BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENYESUAIAN DIRI 1.
Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri merupakan istilah yang digunakan para psikolog,
dimana sebelumnya konsep ini merupakan konsep biologis yang disebut dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses psikologis dimana seseorang mengatur atau mengatasi berbagai tuntutan dan tekanan. Menurut Atwater (1983), penyesuaian diri berkaitan dengan perubahan pada diri sendiri dan lingkungan yang dilakukan untuk mencapai kepuasan dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan. Hal ini serupa dengan yang diungkapkan Martin dan Osborne (1989) bahwa penyesuaian diri merupakan bentuk perubahan perilaku untuk menghadapi perubahan tuntutan lingkungan. Sawrey dan Telford menyebutkan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi yang terjadi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya, yang melibatkan sistem kognisi, emosi, dan perilaku (dalam Calhoun & Acocella, 1990). Fahmi juga menyatakan hal yang serupa (dalam Sobur, 2003). Ia mendefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang dinamis, berlangsung terus-menerus, yang bertujuan untuk mengubah perilaku untuk mendapatkan hubungan yang lebih serasi antara diri dan lingkungan. 11
12
Penyesuaian diri merupakan suatu usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan, dan emosi negatif lainnya yang tidak sesuai dan kurang efisien dapat dikikis habis (Kartono, 2002). Menurut Schneiders
penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon
mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan di dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal (Desmita, 2009). Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan reaksi individu dalam mengatasi ketegangan karena terhambatnya kebutuhan untuk mencapai keselarasan antara individu dan lingkungan.
2.
Bentuk Penyesuaian Diri Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa ada dua macam bentuk
penyesuaian diri yang dilakukan individu, yaitu: a. Penyesuaian diri personal Adalah bentuk penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri, seperti penyesuaian diri fisik dan emosi, penyesuaian diri seksual, dan penyesuaian moral dan religius.
13
b. Penyesuaian diri sosial Adalah bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti rumah, sekolah, dan masyarakat; yang merupakan aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola hubungan di antara kelompok yang ada dan saling berhubungan secara integral di antara ketiganya.
Sementara itu, menurut Gunarsa, bentuk penyesuaian diri ada dua, antara lain (dalam Sobur, 2003): a. Adaptive Merupakan bentuk penyesuaian diri bersifat fisik, artinya perubahanperubahan dalam proses fisiologis untuk menyesuaikan kebutuhan diri terhadap lingkungan. b. Adjustive Merupakan
bentuk
penyesuaian
diri
bersifat
psikis,
artinya
penyesuaian diri, baik emosi dan tingkah laku terhadap lingkungan yang memiliki norma sosial.
3.
Karakteristik Penyesuaian Diri Schneiders (1964) memberikan kriteria individu dengan penyesuaian diri
yang baik, yaitu sebagai berikut: a. Pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan dirinya b. Objektivitas diri dan penerimaan diri c. Kontrol dan perkembangan diri d. Integrasi pribadi yang baik
14
e. Adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya f. Adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat g. Mempunyai rasa humor h. Mempunyai rasa tanggung jawab i. Menunjukkan kematangan respon j. Adanya perkembangan kebiasaan yang baik k. Adanya adaptabilitas l. Bebas dari respon yang cacat m. Memiliki kemampuan bekerja sama dan menaruh minat terhadap orang lain n. Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain o. Memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas
4.
Aspek Penyesuaian Diri Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik
meliputi tujuh aspek sebagai berikut: a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebih Aspek
ini
menekankan
pada
adanya
kontrol
emosi
yang
memungkinkan individu tersebut untuk menghadapi permasalahan dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan.
15
b. Tidak terdapat mekanisme psikologis Aspek ini menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal daripada penyelesaian masalah melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. c. Tidak terdapat perasaan frustasi personal Perasaan frustasi membuat seseorang sulit untuk bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah. Individu yang frustrasi akan merasa tidak berdaya dan hidup tanpa harapan. Maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. d. Kemampuan untuk belajar Penyesuaian merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. e. Pemanfaatan pengalaman masa lalu Dalam proses pertumbuhan dan perubahan, penggunaan pengalaman di masa lalu itu penting. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain melalui kegiatan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu proses penyesuaian dirinya.
16
f. Sikap realistik dan objektif Penyesuaian secara konsisten berhubungan dengan sikap realistik dan objektif yang bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. g. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun.
Pada mahasiswa sendiri, penyesuaian diri di lingkungan Perguruan Tinggi memiliki empat aspek (Baker & Siryk, 1984), yaitu: a. Penyesuaian Akademik (Academic Adjustment) Penyesuaian
akademik
adalah
kemampuan
mahasiswa
untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan dan mencapai tingkat kepuasan pada prestasi akademisnya. Aspek ini meliputi motivasi (sikap terhadap tujuan akademis, motivasi untuk mencapai tujuan akademis dan untuk berkuliah), aplikasi (seberapa jauh motivasi diubah menjadi suatu usaha untuk mencapai tujuan akademis), performa (keberhasilan dan keefektifan dalam mencapai tujuan akademis), dan lingkungan akademis (kepuasan terhadap prestasi akademis).
17
b. Penyesuaian Sosial (Social Adjustment) Penyesuaian
sosial
adalah
kemampuan
mahasiswa
untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus. Aspek ini meliputi keterlibatan individu dalam kegiatan di lingkungan kampus secara umum,
keterlibatan dan hubungan individu dengan orang lain di
lingkungan kampus, dan kepuasan terhadap lingkungan kampus. c. Penyesuaian Emosional (Emotional Adjustment) Penyesuaian
emosional
adalah
kemampuan
mahasiswa
untuk
menyesuaikan diri terhadap masalah emosional dan masalah fisik yang dihadapi sebagai mahasiswa baru. Aspek ini meliputi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan kesejahteraan fisik (physical well-being). d. Kelekatan terhadap Institusi / Komitmen (Institutional Attachment) Komitmen (institutional attachment) adalah kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan membangun kelekatan antar dirinya dengan kampus dan kegiatan perkuliahan yang dijalani yang berpengaruh terhadap keputusan individu untuk melanjutkan perkuliahan. Aspek ini meliputi perasaan dan kepuasan terhadap lingkungan atau kegiatan perkuliahan secara umum dan kepuasan terhadap kegiatan perkuliahan secara khusus khusus (jurusan atau mata kuliah).
18
5.
Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri adalah (Schneiders,
1964): a. Keadaan fisik Merupakan faktor yang memengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. b. Perkembangan dan kematangan Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Tidak hanya karena proses pembelajaran, tetapi juga karena individu yang sudah lebih matang, baik dari segi intelektual, sosial, moral, dan emosi. c. Keadaan psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi,
kecemasan
dan
gangguan
mental
dapat
menghambat
penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya.
19
d. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang baik, damai, tenteram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada
anggota-anggotanya
merupakan
lingkungan
yang
akan
memperlancar proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.
B.
LOCUS OF CONTROL 1.
Pengertian Locus of Control Locus of control menurut Rotter adalah keyakinan individu mengenai
sumber kontrol atau penguatan (reinforcement) di dalam hidupnya, apakah kontrol dan penguatan tersebut tergantung pada perilaku masing-masing atau bergantung pada kekuatan di luar diri (Schultz & Schultz, 1994). Menurut Lefcourt, locus of control mengacu pada derajat dimana individu meyakini peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya merupakan konsekuensi dari perbuatannya (dalam Smet, 1997). Hal ini sejalan
20
dengan Grimes, Millea & Woodruff (2004) yang menyatakan bahwa locus of control adalah konstruk psikologis yang digunakan untuk mengidentifikasi persepsi individu mengenai kontrol dirinya terhadap lingkungan eksternal dan tingkat tanggung jawab atau hasil perilaku. Larsen & Buss (2010) juga menyebutkan bahwa locus of control menggambarkan persepsi individu tentang tanggung jawab atas kejadian dalam hidupnya. Menurut Forte (2005), locus of control mengacu pada kondisi dimana individu mengatribusikan kesuksesan dan kegagalan dalam hidupnya. Hal ini serupa dengan yang dinyatakan oleh Demirtas & Günes bahwa locus of control adalah persepsi individu tentang siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di dalam hidup mereka (Hamedoglu, Kantor, & Gulay, 2012). Spector (dalam Munir & Sajid, 2010) menyebutkan bahwa locus of control adalah sebuah kecenderungan individu untuk meyakini bahwa ia atau hal-hal di luar kekuasannya yang mengendalikan peristiwa dalam hidupnya. Erdogan (dalam Kutanis, Mesci, & Ovdur, 2011) menyatakan bahwa locus of control adalah gagasan yang dimiliki individu sepanjang hidupnya, menganalisis peristiwa sebagai hasil dari perilaku mereka atau hasil dari kebetulan, nasib, atau kekuatan di luar kendali mereka. Berdasarkan pandangan dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah suatu konsep yang menggambarkan keyakinan akan pusat kendali individu mengenai penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.
21
2.
Karakteristik Locus of Control Menurut Andre (2008), ada beberapa perbedaan karakter individu yang
memiliki external locus of control dan internal locus of control, yaitu: Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Locus of Control External Locus of Control
Internal Locus of Control
- Kurang memiliki kontrol terhadap perilaku diri - Kurang aktif mencari informasi untuk menghadapi situasi tertentu - Memiliki self-esteem yang rendah - Memiliki kepuasan kerja yang rendah - Kesulitan mengatasi stres - Meyakini reward dan punishment yang diterima sebagai kekuatan yang mungkin berubah dan tidak menentu
- Memiliki kontrol yang baik terhadap perilaku diri - Lebih aktif mencari informasi yang berhubungan dengan situasi yang sedang dihadapi - Memiliki self-esteem yang tinggi - Memiliki kepuasan kerja yang tinggi - Memiliki kemampuan mengatasi stres yang baik - Meyakini reward dan punishment yang diterima berhubungan dengan performa yang telah mereka hasilkan
3.
Aspek Locus of Control Rotter mengusulkan locus of control sebagai aspek kepribadian yang
terdiri dari dua kutub ekstrim yang bertolak belakang (dalam Lefcourt, 1982). Setiap individu memiliki kedua kutub locus of control, yaitu internal locus of control dan external locus of control. Akan tetapi ada kalanya salah satu kutub berperan lebih kuat daripada kutub lainnya. Oleh karena itu, tidak ada satupun individu yang benar-benar internal ataupun sebaliknya. Locus of control juga tidak bersifat statis, tetapi dapat berubah tergantung pada situasi dan kondisi yang menyertainya. a. External Locus of Control Robbins (2008) menyebutkan bahwa individu dengan external locus of control berkeyakinan bahwa apapun yang terjadi pada dirinya
22
dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya, seperti keberuntungan atau kesempatan. Individu dengan external locus of control cenderung pasrah terhadap apa yang menimpanya. Menurut Rotter, external locus of control
mengacu
pada
keyakinan
bahwa
kesempatan,
nasib,
keberuntungan, takdir, orang lain, dan hal-hal lainnya berpengaruh lebih kuat dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu (Karimi & Alipour, 2011). Hal ini sesuai dengan Lefcourt yang membagi lagi external locus of control menjadi dua tipe atribusi, yaitu konteks dan keberuntungan (dalam Halpert & Hill, 2001). Sementara itu, Levenson & Miller (1976) mengelompokkan tipe-tipe external locus of control ke dalam dua kelompok, yaitu kontrol dari orang lain (powerful others) dan kontrol dari kesempatan dan keberuntungan (chance and luck) (April, Dharani, & Peters, 2012). Individu seperti ini meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kontrol atas yang terjadi di dalam hidupnya.
b. Internal Locus of Control Menurut Rotter, internal locus of control mengacu pada keyakinan bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi di dalam hidup seseorang merupakan hasil dari tindakan dan usaha individu tersebut (Karimi & Alipour, 2011). Individu dengan internal locus of control meyakini bahwa ia dapat mengendalikan segala peristiwa dan konsekuensi yang terjadi di dalam hidu p mereka. Bagi individu dengan internal locus of control, kemampuan (ability) dan usaha (effort) lebih menentukan apa
23
yang diperoleh sepanjang hidupnya (Lefcourt, 1982 dalam Halpert & Hill, 2001). Dalam penelitian ini, pengukuran locus of control dibagi lagi dalam dua dimensi (Lefcourt, 1982), yaitu: a. Achievement (Prestasi/Pencapaian) Prestasi atau pencapaian merupakan suatu bentuk atau wujud dari kemampuan ataupun hasil usaha yang dilakukan seseorang. Lefcourt (1982) kemudian mendefinisikan prestasi sebagai hasil akademis, yaitu suatu hasil dari tujuan pendidikan, seperti nilai ataupun kelulusan dari suatu materi pelajaran.
b. Affiliation (Afiliasi/Hubungan) Afiliasi atau hubungan merupakan suatu tindakan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan organisasi. Lefcourt (1982) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan afiliasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, baik dalam konteks pertemanan ataupun hubungan romantis.
4.
Faktor yang Memengaruhi Locus of Control Dari beberapa hasil penelitian, berikut disimpulkan faktor-faktor yang
memengaruhi locus of control yang dimiliki individu, yaitu: a. Faktor Keluarga Lingkungan keluarga merupakan tempat utama seseorang mendapat pengaruh mengenai locus of control yang dimilikinya (Kuzgun, dalam
24
Hamedoglu, Kantor, & Gulay, 2012). Orang tua mendidik anak sembari melakukan sosialisasi nilai melalui berbagai cara, salah satunya pola asuh. Individu yang diasuh dalam lingkungan otoriter dengan kontrol perilaku ketat akan tumbuh sebagai individu yang pemalu dan bergantung (external locus of control). Sementara anak yang tumbuh pada lingkungan demokraktis akan mengembangkan kemandirian dan memiliki keterampilan interaksi sosial yang lebih baik, percaya diri, dan rasa ingin tahu yang besar (internal locus of control) b. Faktor Motivasi Menurut Forte, individu hidup dengan motivasi internal dan eksternal. Hal ini juga turut memengaruhi locus of control seseorang (dalam Karimi & Alipour, 2011). Kepuasan, harga diri, peningkatan kualitas hidup merupakan beberapa motivasi internal. Sedangkan promosi jabatan, gaji, atau bentuk reward dan punishment lainnya merupakan bentuk motivasi eksternal. c. Faktor Pelatihan Program pelatihan adalah sebuah pendekatan terapi yang diberlakukan untuk mengembalikan kendali atas hasil yang ingin diperoleh. Hal ini akan membantu meningkatkan kemampuan individu untuk mengatasi hal-hal yang membawa dampak buruk di dalam hidupnya. Menurut Luzza, Funk, dan Strang, pelatihan dapat mendorong individu hidup dengan internal locus of control (dalam Weissbein, Huang, Ford, & Schmidt, 2011).
25
C.
MAHASISWA Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah
orang yang belajar di perguruan tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 30 Tahun 1990, mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, Sarwono (1978) menyebutkan bahwa mahasiswa adalah setiap orang berusia 18-30 tahun yang resmi terdaftar untuk mengikuti proses belajar di perguruan tinggi. Sementara itu menurut Papalia, Olds, & Feldman (2009), mahasiswa, dalam masa perkembangannya, berada di tahap remaja akhir dengan rentang usia 18 – 21 tahun, yakni di masa transisi antara remaja menuju dewasa muda . Mahasiswa tingkat pertama adalah peserta didik yang terdaftar dan sedang belajar pada semester satu atau semester dua di perguruan tinggi.
D.
DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA TINGKAT PERTAMA Perkuliahan merupakan waktu yang penuh dengan tekanan bagi para
mahasiswa baru terkait dengan banyaknya perbedaan tuntutan antara masa sekolah dan masa kuliah. Stres yang timbul biasanya disebabkan oleh ketidaksiapan mereka dengan standar pendidikan yang lebih tinggi dimana mereka harus mengerjakan tugas dengan jumlah banyak dan dalam tenggang waktu singkat namun tetap selesai tepat waktu, pola hubungan antara dosen dengan
26
mahasiswa, pencarian teman baru, serta masalah kemandirian dan tanggung jawab yang meningkat. Stres yang dialami mahasiswa tingkat pertama ini kemudian perlu ditindaklanjuti karena berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, seperti pada nilai akademis, motivasi belajar, dan ketekunan belajar. Untuk itulah dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang baik yang dapat diandalkan untuk mengatasi stres yang mereka alami sebagai mahasiswa tingkat pertama. Schneiders (1964) memberikan beberapa kriteria individu dengan penyesuaian diri yang baik, salah satunya adalah kontrol diri, yaitu cara individu mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan diri dalam menghadapi peristiwa dalam hidupnya. Konsep ini oleh Rotter disebut dengan Locus of Control yang terdiri dari dua kutub yang bersifat kontinuum, internal dan eksternal. Individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal, yang meyakini bahwa ia memiliki kendali atas perisitiwa dalam hidupnya melalui kemampuan (ability) dan usaha (effort), disebutkan memiliki kontrol perilaku lebih baik, lebih aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi, memiliki self-esteem yang tinggi, dan memiliki kemampuan mengatasi stres lebih baik. Kemampuan ini tentu diperlukan oleh individu-individu yang sedang melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan ataupun lingkungan baru. Sedangkan bagi individu yang meyakini bahwa sumber penyebab peristiwa berada di luar kendalinya (external) akan cenderung menyalahkan lingkungan (context) atau menganggap bahwa mereka hanya sedang mengalami
27
ketidakberuntungan (luck). Hal ini diasumsikan akan menyebabkan penyesuaian diri yang dilakukan akan berjalan lebih lama karena akan lebih sulit mengubah lingkungan atau hal-hal yang ada di luar kendali diri.
E.
HIPOTESA PENELITIAN Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka peneliti memiliki hipotesa
bahwa terdapat hubungan negatif antara locus of control dengan penyesuaian diri pada mahasiswa tingkat pertama. Semakin tinggi tingkat locus of control seseorang (semakin eksternal), maka akan semakin buruk penyesuaian dirinya. Demikian sebaliknya, semakin rendah tingkat locus of control seseorang (semakin internal), maka akan semakin baik pula penyesuaian dirinya. Selain itu, terdapat hipotesis lainnya yang juga ingin dibuktikan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Ada hubungan negatif antara locus of control dengan penyesuaian diri akademik, sosial, dan komitmen. 2. Pada dimensi prestasi, ada hubungan negatif antara kemampuan (ability), usaha (effort), konteks (context), dan keberuntungan (luck) dengan penyesuaian diri, baik secara akademik, sosial, dan komitmen. 3. Pada dimensi afiliasi, ada hubungan negatif antara kemampuan (ability), usaha (effort), konteks (context), dan keberuntungan (luck) dengan penyesuaian diri, baik secara akademik, sosial, dan komitmen.