5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat dan di Lahan Gambut Kabupaten Kubu Raya Hingga saat ini, sekitar 50 persen dari lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dengan 1,7 juta hektar (ha) yang sedang atau akan digunakan sebagai perkebunan (WWF Kalimantan Barat, 2014 (tidak dipublikasikan)). Luas keseluruhan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat adalah 1312517 ha (Tabel 1). Kabupaten Ketapang memiliki perkebunan kelapa sawit paling luas (358630 ha) dan Kota Singkawang memiliki perkebunan kelapa sawit paling kecil (6117 ha). Kabupaten Kubu Raya tempat penelitian dilaksanakan memiliki luas perkebunan kelapa sawit 72384 ha. Tabel 1. Luasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat tahun 2014 Kabupaten Landak Sambas Bengkayang Singkawang Sanggau Sekadau Sintang Melawi Kapuas Hulu Ketapang Kayong Utara Kubu Raya Total
Total Luas Areal (ha)
Total Produksi (ton tahun-1)
Perkebun KK
60621 74616 66843 6117 236037 94194 132750 38853 75176 358630 33641 72384 1312517
72973 41.147 52105 3338 344249 105153 148320 24577 32644 280552 20788 37603 1174499
6419 7.452 4633 112 35253 13093 11517 3.202 1.510 16.891 847 762 102883
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat (2014)
Wilayah Kabupaten Kubu Raya berdasarkan Peta Jenis Tanah memiliki luas lahan gambut sekitar 342984 ha atau 49,1% luas total kabupaten. Identifikasi kelas kedalaman lahan gambut dibedakan menjadi 4 kelas, yakni gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam, dan gambut sangat dalam (Tabel 2). Pengembangan lahan gambut untuk kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya mengacu pada Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Peraturan
6
Menteri Pertanian No. 14/2009, terutama pada lahan gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter (gambut dangkal dan gambut sedang) dan pada kawasan area penggunaan lain (APL) (Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar, 2012). Tabel 2. Luas dan perentase lahan gambut per kecamatan menurut kedalaman di Kabupaten Kubu Raya Kecamatan Sungai Raya
Rasau Jaya Sungai Ambawang
Kuala Mandor Sungai Kakap Teluk Pakedai Terentang
Kubu Batu Ampar Jumlah
Tipe Gambut Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Dalam Gambut Sangat Dalam Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Dalam Gambut Sangat Dalam Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Dangkal Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Sangat Dalam Gambut Dangkal Gambut Sedang Gambut Dangkal Gambut Sangat Dalam
Luas ha
persentase (%)
51391 2625 18484 22724 38243 38041 201 12752 8797 3955 5788 22580 7559 70018 13578 14494 2079 49958 19821 2759 74557 68770 342984
14,98 0,77 5,39 6,63 11,15 11,09 0,06 3,72 2,56 1,15 1,69 6,58 2,20 20,41 3,96 4,23 0,61 14,57 5,78 0,80 21,74 20,05 100,00
Sumber: Krisnohadi (2011)
Berdasarkan kriteria kesesuaian untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya terdapat lahan gambut yang cukup sesuai (S2) dan sesuai bersyarat (S3). Kelas lahan S2 tersebar di Kecamatan: Batu Ampar, Kuala Mandor, Kubu, Sungai Raya, Teluk Pakedai, dan Terentang, masing-masing dengan luas sekitar 3423, 1678, 2424, 1451, 670, dan 1021 ha. Kelas lahan
7
S3 tersebar di Kecamatan:
Batu Ampar, Kuala Mandor, Kubu, Rasau Jaya, Sungai
Ambawang, Sungai Raya, Sungai Kakap, Teluk Pakedai, dan Terentang, masing-masing dengan luas sekitar 3016, 11760, 14570, 12749, 12189, 22941, 2522, 2304, d a n 10166 ha. Sebagian lahan gambut lainnya masuk ke dalam kelas lahan tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit dengan luas sekitar 49 ha. Faktor pembatas utama pengembangan kelapa sawit di Kabuapten Kubu Raya adalah drainase tanah yang sangat buruk (tergenang permanen) sehingga pH tanah sangat masam pada kedalaman kurang dari 3,5 m. Drainase merupakan keadaan tata air dalam tubuh profil tanah yang merupakan resultan atau hasil akhir dari gerakan air yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air aliran permukaan (run off). Kedalaman muka air tanah ikut mempengaruhi keadaan drainase karena gerakan air kapiler ke arah permukaan tanah ikut mempengaruhi tubuh tanah. Air tanah yang tergenang pada lahan gambut mengakibatkan profil terlalu basah, pori-pori cenderung terisi air sehingga oksigen menjadi kurang. Pada lokasi kelas lahan S2 ini, ratarata saluran drainase telah teratur, sehingga kemungkinan perakaran pohon kelapa sawit relatif mudah berkembang (Krisnohadi, 2011). Tingkat pH gambut merupakan salah satu faktor pembatas utama yang memiliki kemungkinan untuk menghambat produktivitas tanaman kelapa sawit. pH adalah parameter yang dikendalikan oleh sifat-sifat reaksi elektrokimia koloid-koloid tanah. Istilah ini menunjukkan kemasaman dan kebasaan tanah yang derajadnya ditentukan oleh kadar ion hidrogen di dalam tanah. Tingkat kemasaman tanah dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh perakaran tanaman dimana setiap unsur hara di dalam tanah ketersediaannya secara maksimal dijumpai pada kisaran tertentu (Damayanti, 2002). Secara teoritis pH optimum untuk pertumbuhan tanaman antara 6,0-7,0, karena pada kisaran pH tersebut ketersediaan unsur-unsur hara tanaman terdapat dalam jumlah besar dan kebanyakan unsur hara mudah larut di dalam air sehingga mudah diserap akar tanaman. Demikian pula mikroorganisme tanah akan menunjukan aktivitas terbesar pada kisaran pH ini. Rata-rata nilai pH lahan gambut Kabupaten Kubu Raya tergolong masam dengan kisaran 3,254,40, dan ini masih kurang memenuhi syarat tumbuh tanaman kelapa sawit. Oleh karena itu, diperlukan usaha peningkatan pH tanah untuk menghasilkan produksi yang optimal, termasuk mengurangi reaksi asam humat atau fulvat lahan gambut.
8
Tabel 3. Kelas kesesuaian lahan gambut untuk kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya Kelas Lahan
Faktor Pembatas
Luas ha
%
S2d
Drainase tanah sedang, pH tanah masam
10668
10,36
S3, f, n, d
Kesuburan tanah rendah, drainase tanah buruk
92218
89,59
N
Tidak sesuai
49
0,005
102935
100,00
Jumlah Sumber: Krisnohadi (2011)
2. Penelitian-Penelitian Mengenai Lahan Gambut Rumbang et al. ( 2 0 0 9 ) melaksanakan penelitian di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah terhadap tipe penggunaan lahan gambut untuk lahan jagung, lahan lidah buaya, lahan kelapa sawit, lahan karet, masing-masing dengan tiga ulangan. Lahan gambut yang dijadikan lokasi penelitian di Kalimantan Barat merupakan lahan gambut pedalaman dengan kedalaman sedang (1-2 m) dan berat volume antara 0,130-0,163 g cm-3 serta dikelompokkan ke dalam gambut hemik. Hasil pengukuran terhadap rata-rata emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan pH gambut dari 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007 dan hasil pengukuran di 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat pada periode pengukuran 2006 dan 2007 diperoleh adanya hubungan yang linier antara tinggi muka air gambut dengan besaran emisi CO2. Rata-rata emisi CO2 yang dilepas dari lahan gambut di Kalimantan Barat berkisar 0,351,10 g CO2 m-2 jam-1, sedangkan emisi CO2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah hanya berkisar 0,35-0,67 g CO2 m-2 jam-1. Pada tipe penggunaan lahan yang sama (lahan ditanam dengan tanaman semusim), rata-rata emisi CO2 yang dilepas 4 tipe lahan gambut Kalimantan Tengah berkisar 0,35-0,67 g CO2 m-2 jam-1, tidak jauh berbeda dengan rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut di Kalimantan Barat yaitu berkisar 0,35-0,69 g CO2 m-2 jam-1. Pada lahan gambut di Kalimantan Barat, emisi CO2 dari lahan karet dan kelapa sawit (kelompok tanaman tahunan) lebih tinggi dibandingkan dengan lahan jagung dan lidah buaya (Rumbang et al., 2 0 0 9 ) . Antara pH gambut dengan emisi CO2 lahan gambut terdapat hubungan linier. Hal ini terjadi
9
baik pada lahan gambut Kalimantan Tengah maupun lahan gambut Kalimantan Barat pada semua periode pengukuran. Semakin meningkat pH gambut maka emisi CO2 lahan gambut juga semakin tinggi. Peningkatan pH gambut berkaitan dengan lama lahan dikelola untuk lahan pertanian, pemberian ameliorant dan pemupukan, serta muka air tanah. Makin lama lahan dikelola untuk lahan pertanian maka semakin banyak amelioran dan pupuk yang sudah diberikan ke dalam tanah sehingga pH gambut semakin meningkat, karena tanpa
amelioran
dan pemberian pupuk pertumbuhan tanaman di lahan gambut terhambat (Rumbang et al., 2009). Kadar air nyata berkorelasi negatif terhadap Eh dengan nilai r = -0,981, dan nyata berkorelasi positif terhadap pH dengan nilai r = 0,862. Reaksi tanah nyata berkorelasi negatif terhadap Eh dengan nilai r = -0,901. Eh nyata berkorelasi negatif terhadap fluks CH4 dengan nilai r = -0,982. Peningkatan kadar air mengakibatkan oksigen bebas dalam tanah berkurang. Penggunaan substrat oleh mikroba yang mengandung oksigen sebagai akseptor elektron dalam proses respirasi menyebabkan penurunan Eh. Kondisi ini menjelaskan korelasi negatif yang nyata antara kadar air tanah dengan Eh. Kondisi Eh berkeseimbangan dengan potensial hidrogen, penurunan Eh akan menyebabkan peningkatan pH (Rumbang et al., 2 0 0 9 ). Radjagukguk (2000) meneliti mengenai perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Reklamasi atau konversi lahan gambut untuk pertanian mencakup tindakan drainase dan pembukaan lahan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam sifat-sifat fisik, kimia, dan bahkan biologi lahan gambut. Disamping itu, praktek budi daya tanaman juga mempunyai dampak terhadap sifat-sifat tanah gambut tersebut. Dalam hal sifat-sifat fisik, drainase mengakibatkan subsidensi gambut yang berlangsung relatif cepat dalam 4 hingga10 tahun pertama, dan kemudian melambat sampai laju yang agak konstan. Dengan terjadinya subsidensi dan pemadatan, akan terjadi berbagai perubahan dalam sifat-sifat fisik tanah termasuk meningkatnya berat volume, dan menurunnya porositas total, difusi O2 ke dalam gambut, kapasitas udara, volume air tersedia, dan laju infiltrasi air. Setelah didrainase dan pengolahan tanah, laju dekomposisi gambut meningkat yang menyumbang juga pada peningkatan berat volume. Dalam hal sifat-sifat kimia, drainase dan pengolahan tanah meningkatkan pelepasan CO2 karena meningkatnya laju dekomposisi gambut, yang pada gilirannya menghasilkan pemasaman. Maas (2000) melaksanakan penelitian tentang laju dekomposisi gambut dan dampaknya pada status hara pada berbagai tingkat pelindian. Penelitian ini merupakan percobaan simulasi
10
gambut kondisi lapangan yang dikerjakan dengan skala laboratorium. Contoh gambut saprik berasal dari gambut tebal Kalimantan Barat dan gambut topogen dari Rawapening Jawa Tengah. Pelindian secara berkala mempercepat laju degradasi dan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman, sedang pelindian kontrol mampu menekan laju degradasi dan menurunkan laju kehilangan nutrisi tanaman. Penelitian oleh Jauhiainen et al. (2014), mengenai dinamika suhu dan emisi CO2 heterotrofik, fluks N2O, dan CH4 di bawah kondisi naungan (shading) yang berbeda pada lahan pertanian gambut dan lahan gambut yang terdegradasi di Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa pemberian naungan terhadap permukaan gambut menyebabkan perbedaan suhu gambut dan memiliki pengaruh yang nyata pada laju emisi gas rumah kaca, dengan emisi meningkat 25 persen untuk setiap 1°C perubahan suhu pada kedalaman gambut 5 cm di lahan pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lafleur et al. (2005); Minkkinen et al. (2007); and Mäkiranta et al. (2009) yang mendapatkan tingkat dekomposisi bahan organik di lahan gambut meningkat secara positif dengan peningkatan suhu. Penelitian yang dilakukan (1) Penelitian survey untuk mengetahui besaran fluks CO2 heterotropik aktual di perkebunan kelapa sawit lahan gambut dengan berdasarkan umur tanam kelapa sawit dan kedalaman permukaan air gambut, (2) Percobaan laboratorium menggunakan kolom gambut dari pipa PVC berdiameter 3 inci yang berisi gambut yang diambil dari lokasi penelitian. Terdapat perlakuan 5 level genangan air pada kolom gambut percobaan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman permukaan air dengan fluks CO2 heterotropik.. Ketiga, melaksanakan penelitian lapangan untuk mengetahui peran tanaman penutup tanah jenis Mucuna bracteata dan Calopogonium mucunoides dalam menekan fluks CO2 heterotropik.
B. Landasan Teori 1. Karakteristik Gambut a. Pembentukan Gambut Gambut adalah material yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dari hasil dekomposisi jaringan vegetasi, atau dapat pula dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis hingga ketebalan >30 cm. Unsur utama material gambut adalah C (karbon) dengan bobot isi sekitar 100 kg m-3. Gambut pada daerah tropis kebanyakan terbentuk pada masa holosen dengan sebagian kecil terbentuk pada masa pleistosen (Anshari et al., 2004). Pada proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik
11
seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1986). Dataran sungai
yang terbentuk umumnya mempunyai pengatusan yang jelek berupa
cekungan hingga sisa-sisa tumbuhan yang umumnya adaptif tertimbun oleh karena kondisi anaerob, maka timbunan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara bertahap dengan kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tumbuhan ini menjadi lantai hutan gambut. Unsur-unsur utama pembentuk gambut adalah karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan beberapa oksida dalam jumlah kecil seperti SiO2, Al2O, Fe2O5 dan sulfur. b. Ragam Jenis Gambut Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan asal bahan atau penyusunannya, tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan, tingkat kematangan dan ketebalan lapisan bahan organiknya. Berdasarkan bahan asal atau penyusunannya gambut dibedakan atas gambut lumutan, gambut seratan dan gambut kayuan 1) Gambut lumutan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman air, termasuk plankton dan sejenisnya. 2) Gambut seratan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman sphagnum dan rumputan. 3) Gambut kayuan adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan serta tanaman semak dibawahnya. Berdasarkan tingkat kesuburan, gambut dibedakan menjadi 3 golongan yakni gambut eutronik, gambut oligotrofik dan gambut mesotrofik. 1) Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium karbonat (CaCO3), sebagian besar berada pada daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rerumputan serta bersifat netral atau alkalin. 2) Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat masm (pH<4). 3) Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara eutrofik dan oligotrofik. Berdasarkan wilayah iklim gambut dibedakan antara gambut tropik dan gambut beriklim sedang. 1) Gambut tropik adalah gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik. 2) Gambut Iklim sedang adalah gambut yang berada di kawasan eropa yang umumnya memiliki 4 musim.
12
Gambut tropik umumnya mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi (pH 4-5). Gambut tropik mengalami curah hujan yang tinggi, evaporasi yang tinggi, suhu tahunan yang tinggi dan bahan asal berupa bahan yang terdiri dari kayu-kayuan. Berdasarkan proses pembentukan, gambut dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen: 1) Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. 2) Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi. Berdasarkan sifat kematangan, gambut dapat dibedakan atas 3 jenis yakni gambut fibrik, gambut hemik dan gambut saprik. 1) Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah dicirikan dengan tingginya kandungan bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keasliannya dengan ukuran beragam, dengan diameter antara 0,15-2 mm; 2) Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang; 3) Gambut Saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang. Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organik, gambut dibedakan dalam 4 kategori yakni : 1) Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50-100 cm. 2) Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100-200 cm. 3) Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200-300 cm. 4) Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara >300 cm. c. Klasifikasi Tanah Gambut Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol menurut Sistem Taksonomi Tanah USDA yang lebih banyak dipakai dalam pengklasifikasian tanah di Indonesia (Barchia, 2006). Menurut Hardjowigeno (1993), untuk mencegah terjadinya pengklasifikasian kembali setelah tanah diusahakan, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi Histosol, yaitu: 1) Kandungan minimum bahan organik.
13
2) Ketebalan lapisan bahan organik. 3) Kemungkinan terjadinya subsiden bila drainase diperbaiki. Histosol merupakan tanah dengan sifat-sifat serbagai berikut: 1) Kandungan C-organik >12% bila bagian mineral tidak mengandung liat, atau >18% bila bagian mineral mengandung 60% liat,dan tabalnya mencapai: a) 10 cm atau kurang bila terdapat di atas kontak litik atau paralitik, dengan catatan bahwa tebal lapisan bahan organik tersebut paling sdikit 2 kali lebih tebal dari lapisan mineral di atas kontak litik/paralitik, atau b) Tidak diperhatikan ketebalannya bila lapisan bahan organik tersebut terdapat di atas bahan-bahan fragmental. 2) Mempunyai lapisan dengan bahan organik tinggi seperti di atas dengan permukaan lapsian tersebut terdapat pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan memiliki salah satu ketebalan berikut: a) 60 cm atau lebih bila kandungan serat meliputi 3/4 volume atau lebih, atau bila BV lembab <0,1 g cm-3. b) 40 cm atau lebih bila lapisan bahan organik tersebut jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah diadakan perbaikan drainase, dan bahan organik terdiri dari saprik, hemik, atau fibrik kurang dari 2/3 volume dan BV lembab 0,1 g cm-3 atau lebih. c) Mempunyai kandungan bahan organik tinggi seperti di atas yang tidak terdapat lapisan tanah mineral setebal 40 cm atau lebih, baik di permukaan ataupun yang batas atasnya terletak pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan tidak mempunyai laisan tanah mineral, yang tebal kumulatif 40 cm dan terletak pada kedalaman kurang dari 80 cm. d. Karakteristik Fisik Gambut Tanah gambut yang terbentuk dari vegetasi hutan rawa tropika relatif heterogen. Terdapatnya batang pohon, ranting, dan akar kasar yang masih menunjukkan banyak ciri tanaman aslinya. Sifat-sifat fisik tanah gambut merupakan produk dari banyak perubah yang berinteraksi, yang menghasilkan bahan-bahan yang beragam dalam derajat dekomposisinya (Barchia, 2006).
14
1) Berat volume (BV) BV gambut merupakan parameter yang paling penting dan merupakan resultan dari dekomposisi bahan gambut. Semakin matang gambut maka semakin tinggi BV (Driessen dan Rochimah, 1976). Menurut Notohadiprawiro (1997), gambut dataran rendah dicirikan dengan nilai BV yang relatif rendah yang biasanya berkisar antara 0,1-0,3 g cm-3. BV gambut dengan kematangan fibrik adalah <0,1 g cm-3, kematangan hemik berkisar 0,07-0,18 g cm-3 dan kematangan saprik >2,0 g cm-3 (Andriesse, 1988), sementara kerapatan jenis gambut (particle density) 1,4 g cm-3 (Driessen dan Rochimah, 1976). Karena gambut mempunyai BV yang rendah maka daya dukung (bearing capacity) gambut juga rendah. Daya dukung gambut kayuan yang telah didrainase dengan baik hanya sekitar 0,21 kg cm2
, sedangkan tanah mineral umumnya mencapai 0,48-0,56 kg cm-2 (O’brien dan Wickens,
1975). 2) Porositas Porositas total gambut relatif tinggi umumnya dalam kisaran 70-95% (Nugroho et al., 1997). Berat volumen gambut merupakan resultan dari dekomposisi vahan gambut. Semakin matang tanah gambut akan diikuti oleh peningkatan berat volume tanah, dan akan diikuti oleh penurunan porositas tanah. 3) Daya tambat air (water holding capacity) Daya tambat air atas dasar berat kering bahan gambut sangat tinggi. Kapasitas mengikat air maksimum untuk gambut fibrik 850 hingga 3000%, hemik 450-850%, dan saprik <450% (Andriesse, 1988). Kadar lengas gambut ditentukan oleh kematangan gambut. Kadar lengas tanah gambut jauh lebih besar dibandingkan tanah mineral. Kadar lengas gambut yang belum mengalami perombakan sebesar 500-1000% bobot, sedangkan yang mengalami perombakan sebesar 200-600% bobot (Boelter,1969). Tabel 4. Kemampuan menyerap dan menyimpan air dari tiga jenis gambut No.
Nilai Lengas
Fibrik
Hemik
Saprik
1.
Kemampuan maksimum memegang air (%)
1057
374
289
2.
Kesetaraan lengas
166
112
110
3.
Kebutuhan air untuk penjenuhan 100 cm gambut kering (g) Kebutuhan air setara dengan 100 cm3 gambut kering (g) Berat 100 cm3 gambut kering
101
91
110
16
27
38
11
27
39
4. 5.
15
Tabel 5. Hubungan kematangan, warna dan kadar lengas maksimum tanah gambut No.
Tingkat
Kerapatan
Warna
Kematangan 1.
Kadar lengas maksimum (%)
Fibrik
<0,1
Coklat muda kekuningan,
850 ̶ >3000
coklat tua, coklat kemerahan 2.
Hemik
0,07–0,18
3.
Saprik
>0,2
Coklat tua, Coklat kemerahan
450 – 850
Coklat tua, coklat hitam,
<450
hitam
4) Daya hantar air (hydraulic conductivity) Daya hantar air tanah gambut ke arah vertikal sangat rendah sedangkan ke arah lateral relatif tinggi. Daya hantar air akan menurun dengan meningkatnya dekomposisi (Barchia, 2006). Menurut Vijarnson (1996), daya hantar air tanah gambut tropika bervariasi antara 0,001-0,032 cm detik-1. Daya hantar air yang baik untuk pengembangan pertanian berkisar 0,36 cm jam-1 atau lebih lambat lagi lebih baik (Noor, 2001). 5) Lapisan bawah Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marin atau pasir. Gambut terhampar di atas pasir kuarsa yang mempunyai keseburan rendah, dibandingkan lempung marin. Lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2), sehingga jika lapisan atas gambut terkuras habis misalkan oleh pembakaran maka akan terbentuk tanah asam sulfat asam. Dalam keadaan tergenang (anaerob) tanah sulfat asam tidak menimbulkan masalah bagi tanaman karena pirit bersifat stabil. Tetapi pada keadaan aerob karena pengeringan alami maka pirit berubah menjadi tidak stabil atau teroksidasi sehingga melepaskan asam sulfat dan oksida besi, akibatnya terjadi peningkatan keasaman baik pada tanah maupun pengeringan (pH 2-5). 6) Penurunan muka air Penurunan muka air atau amblesan yang terjadi ditanah gambut sangat tergantung kegiatan yang ada dan pengatusan. Besar kecilnya amblesan dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut umur reklamasi, dan ketebalan lapisan gambut. Gambut fibrik lebih besar mengalami amblesan dibandingkan dengan gambut hemik dan saprik.
16
Tabel 6. Laju amblesan di lahan gambut No.
Ketebalan gambut (cm)
Laju amblesan (cm bulan-1)
1.
0 – 100
0,42
2.
100 – 200
0,60
3.
200 – 300
0,72
4.
>300
0,92
Gambut di Indonesia (Tabel 7) rata-rata memiliki BV antara 0,07-0,27 g cm-3, porositas berkisar 83,62-95,13% dan kandungan air dapat mencapai 1272% (Nugroho dan Widodo, 2001). Semakin rendah nilai BV pada gambut akan diikuti secara linier oleh peningkatan porositas tanah dan kandungan air tanah kapasitas jenuh. Pori-pori tanah dalam keadaan tergenang akan diisi oleh air, sehingga semakin tinggi porositas tanah maka akan semakin tinggi air yang dapat ditambat pada tanah gambut. Porositas total dan distribusi ukuran pori sangat menentukan besarnya pengikatan air oleh tanah gambut (Barchia, 2006). Tabel 7. Berat volume, kandungan air, porositas, dan shrinkage tanah gambut Berat volume Porositas (g cm-3) (%) 0,27 83,62 0,20 88,57 0,18 89,41 0,14 90,35 0,12 91,84 0,07 94,83 0,07 95,13 Sumber: Nugroho dan Widodo (2001)
Kadar air jenuh (%) 301,40 443,91 451,82 633,66 729,17 1269,54 1272,20
e. Karakteristik Kimia Gambut 1) Tingkat pH yang rendah Sebagian besar gambut berada di lapisan marin yang mengandung pirit dan juga sebagian lahan berasosiasi dengan tanah mineral sulfat. Tanah mineral sulfat dicirikan oleh kandungan pirit >2% atau kadar S>0,75% terletak pada jeluk <50% dari permukaan tanah. Pirit terbentuk dari reduksi sulfat (oleh bakteri Desulfovibrio sp atau desulfomaculum sp) yang diikuti pembentukan besi– sulfida dari sulfur terlarut dengan besi (ferro). Besi sulfida (FeS) selanjutnya bereaksi dengan elemen sulfur menjadi FeS2, yang disebut pirit. Pirit dalam keadaan anaerob bersifat stabil, tetapi dalam keadaam aerob akan teroksidasi
17
menghasilkan hidrogen (H+) dan ion sulfat (SO4+2) (Noor, 2001). Reaksi kimia dapat dilihat sebagai berikut (Subba-Rao, 1994): 2FeS2 + 2H2O + 7O2
2FeSO4 + 2H2SO4
4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 Fe2(SO4)3 + FeS2
2Fe(SO4)3 + 2H2O2 3FeSO4 + 2S°
2S° + 3O2 + 2H2O
2H2SO4
Oksidasi pirit ini akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2-3. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH<4. Tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan juga oleh tingginya kandungan asamasam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Tingginya kemasaman tanah gambut juga disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam organik, seperti asam humat dan asam fulvat (Barchia, 2006). Tanah gambut yang berasal dari kayu banyak mengandung lignin cenderung mempunyai nilai pH yang rendah dengan korelasi seperti persamaan: pH = 7,08–0,034 lignin, r = 0,80 (Salampak, 1999) 2) Kapasitas Tukar Kation (KTK) KTK tanah gambut berkisar dari <50 sampai lebih dari 100 cmol(+) kg-1 bila dinyatakan atas dasar berat, tetapi relatif rendah bila dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 2000). Menurut Kuscow (1971), KTK tanah gambut dapat berkisar antara 100 hingga 300 me 100 g-1. KTK tanah gambut ombrogen di Indonesia (Tabel 8) sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Driessen, 1978). Menurut Vijarnsorn (1996), KTK tanah gambut terutama ditentukan oleh fraksi lignin dan substansi humat yang relatif stabil, termasuk asam-asam humat dan fulvat yang bersifat hidrofilik dan agresif yang biasanya membentuk komplek stabil dengan ion-ion logam. Oleh karena itu, KTK tanah gambut sangat bergantung kepada pH (Radjagukguk, 2000). Tingginya nilai KTK gambut juga disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1976).
18
Tabel 8. Komposisi senyawa gambut ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation Bobot (%)
KTK (me 100 g-1)
Lignin
64-74
150-180
Senyawa humik
10-20
40-80
Selulosa
0,2-10
7
Hemiselulosa
1-2
1-2
Lainnya
<5
-
Bahan organik gambut
100
190-270
Senyawa
Sumber: Driessen (1978) 3) Kejenuhan Basa (KB) Kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut kandungan abu semakin rendah dan kandungan Ca dan Mg dan kejenuhan basa menurun (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa gambut pedalaman Kalimantan Tengah umumnya rendah, sebaliknya pada gambut pantai didapatkan relatif tinggi. KB gambut pedalaman Kalimantan Tengah sebesar 3,88-4,97% dan gambut pantai antara 7,44-8,13% (Barchia, 2006). Beberapa penelitian lain mengungkapkan bahwa KB gambut mempunyai kejenuhan basa kurang dari 10% (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Halim, 1987; Salampak, 1999). 4) Kandungan C-organik dan N-total Kandungan C-organik dan N-total tanah gambut tergolong tinggi. Kisaran kandungan C-organik tanah gambut berkisar antara 54,3-57,84% (Riwandi, 2000; Barchia, 2002) dengan rata-rata 57,23% (Sabiham et al., 1997). Kandungan N-total tanah gambut di Indonesia berkisar antara 4800-7200 kg N ha-1 atau setara dengan 1,2-1,8% pada lapisan 0-20 cm, dan sebagian besar dalam bentuk N kompleks organik (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986). 5) Nisbah C/N Nisbah C/N gambut berkisar antara 31-49. Bila nilai nisbah C/N lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikroorganisme tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya, sedangkan bila nisbah C/N antara 20-30, dapat terjadi immobilisasi maupun pembebasan N ke dalam tanah gambut. Dengan nisbah C/N lebih dari 30 maka N
19
pada tanah gambut sukar tersedia bagi tanaman, meskipun kandungan N-total gambut tinggi, namun unsur hara N relatif kurang tersedia bagi tanaman karena N dalam bentuk Norganik dan pada tingkatan nisbah C/N yang tinggi tersebut, terjadi proses immobilisasi N oleh mikroorgnisme tanah. Nitrogen tanah yang terdapat dalam bentuk kompleks organik menjadi tersedia bagi tanaman apabila sudah diubah menjadi bentuk N anorganik, yaitu melalui proses asimilasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Hal yang berkaitan dengan pelepasan gas rumah kaca dari lahan gambut adalah bila gambut dengan nilai nisbah C/N yang tinggi ini teroksidasi karena adanya pengembangan jaringan drainase dan reklamasi, aktivitas mikroorganisme tanah akan meningkat untuk merombak atau mendekomposisi gambut dan melepaskan gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2 ke atmosfer (Barchia, 2006). 6) Kandungan Hara Mikro Kandungan unsur hara mikro tanah gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation tanah gambut dapat membentuk ikatan komplek dengan unsur mikro, sehingga unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, adanya reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas (Tabel 9), namun dalam beberapa kasus kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan bahan mineral yang ada di lapisan bawah gambut. Gambut ombrogen Indonesia terkategori gambut oligotrofik dengan tingkat ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang sangat rendah (Tabel 10), serta kemasaman tanah yang tinggi. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian berhadapan dengan masalah sifat dan perilaku kimia dari bahan gambut (Sabiham et al., 1997). Tabel 9. Kandungan beberapa unsur mikro pada gambut tropika di Indonesia Unsur Mikro Kobal (Co) Tembaga (Cu) Besi (Fe) Mangan (Mn) Molibdenum (Mo) Seng (Zn) Sumber: Driessen (1978)
Kandungan (kg ha-1) 0-25 cm 80-100 cm 0,1-0,2 0,05–0,10 0,8-8,0 0,2–0,8 143-175 67–220 4,1-25 1,1–7,1 0,6-1,0 0,3–0,6 2,8-4,4 1,8–4,8
20
Tabel 10. Kadar unsur hara lapisan olah gambut Lunang Sumatera Barat Unsur Hara
Tebal Gambut (cm) 0-50
50-100
100-200
>200
Ca (me/100g)
2,14
4,05
3,44
8,37
Mg (me/100g)
1,74
1,83
2,53
5,76
K (me/100g)
0,31
0,23
0,18
0,36
Cu (ppm)
1,44
2,09
1,42
2,77
Zn (ppm)
5,31
6,39
4,17
3,94
Mn (ppm)
199
171
72
190
Fe (ppm)
77
128
139
130
SO4 (ppm)
251
336
321
350
Sumber: Taher dan Zaini (1989)
7) Kandungan Asam Humat dan Asam Fulvat Humus tanah gambut mempunyai hubungan erat dengan tingkat dekomposisi bahan gambut yang membentuknya. Jumlah humus terekstraksi dari bahan gambut yang meningkat bila proses dekomposisi bahan gambut terus berlanjut. Bahan gambut yang tahan terhadap dekomposisi menghasilkan bahan humus yang stabil. Bahan humus yang stabil adalah asam humat dan asam fulvat (Barchia, 2006). Pada proses humifikasi bahan gambut akan menghasilkan asam humat dan fulvat (Gambar 1 dan 2). Asam humat mengandung senyawa aromatik lebih banyak dari pada asam fulvat, sedangkan asam fulvat mengandung senyawa alifatik lebih banyak dari pada asam humat. Asam-asam organik aromatik dicirikan oleh jumlah gugus fungsi fenolat-OH yang tinggi, sedangkan asam-asam organik alifatik dicirikan oleh jumlah gugus fungsi COOH yang tinggi. Bahan gambut yang kandungan ligninnya relatif lebih tinggi mengandung asam humat lebih banyak dibandingkan dengan bahan gambut yang kandungan selulosanya relatif tinggi. Bahan gambut yang mengandung lignin yang relatif tinggi biasanya tahan terhadap dekomposisi, sedangkan bahan gambut yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah relatif tinggi tidak tahan terhadap dekomposisi (Barchia, 2006).
21
Sisa Tanaman
Selulosa, Karbohidrat lain
Protein
Lignin, Tanin
Senyawa Fenol hasil metabolisme
Senyawa Fenol Hasil dekomposisi
Kondensasi/ polimerisasi
Bahan Humat
Gambar 1. Dekomposisi sisa tanaman membentuk bahan humat (Kononova, 1968) Lignin Enzim Fenol oksidase
Fenol aldehida Asam fenol
Selulosa dan bahanbahan lain nonlignin
Digunakan jasad mikro • Digunakan jasad renik • Dioksidasi menjadi CO2
Polifenol Enzim Fenol oksidase
Kuinon
Senyawa amino Asam Humat
Senyawa amino Asam Fulvat
Gambar 2. Degradasi senyawa Lignin menjadi asam Humat (Stevenson, 1982)
22
Lamanya pengusahaan lahan gambut untuk pertanian akan meningkatkan bahan yang tahan terhadap dekomposisi seperti lignin yang membentuk bahan humus pada gambut, sebaliknya kandungan selulosa dan hemiselulosa akan menurun (Salampak, 1999). Ekosistem lahan gambut tropika di Indonesia umunya anaerob dan bahan gambut yang terbentuk sebagian besar berasal dari tanaman kayu. Gambut yang terbentuk dari kayu hutan hujan tropika mengandung lignin yang tinggi. Gambut yang telah atau sedang mengalami dekomposisi membentuk komponen-komponen utama seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, protein, tannin, dan kutin (Wershaw et al., 1996).
2. Kesesuaian Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit a. Dasar Tata Guna Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung dapat mengubah ekosistem gambut untuk membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dengan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan lingkungan menurun, fungsi produksi akan terganggu (Maltby dan Immirzi, 1996). Karena itu, lahan gambut bersifat piasan (marginal) dan rapuh (fragile). Pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan perubahan faktor dinamika lahan dan faktor keuntungan. b. Kendala Pemanfaatan Lahan Gambut Menurut Andriesse (1988), terdapat delapan faktor pembatas yang menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman di lahan gambut. Faktor pembatas ini pada tingkat tertentu dapat menjadi sangat serius sehingga lahan gambut dinilai percuma untuk dikembangkan kembali. Karena itu, sistem pengelolaan lahan gambut memerlukan upaya pencegahan atau antisipasi terhadap degradasi lahan agar produksi tanaman dapat terus kontinu dan kelestarian gambut tetap terpelihara. Berikut ini beberapa masalah yang sering terjadi pada pengembangan lokasi budi daya kelapa sawit di lahan gambut tropis. 1) Sebagian besar lahan gambut berada di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam-asam organik lainnya. Selain itu, lahan gambut bisa juga berada di atas lapisan pasir kuarsa yang miskin hara;
23
2) Lahan gambut dapat mengalami perubahan lingkungan fisik secara cepat setelah dilakukan reklamasi menjadi kering tak balik, berubah sifat menjadi hidrofob, dan adanya amblesan; 3) Lahan gambut mudah mengalami degradasi kesuburan karena pengurasan melalui pelindian dan penggelontoran. Sementara itu, abu hasil pembakaran yang mengandung hara relatif mudah tererosi dan hilang melalui aliran limpasan; 4) Lahan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (virulensi) cukup tinggi. Selain itu, adanya resiko organism pengganggu tanaman (gulma, hama, dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria dan cacing) cukup tinggi. c. Kesesuaian Lahan Gambut Lahan gambut yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan lokasi budi daya memerlukan reklamasi. Namun, permasalahan yang dihadapi biasanya adanya perubahan yang terjadi setelah reklamasi. Selain itu, banyak ditemukan kesulitan dalam penilaian secara ekonomi biaya-biaya reklamasi. Andriesse (1988) memberikan garis-garis besar yang harus diperhatikan berkenaan dengan reklamasi sebagai berikut: 1) Reklamasi buatan untuk lahan gambut pasang surut sebaiknya didahului dengan menilai keuntungan dan kerugian untuk bahan perencanaan yang baik; 2) Pengembangan dari lahan gambut pasang surut sebaiknya tidak dilakukan secara besarbesaran. Reklamasi yang dilakukan di permukiman spontan sering menimbulkan masalah ke depannya; 3) Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan setelah pengatusan dan pencegahan banjir. Berbagai kemungkinan pengembangan pertanian, diantaranya pengatusan dangkal, pengatusan menengah, dan pengatusan dalam yang diikuti dengan pemilihan komoditas tanaman untuk mempercepat terbentuknya ampas (wastage) gambut. Menurut Hardjowigeno (1998), sistem dan metode evaluasi kesesuaian terhadap lahan gambut belum dapat dibakukan. Karena beberapa pakar belum sepakat tentang penentuan faktor yang mempengaruhi potensi dan pembatas pengembangan lahan gambut. Hingga saat ini, penilaian kesesuaian lahan hanya berdasarkan sifat lahan penciri dengan criteria berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, bukan berdasarkan hasil percobaan. Radjagukguk dan Setiadi
24
(1989) menilai kesesuaian lahan gambut dari segi ketebalan lapisan organiknya, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kesesuaian lahan gambut untuk berbagai jenis tanaman pertanian berdasarkan ketebalannya No.
Ketabalan Gambut (cm)
Jenis Tanaman
0-100
100-200
>200
1.
Padi sawah
S2
S3
-
2.
Pangan lahan kering (padi gogo, kedelai, jagung)
S1
S2
S3
3.
Hortikultura (kubis cina, papaya, nanas, rambutan)
S1
S1
S1
4.
Perkebunan (kelapa, kelapa sawit, karet, cokelat)
S1
S2
S2
5.
Tanaman industri (rami dan tanaman obat-obatan)
S1
S2
S2
Sumber: Radjagukguk dan Setiadi (1989) Keterangan: S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 = kurang sesuai
Tabel 12. Penilaian kesesuaian parameter tanah di lahan rawa untuk persawahan, tanaman semusim, dan tanaman tahunan Unsur Jeluk Mempan (cm)
pH pada (0-30 cm)
Kesuburan Tanah
Kejenuhan Al (%)
Kejenuhan Pirit (cm)
a b c a b c a
S1 >75 >75 >75 6-7 6-7 5,5-7,5 Tinggi
b
Tinggi
c
Tinggi
a b c a b
>20 >20 >40 >100 >150
Kelas Kesesuaian S2 S3 N1 >50 >25 >10 >50 >25 >10 >50 >50 >25 5,5-7,5 4,5-8 3,5-8,5 5,5-7,5 4,5-8 3,5-8,5 4,5-7,5 4-8 3-785 SedangSedangRendahTinggi Rendah Sangat Rendah SedangSedangRendahTinggi Rendah Sangat Rendah SedangSedangRendahTinggi Rendah Sangat Rendah >40 >60 >80 >40 >70 >90 >60 >80 >100 >75 >50 >25 >100 >75 >50
N2 >10 >10 >25 Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah -
25
Lanjutan Tabel 12 Pengatusan
Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Ketebalan Gambut (cm)
Kematangan Gambut
c a
>100 Baik
>75 Baik, agak cepat
>50 Agak cepat
>25 Agak cepat terhambat Agak cepat terhambat Sangat cepat
-
b
Baik
Baik, agak cepat
Agak cepat
c
Terhamb at
Baik, agak lambat
a b c a
<1500 <1500 <1500 <1500
<2500 <2500 <2500 <1500
Sangat terhamba t <4000 <4000 <4000 <100
<4000 <4000 <4000 <150
>4000 >4000 >4000 >150
b
<1500
<1500
<100
<150
>150
c
<1500
<1500
<100
<150
>150
a
Saprik
SaprikHemik (jeluk <30 cm) SaprikHemik (jeluk <30 cm) SaprikHemik (jeluk <30 cm)
Hemik
HemikFibrik
-
b
Saprik
Hemik
HemikFibrik
-
c
Saprik
Hemik
HemikFibrik
-
-
-
Sumber: Maas dan Subagyo (1996) Keterangan: a = untuk tanaman sayuran b = untuk tanaman tahunan c = untuk tanaman persawahan
3. Emisi CO2 di Lahan Gambut Sektor kehutanan masih merupakan pengemisi gas rumah kaca atau GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan. Sektor ini juga mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim berkembang. Besarnya emisi salah satunya dapat mengacu pada hasil perhitungan Second National Communication (SNC) (KLH, 2009),
26
yang menyatakan tingkat emisi tahun 2000 sebesar 1.377.754 juta ton CO2-e, secara keseluruhan dan 649.254 juta ton CO2-e untuk sektor LULUCF (land use, land use change and forestry). Besarnya emisi tersebut terutama berasal dari besarnya deforestasi. Beberapa faktor pemicu deforestasi dan degradasi yaitu penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman (Kementerian Kehutanan, 2011). Fluks (flux) adalah kecepatan pengaliran gas rumah kaca, misalnya kecepatan pergerakan CO2 dari dekomposisi bahan organik tanah ke atmosfer dalam satuan berat gas per luas permukaan tanah dalam satuan waktu tertentu (misalnya dengan satuan mg m-2 jam-1). Emisi gas rumah kaca (GRK) adalah proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfer. Gas rumah kaca atau greenhouse gases merupakan gas-gas yang terdapat di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca berfungsi untuk menjaga temperatur permukaan bumi agar tetap hangat. Namun jika kosentrasi gas rumah kaca meningkat, efek rumah kaca yang dihasilkan akan menyebabkan pemanasan global (global warming) (Kementerian Kehutanan, 2011). Jenis-jenis gas rumah kaca pada umumnya merupakan hasil dari aktivitas makhluk hidup terutama manusia. Kecuali gas karbondioksida (CO2) yang merupakan hasil dari proses respirasi makhluk hidup dan terbentuk secara alami, jenis gas rumah kaca yang lain merupakan dampak dari hasil perkembangan industri dan teknologi. Jenis-jenis gas rumah kaca diantaranya CO2, metana (CH4), nitrous oxide (N2O), hydrofluorocarbon (HFCs), dan perfluorocarbon (PFCs). a. Emisi CO2 Saat Pembukaan Hutan Dalam keadaaan alami lahan gambut merupakan penambat (net sink) dari karbon. Apabila hutan gambut dibuka maka akan terjadi emisi yang sangat tinggi disebabkan oleh pembakaran dan pengaruh drainase. Sekitar separoh dari 200 t C ha-1 yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah, karena dijadikan papan dan plywood, akan bertahan, sedangkan separoh lainnya yang terdiri dari cabang dan ranting pohon serta pohon yang masih kecil seringkali dibakar (Agus, 2007). Seiring dengan itu lebih dari 10 cm lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 ton C ha-1. Dengan demikian sekitar 160 ton C atau 587 ton CO2 ha-1 akan teremisi dalam proses pembukaan hutan gambut (Agus, 2007).
27
b. Emisi CO2 dari Perkebunan Kelapa Sawit Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 ton CO2 atau setara dengan 100 ton C ha-1 dalam bentuk pohon sawit. Namun sejalan dengan itu terjadi pula dekomposisi gambut yang lajunya ditentukan oleh kedalaman drainase dan cara pengelolaan tanah lainnya seperti pemupukan (Agus, 2007). Berdasarkan review literatur, dari sejumlah penelitian yang menggunakan metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber). Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Didapatkan bahwa untuk setiap 10 cm kedalaman drainase akan teremisi sekitar 9,1 ton CO2 ha-1 tahun-1. Wösten (2001), dengan metode penelitian pengamatan subsiden bahkan memperkirakan bahwa untuk setiap 10 cm kedalaman drainase terjadi emisi CO2 sebanyak 13 ton ha-1 tahun-1 (Agus, 2007). Dengan menggunakan hubungan yang pertama (9,1 ton emisi CO2 ha-1 tahun-1 untuk setiap 10 cm kedalaman drainase), untuk kebun sawit yang mempunyai kedalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 ton ha-1 tahun-1 atau 1820 ton ha-1 selama 25 tahun. Jadi net emisi CO2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2 sebanyak 367 ton ha-1 selama 25 tahun) adalah sekitar 1453 ton ha-1. Jumlah emisi CO2 dalam satu siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini, lebih dari dua kali emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 ton ha-1 (Agus, 2007). Emisi dari sistem pertanian tanaman semusim. Berbagai sistem tradisional tanaman pangan dan sayur-sayuran secara sengaja membakar semak dan lapisan gambut untuk mendapatkan beberapa ton abu penyubur tanah. Apabila setiap tahunnya terbakar 2,5 cm gambut maka emisi yang terjadi adalah sekitar 55 ton CO2 ha-1 tahun-1 (Agus, 2007). Drainase yang pada umumnya berkedalaman 30 cm berpotensi pula menyumbangkan emisi CO2 sebanyak 27 ton ha-1 tahun-1 sehingga emisi berjumlah 82 ton ha-1 tahun-1 atau 2050 ton CO2 selama 25 tahun. Jumlah ini lebih dari tiga kali emisi dari pembukaan hutan (Agus, 2007). Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut. Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada seresah.
Masing-masing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang
tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya mempercepat emisi CO2. Kebakaran dapat
28
menurunkan simpanan karbon di jaringan tanaman dan di dalam gambut. Pemupukan dapat meningkatkan emisi. Sebaliknya, pada lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, peningkatan muka air tanah, misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat memperlambat emisi (Agus, 2007). Pertumbuhan tanaman merupakan proses penangkapan CO2 dari atmosfer ke dalam jaringan tanaman melalui fotosintesis. Melalui proses pertumbuhan tanaman, terutama tanaman pohon-pohonan, maka simpanan karbon pada sebidang lahan akan meningkat.
4. Hubungan Suhu Gambut terhadap Emisi CO2 Di daerah tropis, fluktuasi suhu harian dan tahunan relatif tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan lahan gambut di sebelah utara lintang bumi. Secara umum terjadi peningkatan suhu setelah deforestasi dan juga terjadi peningkatan fluktuasi suhu harian di permukaan gambut dan karenanya sangat memungkinkan terjadinya peningkatan dekomposisi gambut. Hirano et al. (2009) melaporkan hubungan emisi CO2 dengan suhu sangat jelas ditemukan untuk gambut tropis, melalui pemantauan selama 4 tahun menggunakan alat pemantau otomatis (per jam ) terhadap dua variabel (suhu dan emisi CO2) di hutan rawa gambut, diperoleh dua kali lipat tingkat emisi CO2 seketika di lapangan pada rentang suhu 5°C (dari 24°C hingga 29°C) (termasuk emisi respirasi autotrofik). Disamping itu, Stephens dan Stewart (1977) mengkombinasikan penelitian lapangan dan laboratorium jangka panjang di lahan gambut subtropis Everglades (Florida) menunjukkan bahwa oksidasi gambut yang diekspresikan sebagai penurunan permukaan gambut sebanyak dua kali lipat dengan peningkatan suhu 10°C. Brady (1997) melaporkan fluksi CO2 dari inkubasi sampel permukaan gambut tropis dari Sumatera juga menemukan fluks CO2 dua kali lipat antara 25°C dan 35°C. Brady (1997) dan Hirano et al. (2009) menemukan bahwa peningkatan suhu memiliki efek lebih besar pada tingkat emisi CO2 dibandingkan kelembaban tanah atau kedalaman permukaan air gambut. Pada skala lanskap, suhu permukaan gambut di hutan rawa gambut utuh lebih rendah dan lebih konstan daripada hutan gambut yang telah mengalami deforestasi dan yang telah dikembangkan/dialih fungsikan (Jaya, 2007), bukan hanya karena lantai hutan terlindung dari sinar matahari langsung, tetapi juga karena didinginkan oleh penguapan dari permukaan gambut, yang biasanya memiliki kandungan air yang tinggi. Setelah deforestasi jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan gambut meningkat dan begitu juga terjadi kenaikan suhu
29
permukaan gambut. Di Kalimantan Tengah, rata-rata suhu siang hari gambut pada kedalaman 5 cm adalah 4,4°C lebih tinggi (29,9°C) di lahan gambut terdegradasi terbuka dengan suhu udara di atas permukaan gambut ini adalah 32,4°C, dibandingkan dengan yang di dekat hutan gambut yang tidak mengalami pengatusan (25,5°C) dengan suhu udara di atas permukaan gambut 26,4°C, suatu perbedaan sebesar 6°C (Jauhiainen et al., 2005, 2008). Jaya (2007) melaporkan perbedaan lebih besar di lokasi lain di Kalimantan Tengah sebesar 7,3°C, yaitu antara rata-rata suhu harian permukaan gambut di lahan pertanian sebesar 30,2°C dengan rata-rata suhu udara siang hari adalah 33,4°C, dan hutan gambut yang relatif utuh dan beredekatan dengan lahan pertanian sebesar 22,9°C dengan rata-rata suhu udara siang hari adalah 28,8°C. Sedangkan dibandingkan dengan hutan yang mengalami kerusakan berat yang berada bersebelahan, rata-rata suhu permukaan gambut harian dan suhu udara siang hari adalah 26,7°C dan 30,4°C, menunjukkan bahwa bahkan menghapus bagian dari penutup kanopi dapat memberi efek terhadap permukaan gambut dan suhu udara.
5. Dekomposisi Bahan Organik Gambut dan Produksi CO2 Pada proses penguraian bahan organik dalam tanah ditemukan beberapa tahap proses. Biota tanah termasuk cacing tanah memegang peranan penting pada penghancuran bahan organik pada tahap awal proses. Pekerjaan selanjutnya dilakukan oleh mikroba. Enzim-enzim yang dihasilkan mikroba mengubah senyawa organik secara kimiawi, hal ini ditandai pada bahan organik yang sedang mengalami proses penguraian maka kandungan zat organik yang mudah terurai akan menurun dengan cepat. Unsur karbon menyusun kurang lebih 45-50% dari bobot kering tanaman dan binatang. Apabila bahan tersebut dirombak oleh mikroba, O2 akan digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik dan akan dibebaskan CO2. Selama proses penguraian mikroba akan mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar antara 10-70% tergantung kepada sifat-sifat tanah dan jenis-jenis mikroba yang aktif. Setiap 10 bagian C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10) untuk membentuk plasma sel. Dengan demikian Corganik yang dibebaskan dalam bentuk CO2 dalam keadaan aerobik hanya 60-80% dari seluruh kandungan karbon yang ada. Hasil perombakan mikroba proses aerobik meliputi CO2, NH4, NO3, SO4, H2PO4. Pada proses anaerobik dihasilkan asam-asam organik CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna, serta akan terbentuk biomassa
30
tanah yang baru maupun humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total reaksi aerobik yang terjadi adalah sebagi berikut: (CH2O)x + O2 -----------> CO2 + H2O + hasil antara + nutrien + humus + sel + energi Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung pada keadaan aerobik dan anaerobik (Gaur, 1982). Hasil akhir dari perombakan aerobik merupakan produk metablisme biologi berupa CO2, H2O, panas, unsur hara, dan sebagian humus. Hasil akhir perombakan anaerobik terutama berupa CH4 dan CO2 dan sejumlah hasil antara, timbul bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan (Haug, 1980). a. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap peran mikroorgnisme tanah Bakteri dan fungi merupakan mikroorgnisme yang paling penting dalam tanah yang berhubungan dengan dekomposisi tanah dan siklus hara. Selain itu pada tanah-tanah yang mempunyai aerasi yang baik, bakteri dan fungi sangat dominan, sebaliknya bakteri sendiri terlibat hampir pada semua proses biologi dan perubahan kimia dalam lingkungannya yang mengandung sedikit atau tanpa O2 (Alexander, 1977). Jumlah bakteri yang ada didalam tanah dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi pertumbuhannya, seperti temperatur, kelembaban, aerasi, dan sumber energi. Tetapi secara umum populasi yang terbesar terdapat di horizon permukaan. Mikroorganisme tanah lebih banyak ditemukan pada permukaan tanah karena bahan organik lebih tersedia. Oleh karena itu mikroorganisme lebih banyak berada pada lapisan tanah yang paling atas (Alexander, 1977). Udara tanah dapat memiliki kandungan CO2 yang cukup tinggi sehingga mampu menurunkan pH tanah yang mempunyai daya sanggah yang rendah, dan akan menurunkan pH antara 0,5-1 unit untuk tanah yang memiliki daya sanggah yang tinggi tetapi tidak pernah di bawah pH 5,5-6,0. Kemasaman tanah dapat ditanggulangi dengan cara pengapuran untuk menetralkan H+ dengan OH- dan sekaligus menambah kandungan Ca dan Mg (Sutanto, 2005). Jumlah CO2 yang dihasilkan mikroorgnisme tanah menurut Sutedjo (1966) dipengaruhi oleh kondisi lembab dan temperatur yang sesuai. Pada kondisi tersebut 1 kilogram tanah dapat mengeluarkan atau membebaskan sekitar 1-30 miligram karbon sebagai CO2. b. Pengelompokan bakteri tanah Bakteri-bakteri tanah dapat dikelompokkan dalam beberapa kriteria sebagai berikut (Pelczar dan Chan, 1988): 1) Berdasarkan sumber makanan, bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
31
(a) Bakteri autotroph (lithotropik), yaitu bakteri yang dapat menghasilkan makanan sendiri. Contoh jenis bakteri ini adalah bakteri nitrifikasi, bakteri denitrifikasi, bakteri pengoksida belerang, bakteri pereduksi sulfat, dan sebagainya. Bakteri jenis ini dibedakan lagi berdasarkan sumber energi yang diperlukan, yaitu (a) Bakteri photoautotroph (fotolithotropik), yaitu bakteri yang menghasilkan makanan sendiri dan memperoleh energi dari sinar matahari, dan (b) Bakteri chemoautothroph (khemolithotropik), yaitu bakteri yang menghasikan makanan sendiri dan mendapatkan energi dari hasil oksidasi bahan organik. (b) Bakteri heterotroph (organotropik), yaitu bakteri yang mendapatkan makanan dari bahan organik atau sisa-sisa dari mahluk hidup lainnya, baik fauna maupun flora, dan baik yang makro maupun mikro. Bakteri ini dikelompokkan lagi berdasarkan sumber makanan, yaitu (a) Bakteri photoheterotroph (fotoorganotropik), yaitu bakteri yang memperoleh makanan dari bahan organik atau sisa-sisa dari mahluk hidup lainnya dan mendapatkan energi dari sinar matahari, dan (b) Bakteri chemoheterotroph (khemoorganotropik), yaitu yaitu bakteri yang memperoleh makanan dari bahan organik atau sisa-sisa dari mahluk hidup lainnya dan mendapatkan energi dari hasil oksidasi bahan organik. 2) Berdasarkan kebutuhan oksigen, bakteri dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (a) Bakteri aerob, yaitu bakteri yang selama hidupnya membutuhkan oksigen (O2). (b) Bakteri anaerob, yaitu bakteri yang selama hidupnya tidak membutuhkan O2, bahkan jika ada O2 bakteri ini akan mati. (c) Bakteri mikroaerofilik, yaitu bakteri yang selama hidupnya hanya membutuhkan O2 dalam jumlah yang sedikit.
6. Kehilangan dan Peningkatan Karbon Berkaitan dengan Penggunaan Lahan Aktivitas manusia memacu meningkatkan efek rumah kaca yang merupakan isu global yang penting pada abad 21 (IPCC, 2001) dan konsentrasi CO2 di atmosfer (Houghton et al., 2001). Oleh karena itu identifikasi strategi untuk mengendalikan sumber antropogenik dari efek rumah kaca merupakan prioritas utama pada tingkat regional, nasional, dan global. Ada dua cara yang prinsip untuk mengurangi laju peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca, yaitu mengurangi emisi dan melepaskan karbon (C). Proses biotik dan abiotik dapat menerima pelepasan troposfer C, dan meningkatkan kandungan C dalam ekosistem tanah dan air.
32
Tanah dapat menjadi sebuah tampungan atau sumber dari CO2 atmosfer. Jadi, kebutuhan untuk memindahkan lebih banyak C di dalam agroekosistem melalui penggunaan lahan dan praktek pengelolaan yang lebih baik diketahui secara luas (Izaurralde et al., 2001; Lal, 2001). Tanah mengandung lebih dari tiga kali lipat kandungan organik karbon daripada di dalam biota dan dua kali lipat daripada di dalam atmosfer (Lal dan Kimble, 1997). Besaran dari kandungan organik karbon di dalam pedologic (1 m kedalaman), atmosfer dan biotik diperkirakan mencapai 1550, 750, dan 600 Pg C berturut-turut (Pg = 1 × 1015 g = 1 juta metrik ton) (Houghton, 1995). Perubahan dalam penggunaan lahan dapat memiliki implikasi penting untuk daur ulang biogeokimia lokal dan global dan dinamika vegetasi lokal. Jadi, konversi penggunaan lahan dapat menyebabkan perpindahan C ke atmosfer dalam dua cara: (i) pelepasan C dalam biomassa melalui pembakaran atau dekomposisi, dan (ii) pelepasan karbon organik tanah (soil organic carbon/ SOC) mengikuti aktivitas konversi dan penggunaan lahan karena peningkatan mineralisasi dan erosi. Praktek pengelolaan dapat membuat tanah menjadi sebuah simpanan atau sumber C atmosfer. Praktek yang cenderung memindahkan C dari tanah ke atmosfer termasuk penebangan hutan, pembakaran, perkebunan, dan perladangan (Lal dan Kimble, 1997). Gangguan pada ekosistem alam dan penerapan pertanian telah menyebabkan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer ketika meningkatnya kandungan soil organic carbon (SOC). Tanah pertanian mengandung jauh lebih sedikit SOC dibandingkan ekosistem alami. Sebagai contoh, 70-80% SOC di Inggris terkandung dalam tanah gambut, terutama di Skotlandia (Howard et al., 1995) dan 35% total C di tanah Eropa terkandung dalam zat organik tanah yang tinggi (>8% zat organik) menutupi hanya 13% dari tanah Eropa (Smith et al., 2007). Hal ini karena rendahnya konsentrasi SOC pada tanah pertanian yang merupakan potensi terbesar peningkatan SOC adalah melalui penerapan pengelolaan yang ditingkatkan pada lahan pertanian, khususnya sawah dan lahan kritis.
7. Konservasi Karbon pada Lahan Gambut Uraian terdahulu menerangkan berbagai sumber emisi CO2 dari lahan gambut. Dengan demikian pengurangan emisi CO2 dari lahan gambut pada dasarnya dapat dilakukan melalui: 1) Menghindari deforestasi hutan gambut (avoided deforestation); 2) Memperbaiki sistem pengelolaan lahan.
33
Penggunaan lahan gambut yang didahului oleh deforestasi, diperlukan untuk pembangunan ekonomi, termasuk di dalamnya penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan (Agus, 2007). Berbagai sistem penggunaan lahan, misalnya perkebunan sawit (yang dikelola secara efisien) memberikan nilai keuntungan yang hilang (opportunity cost) sekitar $4,1 t-1 CO2 yang teremisi (Agus dan van Noordwijk, 2007). Maksudnya, apabila semua biaya dan keuntungan jangka panjang (25 tahun) dari kelapa sawit diperhitungkan dan dibandingkan dengan karbon yang teremisi akibat perkebunan kelapa sawit tersebut, maka keuntungan yang hilang jika lahan tidak digunakan untuk kelapa sawit adalah $4,1 t-1 CO2. Sistem lain, misalnya sistem ‘sonor’, opportunity cost-nya hanya sekitar $0,1 t-1 CO2 yang menggambarkan bahwa sistem ini mempunyai tingkat keuntungan yang sangat rendah. Tantangan sekarang adalah melakukan penilaian emisi yang lebih akurat dari berbagai sistem pertanian dan meneliti teknologi yang tingkat emisinya lebih rendah. Penelitian juga diperlukan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian (uncertainty) data cadangan karbon dan data emisi yang ada sekarang (Agus, 2007).
8. Kelapa Sawit a. Asal Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) berasal dari Benua Afrika. Kelapa sawit banyak dijumpai di hutan hujan tropis Negara Kemerun, Pantai Gading, Ghana, Liberia, Nigeria, Sierra Leone, Togo, Angola, dan Kongo. Penduduk setempat menggunakan kelapa sawit untuk memasak dan bahan untuk kecantikan. Selain itu, buah kelapa sawit juga dapat diolah menjadi minyak nabati. Warna dan rasa minyak yang dihasilkan sangat bervariasi (Lubis dan Widarnako, 2011). Penanaman dan pemilihan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dimulai sekitar tahun 1920 di Afrika dan Asia (Malaysia dan Sumatera) ketika jenisnya mulai dimanfaatkan untuk minyak nabati secara komersial. Bagaimanapun, dasar keturunan berdasarkan populasi penanaman telah diseimbangkan secara lebih sempit dan memberikan beberapa generasi dalam pembiakannya dan tekanan yang terpilih. Berbagai populasi mempunyai kemampuan saat ini menjangkau derajat tinggi keseragaman. Seluruh dunia, keturunannya diperoleh mula-mula dari empat pohon di Bogor digunakan sebagai induk betina dari material penanaman komersil dan
34
pada suatu palma yang digunakan sebagai induk jantan yang menekankan hal keturunan yang sempit dari kelapa sawit yang sekarang dikembangkan (Rajanaidu et. al., 1981). Kelapa sawit tumbuh sebagian besar di pantai barat Malaysia Barat, pada lahan yang sama untuk kelapa. Kelapa sawit juga tumbuh di beberapa lahan dekat pulau yang telah ditemukan cocok untuk kelapa sawit. Kelapa sawit tidak dapat menguntungkan jika tumbuh di semua lahan tetapi hanya pada lahan yang subur. Tanah subur ini termasuk tanah subur di pantai barat. Keuntungan kelapa sawit yang bertumbuh dapat sangat tinggi lebih banyak dibanding kelapa. Satu masalah dalam pertumbuhan kelapa sawit adalah bahwa suatu pabrik sangat mahal diperlukan untuk menyiapkan minyak itu. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak: 1) Minyak berwarna kemerahan yang berasal dari bagian luar dari buah, umumnya dikenal dengan minyak sawit. 2) Minyak tidak berwarna atau pucat yang mirip minyak kelapa sawit yang berasal dari inti atau bagian pusat dari buah yang dikenal sebagai minyak biji-bijian (Kheong et al., 1969). b. Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit termasuk dalam family Palmae, subkelas Monocotyledoneae. Beberapa varietas unggul kelapa sawit yang umumnya banyak ditanam di antaranya Dura, Pisifera, dan Tenera (Tabel 13) (Lubis dan Widarnako, 2011). Tabel 13. Karakteristik kelapa sawit varietas Dura, Tenera, dan Pisifera Kriteria
Dura
Tenera
Pisifera
Ketebalan cangkang (mm)
2-5 mm
Tidak ada
1-2,5 mm
Persentase cangkang (buah)
20-50%
N.A.
3-20%
Persentase mesokarp (daging buah)
20-65%
90-92%
60-90%
Persentasi inti buah
4-20%
3-8%
3-15%
Kadar minyak
rendah
tinggi
sedang
Sumber: Lubis dan Widarnako (2011) c. Morfologi Kelapa Sawit 1) Akar Kelapa Sawit Calon akar yang muncul pada biji kelapa sawit yang dikecambahkan disebut radikula, panjangnya 10-15 mm. pertumbuhan radikula mula-mula menggunakan makanan cadangan yang ada dalam endosperm yang kemudian fungsinya diambil alih oleh akar primer (Mangoensoekarjo dan Semangan, 2003). Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya
35
sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuartener (Fauzi et al., 2004). Perakaran kelapa sawit yang telah terbentuk sempurna umumnya memiliki akar primer dengan diameter 5-10 mm, akar sekunder 2-4 mm, akar tersier 1-2 mm, dan akar kuartener 0,10,3 mm. Akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara adalah akar tersier dan kuartener yang berada pada kedalaman 0-60 cm dengan jarak 2-3 m dari pangkal pohon (Lubis dan Widarnako, 2011). Akar berfungsi untuk (1) menunjang struktur batang di atas tanah, (2) menyerap air dan unsur-unsur hara dari dalam tanah, serta (3) sebagai salah satu alat respirasi. Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut, terdiri dari akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Akar primer umumnya berdiameter 6-10 mm. akar primer bercabang membentuk akar sekunder yang diameternya 2-4 mm. akar sekunder bercabang membentuk akar tersier yang diamaternya 0,7-1,2 mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuartener (Pahan, 2006). Pada awal pertumbuhan, bagian bawah tanaman mempunyai bonggol. Ribuan akar primer tumbuh menyebar horizontal atau menghujam ke dalam tanah. Akar sekunder tumbuh dari akar primer. Akar tersier dan kuartier yang paling aktif mengambil air dan har dari dalam tanah (Wahyono et al., 1996). Penyebaran akar tergantung pada kondisi tanah. Sistem perakaran cenderung tumbuh ke arah bawah (geotropis positif) tetapi penembusan selanjatnya dibatasi oleh jeluk permukaan air tanah. Pada tanah yang bertekstur halus, akar memadat, kurang baik bila dibandingkan dengan perkembangan akar pada tanah yang beraerasi baik dan bertekstur longgar. Praktek budidaya kelapa sawit juga memenuhi penyebaran akar, terutama akar-akar pengabsorbsi hara tertier dan kuarter (Sianturi, 1991). 2) Batang Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit memiliki batang lurus, melawan arah gravitasi bumi, dan dapat berbelok jika tanaman tumbang (doyong). Dalam beberapa kondisi, batang kelapa sawit juga dapat bercabang. Fungsi utama batang sebagai sistem pembuluh yang mengangkut air dan hara mineral dari akar melalui xylem serta pengangkut hasil fotosintesis melalui floem. Selain itu, batang juga berfungsi sebagai penyangga daun, bunga, buah, dan sebagai penyimpan cadangan makanan. Tinggi batang bertambah sekitar 45 cm per tahun. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai, pertambahan tinggi dapat mencapai 100 cm per tahun. Pada saat tanaman berumur 25
36
tahun, tinggi batang kelapa sawit dapat mencapai 13-18 m (Lubis dan Widarnako, 2011). Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 25-75 cm tumbuh tegak lurus dari bonggol. Pohon kelapa sawit dapat mencapai tinggi 20-30 m dengan penambahan tinggi tanaman sekitar 35-80 cm tahun-1 (Wahyono et al., 1996). Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Tanaman yang masih muda, batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan tinggi batang terlihat jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Tinggi batang bertambah 25-45 cm tahun-1. Jika kondisi lingkungan sesuai, pertumbuhan tinggi batang dapat mencapai 100 cm tahun-1. Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15-18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m dengan pertumbuhan batang tergantung pada jenis tanaman, kesuburan lahan, dan iklim setempat (Fauzi et al., 2004). Batang kelapa sawit tumbuh tegak (phototropi) dibalut oleh pangkal pelepah daun. Bagian bawah umumnya lebih besar (gemuk) disebut bongkol batang atau bowl. Sampai tanaman berumur 3 tahun batang belum terlihat karena masih terbungkus pelepah yang belum ditunas (Soehardjo, 1984). 3) Daun Kelapa Sawit Daun kelapa sawit terdiri dari rachis (pelepah daun); pinnae (anak daun) dan spines (lidi). Panjang pelepah daun bervariasi tergantung varietas dan tipenya serta kondisi lingkungan. Ratarata panjang pelepah tanaman dewasa dapat mencapai 9 m. pada satu pelepah akan dijumpai 250-400 pinnae (anak daun) yang terletak di kiri kanan pelepah daun dan panjang anak daun yang ditengah dapat mencapai 1,2 m atau lebih panjang dibandingkan anak daun yang letaknya di ujung atau di pangkal. Setiap anak daun terdiri dari lidi dan dua helaian daun (Soehardjo, 1984). Panjang daun kelapa sawit berkisar 5-9 m dengan jumlah anak daun berkisar 125-200 helai dengan panjang 1,2 m. Jumlah daun yang tumbuh setiap tahun adalah antara 20-30 daun (Wahyono et al., 1996). Biasanya tanaman kelapa sawit mempunyai 40 hingga 65 daun, jika tidak dipangkas bisa lebih dari 60 helai. Tanaman kelapa sawit tua membentuk 2-3 daun setiap bulan, sedang yang lebih muda menghasilkan 3-4 daun perbulan. Produksi daun dipengaruhi oleh faktor-faktor: umur, lingkungan, musim, iklim dan genetik. Produksi daun berdasarkan umum pada palma yang terdapat di Afrika adalah sebagai berikut. Produksi daun meningkat sampai dengan umur
37
6-7 tahun, kemudian menurun pada umur 12 tahun, seterusnya produksi daun tetap berkisar 2224 daun per tahun (Sianturi, 1991). Susunan daun tanaman kelapa sawit mirip dengan tanaman kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk. Daun-daun tersebut akan membentuk suatu pelepah daun yang panjangnya mencapai kurang lebih 7,5-9 m. Jumlah anak daun pada tiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kurang pucat. Pada tanah yang subur, daun cepat membuka sehingga makin efektif menjalankan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan juga sebagai alat respirasi (Tim Penulis PS, 1997). 4) Bunga Kelapa Sawit Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 2,5 tahun, namun pada umumnya bunga tersebut gugur pada fase awal pertumbuhan generatifnya. Kelapa sawit termasuk tanaman monoecious. Karena itu, bunga jantan dan bungan betina terletak pada satu pohon. Bunga sawit muncul dari ketiak daun yang disebut infloresen (bunga majemuk). Bakal bunga tersebut dapat berkembang menjadi bunga jantan dan betina tergantung pada kondisi tanaman. Inflorescen awal terbentuk selam 2-3 bulan, lalu pertumbuhan salah satu organ reproduktifnya terhenti dan hanya satu jenis bunga yang dihasilkan dalam satu inflorescen (Lubis dan Widarnako, 2011). Bunga yang sudah berkembang secara sempurna baik bunga jantan maupun betina merupakan bunga majemuk yang terdiri dari kumpulan spikelet dan tersusun dalam inflorescen yang berbentuk spiral. Pada bunga ini terdapat tangkai bunga (peduncle) yang merupakan struktur pendukung bunga dan daun pelindung (spathes) yang membungkus bunga sampai masuk fase penyerbukan. Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman berumah satu. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan rangkaian bunga betina. Umumnya kelapa sawit melakukan penyerbukan silang (Lubis dan Widarnako, 2011). 5) Buah Kelapa Sawit Buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah drupe. Susunan buah kelapa sawit yaitu pericarp (daging buah) yang terbungkus oleh exocarp (kulit), mesocarp, dan endocarp (cangkang) yang membungkus 1-4 inti atau kernel. Sementar itu, ini memiliki testa (kulit), endosperm, dan sebuah embrio (Lubis dan Widarnako, 2011). Kelapa sawit sudah mulai berbunga pada umur sekitar 2 tahun. Tanaman ini merupakan tanaman berumah satu, artinya pada satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina yang masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan
38
rangkaian bunga betina. Setiap satu rangkaian bunga akan muncul dari pangkal pelepah daun (Tim Penulis PS, 1997). Rangkaian bunga jantan dihasilkan dengan siklus yang bergantian dengan rangkaian bunga betina, sehingga pembungaan secara bersamaan sangat jarang terjadi. Pada umumnya, di alam hanya berlangsung penyerbukan silang, sedangkan penyerbukan sendiri secara buatan dapat dilakukan dengan menggunakan serbuk sari yang diambil dari bunga jantan dan ditaburkan pada bunga betina (Fauzi et al., 2004). Inisiasi bunga terjadi pada palma dewasa yaitu 33-34 bulan sebelum penyerbukan, bisa menjadi tandan bunga jantan dan betina. Ada juga yang tidak berdeferensiasi menjadi jantan atau betina, tetapi membentuk tandan bunga banci (hermaprodit). Jenis kelamin bunga kelapa sawit ditentukan ketika terbentuknya kuncup bunga kecil yaitu 20 bulan sebelum nampak pada tanaman. Ini bervariasi menurut kondisi lingkungan (Sianturi, 1991). 6) Biji Kelapa Sawit Pada umumnya kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat menghasilkan buah (fructus) serta siap dipanen pertama pada umur sekitar 3,5 tahun jika dihitung mulai dari penanaman biji dan berkecambah di pembibitan. Namun, jika dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen pada umur 2,5 tahun. Buah terbentuk setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan (Fauzi et al., 2004). Biji kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot yang berbeda untuk setiap jenisnya. Umumnya, biji kelapa sawit memiliki waktu dorman. Perkecambahan berlangsung dari enam bulan dengan tingkat keberhasilan 50%. Berdasarkan ketebalan cangkang dan daging buah, kelapa sawit dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut (Lubis dan Widarnako, 2011): 1) Dura (D), memiliki cangkang tebal (3-5 mm), daging buah tipis, dan rendemen minyak 15-17%; 2) Tenera (T), memiliki cangkang agak tipis (2-3 mm), daging buah tebal, dan rendemen minyak 21-23%; 3) Pisifera (P), memiliki cangkang sangat tipis, daging buah tebal, biji kecil, dan rendemen minyak 23-25%. Kelapa sawit normal yang telah berbuah akan menghasilkan kira-kira 20-22 tandan per tahun dan produktivitasnya menurun menjadi 12-14 tandan per tahun dengan semakin tua. Pada tahun-tahun pertama kelapa sawit berbuah pada tanaman yang sehat berat tandannya berkisar
39
antara 3-6 kg. Tanaman semakin tua, berat tandan pun bertambah, yaitu antara 25-35 kg per tandan (Tim Penulis PS, 1997). d. Syarat Tumbuh Kelapa Sawit Produktivitas tanaman menjadi lebih baik jika unsur hara dan air tersedia dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Selain itu, tanaman kelapa sawit membutuhkan intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Beberapa persyaratan untuk tumbuh pohon kelapa sawit adalah sebagai berikut: 1) Curah Hujan Curah hujan optimum yang diperlukan kelapa sawit rata-rata 2000-2500 mm tahun-1 dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Curah hujan yang merata ini dapat menurunkan penguapan dari tanah dan tanaman kelapa sawit. Air merupakan pelarut unsur-unsur hara di dalam tanah. Sehingga dengan bantuan air, unsur tersebut menjadi tersedia bagi tanaman. Bila tanah dalam keadaan kering, akar tanaman sulit menyerap ion mineral dari dalam tanah. Oleh sebab itu, musim kemarau yang berkepanjangan akan menurunkan produksi (Tim Penulis PS, 1997). 2) Suhu Perbedaan suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi buah. Suhu 20°C merupakan suhu minimum bagi pertumbuhan vegetatif. Sementara itu, suhu 22-23°C merupakan suhu rata-rata tahunan yang diperlukan untuk produksi buah. Suhu terkait dengan garis lintang dan elevasi di suatu daerah. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi tumbuh kelapa sawit lebih optimal berada di daerah tropis (Lubis dan Widarnako, 2011). 3) Tanah Kelapa sawit dapat hidup di tanah mineral, gambut, dan pasang surut. Potensi pengembangan kelapa sawit di lahan gambut (organik) relatif baik. Pasalnya, luas lahan gambut sangat melimpah di Kalimantan dan Papua (17-27 juta hektar). Sifat fisik tanah gambut diantaranya selalu tergenang air, dekomposisi bahan organik lambat, konsistensi lepas, kepadatan masa rendah, dan bersifat seperti spon (menyerap dan menahan air dalam jumlah besar). Drainase di lahan gambut biasanya diikuti oleh penyusutan massa dan penurunan muka tanah (Lubis dan Widarnako, 2011). Selain tanah gambut, jenis tanah yang potensial untuk pengembangan sawit adalah tanah sulfat masam (pasang surut) dengan luas di Indonesia mencapai 2 juta hektar. Kelebihan tanah sulfat masam adalah berada di sekitar daerah pantai (pasang surut) dengan topografi datar.
40
Sementara itu, kekurangan tanah sulfat masam adalah memiliki kandungan senyawa pirit tinggi (FeS2) dan beresiko mengalami oksidasi. Kandungan NaCl dan MgCl sangat tinggi karena letaknya di daerah pasang surut air laut. Selain itu, air tanah sangat pekat dan pertanaman akan mengalami plasmolisis. Karena itu, perlu ditemukan teknologi yang tepat untuk mengelola sistem drainase di tanah sulfat masam (Lubis dan Widarnako, 2011). Kelapa sawit membutuhkan drainase tanah yang baik untuk menunjang pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit yang tinggi. Kondisi tanah yang berdrainase buruk menyebabkan akan terhambat respirasi dan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, sedangkan pada tanah yang berdrainase terlalu cepat dapat mengurangi kemampuan tanah dalam menahan air (Wahyono et al., 1996).
9. Tanaman Penutup Tanah Kacang-Kacangan ( leguminous cover crop) Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang ditanam dengan tujuan utama untuk mengelola kesuburan, kualitas tanah, air, gulma (tumbuhan liar), hama, penyakit, biodiversitas, dan kehidupan liar dalam agroekosistem (Lu et al., 2000). Tanaman penutup tanah adalah penting dalam keberlanjutan pertanian seperti halnya yang peningkatan kepada keberlanjutan kualitas agroekosistem dan banyak juga secara tak langsung meningkatkan ekosistem alam di sekitarnya. Para petani memilih untuk menumbuhkan dan mengelola tipe tanaman penutup tertentu didasarkan pada kebutuhan dan tujuan, dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi, lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi pada sistem makanan dimana para petani bekerja/ mengelola (Snapp et al., 2005). Tanaman penutup tanah dapat juga meningkatkan kualitas tanah dengan meningkatkan unsur organik tanah melalui masukan biomasa tanaman penutup tanah secara bertahap. Peningkatan unsur hara organik meningkatkan struktur tanah, dan juga penyimpanan air dan nutrien serta kapasitas penyangga tanah (Patrick et al., 1957). Tanaman penutup tanah dapat juga berfungsi meningkatkan sekuestrasi karbon tanah, yang mana telah didukung sebagai sebuah strategi untuk membantu keseimbangan terhadap peningkatan level CO2 atmosfer (Kuo et al., 1997, Sainju et al., 2002, Lal, 2003). Terdapat dua jenis LCC yang paling banyak digunakan sebagai tanaman penutup tanah di perkebunan di Asia Tenggara yaitu Mucuna Bracteata dan Calopogonium Mucunoides. Mucuna Bracteata adalah tanaman asli India dan negara-negara yang berdekatan. Sebuah studi menyeluruh dilakukan mengenai kesesuaian Mucuna Bracteata untuk digunakan sebagai
41
tanaman penutup tanah di perkebunan karet di India di mana ditemukan memiliki semua karakter yang diinginkan dari tanaman penutup yang ideal. Kemudian diperkenalkan sebagai tanaman penutup untuk Heveabrasiliensis (pararubber) dan perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan di tempat lain. Mucuna Bracteata adalah tanaman yang cepat tumbuh, berakar merayap, dan dapat merayap ke atas yang ditemukan tumbuh sebagai tanaman liar di antara sisi jalan dan batas hutan di wilayah utara-timur India. Tumbuh cepat dengan pertumbuhan 10-15 cm dalam sehari. Berakar serabut berkembang dari batang tanaman merambat yang tumbuh di atas tanah ketika tanah basah. Mucuna Bracteata dapat dikembangbiakan di perkebunan baik dengan biji atau dengan stek berakar. Biakan dengan biji adalah metode yang paling nyaman dan populer di perkebunan pararubber dan kelapa sawit yang ia dapat memproduksi hingga 5620 kg biomassa selama periode tiga tahun. Di bawahnya, biomassa hijau di lapisan lebih dalam dari mulsa kering adalah sekitar 30-40 cm dengan ketebalan dapat berkembang pada berbagai tahap pembusukan. Daun kering tersebut perlahan-lahan membusuk dan menambah nutrisi ke tanah memberikan kontribusi nutrisi kepada tanaman utama dan hasil yang lebih baik. Selain itu, terjadi peningkatan penyekatan (shading) dari permukaan tanah, pengurangan kehilangan kelembaban tanah dan peningkatan kapasitas retensi kelembaban tanah (Kothandaraman et al., 1987). Karakteristik lain yang bermanfaat dari Mucuna Bracteata adalah bahwa tanaman ini merupakan spesies mikoriza, yang juga bermanfaat bagi tanaman utama karena dapat meningkatkan nutrien dan penyerapan air (Kothandaraman et al., 1987). Dan selanjutnya, pertumbuhan tanaman penutup tanah di perkebunan juga bermanfaat karena mereka dapat menutupi pertumbuhan gulma. Calopogonium Mucunoides berasal dari daerah tropis Amerika dan Hindia Barat, yang mana kemudian menyebar luas dan sekarang ditemukan di daerah tropis paling lembab (Afrika, Asia, Australia). Calopogonium Mucunoides diperkenalkan ke Indonesia dan Malaysia sebagai tanaman pertanian penutup yang tumbuh baik, baik sendiri atau bercampur dengan kacangkacangan lainnya, terutama karet, kelapa sawit atau hutan tanaman muda. Hal ini memberikan perlindungan terhadap erosi tanah, mengurangi suhu tanah, meningkatkan kesuburan tanah dan pengontrolan gulma (Chin Peng Chen et al., 1997; Cook et al., 2005). Calopogonium Mucunoides tumbuh optimal di mana suhu harian di kisaran 24 °C sampai 36 °C (Cook et al., 2005) dan hujan musiman dengan nilai-nilai tahunan pada kisaran 1.0001.500 mm (Chin Chen Peng et al., 1997; Kretschmer et al., 2001). Calopogonium Mucunoides dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun yang terbaik adalah pada tanah liat asam (pH
42
4,5-5). Calopogonium Mucunoides toleran terhadap kejenuhan aluminium tinggi tetapi tidak toleran terhadap tanah salin (Cook et al., 2005). Calopogonium Mucunoides toleran terhadap banjir tetapi tidak toleran terhadap kekeringan (Cook et al., 2005). Kebakaran lahan dapat membunuh Calopogonium Mucunoides tetapi bibitnya mampu bertahan dan mudah tumbuh kembali setelah kebakaran terjadi (FAO, 2011). Calopogonium Mucunoides cukup toleran pada daerah teduh dan dapat tumbuh di perkebunan dimana transmisi cahaya adalah antara 60-100%. Calopogonium Mucunoides masih dapat produktif di bawah pohon kelapa (pada transmisi cahaya 60-70%) tetapi lebih rendah tingkat transmisi cahaya akan mengurangi hasil dan naungan yang terlalu gelap dapat membunuh tanaman (Cook et al., 2005). Calopogonium Mucunoides adalah tanaman legum yang dapat menyemat N yang tidak membutuhkan persyaratan khusus untuk Rhizobium dan nodulasi dengan mudah. Calopogonium Mucunoides menyediakan N tanah bagi rumput-rumput yang bersebelahan ketika ditanam secara campuran, dan juga terhadap tanaman lain ketika tumpangsari (dengan jagung misalnya). Efeknya bisa bertahan 14-16 tahun (Chin Peng Chen et al., 1997). Calopogonium Mucunoides adalah pupuk hijau berharga bagi sawah karena toleran terhadap kondisi tergenang air (IRRI, 1988; Kretschmer et al., 2001) dan telah digunakan sebagai tanaman penutup di perkebunan (pisang, kopi, karet, kelapa, lada hitam), tetapi harus dicegah dari pertumbuhan yang berlebih pada pohon muda dengan melakukan pemotongan secara teratur (Chin Peng Chen et al., 1997; Parthasarathy, 2008).
C. Hipotesa Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan landasan teori diatas, maka dapat dinyatakan kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa “Pengaturan kedalaman muka air gambut yang optimum dan penanaman Mucuna bracteata dan Calopogonium mucunoides di perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dapat menurunkan emisi CO2 heterotrofik“