjal, sumsum tulang (Anwar, dkk 1973). Pada orang usia lanjut efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Efek samping lain yang berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokontriksi. Anemia hemolitik pernah dilaporkan (Gan, 2007).
2.5 Disolusi Disolusi didefinisikan proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan (proses zat padat melarut). Kecepatan disolusi obat merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah.Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, bahan berkhasiat harus terlarut, sesudah itu barulah obat tersebut dapat melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan berdifusi secara pasif. Sebaliknya, obat yang kelarutannya kecil kecepatan disolusi tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif rendah karena pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif (Syukri, 2002). 2.5.1 Alat Uji Disolusi
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ditjen POM(1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi:
a. Alat 1 (Metode Basket) Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhutablet atau kapsulgranul atau agregatpartikel halusobat dalam larutanobat dalam darah, cairan, dan dalam jaringan laindalam wadah 37 ± 0,5°C selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat. b. Alat 2 (Metode Dayung) Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk.Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan
Universitas Sumatera Utara
selama pengujian berlangsung.Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai.Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. 2.5.2
Media Disolusi Menurut Agoes (2008), media disolusi yang biasa digunakan adalah:
1. Air Suling Pelarut
air
digunakan
untuk
uji
penetapan
pelarutan
beberapa
tablet.Pengujian menggunakan cairan air memberikan hasil yang sangat berbeda dengan cairan fisiologik, terutama untuk senyawa ionik yang sangat dipengaruhi oleh pH. 2. Larutan Ionik Larutan ionik banyak digunakan untuk menyesuaikan pH organ tubuh: a. Larutan asam (pH 1,2) dibuat dari asam klorida encer baik ditambah atau tidak ditambah dengan larutan natrium atau kalium klorida, sehingga pH cairan mendekati komposisi cairan lambung. b. Larutan dapar alkali (pH 7-8) paling sering digunakan untuk meniru pH usus dalam pengujian sediaan dengan aksi diperpanjang atau aksi terjaga setelah melewati cairan yang asam. 2.5.3Prosedur Pengujian Disolusi Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan dibiarkan media disolusi mencapai temperatur 37° C. Satu kapletdicelupkan dalam
Universitas Sumatera Utara
keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995). 2.5.4
Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang
diuji sesuai dengan tabel penerimaan.Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel di bawah ini: Tabel. 1 Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Tahap
Jumlah Sediaan yang diuji
S1
6
S2
6
Kriteria Penerimaan Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5% Rata – rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%
Universitas Sumatera Utara
S3
12
Rata – rata dari 24 unit (S1+S2+ S3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%
Keterangan: S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994). 2.5.5 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif Menurut Syukri (2002), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain: a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi: kelarutan zat aktif, bentuk kristal, kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat fisikokimia lain seperti kekentalan dapat menimbulkan masalah disolusi. b.
Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
Universitas Sumatera Utara
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Penggunaan bahan tambahan sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi dapat menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung bahan tambahan yang digunakan. Cara pengolahan bahan baku, bahan tambahan dan prosedur yang dilakukan dalam formulasi sediaan padat peroral juga berpengaruh terhadap laju disolusi. Waktu pengadukan lama pada granulasi basah dapat menghasilkan granulgranul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya: kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan. c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan meliputi: kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang digunakan. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut.Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat disaluran cerna. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda
Universitas Sumatera Utara
dapat menghasilkan laju disolusi sama atau berbeda, tergantung pada metode uji yang digunakan.
2.6 Penetapan Kadar Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar, 2008). Penetapan kadar dipilih berdasarkan sifat senyawa. Untuk penetapan kadar dapat dilakukan dengan metode fisikokimia yaitu spektrofotometri UV-Visibel, fluorometri dan konduktometri (Devissaquest, 1993). Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi kapletasam mefenamat yaitu Spektrofotometri Ultraviolet. Spektrofotometri Ultraviolet adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel.Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan.Spektrum Ultraviolet mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004). Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat dan sangat cocok untuk digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor.Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dachriyanus (2004), umumnya spektrofotometri ultraviolet dalam analisis senyawa organik digunakan untuk: 1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik. 2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang serapan maksimum suatu senyawa. 3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Umumnya pelarut yang sering dipakai untuk analisis spektrofotometri adalah air, etanol, sikloheksana dan isopropanol.Dalam pemilihan pelarut, yang perlu diperhatikan yaitu polaritas pelarut yang dipakai karena sangat berpengaruh terhadap pergeseran spektrum molekul yang dianalisis (Mulja dan Suharman 1995). Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri ultraviolet adalah: a. Pemilihan panjang gelombang maksimum Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang
gelombang
dimana
terjadi
serapan
maksimum.
Untuk
memperoleh panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. b. Pembuatan kurva kalibrasi
Universitas Sumatera Utara
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi.
Masing-masing
absorbansi
larutan
dengan
berbagai
konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi berupa garis lurus. c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.
Universitas Sumatera Utara