6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1.
Tinjauan Pustaka Fadly Sutrisno (2010), menyatakan usaha untuk memperlambat proses
sedimentasi adalah dengan mengadakan pekerjaan teknik sipil untuk mengendalikan gerakannya menuju bagian sungai di sebelah hilir. Pekerjaan teknik sipil tersebut berupa pembangunan bendung penahan (check dam), kantong lahar, bendung pengatur (sabo dam), bendung konsolidasi serta pekerjaan normalisasi alur sungai dan pengendalian erosi di lereng-lereng pegunungan. 1. Bendung Penahan (check dam) Bendung-bendung penahan dibangun di sebelah hulu yang berfungsi memperlambat gerakan dan berangsur-angsur mengurangi volume banjir lahar. Untuk menghadapi gaya-gaya yang terdapat pada banjir lahar maka diperlukan bendung penahan yang cukup kuat. Selain itu untuk menampung benturan batu-batu besar, maka mercu dan sayap bendung harus dibuat dari beton atau pasangan yang cukup tebal dan dianjurkan sama dengan diameter maksimum batu-batu yang diperkirakan akan melintasi. Sangat sering runtuhnya bendung penahan disebabkan adanya kelemahan pada sambungan konstruksinya, oleh sebab ini sambungansambungan harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. 2. Bendung Pengatur (sabo dam) Bendung pengatur (sabo dam) disamping dapat pula menahan sebagian gerakan sedimen, fungsi utama bendung pengatur adalah untuk mengatur jumlah sedimen yang bergerak secara fluvial dalam kepekatan yang tinggi, sehingga jumlah sedimen yang meluap ke hilir tidak berlebihan. Dengan demikian besarnya sedimen yang masuk akan seimbang dengan kemampuan daya angkut aliran air sungainya, sehingga sedimentasi pada daerah kipas pengendapan dapat dihindarkan.
6
7
3. Bendung Konsolidasi Peningkatan agradasi dasar sungai di daerah kipas pengendapan dapat dikendalikan dan dengan demikian alur sungai di daerah ini tidak mudah berpindahpindah. Guna lebih memantapkan serta mencegah terjadinya degradasi alur sungai di daerah kipas pengendapan ini, maka dibangun bendung-bendung konsolidasi (consolidation dam). Jadi bendung konsolidasi tidak berfungsi untuk menahan atau menampung sedimen yang berlebihan. 4. Kantong Lahar Bahan-bahan endapan hasil letusan gunung berapi atau hasil pelapukan batuan lapisan atas permukaan tanah yang oleh pengaruh air hujan bergerak turun dari lereng-lereng gunung berapi atau pegunungan memasuki bagian hulu alur sungai arus deras. Oleh aliran air sungai arus deras ini bahan-bahan endapan ini bergerak turun baik secara massa maupun secara fluvial dengan konsentrasi yang tinggi memasuki bagian sungai di sebelah hilirnya. Khoirul Murod (2002) menyatakan bahwa untuk mengamankan kota Yogyakarta diterapkan teknologi sabo yaitu dengan membuat check dam di Kali Boyong. Kali Boyong merupakan satu sungai yang berhulu di Gunung Merapi, dan mengalir membelah kota Yogyakarta. Dengan kondisi yang demikian maka kota Yogyakarta adalah rawan bencana akibat dan letusan Gunung Merapi. Bencana tersebut dapat akibat langsung berupa awan panas maupun tidak langsung berupa aliran lahar atau debris. Check dam ini mempunyai fungsi mengendalikan sedimen, yaitu menahan sementara waktu saat banjir yang kemudian akan melepaskan saat debit-debit kecil sehingga akan terbuka kembali ruang untuk menampung lahar atau debris pada banjir berikutnya. Sungai-sungai di wilayah dataran Sleman, Yogyakarta telah dikembangkan dan dimanfaatkan perairannya untuk berbagai keperluan. Sesuai dengan tujuannya, berbagai jenis bangunan air telah dibangun di sepanjang sungai-sungainya. Diantara berbagai pemanfaatan sumber daya air sungai dan bangunan air yang dibangun tersebut adalah sebagai berikut : 1. Dam Penahan Aliran Lahar (Sabo Dam) yang ditujukan untuk pengendalian hasil-hasil erupsi Gunung Merapi.
7
8
2. Bangunan Pengambilan Air (BPA) dengan menggunakan bendung atau bangunan pengambilan air lainnya untuk irigasi. Menurut Sunjoto di seluruh wilayah Kabupaten Sleman terdapat 474 BPA permanen, 462 BPA semi permanen dan 1.488 BPA sementara yang digunakan untuk mengairi areal irigasi seluas 57.482 Ha. 3. Bendung konsolidasi atau bangunan terjunan (dropped structure) yang diperlukan guna pengaturan slope sungai atau untuk keperluan stabilisasi fondasi jembatan. 4. Bangunan pelindung tebing untuk keperluan pengamanan tanggul sungai (Budi Kamulyan dan Darmanto, 2004) Bencana alam yang disebabkan oleh meletusnya gunung berapi akan mengeluarkan lahar panas mengalir lewat puncak gunung dan setelah ada pengaruh suhu udara dingin akan berubah menjadi lahar dingin (debris flow) mencari dataran yang lebih rendah dan akhirnya kesungai. Sepanjang aliran sungai terbentang beberapa bangunan pengairan yang didesak oleh aliran debris flow sehingga mengalami kerusakan-kerusakan dan fungsinya. 1. Aliran debris flow dan gunung berapi Aliran debris yaitu campuran pasir, batu, kayu dan air bergerak kolektif dari dasar sampai permukaan aliran, terjadi apabila kemiringan dasar sungai lebih besar atau sama dengan kemiringan dasar kritk aliran debris (Anonim, 2000). Material luruhan tebing yang akan tertimbun dalam volume besar di dalam alur menimbulkan pembendungan aliran. Kalau terjadi debit besar akan terjadi proses liquefaksi pada timbunan dalam alur dan aliran debris atau lahar dingin (lahar hujan). Aliran lahar dingin (lahar hujan/debris flow) ini merupakan bencana yang mengancam harta dan benda masyarakat yang berada pada lintasan alirannya. Aliran debris ini terjadi dengan karakteristik bergeraknya seluruh sedimen dengan berbagai besar butiran secara bersamaan. Gerakan ini disebabkan oleh komponen gaya berat yang berarah sejajar dengan kemiringan dasar alur. Deposit sedimen ini bergerak “jatuh bebas” karena mengalami pencairan/likuefaksi (H.R.Mulyanto, 2008).
8
9
2. Bangunan Sabo Dam / Groundsill / Consolidasi Dam 1) Bangunan Sabo Dam Teknologi Sabo yaitu teknologi yang digunakan untuk mengendalikan pergerakan sedimen/pasir yang berlebihan serta menanggulangi bencana yang diakibatkannya, dapat diterapkan dalam mengendalikan sedimentasi yang berlebihan. Sabo adalah istilah dalam bahasa jepang yang secara harafiah berarti mencegah pasir, telah lama dimanfaatkan di dunia sebagai suatu teknologi dalam menanggulangi pergerakan sedimen/tanah dan bencana yang diakibatkannya. Sedimentasi hasil letusan gunung api, longsoran kaki bukit dan erosi lahan kritis pada umumnya mengendap dulu sementara di bagian hulu sungai sebelum mengalir ke hilir bersama air hujan. Jikalau endapan sedimen yang tidak terkonsolidasi tersebut mengalir ke hilir bersama air hujan. Jikalau endapan sedimen yang tidak terkonsolidasi tersebut mengalir ke hilir akibat hujan dalam jumlah besar dan dengan waktu yang sangat singkat akan mengakibatkan kerusakan dibagian hilir. Untuk mencegah fenomena yang merugikan tersebut, aliran sedimen perlu dikendalikan dengan bangunan sabo yang disebut check dam. Tujuan pembuatan check dam ialah untuk menahan erosi dasar, menampung dan mengontrol aliran sedimen agar debit puncak aliran sedimen dapat direduksi. Manfaat pembuatan check dam ialah sedimen mengalir ke hilir terkendali secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga tidak merusakkan bangunan sungai maupun daerah hilir (Anonim, 2000). Bangunan check dam sedapat mungkin diletakkan pada tanah dasar dan atau tebing yang keras. Jika check dam diletakkan pada tanah endapan, bangunan check dam harus dilengkapi dengan subdam dan lantai lindung apron. Bangunan Sabo Dam adalah konstruksi pembendung aliran sedimen debris yang dibuat melintang sungai dengan ketinggian Mercu tertentu sesuai dengan kaidah perencanaan bangunan Sabo. Sabo Dam akan berperan paling dominan dalam menjalankan fungsi mereduksi volume hanyutan sedimen dengan menampungnya dalam kolam hulunya sehingga tidak memasuki bendung. Tinggi dan banyaknya dam harus mampu mengubah aliran debris (massive transport) menjadi angkutan dasar (bed-load transport type). Rangkaian Sabo Dam untuk aliran debris yaitu
9
10
a. Dam untuk perubahan : mengubah aliran sedimen massal menjadi angkutan individu (tipe bercelah). b. Dam untuk perlindungan : menjaga ketersediaan kapasitas tampung bagi aliran sedimen (tipe tertutup). Komponen Utama Sabo Dam adalah a. Dam Utama (main dam), dengan komponen bangunan berupa pelimpas (spillway/crest opening), sayap (wring wall), lubang alir (drainage pipe/weep holes). b. Struktur bangunan pendukung (supporting structures), terdiri dari apron, dinding tepi (revetment), sub-sabo dam dan pelindung tegak. Seluruh fungsi menahan, mengontrol dan menampung sedimen dilakukan sepenuhnya oleh dam utama, fungsi struktrur pendukung adalah mengamankan stabilitas dam utama terhadap ancaman erosi atau degradasi dasar sungai (H.R.Mulyanto, 2008). 2) Groundsill Groundsill atau ambang dasar adalah untuk mencegah erosi dasar ruas sungai di hulunya dengan melandaikan dasarnya agar tidak mengalami erosi aitau degradasi dengan membentuk stable slope. Penetapan lokasi-lokasi bangunan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada di lapangan, antara lain : a Berbagai kondisi dan phenomena di alur sungai, seperti degradasi dasar sungai, longsoran tebing, pertemuan sungai keberadaan bangunan sungai lainnya. b Sebaiknya groundsill tidak dibuat tepat di tikungan sungai, tetapi di bagian hilirnya. Groundsill
pada
suatu
lokasi
diharapkan
dapat
dipakai
untuk
menentukan/mengatur arah aliran dan mengurangi/mencegah erosi dasar. Bangunan ambang dasar dengan ketinggian 3-5 meter dilengkapi dengan apron dan dinding samping (H.R.Mulyanto, 2008). 3) Consolidasi Dam (Dam Konsolidasi) Konstruksi ini dibuat untuk memulihkan elevasi dasar ruas sungai di hulunya yang mengalami degradasi ke elevasi semula atau lebih tinggi dimana dapat tercapai stable slope serta menahan proses degradasi berlanjut. Keuntungan tambahan dari
10
11
konstruksi ini adalah mengurangi/mencegah runtuhnya tebing-tebing sungai karena stabilnya dasar. Dam konsolidasi dan ambang dasar dapat dibuat pada hanya satu lokasi untuk melindungi struktur tertentu, atau berangkai menurut kebutuhan, sepanjang ruas tertentu dari sungai sebagai penahan erosi alur sungai di hulu (H.R.Mulyanto, 2008). M. Shafai Bajesten dan K.Neisi, (2009), menyatakan bahwa dalam pembuatan stilling basin dari penelitiannya memperkenalkan sebuah kekasaran permukaan dasar pada loncatan air yang baru dalam kolam olakan /penenang. Dalam mencapai gagasan tersebut, pertama ekspresi baru dikembangkan untuk rangkaian kedalaman dan
panjang locatan air. Kemudian, loncatan air dilakukan pada
karakteristik prismatic permukaan dasar kolam olakan. Unsur-unsur kekasaran tertambat pada permukaan dasar dari hilir saluran air/ flume dari spillways ogee sedemikian rupa sehingga masuk jet air di atas unsur permukaannya. Masing-masing bentuk unsur kekasaran diuji didalam Froude Number yang berbeda, mulai 4,5 hingga 12. Pada setiap pengujian, profil permukaan air, panjang gulungan ombak dan panjang loncatan air diukur dan garis bujur/ longitudo dan kecepatan aliran vertikal juga diukur dalam beberapa pengujian. Menerapkan hasil percobaan, koefisien gaya geser ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran unsur kekasaran dapat meningkatkan gaya geser dan, akibatnya, mengurangi panjang melompat dan kedalaman aliran berikutnya. Perbandingan hasil dengan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa menggunakan kekasaran permukaan dasar yang baru, panjang cekungan dapat menurunkan serendah 40% dari kolam biasa. Dr. Ashraf M. Elmoustafa (2012), menyatakan ketika air dilepaskan melewati spillway/mercu bendung, energi potensial diubah menjadi kinetic energi di dasar spillway. Energi ini harus dihamburkan untuk mencegah kemungkinan memutuskan gerusan dasar sungai hilir dan merusak pondasi yang dapat menyebabkan kegagalan spillway dan bendungan. Untuk tujuan ini penyerapan energi (disipasy energi) harus digunakan memainkan pengurangan energi dengan mengubah energi kinetic menjadi turbulensi. Disipasi energy (Penyerapan energi ) dapat dicapai dengan cara beberapa metode seperti stilling basin (kolam penenang). Pembentukan hydraulic jump (loncatan air) di stilling basin akan menyebabkan disipasi energi berlebih.
11
12
Didalam stilling basin, yang keluar aliran superkritis dari spillway/mercu bendung berkurang aliran subkritis oleh lonjakan hidrolik. Desain stilling basin diatur oleh beberapa parameter seperti: 1) Dasar pondasi, 2) Pendekatan Froude Number, 3) Pengaruh sudut aliran sehubungan dengan lantai stilling basin, 4) Ketinggian tail water dan 5) Pertimbangan ekonomis. Dalam rangka untuk mengurangi biaya proyek, komponen-komponen tertentu, seperti blok penyekat, ambang akhir dan chute blok dipasang sepanjang lantai stilling basin untuk mengontrol dan menstabilkan jump (loncatan air) membantu untuk disipasi energi berlebih. Penggunaan perlengkapan ini mengizinkan pemendekan stilling basin dan bertindak sebagai faktor keamanan terhadap sweep out jump (tinggi loncatan air hilir) . Pada rehabilitasi beberapa bangunan terkadang mengalami kondisi penyediaan dana yang terbatas. Ini tentu saja diperlukan konsep skala prioritas pada rehabilitasi dalam pengambilan keputusan. Pada pengambilan keputusan diperlukan metode seleksi untuk menentukan peringkat/prioritas tersebut yang dapat menampung berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi, dalam hal ini metode yang diusulkan adalah Methode Analitycal Hierarchy Process. Penggunaan AHP sudah banyak diaplikasikan beberapa pemeliti dalam mengambilan keputusan. antara lain sebagai berikut : 1. Wahyudiana (2009) menggunakan aplikasi AHP dalam penentuan Prioritas pemeliharaan jalan kabupaten berdasarkan ketersediaan alokasi dana dalam studi kasus jalan kabupaten di Kabupaten Tulungagung. Kriteria-kriteria yang dipakai adalah Kriteria mengenai kondisi struktur jalan, dengan variabel berupa parameter tingkat kerusakan jalan, Kriteria mengenai kondisi lalu lintas, dengan variabel berupa lalu lintas harian rata-rata/LHR, Kriteria mengenai kondisi pelayanan, dengan variabel berupa bobot fungsi jalan dan bobot tingkat pelayanan fungsi jalan, Kriteria mengenai tuntutan masyarakat pengguna jalan.
12
13
2. FA Luky Primantari (2008) menggunakan aplikasi AHP bagi analisis permasalahan prioritas System Operation Procedure (SOP) dalam pengelolaan Bandar Udara Internasional Adi Sumarmo Surakarta. 3. Sutikno (2009) menggunakan aplikasi AHP
dalam Sistem penentuan skala
prioritas pemeliharaan bangunan sekolah SMK Negeri I Kota Singkawang 4. Bambang Basuki Hartanto (2009) menggunakan AHP dalam Evaluasi kerusakan dan peningkatan kinerja jaringan irigasi Jetu. Adapun kriteria prioritas adalah tingkat kerusakan, biaya, dan lain-lain. 5. Risdiansyah, M. Isya2 dan Sofyan M. Saleh (2014) dalam Studi Penentuan Prioritas Penanganan Ruas Jalan Nasional Bireuen – Lhokseumawe - Pantonlabu Penentuan prioritas dilakukan pada 5 (lima) segmen ruas jalan yang memiliki geometrik jalan dengan lebar 6 – 7 meter dengan mengggunakan 4 (empat) faktor kriteria yaitu faktor volume lalu lintas, kapasitas jalan, kondisi jalan dan kecelakaan lalu lintas.
2.2.
Landasan Teori
2.2.1. Bangunan Bendung Bendung Tetap Bangunan air ini dengan kelengkapannya dibangun melintang sungai atau sudetan, dan sengaja dibuat untuk meninggikan muka air dengan ambang tetap sehingga air sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke jaringan irigasi. Kelebihan airnya dilimpahkan ke hilir dengan terjunan yang dilengkapi dengan kolam olak dengan maksud untuk meredam energi. Ada 2 (dua) tipe atau jenis bendung tetap dilihat dari bentuk struktur ambang pelimpahannya, yaitu: (a) Ambang tetap yang lurus dari tepi ke tepi kanan sungai artinya as ambang tersebut berupa garis lurus yang menghubungkan dua titik tepi sungai. (b) Ambang tetap yang berbelok-belok seperti gigi gergaji. Type seperti ini diperlukan bila panjang ambang tidak mencukupi dan biasanya untuk sungai dengan lebar yang kecil tetapi debit airnya besar. Maka dengan menggunakan tipe ini akan didapat panjang ambang yang lebih besar, dengan demikian akan didapatkan kapasitas pelimpahan debit yang besar. Mengingat bentuk fisik 13
14
ambang dan karakter hidrolisnya, disarankan bendung type gergaji ini dipakai pada saluran. Hal-hal yang diterapkan di sungai harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Debit relatif stabil 2. Tidak membawa material terapung berupa batang-batang pohon 3. Efektivitas panjang bendung gergaji terbatas pada kedalaman air pelimpasan tertentu. Bangunan utama terdiri dari berbagai bagian yang akan dijelaskan secara terinci dalam pasal berikut ini. Pembagiannya dibuat sebagai berikut : a Bangunan bendung b Bangunan pengambilan c Bangunan pembilas (penguras) d Kantong lumpur e Perkuatan sungai f Bangunan-bangunan pelengkap Bangunan bendung adalah bagian dari bangunan utama yang benar-benar dibangun
di
dalam
air.
Bangunan
ini
diperlukan
untuk
memungkinkan
dibelokkannya air sungai ke jaringan irigasi, dengan jalan menaikkan muka air di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai seperti pada tipe bendung saringan bawah (bottom rack weir). Bila bangunan tersebut juga akan dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai, maka ada dua tipe yang dapat digunakan, yakni: (1) bendung pelimpah dan (2) bendung gerak (barrage) Bendung adalah bangunan pelimpah melintang sungai yang memberikan tinggi muka air minimum kepada bangunan pengambilan untuk keperluan irigasi. Bendung merupakan penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan luas di daerah-daerah hulu bendung tersebut. Bendung gerak adalah bangunan berpintu yang dibuka selama aliran besar; masalah yang ditimbulkannya selama banjir kecil saja. Bendung gerak dapat mengatur muka air di depan pengambilan agar air yang masuk tetap sesuai dengan
14
15
kebutuhan irigasi. Bendung gerak mempunyai kesulitan-kesulitan eksploitasi karena pintunya harus tetap dijaga dan dioperasikan dengan baik dalam keadaan apa pun. Bendung saringan bawah adalah tipe bangunan yang dapat menyadap air dari sungai tanpa terpengaruh oleh tinggi muka air. Tipe ini terdiri dari sebuah parit terbuka yang terletak tegak lurus terhadap aliran sungai. Jeruji Baja (saringan) berfungsi untuk mencegah masuknya batu-batu bongkah ke dalam parit. Sebenarnya bongkah dan batu-batu dihanyutkan ke bagian hilir sungai. Bangunan ini digunakan di bagian/ruas atas sungai di mana sungai hanya mengangkut bahan-bahan yang berukuran sangat besar. Untuk keperluan-keperluan irigasi, bukanlah selalu merupakan keharusan untuk meninggikan muka air di sungai. Jika muka air sungai cukup tinggi, dapat dipertimbangkan pembuatan pengambilan bebas; bangunan yang dapat mengambil air dalam jumlah yang cukup banyak selama waktu pemberian air irigasi, tanpa membutuhkan tinggi muka air tetap di sungai. Alat yang yang digunakan yaitu pompa yang dapat juga dipakai untuk menaikkan air sampai elevasi yang diperlukan. Akan tetapi, karena biaya pengelolannya tinggi, maka harga air irigasi mungkin menjadi terlalu tinggi pula. (Direktorat Jenderal Pengairan , Departemen Pekerjaan Umum , 1986). 2.2.2. Perhitungan Desain Bendung Berdasarkan Kriteria Perencanaan Irigasi Menurut konsep dasar pengembangan regional yang dimulai tahun 2006 kondisi desain yang dipakai dalam detail desain dalam perencanaan bendung dan fasilitasnya adalah sebagai berikut : 1.
Tidak ada perubahan elevasi existing sill pada pintu intake pengambilan/intake.
2.
Tidak ada perubahan existing lebar pintu pengambilan /intake.
3.
Tidak ada perubahan elevasi existing puncak bendung / crest weir. Detail desain Bendung khususnya bangunan utama berdasarkan Standart
Desain Irigasi berdasarkan Kriteria Perencanaan (KP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengairan , Departemen Pekerjaan Umum , 1986.
15
16
A. Perhitungan Hidrolis 1) Lebar Bendung Lebar bendung, yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Di bagian ruas bawah sungai, lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit penuh (bankful discharge): di bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini banjir mean tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata-rata bendung. Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata sungai pada ruas yang stabil. Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahan-bahan sedimen kasar yang berat, lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata-rata sungai, yakni jangan diambil 1,2 kali lebar sungai tersebut. Agar pembuatan bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran 3
1
per satuan lebar hendaknya dibatasi sampai sekitar 12-14.m /dt.m , yang memberikan tinggi energi maksimum sebesar 3,5 – 4,5 m ditunjukkan pada Gambar 2.1. Lebar efektif mercu (Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antara pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pancang, dengan persamaan berikut: Be =
B – 2 (nKp + Ka) H1
(2.1)
dengan : n Kp Ka H1
= = = =
jumlah pilar (buah) koefisien kontraksi pilar koefisien kontraksi pangkal bendung tinggi energi (m)
16
17
Gambar 2.1 Lebar efektif mercu (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
Harga-harga koefisien Ka dan Kp disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini : Tabel 2.1. Harga-harga Koefisien Kontraksi Bentuk Pilar
Kp
Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar Untuk pilar berujung bulat Untuk pilar berujung runcing
0,02
Bentuk Pangkal Tembok
Ka
Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90 ke arah aliran Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90 ke arah aliran dengan 0,5 H1 > 2 > 0,15 H1 Untuk pangkal tembok bulat, dimana r > 0,5 H1 dan tembok hulu tidak lebih dari 45 ke arah aliran.
0,20
0,01 0,00
0,10 0,00
Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya (dengan bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk 17
18
mengkompensasi perbedaan koefisien debit dibandingkan dengan mercu bendung itu sendiri. 2) Perencanaan Mercu Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung pelimpah : tipe bulat dan tipe Ogee ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Bentuk – bentuk mercu (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Kedua bentuk mercu tersebut dapat dipakai baik untuk konstruksi beton maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari keduanya. Kemiringan maksimum muka bendung bagian hilir yang dibicarakan di sini berkemiringan 1 banding 1 batas bendung dengan muka hilir vertikal mungkin menguntungkan jika bahan pondasinya dibuat dari batu keras dan tidak diperlukan kolam olak. Dalam hal ini kavitasi dan aerasi tirai luapan harus diperhitungkan dengan baik. (1) Mercu bulat Bendung dengan mercu bulat yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 memiliki harga koefisiensi debit yang jauh lebih tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang lebar. Pada sungai, ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisiensi debit menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu. Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1 /r) ditunjukkan pada Gambar 2.4. Bendung dengan dua jari-jari (R2) ditunjukkan pada Gambar 2.2, jari-jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga koefisien debit.
18
19
Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi sampai – 4 m tekanan air jika mercu terbuat dari beton; untuk pasangan batu tekanan subatmosfir sebaiknya dibatasi sampai –1 m tekanan air.
Gambar 2.3 Bendung dengan mercu bulat (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
Dari Gambar 2.4 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7 kali H1maks Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah: ,
=
= Co. C1. C2
(2.2) (2.3)
dengan : Q Cd Co C1 C2 g Be H1
= = = = = = = =
3
debit (m /dt) koefisien debit, Cd = C0C1C2 fungsi dari H1/r (Co = 1,49 max, jikaH1/r>5) factor dari p/h1 faktor dari p/h1 dan permukaan bendung di hulu percepatan gravitasi, ≅ 9,8 (m/dt2) lebar efektif mercu bendung (m) tinggi energi di atas mercu (m)
Koefisien debit Cd adalah hasil dari:
19
20
C0 yang merupakan fungsi H1/r ditunjukkan pada Gambar 2.5 C1 yang merupakan fungsi p/H1 ditunjukkan pada Gambar 2.6, dan C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung ditunjukkan pada Gambar 2.7 C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0 seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.4 Tekanan pada mercu bendung bulat sebagai fungsi perbandingan H1/r (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Harga-harga C0 pada Gambar 2.5 sahih (valid) apabila mercu bendung cukup tinggi di atas rata-rata alur pengarah (p/H1 ≥ sekitar 1,5). Dalam tahap perencanaan p dapat diambil setengah jarak dari mercu sampai dasar rata-rata sungai sebelum bendung tersebut dibuat. Untuk harga-harga p/h1 yang kurang dari 1,5, maka Gambar 2.6 dapat dipakai untuk menemukan faktor pengurangan C1.
20
21
Gambar 2.5 Harga-harga koefisien C0 untuk bendung ambang bulat sebagai fungsi perbandingan H1/r (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
Gambar 2.6 Koefisien C1 sebagai fungsi perbandingan P/H1(Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian hulu terhadap debit ditunjukkan pada Gambar 2.7. Harga koefisien koreksi, C2, diandaikan kurang lebih sama dengan harga faktor koreksi untuk bentuk-bentuk mercu tipe Ogee.
21
22
Gambar 2.7 Harga-harga koefisien C2 untuk bendung mercu tipe Ogee dengan muka hulu melengkung (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Harga-harga faktor pengurangan aliran tenggelam f sebagai fungsi perbandingan tenggelam dapat diperoleh dari Gambar 2.8. Faktor pengurangan aliran tenggelam mengurangi debit dalam keadaan tenggelam.
Gambar 2.8 Faktor pengurangan aliran tenggelam sebagai fungsi H2/H1 (Sub Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). (2) Mercu Ogee Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bandung ambang tajam aerasi. Oleh karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan subatmosfir pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu. 22
23
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps of Engineers telah mengembangkan persamaan berikut: =
dengan :
(2.4)
Y dan X = koordinat-koordinat permukaan hilir. K dan n = parameter hd = tinggi muka air diatas mercu (m). Nilai x dan y ditunjukkan pada Gambar 2.9 dan hd adalah tinggi energi rencana di atas mecu. Harga-harga K dan n adalah parameter. Harga-harga ini bergantung kepada kecepatan dan kemiringan permukaan belakang. Tabel 2.2 menyajikan hargaharga K dan n untuk berbagai kemiringan hilir dan kecepatan pendekatan yang rendah. Tabel 2.2 Harga-harga K dan n Kemiringan permukaan hilir vertikal 3:1 3:2 1:1
K
n
2.000 1,936 1,939 1,873
1,850 1,836 1,810 1,776
Sumber : Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir (lihat Gambar 2.9). Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung mercu Ogee adalah: ,
=
= Co. C1. C2
(2.5) (2.6)
dengan : Q Cd Co C1 C2 g Be H1
= = = = = = = =
3
debit (m /dt) koefisien debit, Cd = C0C1C2 constanta (=1,30) factor dari p/hd dan H1/hd factor koreksi permukaan bendung di hulu percepatan gravitasi, ≅ 9,8 (m/dt2) lebar efektif mercu bendung (m) tinggi energi di atas mercu (m) 23
24
Untuk mencari besarnya Co, C1 dan C2 pada bendung mercu bulat bisa dilihat pada Gambar 2.5, Gambar 2.6 dan Gambar 2.7 sedang untuk mencari besarnya C2 dan C0, C1 pada bendung mercu Ogee ditunjukkan pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8.
Gambar 2.9 Bentuk-bentuk bendung mercu Ogee ((Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
Gambar 2.10 Faktor koreksi untuk selain tinggi energi rencana pada bendung mercu Ogee (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
24
25
Koefisien debit efektif Ce adalah hasil C0, C1 dan C2 (Ce = C0C1C2). C0 adalah konstanta (= 1,30), C1 adalah fungsi p/hd dan H1/hd’ dan C2 adalah faktor koreksi untuk permukaan hulu. Faktor koreksi C1 disajikan pada Gambar 2.10 dan sebaiknya dipakai untuk berbagai tinggi bendung di atas dasar sungai. Harga-harga C1 pada Gambar 2.10 berlaku untuk bendung mercu Ogee dengan permukaan hulu vertikal. Apabila permukaan bendung bagian hulu miring, koefisien koreksi tanpa dimensi C2 harus dipakai; ini adalah fungsi baik kemiringan permukaan bendung maupun perbandingan p/H1. Harga-harga C2 dapat diperoleh dari Gambar 2.7. Gambar 2.11 menyajikan faktor pengurangan aliran tenggelam f untuk dua perbandingan: perbandingan aliran tenggelam H2/H1 dan P2/H1.
Gambar 2.11 Faktor pengurangan aliran tenggelam sebagai fungsi p2/H1 dan H2/H1. Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
25
26
3) Peredam energi Aliran di atas bendung di sungai dapat menunjukkan berbagai perilaku di sebelah bendung akibat kedalaman air yang ada h2. Gambar 2.12 menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari pola aliran di atas bendung. Gambar 2.12 A menunjukkan aliran tenggelam yang menimbulkan sedikit saja gangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang. Gambar 2.12 B menunjukkan loncatan tenggelam yang lebih diakibatkan oleh kedalaman air hilir yang lebih besar, daripada oleh kedalaman konjugasi. Gambar 2.12
C adalah
keadaan loncat air di mana kedalaman air hilir sama dengan kedalaman konjugasi loncat air tersebut. Gambar 2.12 D terjadi apabila kedalaman air hilir kurang dari kedalaman konjugasi; dalam hal ini loncatan akan bergerak ke hilir.
Gambar 2.12 Peredam energy (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Semua tahap ini bisa terjadi di bagian hilir bendung yang di bangun di sungai. Gambar 2.12 D adalah keadaan yang tidak boleh terjadi, karena loncatan air akan menghempas bagian sungai yang tak terlindungi dan umumnya menyebabkan penggerusan luas. Debit rencana yaitu untuk menemukan debit yang akan memberikan keadaan terbaik untuk peredaman energi, semua debit harus dicek dengan muka air hilirnya. Jika degradasi mungkin terjadi, maka harus dibuat perhitungan dengan muka air hilir terendah yang mungkin terjadi untuk mencek apakah degradasi mungkin terjadi. Degradasi harus dicek jika: 26
27
(a) bendung dibangun pada sodetan (kopur) (b) sungai itu sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi (c) terdapat waduk di hulu bangunan. Bila degradasi sangat mungkin terjadi, tetapi tidak ada data pasti yang tersedia, maka harga sembarang degradasi 2,50 m harus digunakan dalam perencanaan kolam olak, tetapi dengan fungsi sebagai berikut: (a) Untuk analisa stabilitas bendung (b) Untuk menyiapkan cut off end sill / analisa dimensi curve (c) Untuk keperluan perhitungan piping/seepage (d) Untuk perhitungan kolam olak/dimensi
4) Kolam loncat air Perencanaan kolam loncat air direncanakan seperti Gambar 2.13. Dari grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat ditemukan dari : 1
=
dengan : v1 = g = H1 = z =
(
(
)
)
(2.7)
kecepatan awal loncatan (m/dt) percepatan gravitasi, ≅ 9,8 (m/dt2) tinggi energi di atas ambang (m) tinggi jatuh (m)
Dengan q = v1y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah:
= (√ + dengan :
=
− )
(2.8) (2.9)
y2 = yu = Fr = v1 =
kedalaman air di atas ambang ujung, m kedalaman air di awal loncat air, m bilangan Froude kecepatan awal loncatan, m/dt
g =
percepatan gravitasi, m/dt (≅ 9,8)
2
27
28
Kedalaman konjugasi untuk setiap q dapat ditemukan dan diplot. Untuk menjaga agar loncatan tetap dekat dengan muka miring bendung dan di atas lantai, maka lantai harus diturunkan hingga kedalaman air hilir sekurang-kurangnya sama dengan kedalaman konjugasi. Untuk aliran tenggelam, yakni jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H 1 di atas mercu, tidak diperlukan peredam energi.
Gambar 2.13 Gambar perencanaan kolam loncat air (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.13) biasanya kurang dari panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill). Ambang yang berfungsi untuk memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan pada jarak Lj = 5 (n + y2)
(2.10)
dengan : Lj = n = y2 =
panjang kolam (m) tinggi ambang ujung (m) kedalaman air di atas ambang (m)
di belakang Potongan U. Tinggi yang diperlukan ambang ujung ini sebagai fungsi bilangan Froude (Fru), kedalaman air yang masuk yu, dan tinggi muka air hilir, dapat ditentukan dari Gambar 2.14.
28
29
Gambar 2.14 Parameter-parameter loncat air (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
Gambar 2.15 Hubungan percobaan antara Fr u, y2/yu untuk ambang ujung pendek (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Panjang kolam olak dapat sangat diperpendek dengan menggunakan blok-blok halang dan blok-blok muka. Gambar 2.16 menyajikan dimensi kolam olak USBR tipe III yang dapat dipakai jika bilangan Froude tidak lebih dari 4.5.
29
30
Gambar 2.16 Karakteristik kolam olak untuk dipakai dengan bilangan Froude di atas 4,5; kolam USBR Tipe III (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Jika kolam itu dibuat dari pasangan batu, blok halang dan blok muka dapat dibuat seperti ditunjukkan pada Gambar 2.16.
Gambar 2.17 Blok-blok halang dan blok–blok muka (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
30
31
Tipe kolam, terlepas dari kondisi hidrolis dapat dijelaskan dengan bilangan Froude dan kedalaman air hilir, kondisi dasar sungai dan tipe sedimen yang diangkut memainkan peranan penting dalam pemilihan tipe kolam olak: (a) Bendung di sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu besar dengan dasar yang relatif tahan gerusan, biasanya cocok dengan kolam olak tipe bak tenggelam/submerged bucket (lihat Gambar 2.17); (b) Bendung di sungai yang mengangkut batu-batu besar, tetapi sungai itu mengandung bahan alluvial, dengan dasar tahan gerusan, akan menggunakan kolam loncat air tanpa blok-blok halang (lihat Gambar 2.13) atau tipe bak tenggelam/peredam energi. (c) Bendung sungai yang hanya mengangkut bahan-bahan sedimen halus dapat direncanakan dengan kolam loncat air yang diperpendek dengan menggunakan blok-blok halang (lihat Gambar 2.15) Untuk tipe kolam olak yang terakhir, daya gerus sedimen yang terangkut harus dipertimbangkan dengan mengingat bahan yang harus dipakai untuk membuat blok. Pemilihan Kolam Olak didasarkan sebagai berikut : a.
Kondisi dasar sungai yang relatif tahan gerusan dan tipe sedimen yang diangkut berupa bongkah atau batu-batu besar, sangat cocok dipakai kolam olak tipe bucket / bak).
b.
Kondisi dasar sungai yang tahan gerusan dan type sedimen yang diangkut berupa batu-batu besar tetapi sungai itu mengandung bahan aluvial, sangat cocok dipakai kolam loncat air tanpa blok-blok halang (USBR tipe IV).
c.
Kondisi sungai yang mengangkut bahan-bahan sedimen halus, sangat cocok dipakai kolam loncat air yang diperpendek dengan menggunakan blok-blok halang (USBR tipe III).
Pengelompokan Tipe Kolam Olak berdasarkan bilangan Froude : Fr1 ≤ 1,7
Tidak memerlukan Ruang Olak.
1,7 < Fr1≤ 2,5 Digunakan Ruang Olak dengan Ambang Ujung. 2,5 < Fr1 ≤ 4,5
Digunakan Ruang Olak USBR Tipe IV dilengkapi dengan Blok Muka dan Ambang Ujung. 31
32
Fr1 ≥ 4,5
Digunakan Ruang Olak USBR Tipe III. dilengkapi dengan Blok Muka, Blok Halang dan Ambang Ujung.
Bilangan Froude (Fr) dapat dihitung dengan rumus persamaan sebagai berikut : = = dengan :
=
(9) +
(10) (11)
Fr = v1 =
bilangan Froude kecepatan awal loncatan, m/dt
g = h1 = Hu =
percepatan gravitasi, m/dt (≅ 9,8) kedalaman air di atas ambang ujung, m kedalaman air di awal loncat air, m
2
5) Peredam energi tipe bak tenggelam Jika kedalaman konjugasi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding kedalaman air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas bendung, maka dapat dipakai peredam energi yang relatif pendek tetapi dalam. Perilaku hidrolis peredam energi tipe ini terutama bergantung kepada terjadinya kedua pusaran; satu pusaran permukaan bergerak ke arah berlawanan dengan arah jarum jam di atas bak, dan sebuah pusaran permukaan bergerak ke arah putaran jarum jam dan terletak di belakang ambang ujung. Dimensi-dimensi umum sebuah bak yang berjari-jari besar diperlihatkan pada Gambar 2.17.
32
33
Gambar 2.18 Peredam energi tipe bak tenggelam(Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986).
Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan sejak lama dengan sangat berhasil pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan Fruode rendah. Kriteria yang dipakai untuk perencanaan diambil dari bahan-bahan oleh Peterka dan hasil-hasil penyelidikan dengan model. Bahan ini telah diolah oleh Institut Teknik Hidrolika di Bandung guna menghasilkan serangkaian kriteria perencanaan untuk kolam dengan tinggi energi rendah ini. Parameter-parameter
dasar
untuk
perencanaan
tipe
bak
tenggelam
sebagaimana diberikan oleh USBR sulit untuk diterapkan bagi perencanaan bendung dengan tinggi energi rendah. Oleh sebab itu, parameter-parameter dasar ini sebagai jari-jari bak, tinggi energi dan kedalaman air telah dirombak kembali menjadi parameter-parameter tanpa dimensi dengan cara membaginya dengan kedalaman kritis.
dengan :
= hc = kedalaman air kritis, m
(12)
3
q = debit per lebar satuan, m /dt.m g = percepatan gravitasi, m/dt (≅ 9,8) Jari-jari minimum bak yang diizinkan (Rmin) ditunjukkan pada Gambar 2.19, di mana garis menerus adalah garis asli dari kriteria USBR. Di bawah ΔH/h c = 2,5 USBR tidak memberikan hasil-hasil percobaan. Sejauh ini penyelidikan dengan model yang dilakukan oleh IHE menunjukkan bahwa garis putus-putus Gambar ini menghasilkan 33
34
kriteria yang bagus untuk jari-jari minimum bak yang diizinkan bagi bangunanbangunan dengan tinggi energi rendah ini.
Gambar 2.19 Jari – jari minimum bak (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Batas minimum tinggi air hilir (Tmin) ditunjukkan pada Gambar 2.20. ΔH/hc di atas 2,4 garis tersebut merupakan “envelope” batas tinggi air hilir yang diberikan oleh USBR bagi batas minimum tinggi air hilir (bak bercelah), “sweep-out limit”, batas minimum tinggi air hilir yang dipengaruhi oleh jari-jari bak dan batas tinggi air hilir untuk bak tetap. Dibawah ΔH/hc = 2,4 garis tersebut menggambarkan kedalaman konjugasi suatu loncat air. Dengan pertimbangan bahwa kisaran harga ΔH/hc yang kurang dari 2,4 berada di luar jangkauan percobaan USBR, maka diputuskanlah untuk mengambil kedalaman konjugasi sebagai kedalaman minimum air hilir dari bak untuk harga ΔH/hc yang lebih kecil dari 2,4. Pengalaman telah menunjukkan bahwa banyak bendung rusak akibat gerusan lokal yang terjadi tepat di sebelah hilirnya dan kadang-kadang kerusakan ini diperparah lagi oleh degradasi dasar sungai. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menentukan kedalaman air hilir berdasarkan perkiraan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di masa datang.
34
35
Gambar 2.20 Batas minimum tinggi air hilir (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Dari penyelidikan model terhadap bak tetap, IHE menyimpulkan bahwa pengaruh kedalaman tinggi air hilir terhadap bekerjanya bak sebagai peredam energi, ditentukan oleh perbandingan h2/h1 ditunjukkan Gambar 2.21. Jika h2/h1 lebih tinggi dari 2/3, maka aliran akan menyelam ke dalam bak dan tidak ada efek peredaman yang bisa diharapkan.
Gambar 2.21 Batas maksimum tinggi air hilir (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). 6) Kolam Vlugter Kolam Vlugter, yang detail rencananya ditunjukkan pada Gambar 2.22, telah terbukti tidak andal untuk dipakai pada tinggi air hilir di atas dan di bawah tinggi muka air yang sudah diuji di laboratorium. Penyelidikan menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam, yang perencanaannya mirip dengan kolam Vlugter, lebih baik. Itulah sebabnya mengapa pemakaian kolam Vlugter tidak lagi dianjurkan jika debit selalu mengalami fluktuasi misalnya pada bendung di sungai.
35
36
Gambar 2.22 Kolam olak menurut Vlugter (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). C. BANGUNAN PENGAMBILAN DAN PEMBILAS 1). Bangunan Pengambilan Pembilas pengambilan dilengkapi dengan pintu dan bagian depannya terbuka untuk menjaga jika terjadi muka air tinggi selama banjir, besarnya bukaan pintu bergantung kepada kecepatan aliran masuk yang diizinkan. Kecepatan ini bergantung kepada ukuran butir bahan yang dapat diangkut. Kapasitas
pengambilan
harus
sekurang-kurangnya
120%
dari
kebutuhan
pengambilan (dimension requirement) guna menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek. Rumus dibawah ini memberikan perkiraan kecepatan yang dimaksud:
dengan :
≥
(26)
v = kecepatan rata-rata, m/dt h = kedalaman air, m d = diameter butir, m Dalam kondisi biasa, rumus ini dapat disederhanakan menjadi: v ≈ 10 d
0.5
Dengan kecepatan masuk sebesar 1,0 – 2,0 m/dt yang merupakan besaran perencanaan normal, dapat diharapkan bahwa butir-butir berdiameter 0,01 sampai 0,04 m dapat masuk. =
(27)
36
37
dengan : 3
Q = debit, m /dt μ = koefisiensi debit: untuk bukaan di bawah permukaan air dengan kehilangan tinggi energi, μ = 0,80 b = lebar bukaan, m a = tinggi bukaan, m 2 g = percepatan gravitasi, m/dt (≅ 9,8) z = kehilangan tinggi energi pada bukaan, m Gambar 2.23 menyajikan dua tipe pintu pengambilan.
Gambar 2.23 Tipe pintu pengambilan (Sub-Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Irigasi I, Dirjend. Pengairan DPU, 1986). Bila pintu pengambilan dipasangi pintu radial, maka μ = 0,80 jika ujung pintu bawah tenggelam 20 cm di bawah muka air hulu dan kehilangan energi sekitar 10 cm. Untuk yang tidak tenggelam, dapat dipakai rumus-rumus dan grafik-grafik yang diberikan pada pasal 2.4. Elevasi mercu bendung direncana 0,10 di atas elevasi pengambilan yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan air pada bendung akibat gelombang. Elevasi ambang bangunan pengambilan ditentukan dari tinggi dasar sungai. Ambang direncana di atas dasar dengan ketentuan berikut: a) 0,50 m jika sungai hanya mengangkut lanau b) 1,00 m bila sungai juga mengangkut pasir dan kerikil c) 1,50 m kalau sungai mengangkut batu-batu bongkah. Harga-harga itu hanya dipakai untuk pengambilan yang digabung dengan pembilas terbuka; jika direncana pembilas bawah, maka kriteria ini tergantung pada
37
38
ukuran saluran pembilas bawah. Dalam hal ini umumnya ambang pengambilan direncanakan 0 < p < 20 cm di atas ujung penutup saluran pembilas bawah. 2). Pembilas Lantai pembilas merupakan kantong tempat mengendapnya bahan-bahan kasar di depan pembilas pengambilan. Sedimen yang terkumpul dapat dibilas dengan jalan membuka pintu pembilas secara berkala guna menciptakan aliran terkonsentrasi tepat di depan pengambilan. Pengalaman yang diperoleh dari banyak bendung dan pembilas yang sudah dibangun, telah menghasilkan beberapa pedoman menentukan lebar pembilas: a) lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi sebaiknya sama dengan 1/6 – 1/10 dari lebar bersih bendung (jarak antara pangkal-pangkalnya), untuk sungaisungai yang lebarnya kurang dari 100 m. b) lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan termasuk pilar-pilarnya. Detail desain Bendung (bangunan utama) berdasarkan Standart Desain Irigasi berdasarkan Kriteria Perencanaan (KP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengairan , Departemen Pekerjaan Umum , 1986.
2.2.3. Penilaian Kerusakan Bendung Penilaian kerusakan bendung untuk kriteria penetapan kondisi bangunan utama pedomannya berdasarkan Penilaian Jaringan Irigasi dari Subdit Bina Program Ditjen Air, Jakarta, 1999 seperti ditunjukkan pada Tabel 2.3.
38
39
Tabel 2.3 . Kriteria Penetapan Kondisi Bangunan Utama Bendung 1. Bangunan Utama (35%) Kondisi Bangunan No
1
Baik
Cukup
Rusak
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
80% - 100%
50 % - & 79 %
0 % - 49 %
Bangunan
Bangunan Pengambilan (12%) - Pintu Pengambilan (Intake ) (5%)
- Semua pintu dapat - Sebagian pintu dioperasikan tidak dapat dengan baik, dioperasikan secara mekanis dengan lancar dan hidrolis - Atap pelindung - Terdapat atap dan pengaman pelindung pintu pintu sebagian ada - Pengaman pintu yang rusak dan tembok - Daun pintu yang penahan banjir terpasang - Semua daun pintu dijumpai yang terpasang kebocoran tidak bocor - Terdapat petunjuk manual operasi bendung.
- Semua pintu tidak dioperasikan dengan lancar - Tidak terdapat atap pelindung dan pengaman pintu pengambilan (intake)
- Endapan / Lumpur (3%)
- Endapan di depan pintu tidak setinggi ambang pintu pengambilan (intake) - Mudah / selalu dikurus secara berkala
- Endapan di depan - Endapan sering pintu mencapai melampaui tinggi ambang ambang pintu pintu pengambilan pengambilan (intake) (intake) - Tidak selalu - Sulit/tidak dikuras secara pernah/ jarang berkala dikuras
-
-
-
39
40
Kondisi Bangunan No
Bangunan
Baik
Cukup
Rusak
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
50 % - & 79 %
0 % - 49 %
80% - 100%
- Pengukur Debit (3%)
- Papan Operasi Bendung (Papan Eksploitasi) (1%) 2
- Terdapat sarana pengukur debit yang kondisi fisik dan hidraulisnya berfungsi dengan debit. - Dilengkapi dengan table pembacaan debit. - Dilengkapi papan duga (peilschaal), pada posisi yang benar. - Terdapat papan operasi bendung yang masih baik - Papan tersebut selalu diisi data yang benar
- Sarana pengukuran debit kurang akurat. - Tidak terdapat papan duga (peilschaal).
- Sarana pengukuran debit tidak berfungsi. - Kondisi fisik dalam keadaan rusak. - Tidak terdapat sarana pengukuran debit & papan duga.
- Terdapat papan operasi bendung - Papan tersebut tidak / jarang diisi data yang benar
- Tidak terdapat papan operasi bendung - Kondisi rata-rata aspek diatas
Bangunan Penguras (Pembilas) (6%) - Pintu penguras/ pembilas (4%)
- Endapan Lumpur (2%)
- Semua pintu dapat - Sebagian pintu dioperasikan tidak dapat dengan baik, dioperasikan secara mekanis dengan baik, dan hidrolis secara hidolis dan - Semua daun pintu mekanis yang terpasang - Terdapat tidak bocor kebocoran pada daun pintu terpasang
- Semua pintu tidak bisa dioperasikan
- Tidak ada endapan di hilir pintu - Kantong Lumpur dalam keadaan baik
- Di hilir pintu penuh dengan endapan Lumpur
- Terdapat endapan di hilir pintu yang akan mengganggu pengurasan
40
41
Kondisi Bangunan No
Bangunan
Baik
Cukup
Rusak
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
50 % - & 79 %
0 % - 49 %
80% - 100%
3
Tubuh bendung (10%) - Mercu bendung (5%)
- Mercu dalam keadaan baik
- Pada mercu terdapat lubang air di beberapa tempat
- Mecu dalam keadaan rusak berat
- Lantai Hilir (Ruang Olakan) (4%)
- Tidak dapat gerusan di hilir yang terus menerus dan membahayakan konstruksi - Tidak ada rembesan yang keluar di hilir - Ruang olakan berfungsi dengan baik untuk meredam energi
- Terdapat gerusan dihilir yang terus menerus dan gejala rembesan yang menembus ruang olakan - Ruang olakan masih berfungsi untuk meredam energi
- Gerusan dihilir sudah membahayakan mercu/tubuh bendung - Ruang olakan sudah tidak berfungsi - Kondisi rata-rata aspek diatas 0%49% - Tidak terdapat papan duga
- Papan Duga (pielschaal) (1%)
- - Terdapat papan duga yang bias dibaca dengan baik - - Terpasang pada posisi elevasi yang benar untuk kondisi muka air normal dan banjir - Terdapat table pembaca debit aliran yang melintas diatas mercu
- Papan duga sudah tidak dapat dibaca - Papan duga terpasang pada elevasi yang salah
41
42
Kondisi Bangunan No
Bangunan
Baik
Cukup
Rusak
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
Kondisi rata-rata aspek :
50 % - & 79 %
0 % - 49 %
80% - 100%
4
5
Sayap (di hilir dan hulu bendung) (4%) - Sayap (2%)
- Konstruksi sayap masih baik - Lubang rembesan (wheepholes) berfungsi baik
- Konstruksi - Terdapat sayap dalam banyak keadaan utuh, retakan/patahan tetapi terdapat - Lubang retakan rembesan sudah - Lubang tidak berfungsi rembesan kurang berfungsi
- komperan (2%)
- Tidak ada gerusan pada koperan
- Terdapat gerusan pada koperan, tetapi tidak membahayakan sayap
Bangunan pelengkap bendung (3%)
- Terdapat - Jembatan diatas jembatan diatas bendung bendung mengalami (apabila kerusakan bendung ringan tersebut - Rumah PPA dan mempunyai 2 gudang intake / penguras penyimpanan kanan kiri) rusak - Terdapat rumah - BM (Bench PPA Mark) sudah - Terdapat gedung goyang / rusak penyimpanan (stop log, olie, dll) - Terdapat BM
- Terdapat gerusan pada koperan yang membahayakan sayap
- Jembatan diatas bendung tidak ada (bila ada 2 pintu pengambilan / intake / penguras kanakiri - Jembatan sudah tidak dapat di lalui - Tidak terdapat rumah PPA dan gudang penyimpanan
42
43
2.2.4. Teknis Rehabilitasi Bendung A. Keberfungsian bangunan Pemeriksaan keberfungsian bangunan bendung dapat dilaksanakan satupersatu atau kasus-perkasus namun dalam konteks sistem jaringan akan lebih tepat pemeriksaan/evaluasinya jika dilaksanakan untuk keseluruhan sistem. Untuk memudahkan pemeriksaan bangunan irigassi akan dilakukan dalam dua tahapan yaitu: a
pemeriksaan terhadap fungsi bangunan adalah untuk menjawab pertanyaan apakah bangunan dapat berfungsi sebagaimana yang direncanakan
b
pemeriksaan terhadap struktur bangunan adalah untuk mengetahui apakah kualitas konstruksi sesuai dengan spesifikasi teknis yang disyaratkan.
Secara sederhana pemeriksaan bangunan irigasi secara fungsi dapat dikelompokkan dalam 4 katagori yaitu sebagai berikut: a
Bangunan berfungsi dengan baik
b
Bangunan masih dapat berfungsi dengan kendala
c
Bangunan tidak dapat berfungsi dengan baik
d
Bangunan sama sekali tidak dapat berfungsi
Dalam
kondisi
tertentu
bangunan
irigasi
secara
konstruksi/struktur
keadaannya baik, namun tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana. Untuk mengatasi keadaan ini maka perlu review penataan sistem jaringan bila tidak memungkinkan maka bangunan akan sepenuhnya diperbaharui. B. Kualitas bangunan Kondisi fisik bangunan irigasi dapat berubah oleh karena berbagai sebab antara lain faktor internal misalkan karena keterbatasan kemampuan bangunan itu sendiri dan sebab dari luar misalkan erosi, cuaca, beban berlebihan, gaya external yang tak direncana. Kondisi diartikan sebagai gambaran utuh mengenai kondisi bangunan baik dilaksanakan secara visual maupun dideteksi di laboratorium bangunan. Sampai saat ini tidak ada pedoman yang baku mengenai tatacara penentuan kondisi fisik yang mengarah kepada kualitas bangunan, namun demikian
43
44
secara umum hasil studi Monenco (1984) memberikan acuan penilaian kondisi fisik bangunan seperti yang tercantum pada Tabel 2.4 sebagai berikut: Tabel 2.4 Penilaian Kondisi Fisik Bangunan hasil studi Monenco (1984) No
Kondisi fisik
Penilaian kondisi fisik
1
Baik
86 – 100 %
2
Cukup
66 – 85,9 %
3
Rusak ringan
45 – 65,9 %
4
Rusak sedang
26 – 45,9 %
5
Rusak berat
0 – 25,9 %
Penilaian kondisi fisik ini ditentukan dengan suatu kriteria teknis. Kriteria penilaian kondisi fisik untuk masing-masing bangunan dijabarkan secara khusus/berbeda untuk masing-masing jenis bangunan yang akan secara detail dilaksanakan oleh ahli bangunan. Secara umum kriteria besarnya angka persentase penilaian didasarkan kepada beberapa hal yaitu: a
Besarnya biaya untuk mereparasi/merehabilitasi
b
Akibat/konsekuensi dari kerusakan/penurunan kondisi bangunan
c
Jangka waktu pelaksanaan
d
Metode atau tingkat kesulitan pelaksanaan
e
Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, dan sebagainya.
Untuk memudahkan tatacara dalam pemeriksaan kondisi bangunan, pada lampiran disajikan contoh formulir penilaian kondisi bangunan/kerusakan bangunan.
C. Evauasi dan Tindak Lanjut Penilaian kondisi jaringan (bangunan/saluran) keairan hanyalah salah satu tahapan dalam pengelolaan sistem irigasi. Hasil penilaian ini perlu segera diikuti dengan kegiatan tindak lanjut terlepas dari besaran/tingkat kondisi bangunan. Berikut ini disajikan informasi langkah-langkah kegiatan yang akan dilaksanakan berdasar hasil evaluasi kondisi. Jika bangunan sudah pernah berfungsi dengan baik maka
44
45
konteks pengembalian fungsi dan kondisi bangunan dimudahkan dengan cakupan kegiatan pemeliharaan (maintenance) dan bukan pembangunan kembali (re build). Bentuk kegiatan pemeliharaan dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu: Pemeliharaan sungai secara teknis dapat dikelompokkan dalam 3 tingkatan: 1. Pemeliharaan preventip adalah untuk menangani kerusakan tingkat ringan misal dengan melakukan pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, reparasi. 2. Pemeliharaan korektip adalah untuk menangani kerusakan tingkat sedang misal dengan melakukan pemeliharaan khusus, rehabilitasi, rektifikasi 3. Pemeliharaan darurat adalah untuk menangani kerusakan tingkat berat. Penjelasan masing-masing kegiatan secara singkat adalah sebagai berikut: 1. Pemeliharaan Preventif Pemeliharaan
preventip,
yaitu
kegiatan
yang
dimaksudkan
untuk
melestarikan fungsi saluran maupun bangunan secara optimal. Kriteria umum dari pemeliharaan preventip adalah : a. Dilakukan terhadap bangunan yang kondisinya sudah mantap b. Pemeliharaan perlu dilakukan secara terus menerus atau kontinyu c. Terdiri dari pekerjaan pemeliharaan yang sederhana sehingga tidak memerlukan kelengkapan perhitungan disain maupun tim konsultan perencana. d. Tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan fungsi bangunan Agar tingkat layanan suatu bangunan dapat dipertahankan, maka pemeliharaan preventip ini perlu dilaksanakan secara tertib dan terprogram dari waktu ke waktu tanpa menunggu gejala penurunan kondisi dan kestabilan struktur bangunan yang menyolok. Dengan demikian segala kebutuhan yang diperlukan untuk melaksanakannya dapat diprogramkan secara pasti. Jenis kegiatan pemeliharaan preventip berupa : a. Pemeliharaan rutin, yaitu keseluruhan pekerjaan yang dilakukan berulang ulang setiap tahun diatur berdasarkan jadwal misalnya :
45
46
1 Membersihkan kotoran, semak dan tanaman liar yang menempel pada bangunan 2 Memelihara gebalan rumput pada permukaan lereng tanggul 3 Membuang sampah dan sangkrah yang mengganggu kelancaran pengoperasian bangunan. b. Pemeliharaan berkala, yaitu Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung dari waktu ke waktu dan berjaian menurut interval waktu terputus-putus dengan tujuan melestarikan memelihara fungsi dan sarana-sarana yang tersedia, misalnya : 1 pengecetan pintu bangunan 2 servise besar pada instalasi pompa banjir 3 overhaul kendaraan dan alat berat c. Reparasi atau perbaikan kecil Kegiatan berskala kecil yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangunan agar kondisinya sesuai dengan kapasitas rencana yang disebabkan oleh kerusakan kecil, misalnya: 1 Memperbaiki tanggul yang ambles atau permukaannya rusak 2 Perbaikan pada bagian konstruksi pasangan batu yang lepas, 3 Reparasi pintu angkat yang macet 4 Memperbaiki jalan inspeksi 5 Perbaikan AWLR atau staff gauge 2. Pemeliharaan Korektif Pemeliharaan korektip yaitu lebih mendasar dikerjakan untuk mendapatkan bangunan seperti kondisi waktu dibangun. Kriteria umum dari pemeliharaan korektip adalah : a. Dilakukan pada bangunan sungai yang kondisi strukturnya mengalami kerusakan berat sehingga nilai kinerjanya kurang dari 70%. b. Dilakukan apabila pemeliharaan rutin dipandang sudah tidak efisien lagi c. Bertujuan mengembalikan dan menyempurnakan fungsi bangunan pada tingkat kemampuan layanan semula (tidak melampaui kemampuan layanan Rencana).
46
47
d. Kebutuhan pemeliharaannya didasarkan pada perhitungan perencanaan struktur dan analisa biaya secara khusus (tidak dapat distandarkan). Pemeliharaan korektip dapat dibagi kedalam 3 bagian yaitu: a. Pemeliharaan khusus, yaitu pekerjaan perbaikan berat yang perlu dilakukan setelah nilai kinerja suatu bangunan atau bagian bangunan sudah berada dibawah 70% dari Rencana sehingga pekerjaan pemelihaaraan preventip sudah tidak efisien lagi. b. Rehabilitasi, yaitu pekerjaan perbaikan kerusakan bangunan dalam rangka mengembalikan fungsi bangunan yang nilai kinerjanya kurang dari SO%, menuju kepada kondisi semula tanpa merubah sistem dan tingkat layanan bangunan. c. Rektifikasi, adalah pekerjaan pembetulan/koreksi atau penyempurnaan dalam skala terbatas guna menyempurnakan fungsi dan nilai kinerja suatu bangunan atau sistem jaringan. Yang termasuk dalam kategori rektifikasi, misalnya: menambah bangunan baru atau mengubah panjang saluran dalam rangka antisipasi erosi/longsoran. Rektifikasi ini diperlukan mengingat banyaknya fenomena alam yang sampai kini belum terpecahkan model matematisnya, sehingga pada waktu merencanakannya banyak dilakukan asumsi yang belum tentu tepat. 3. Pemeliharaan Darurat Pemeliharaan darurat adalah pemeliharaan yang perlu dikerjakan pada waktu yang sangat mendesak dengan kualitas pekerjaan yang benarbenar darurat. Kriteria umum pekerjaan pemeliharaan darurat adalah : a. Dilaksanakan pada bagian – bagian bangunan sungai yang mengalami perubahan atau gangguan yang bersifat mendadak b. Dilaksanakan pada kondisi darurat (bencana banjir tanah longsor dll). c. Mutu hasil kerjanya bersifat darurat dan tidak perlu didukung dengan analisis perencaanaan yang mendetail) Pekerjaan
pemeliharaan
darurat
tidak dapat
diprogramkan
sesuai
keperluan, karena terjadinya kerusakan bangunan sungai bersifat mendadak dan
47
48
gejalanya tidak diketahui sebelumnya, misalnya pada saat banjir, tanah longsor atau bencana lainnya. Agus Hari W., 2008,
2.2.5. Konsep Skala Prioritas Rehabilitasi Bendung Adanya kebijakan pendanaan semua pelaksanaan pembangunan tidak dapat tertangani seluruhnya. Dalam penyusunan program pembangunan rehabilitasi bendung dan fasilitasnya harus menghasilkan urutan prioritas pelaksanaan pembangunan rehabilitasi yang akan ditangani. Maka diperlukan metode atau sistem seleksi untuk menentukan prioritas tersebut dalam pengambilan keputusan. Sistem Pendukung Pengambil Keputusan.adalah suatu pendekatan sistematis kepada hakekat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. Untuk mempermudah dan pempercepat proses pengambilan keputusan, diperlukan suatu bentuk sistem pendukung keputusan (Decision Support System). Sistem Pendukung keputusan diharapkan dapat menampung analisis-analisis yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif (Suryadi, 2002)
1) Analisis SWOT. SWOT adalah kependekan dari Strenghts, Weakness, Opotunities, Threats (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman). Analisis SWOT digunakan untuk membantu pengambilan keputusan dalam merancang strategi jangka panjang sehingga arah dan tujuannya dapat tercapai. Analisis SWOT bersifat kualitatif yaitu membandingkan antara faktor internal Strenghts dan Weakness dengan faktor eksternal Opotunities dan Threats (Suryadi, 2002). Faktor internal dan eksternal dalam analisis SWOT disusun dalam bentuk matriks seperti ditunjukkan pada Tabel 2.5.
48
49
Tabel 2.5 Matriks SWOT (Suryadi, 2002) Kekutan dan Kelemahan
STRENGHTS (S) WEAKNESS (W) Faktor kekuatan Faktor kelemahan internal internal
Peluang dan Hambatan
OPPORTUNITIES (O) Faktor peluang eksternal
STRATEGI SO Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
STRATEGI WO Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang.
TREATH (T) Faktor hambatan eksternal
STARTEGI ST Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi hambatan.
STRATEGI WT Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari hambatan.
Kekurangan analisis SWOT yaitu dalam proses perencanaan, seseorang harus menghabiskan sebagian waktunya guna memikirkan hal-hal positif (strengths, opportunities) dan sebagiannya lagi untuk mengurusi hal-hal negatif (weaknesses, threats). Namun kenyataannya, manusia cenderung lebih suka menonjolkan hal-hal negatif (weaknesses, threats). Padahal, sebaiknya kita melupakan kekurangan dan pengalaman buruk yang terjadi di masa lalu.
2) Metode Bayes. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria. Pembuat keputusan dengan Metode Bayes dilakukan melalui upaya pendekatan kemungkinan terjadinya suatu kejadian dan dinyatakan dengan suatu bilangan antara 0 (nol) dan 1 (satu). Namun seringkali hal ini dianggap sebagai probabilitas pribadi atau subyektif dimana bobot
49
50
Bayes didasarkan pada tingkat kepercayaan, keyakinan, pengalaman serta latar belakang pengambilan keputusan (Marimin, 2005). Nilai peluang didapatkan dari suatu informasi awal yang dapat bersifat subyektif maupun obyektif. Nilai peluang ini dapat diperbaiki dengan adanya informasi tambahan yang didapat dari sejumlah percobaan. Informasi awal tentang nilai peluang ini disebut distribusi prior, sedangkan nilai peluang yang sedang diperbaiki dengan informasi tambahan disebut peluang posterior. Metode Bayes ini mempunyai memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah: a. Interpolation. Metode Bayes menghubungkan segala hal dengan teori-teori engineering. Pada saat berhadapan dengan suatu problem, terdapat pilihan mengenai seberapa besar waktu dan usaha yang dilakukan oleh manusia vs komputer. b. Language. Metode Bayes mempunyai bahasa tersendiri untuk menetapkan hal-hal yang prior dan posterior. Hal ini secara signifikan membantu pada saat menyelesaikan bagian yang sulit dari sebuah solusi. c. Intuitions. Metode Bayes melibatkan prior dan integration, dua aktivitas yang berguna secara luas.
Beberapa kekurangan yang signifikan dari Metode Bayes, diantaranya adalah: a. Information theoretically infeasible. Pada kenyataannya menentukan prior pada Metode Bayes merupakan hal yang cukup sulit. Kita harus menentukan angka yang riil untuk semua parameter pada model keseluruhan. b. Computionally infeasible. Walaupun dapat ditentukan prior secara akurat, namun proses perhitungan posterior kemungkinan sangatlah sulit. Kesulitan ini membutuhkan perkiraan komputasional. c. Unautomatic. Selama terdapat problem-problem baru, selalu terdapat kebutuhan akan adanya ahli-ahli Bayesian untuk menyelesaikannya. d. Dibutuhkan banyak hitungan komputasional yang sulit untuk menjalankan metode ini.
50
51
3) Sistem Pakar. Sistem Pakar adalah sebuah program komputer yang dirancang untuk mengambil keputusan seperti keputusan yang diambil oleh seorang pakar, dimana Sistem Pakar menggunakan pengetahuan (knowledge), fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah, yang biasanya hanya dapat diselesaikan oleh seorang pakar dalam satu bidang keahlian tertentu. Komponen Sistem Pakar terdiri dari 1) Antar Muka Pemakai (User Interface), 2) Basis Pengetahuan (Knowledge Base), 3) Mekanisme Inferensi (Inference Machine), 4) Memori Kerja (Working Memory) (Hartati, S. dan Iswanti, S., 2008). Perbandingan antara sistem konvensional dengan sistem pakar seperti ditunjukkan pada Tabel 2.5.
Seperti halnya pada sistem yang lain, Sistem Pakar juga memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan, diantaranya sebagai berikut (Arhami, M., 2005): a. Keunggulan Sistem Pakar, diantaranya dapat: 1. Menghimpun data dalam jumlah yang sangat besar. 2. Menyimpan data tersebut untuk jangka waktu yang panjang dalam suatu bentuk tertentu. 3. Mengerjakan perhitungan secara cepat dan tepat tanpa jemu mencari kembali data yang tersimpan dengan kecepatan tinggi. b. Kelemahan Sistem Pakar, diantaranya adalah: 1. Masalah dalam mendapatkan pengetahuan dimana pengetahuan tidak selalu bisa didapatkan dengan mudah, karena kadangkala pakar dari masalah yang kita buat tidak ada, kalaupun ada kadang-kadang pendekatan yang dimiliki pakar berbedabeda. 2. Untuk membuat suatu sistem pakar yang benar-benar berkualitas yang tinggi sangatlah sulit dan memerlukan biaya yang sangat besar untuk pengembangan dan pemeliharaannya. 3. Boleh jadi sistem tak dapat membuat keputusan. 4. Sistem pakar tidaklah 100% menguntungkan, walaupun seorang tetap tidak sempurna atau tidak selalu benar. Oleh karena itu perlu diuji ulang secara teliti
51
52
sebelum digunakan. Dalam hal ini peran manusia tetap merupakan faktor dominan.
Tabel 2.6 Perbandingan sistem konvensional dengan sistem pakar (Arhami, M., 2005) Sistem Konvensional
Sistem Pakar
Informasi dan pemrosesan umumnya
Basis pengetahuan dari mekanisme
digabung dalam satu program.
pemrosesan (inferensi).
Program tidak pernah salah (kecuali
Program bisa saja melakukan
pemrogramannya yang salah).
kesalahan.
Tidak menjelaskan mengapa input
Penjelasan (explanation) merupakan
dibutuhkan atau bagaimana hasil
bagian dari system pakar.
yang diperoleh. Membutuhkan semua input data.
Tidak harus membutuhkan semua input data atau fakta.
Perubahan pada program merepotkan.
Perubahan pada kaidah dapat dilakukan dengan mudah.
Sistem bekerja jika sudah lengkap.
Sistem dapat bekerja hanya dengan kaidah yang sedikit.
Eksekusi secara algoritmik (step-bystep).
Eksekusi dilakukan secara heuristik dan logis.
Manipulasi efektif pada database
Manipulasi efektif pada basis
yang besar.
pengetahuan yang besar.
Efisiensi adalah tujuan utama.
Efektifitas adalah tujuan yang utama.
Data kuantitatif.
Data kualitatif.
Representasi dalam numerik.
Representasi pengetahuan dalam simbolik.
Menangkap, menambah dan
Menangkap, menambah dan
mendistribusi data numerik atau
mendistribusi pertimbangan
informasi.
(judgment) dan pengetahuan.
52
53
4) Metode Delphi. Metode Delphi adalah modifikasi dari teknik penulisan dan survey. Metode ini menggunakan beberapa kuesioner yang tertuang dalam tulisan. Obyek dari metode ini adalah untuk memperoleh konsensus yang paling dapat dipercaya (reliable) dari sebuah grup ahli. Metode Delphi merupakan metode yang menyelaraskan proses komunikasi suatu grum sehingga dicapai proses yang efektif dalam mendapatkan solusi masalah yang kompleks (Marimin, 2005). Pendekatan Delphi memiliki tiga grup yang berbeda yaitu: pembuat keputusan, staf dan responden. Sebuh grup kerja yang terdiri dari lima sampai sembilan anggota yang tersusun atas staf dan pembuat keputusan bertugas mengembangkan dan menganalisis semua kuesioner, evaluasi pengumpulan data dan merevisi kuesioner yang diperlukan. Prosedur metode Delphi adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan pertanyaan Delphi. b. Memilih dan kontak dengan responden. c. Memilih ukuran contoh. d. Mengembangkan kuesioner dan test pertama. e. Analisa kuesioner pertama. f. Pengembangan kuesioner dan test kedua. g. Analisa kuesioner kedua. h. Mengembangkan kuesioner dan test ketiga. i. Analisa kuesioner ketiga. j. Menyiapkan laporan akhir.
Seperti halnya pada sistem yang lain, Metode Delphi juga memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan, diantaranya sebagai berikut (Marimin, 2005): a. Keunggulan Metode Delphi antara lain : 1. Metode Delphi mengabaikan nama dan mencegah pengaruh yang besar satu anggota terhadap anggota lainnya. 2. Masing-masing responden memiliki waktu yang cukup untuk mempertimbangkan masing-masing bagian dan jika perlu melihat informasi yang diperlukan untuk mengisi kuesioner. 3. Perhatian langsung pada masalah.
53
54
4. Memenuhi kerangka kerja. 5. Menghasilkan cacatan dokumen yang tepat. b. Kelemahan Metode Delphi antara lain : 1. Lambat dan menghabiskan waktu. 2.Tidak mengizinkan untuk kemungkinan komunikasi verbal melalui pertemuan langsung perseorangan. 3.Responden dapat salah mengerti terhadap kuesioner atau tidak memenuhi ketrampilan komunikasi dalam bentuk tulisan. 4. Konsep Delphi adalah ahli. Para ahli akan mempresentasikan opini yang tidak dapat dipertahankan secara ilmiah dan melebih-lebihkan. 5. Mengasumsikan bahwa Delphi dapat menjadi pengganti untuk semua komunikasi manusia di berbagai situasi.
5) Analytic Network Process atau ANP Analytic Network Processatau ANP adalah teori umum pengukuran relatif yang digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang salingberinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol (Saaty, 2003). ANP merupakan pendekatan baru dalam proses pengambilan keputusan yang memberikan kerangka kerja umum dalam memperlakukan keputusan-keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi tentang independensi elemen-elemen pada level yang lebih tinggi dari elemen-elemen pada level yang lebih rendah dan tentang independensi elemen-elemen dalam suatu level. Malahan ANP menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level seperti pada hierarki yang digunakan dalam Analytic Hierarchy Process (AHP), yang merupakan titik awal ANP. Konsep utama dalam ANP
adalah
influence
‘pengaruh’,
sementara
konsep
utama
dalam
AHP
adalah preferrence‘preferensi’.AHP dengan asumsi-asumsi dependensinya tentang cluster dan elemen merupakankasus khusus dari ANP. Analytic Network Process atau ANP merupakan pendekatan baru metode kualitatif, yang bersifat non parametrik dan non bayesian, untuk suatu proses pengambilan keputusan yang memberikan kerangka kerja umum dalam memperlakukan keputusan-keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi tentang independensi elemenelemen pada level yang lebih tinggi dari elemen-elemen pada level yang lebih rendah
54
55
dan tentang independensi elemen-elemen dalam suatu level. Bahkan ANP menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level seperti pada hierarki yang digunakan dalam
Analytic Hierarchy Process (AHP) Kelebihan ANP dari
metodologi yang lain adalah kemampuannya untuk membantu kita dalam melakukan pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan. Tidak ada metodologi lain yang mempunyai fasilitas sintesis seperti metodologi ANP. Sementara itu, kesederhanaan metodologinya membuat ANP menjadi metodologi yang lebih umum dan lebih mudah diaplikasikan untuk studi kualitatif yang beragam, seperti pengambilan keputusan,
forecasing, alokasi sumber daya, dan lain
sebagainya. ANP dapat dijelaskan dari tiga prinsip/fungsi utamanya yaitu: 1) dekomposisiatau analisis untuk menstruktur kompleksitas masalah; 2) penilaian komparasi untuk pengukuran ke dalam skala rasio; dan 3) komposisi untuk melakukan sintesis, yaitu menyatukan kembali semua bagian yang telah diurai dan diukurmenjadi satu kesatuan. Dibandingkan dengan metodologi pendahulunya, AHP,ANP
memiliki
beberapa
kelebihan,
seperti
komparasi
yang
lebih
obyektif,prediksi yang lebih akurat, dan hasil yang lebih stabil dan robust. (Ascarya, 2005).
6) Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode AHP adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, member nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang
55
56
beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat. Prinsip dalam memecahkan persoalan dengan AHP, yaitu (Saaty, 1991): a. Prinsip menyusun hirarki (Decomposition), memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan ini maka proses analisis ini dinamai hirarki. b. Prinsip menentukan prioritas (Comparative Judgement), membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat yang diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. c. Prinsip konsistensi logis (Logical Consistency), konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Metode untuk
prioritas rehabilitasi bendung yang dapat menampung
berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi, dalam hal ini metode yang diusulkan adalah Methode Analitycal Hierarchy Process. AHP mempunyai banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat menggambarkan secara grafis, sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam AHP keputusan yang komplek dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan lebih mudah. Beberapa keuntungan dapat diperoleh bila memecahkan persoalan dan pengambilan keputusan dengan menggunakan AHP (Marimin, 2004). Kelebihan Metode Analytical Hierarchi Process (AHP) dibandingkan dengan pendekatan pengambilan keputusan lain, metode Analytical Hierarchi Process memiliki sejumlah keunggulan yakni : 1) Dapat memasukkan pendapat masyarakat pengguna sehingga hasilnya bisa diterima. 2) Proses pengambilan keputusan yang terbuka dan eksplisit.
56
57
3) Pilihan tujuan dan kriteria yang dibuat oleh suatu grup pengambil keputusan terbuka untuk dianalisis dan diubah jika dirasa tidak sesuai. 4) Skoring dan pembobotan jika digunakan juga terbuka dan dikembangkan sesuai dengan teknik yang sudah mapan (established techniques). Juga dapat diperiksa dengan sumber informasi lain atau suatu nilai relatif, bahkan dapat diubah jika diperlukan. 5) Pengukuran kinerja dapat diwakilkan kepada ahli, sehingga tidak perlu melibatkan pengambil keputusan dalam kegiatan ini. 6) Dapat menyediakan media komunikasi diantara pengambil keputusan dan dapat juga dengan komunitas yang lebih luas. 7) Skor dan bobot yang digunakan dapat diaudit dengan track yang jelas. Urutan prioritas usulan ditentukan berdasarkan besarnya jumlah manfaat yang didapat dari jumlah perkalian antara bobot kepentingan kriteria dengan nilai kriteria untuk setiap bendung dan fasilitasnya. Parameter yang digunakan pada metode pembobotan, disusun berdasarkan sasaran dan tujuan yang sesuai dengan program rehabilitasi dan pemeliharaan bendung, yaitu ; merehabilitasi kerusakan bendung dan fasilitasnya oleh karena pengaruh debris flow ( aliran lahar dingin) Gunung Merapi sehingga bermanfaat untuk pengembangan regional di areal Gunung Merapi. Hasil pembobotan kriteria digunakan untuk mendapatkan nilai manfaat masing-masing kriteria. Berdasarkan hasil evaluasi perbandingan, hasil urutan prioritas usulan dengan metode pembobotan dinilai lebih baik dan lebih lengkap. ( Fataruba dan Aryani, 2006 ) Metode Analytical Hierarchi Process ( AHP ) Analytical Hierarchi Process mendeskripsikan suatu pendekatan terstruktur dalam mengambil keputusan sebagai suatu pilihan umum (overall preference) diantara sejumlah alternatif yang dianggap mampu memenuhi serangkaian tujuan (objectives).
Pada dasarnya Proses langkah dalam metode AHP meliputi: a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. b. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif yang tingkatan kriteria yang paling bawah
57
58
c. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan konstribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria setingkat diatasanya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibanding elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya maka digunakan skala kuantitatif 1 (satu) sampai 9 (sembilan). d. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh Judgement seluruhnya sebanyak n*((n-1)/2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. e. Menghitung nilai eugen dan menguji
konsistensinya, jika
tidak konsistensi
pengambilan data diulangi. f. Mengulangi Langkah c, d dan e untuk seluruh tingkat hirarki. g. Menghitung vektor dari setiap matrik perbandingan berpasangan. Nilai vektor merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensitesis
judgement dalam
penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. h. Memeriksa konsistensi, jika nilainya lebih dari indek randomnya maka penilaian data harus diperbaiki.
Skema umum proses Analytical Hierarchi Process secara umum disampaikan pada Gambar 2.24. Lebih spesifik secara metodologis proses aplikasi Analytical Hierarchi Process dalam pengambilan keputusan dan prioritas antar alternatif disampaikan pada Gambar 2.25. Pada intinya Analytical Hierarchi Process membutuhkan 2 masukan yakni weighting dan scoring.
58
59
Level 1 Tujuan
Level 2 Aktor/ Stakeholder
Level 3 Kriteria
Level 4 Alternatif
Tujuan ( Objectives )
Aktor 1
Aktor 2
Kriteria 1
Alternatif 1
Aktor 3
Kriteria 2
Alternatif 2
Aktor 4
Kriteria 3
Alternatif 3
Aktor 5
Aktor 6
Kriteria 4
Alternatif 4
Gambar 2.24 Skema Analytical Hierarchi Process ( Sumber : Saaty, 1992 )
59
60
Pairwise comparison
Bobot antar criteria
Expert judgement
Skor antar alternatif
( weighting )
( scoring )
Performance Matrix
Weighted score
Prioritas
Gambar 2.25 Aplikasi Analytical Hierarchi Process dalam Menentukan Prioritas
Skoring dan Pembobotan Teknik Analisis Multi Kriteria umumnya mengaplikasikan analisis numerik terhadap suatu matriks kinerja dalam dua tahapan, yakni: 1) Skoring : besarnya preferensi terhadap suatu alternatif (pilihan) terhadap kriteria tertentu. Dalam hal ini skor yang lebih tinggi dari suatu alternatif menunjukkan preferensi yang lebih tinggi terhadap alternatif tersebut. 2) Pembobotan : pemberian suatu bobot yang ditetapkan untuk setiap kriteria yang menyatakan penilaian relatif antar kriteria.
a. Proses Skoring Penilaian kinerja atau skoring alternatif terhadap variabel kriteria umumnya dilakukan dalam skala penilaian antara 0 s/d 10. Skor atau nilai tertinggi yakni 10, diberikan untuk alternatif atau variable yang kinerjanya terbaik dalam memenuhi tujuan dari setiap variabel yang mewakili setiap kriteria prioritas perencanaan rehabilitasi bendung atau fasiltas irigasi. Untuk menghindari penilaian yang tingkat subyektifitasnya berlebihan, maka diusahakan bahwa variabel terpilih akan berupa variabel kuantitatif, dengan alasan:
60
61
1) Dengan tidak adanya variabel kualitatif maka skoring yang seharusnya dilakukan oleh panel expert dapat diwakili oleh Peneliti karena skoring dapat dilakukan dengan membandingkan langsung nilai variabel yang ditampilkan oleh setiap alternatif. 2) Lebih mudah dan transparan penilaiannya, sehingga mempermudah aplikasi model yang dikembangkan ini di dalam prakteknya oleh pejabat di daerah. Di studi ini metoda Analytical Hierachy Process (AHP) tidak digunakan secara penuh (parsial), di mana proses skoring tidak dilakukan oleh sebuah panel expert namun skoring dilakukan oleh peneliti. Dengan asumsi semua variabel kriteria berupa data kuantitatif, maka skoring dapat dilakukan dengan memperbandingkan secara langsung besaran variabel kriteria yang ditampilkan oleh setiap alternatif yang diperbandingkan. Dalam penelitian ini metoda penilaian yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Alternatif dengan angka variabel yang terbaik dari suatu kriteria diberi nilai kinerja maksimum, yakni 10. 2) Nilai kinerja untuk alternatif lain (yang lebih rendah) dihitung sebagai proporsi terhadap variabel pada alternatif dengan variabel terbaik menggunakan formulasi berikut: a)
Untuk variabel terbaik adalah angka tertinggi :
Nilai alternatif X b)
( Nilai var iabel alternatif X ) x 10 ( Nilai var iabel alternatif terbaik )
Untuk variabel terbaik adalah angka terendah:
Nilai alternatif X
( Nilai var iabel terbaik ) x 10 ( Nilai var iabel alternatif X )
Nilai atau skor yang didapat oleh setiap variabel dari seluruh kriteria yang digunakan selanjutnya diurut dan nilai terbesar hingga terkecil atau sebaliknya untuk kemudian dirangking sebagai urutan prioritas penanganan.
b. Pembobotan (weighting) Pembobotan diperoleh dari pairwise comparison hasil persepsi stakeholders (aktor). Sedangkan skoring untuk jumlah alternatif yang banyak paling cocok dilakukan dengan pendekatan expert judgement dari ahli (dalam hal ini diwakili
61
62
peneliti). Proses skoring dapat diminimalisir porsi judgemental-nya jika variabel alternatif diusahakan berupa data kuantitatif yang dapat diperbandingkan secara langsung besarannya.
c. Pembentukan Matriks Kinerja (Performance Matrix) Matriks kinerja (performance matrix) merupakan representasi dari tingkat pemenuhan kriteria dari suatu altematif yang merupakan hasil perkalian dari skor alternatif terhadap variabel kriteria dengan besarya bobot setiap criteria. Contoh matriks kinerja disampaikan pada Tabel 2.7. Penyimpulan prioritas untuk setiap alternatif ditentukan oleh besarnya nilai kinerja alternatif (Pi), di mana altenatif yang menunjukkan nilai Pi yang lebih besar akan lebih diprioritaskan. Tabel 2.7 Contoh Pembentukan Matriks Kinerja Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4
Kinerja
Alternatif 1 S11 * W1
S12 * W2
S13 * W3
S14 * W4
P1
Alternatif 2 S21 * W1
S22 * W2
S23 * W3
S24 * W4
P2
Alternatif i
Si2 * W2
Si3 * W3
Si4 * W4
Pi
Si1 * W1
Keterangan: Sij
: Skor alternatif i thd kriteria j
Wj
: Bobot kriteria j
Sij* Wj
: Skor terbobotkan (weighted score)
Pi
: Kinerja alternative i : ∑ Sij * Wij
Inti dari Analytical Hierarchi Process adalah pada metoda untuk mengkonversi perkiraan subyektif dari tingkat kepentingan relatif ke dalam suatu set skor atau bobot total. Metoda ini pertama kali dikemukakan oleh Saaty (1986). Input dasar untuk AHP adalah jawaban para pengambil keputusan terhadap serangkaian pertanyaan yang dalam bentuk umum dapat diekspresikan sebagai berikut: "Seberapa penting kriteria A relatif terhadap kriteria B?". Kondisi ini menyatakan adanya perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Dalam hal ini penilaian dapat 62
63
dilakukan dengan memberikan suatu skala penilaian yang menunjukkan seberapa besar perbedaan tingkat kepentingan antara dua criteria. Sebagai contoh dalam memberikan skala penilaian yang lazim digunakan untuk membandingkan tingkat kepentingan antara dua variabel ditunjukkan pada Tabel 2.8. Metoda dasar yang dikembangkan Saaty untuk mengidentifikasi bobot dari suatu kriteria didasarkan pada ide yang relatif lanjut dari aljabar matriks dan menghitung bobot sebagai elemen dari suatu eigenvector yang diasosiasikan dengan maksimum eigenvector dari suatu matriks.
Tabel 2.8 Skala penilaian antar Kriteria Perbandingan Nilai Relatif antara Kriteria i dan Kriteria j ( Xy )
Penilaian
1
Sama Penting
3
Difinisi Penjelasan
Dua kriteria (i dan j) memiliki tingkat kepentingan terhadap efektifitas pemenuhan tujuan yang sama
Relatif Lebih Kriteria i sedikit lebih penting/efektif penting dibandingkan kriteria j dalam memenuhi tujuan
5
Lebih Penting
Kriteria i memiliki tingkat kepentingan yang cukup besar dibandingkan kriteria j dalam memenuhi tujuan
7
Sangat Penting
Kriteria i memliki tingkat kepentingan yang sangat besar dibandingkan kriteria j dalam memenuhi tujuan
9
Jauh Lebih Penting
Kriteria i memiliki tingkat kepentingan yang jauh lebih besar dibandingkan kriteria j dalam memenuhi tujuan
2, 4, 6, 8
Nilai Antara Penilaian diantara nilai relatif lainnya
Sumber : Saaty, 1986 Dari hasil perbandingan berpasangan tersebut akan diperoleh suatu matrik perbandingan berpasangan, contohnya disampaikan pada Tabel 2.9.
63
64
Tabel 2.9 Contoh Matrik Perbandingan Berpasangan Kriteria
a
b
c
d
e
f
g
a
1
Xab
Xac
Xad
Xae
Xaf
Xag
b
Xba
1
Xbc
Xbd
Xbe
Xbf
Xbg
c
Xca
Xcb
1
Xcd
Xce
Xcf
Xcg
d
Xda
Xdb
Xdc
1
Xde
Xdf
Xdg
e
Xea
Xeb
Xec
Xed
1
Xef
Xeg
f
Xfa
Xfb
Xfc
Xfd
Xfe
1
Xfg
g
Xga
Xgb
Xgc
Xgd
Xge
Xgf
1
Sumber : Saaty, 1986 Prosedur estimasinya relatif kompleks, dalam hal ini alternatif yang lebih pantas adalah dengan mengikuti alur berikut ini: 1. Hitung rata-rata geometrik dari setiap baris dalam matriks, 2. Jumlahkan seluruh rata-rata geometrik yang dihasilkan pada langkah (1), 3. Normalisasi setiap rata-rata geometrik dengan membaginya dengan total seluruh rata-rata geometrik yang dihitung pada langkah (2). Bobot kriteria dan skor yang dihitung dengan perbandingan berpasangan, maka pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan linear additive model, di mana semua alternatif akan memiliki skor terbobotkan (weighted score). Dalam hal ini alternatif yang lebih disukai akan memiliki nilai skor terbobotkan yang tertinggi.
64