BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka Tentang Pelaksanaan Kewenangan Jaksa Untuk Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Kewenangan Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Sehingga wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.1 Wewenang merupakan bagian penting dari hukum administrasi karena obyek hukum administrasi adalah wewenang pemerintah, sehingga ruang lingkup wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang untuk membuat keputusan, tetapi juga semua wewenang dalam rangka melaksanakan tugas, sehingga wewenang untuk melaksanakan suatu urusan pemerintah merupakan wewenang untuk menetapkan norma-norma hukum positif dalam suatu bidang kehidupan masyarakat dan mempertahankannya. Apabila pemerintah bermaksud menetapkan dan mempetahankan hukum positif, maka diperlukan adanya wewenang, karena tanpa wewenang maka keputusan yang dikeluarkan tidak akan sah.2 Menurut Herbert A. Simon, wewenang adalah suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan hubungan atasan atau pimpinan dengan bawahan.3 Sedangkan menurut SF. Marbun wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik (yuridis), juga sebagai kemampuan bertindak yang diberikan Undang-undang untuk melakukan hubungan hukum.4 Dari sudut pegertian yuridis, wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
1
Diah Restuning Maharani, Teori Kewenangan, diakses dari www.google.com diunduh tanggal 29 Mei 2013, dikutip dari Muhammad Jusuf, Hukum Kejaksaan : Eksistensi Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, Laksbang Justitia, Surabaya, 2014, hal. 102. 2 Sadjijono, Bab-bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2011, hal. 56-57, dikutip dari Ibid, hal. 103. 3 Muhammad Jusuf, Hukum Kejaksaan : Eksistensi Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, Laksbang Justitia, Surabaya, 2014, hal. 103. 4 SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1977, hal. 154, dikutip dari Ibid.
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Wewenang dalam arti luas yang bersifat umum yaitu wewenang untuk berbuat sesuatu.5 Menurut Philipus M. Hadjon ada tiga sumber dalam memperoleh kewenangan bagi badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yaitu Atribusi, Delegasi dan Mandat.6 Kewenangan atribusi dalam hal dan pengakuan hak-hak atas suatu kewenangan yang baru. Dalam delegasi ada pengalihtanganan dari suatu kewenangan yang ada. Untuk atribusi dan delegasi, kewenangan untuk membuat keputusan harus didasarkan pada suatu Undang-undang formil. Dalam hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk membuat keputusan untuk dan atas nama penguasa, hal ini disebut mandat, hanya menyangkut janji kerja intern antara penguasa dan pegawainya. Dalam hal delegasi, pejabat yang memperoleh delegasi bertanggungjawab sendiri atas keputusan yang dibuatnya, sedangkan untuk madat, keputusan dibuat penerima mandat adalah atas nama dan tanggung jawab pemberi mandat. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa wewenang atribusi merupakan wewenang yang melekat pada jabatan, dengan kata lain wewenang dibentuk bersama jabatan tersebut. Oleh karena itu setiap wewenang yang timbul dari atribusi akan melahirkan wewenang yang sifatnya asli. Sumber wewenang yang asli utama adalah dari Undang-undang Dasar. Bahwa atribusi sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintah dan pembuat keputusan (besluit) yang bersumber kepada Undang-undang dalam arti materil. Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-undang Dasar. Pembentukan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. 2. Pengertian Jaksa Secara terminologis, istilah Jaksa berasal dari kata yaksa dalam bahasa sansekerta.7 Istilah ini dibawa dari India dan berpengaruh dalam masa peradapan Hindia di Indonesia. Di Majapahit, istilah yaksa digunakan dalam struktur yudikatif sejenis dengan istilah adhyaksa, dhyaksa, dan dharmadhyaksa. Pada masa Hayam Wuruk berkuasa (1350-1389), dhyaksa merupakan jabatan hakim yang menangani masalah peradilan di persidangan. Dhyaksa dikepalai oleh seorang adhyaksa yang 5
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Press, Jakarta, 1999, hal. 65, dikutip dari Ibid. 6 Muhammad Jusuf, op.cit, hal. 104-105. 7 R. Tresna, Peradilan Di Indonesia dari Abad ke Abad, Cetakan ke-3, Pranya Paramita, Jakarta, 1978, hal. 153, dikutip dari Ibid, hal. 32-33.
bertugas bukan hanya sebagai hakim tertinggi (oppenrrechter) namun juga sebagai pengawas (opzichter).8 Istilah Jaksa menurut kamus hukum, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum9 dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain
berdasarkan
undang-undang,10
sedangkan
pengertian
jaksa
berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP), adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Rumusan pada Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP mengenai “Jaksa” diperluas didalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-014/A/JA/11/2012, tanggal 13 November 2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, yaitu Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undangundang. Adapun yang dimaksud jaksa sebagai pejabat fungsional berdasarkan Pasal 1 angka
7
Peraturan
Jaksa
Agung Republik
Indonesia
Nomor
:
PERJA-
039/A/JA/10/2010, tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, adalah Jaksa fungsional di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia yang mendukung pelaksanaan tugas pokok fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, upaya hukum dan eksekusi perkara tindak pidana khusus.11 8
9
Muhammad Jusuf, op.cit, hal. 32-33.
Penuntut Umum menurut Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 10 -----, Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, Maret 2008, hal. 169. 11 Yang dimaksud dengan Perkara tindak pidana khusus menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PERJA-017/A/JA/07/2014, tanggal 7 Juli 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Nomor : PERJA-039/A/JA/10/2010, tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, adalah a. Perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana ekonomi (kepabeanan dan cukai); b. Perkara pelanggaran HAM yang berat yang penanganannya hanya di Kejaksaan Agung; c. Perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.
Didalam sistem peradilan pidana, yang memegang peranan penting dalam penegakan hukum adalah jaksa, menginggat yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak hanyalah jaksa dan jaksa pula yang menentukan apakah seseorang seseorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan pidana yang dibuatnya.12 Berdasarkan Pasal 3 sampai dengan Pasal 6 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012, tanggal 13 November 2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, Jaksa dalam melaksanakan tugasnya memiliki kewajiban, yaitu : a. Kewajiban kepada Negara, yaitu : 1) Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan 3) Melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara. b. Kewajiban kepada Institusi, yaitu : 1) Menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya; 2) Menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa; 3) Menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia; 4) Melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan; 5) Menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan; dan 6) Mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling memotivasi untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya. c. Kewajiban kepada Profesi Jaksa13, yaitu : 1) Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil; 2) Mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga; 3) Mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan; 4) Meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan internasional; 5) Menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk kepada Penyidik;
12
Ahmad Andriadi, Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem KetataNegaraan Republik Indonesia (telaah Kritis Terhadap Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia), Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makasar, 2012 dikutip dari Muhammad Jusuf, op.cit, hal. 11. 13 Yang dimaksud profesi jaksa erdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-014/A/JA/11/2012, tanggal 13 November 2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, adalah tugas dan wewenang yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan di bidang pidana, perdata dan tata usaha Negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum dan tugas-tugas lain berdasarkan undang-undang.
6) Menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana kesusilaan kecuali penyampaian informasi kepada media, tersangka/keluarga, korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan. 7) Memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia; dan 8) Memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum, penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang lain. d. Kewajiban kepada masyarakat, yaitu : 1) Memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia; dan 2) Menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Mengingat jaksa merupakan salah satu aparatur negara yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan penegakan hukum. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Jaksa diorganisasikan dalam suatu lembaga yang diberi nama Kejaksaan Republik Indonesia atau dapat disebut Kejaksaan. Tugas utama kejaksaan yang dilaksanakan oleh jaksa ialah melakukan penuntutan perkara pidana14 dan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Jaksa dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berpedoman Pasal 8 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-014/A/JA/11/2012, tanggal 13 November 2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, dilakukan secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lainnya, tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan kelompok serta tekanan publik maupun media dan Jaksa dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan kepadanya diberikan perlindungan hukum serta penolakan tersebut disampaikan secara tertulis kepada yang memberikan perintah dengan menyebutkan alasan, dan ditembuskan kepada atasan pemberi perintah. 3. Kerugian Menurut M. Tuanakotta15, kerugian dalam pengertian ilmu ekonomi dijelaskan dengan konsep well-offness atau better offness. Dalam konsep ini kekayaan atau milik 14
Bambang Waluyo, Fungsi kejaksaan mewujudkan hakikat restroative justice pada penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, Desertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2015, hal. 19. 15 TM. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hal. 92.
(seseorang, negara, perusahaan dan lain-lain) pada suatu titik waktu dibandingkan dengan kekayaan atau miliknya pada titik waktu sebelum atau sesudahnya. Selanjutnya masih menurut M. Tuanakotta, kalau kekayaan pada tanggal 31 Desember 2010 lebih sedikit dari kekayaan pada tanggal 31 Desember 1999, maka keadaan orang, negara, atau perusahaan itu lebih buruk, dalam bahasa Inggris ia worst off, dalam pengertian ilmu ekonomi, ia mengalami kerugian. Ada banyak perspektif untuk mengartikan makna kerugian. Dipandang dari perspektif hukum perdata, Subekti menjelaskan yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya yang berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berutang tidak lalai (winstderving).16 Menurut petunjuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian Negara adalah berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan oleh sesuatu tindakan melanggar hukum/kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar dugaan dan di luar kemampuan manusia (force majeure) menurut M. Tuanakotta,17 Kerugian negara yang diakibatkan oleh faktor force majeure merupakan pengaruh dari konsep ekonomi. Dalam perspektif hukum peristiwa atau akibat yang ditimbulkan oleh faktor force majeure, perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat. Kerugian Negara/Daerah didalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK memiliki pengertian yang sama dengan kerugian negara/daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 22, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Pengertian kerugian negara tersebut pada titik tertentu mempunyai kesamaan dengan pengertian kerugian negara dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3, terutama dari sisi penyebabnya yaitu timbulnya kerugian negara disebabkan oleh perbuatan melawan hukum. 4. Konsep Keuangan Negara 16
Ibid, hal. 79.
17
Ibid.
Pengertian keuangan negara menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, yang meliputi, yaitu : a. b. c. d. e. f. g.
h. i.
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman, Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan, negara dan membayar tagihan pihak ketiga, Penerimaan Negara, Pengeluaran Negara, Penerimaan Daerah, Pengeluaran Daerah, Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak kain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan dan/atau Kepentingan Umum, Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf (i) meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, Yayasan-yayasan di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga atau perusahaan negara/daerah”.
5. Tindak Pidana Korupsi a. Tindak pidana Istilah tindak pidana korupsi terdiri dari dua konsep hukum yaitu tindak pidana dan korupsi. Penulis akan menguraikan terlebih dahulu tentang tindak pidana, kemudian akan menguraikan tentang korupsi untuk dapat memahami pengertian dan pemaknaan terhadap istilah tindak pidana korupsi. Tindak pidana dan korupsi merupakan dua konsep hukum yang berbeda, yang masing-masing mempunyai arti dan maknanya sendiri-sendiri, apabila dua konsep hukum itu dijadikan satu dengan istilah tindak pidana korupsi juga akan mempunyai arti dan makna yang berbeda. Pengertian tindak pidana berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum berupa kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan hukuman pidana penjara, kurungan atau denda. Tindak pidana menurut Pasal 1 ayat 3 Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan No. Pol : Kep/ 12/ IV/ 2002, TgI. 29 April 2002 Nomor : Kep. 04.02.00-219/K/2002, TgI. 29 April 2002 Tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Yang Berindikasi Tindak Pidana, adalah setiap perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Menurut Jan Remmelink hukum pidana memberikan perhatian utama pada tingkah laku atau perbuatan manusia, khususnya karena perbuatan manusia merupakan penyebab utama terjadinya pelanggaran atas tertib hukum. Pembuat undang-undang Belanda berbeda dengan pembuat undang-undang di Jerman, yaitu mereka tidak memilih istilah ‘perbuatan’ atau ‘tindak’ (handeling) melainkan ‘fakta’ (feit -tindak pidana). Untuk itu, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen-yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang
dirumuskan di dalamnya, perilaku yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.18 Tindak pidana menyangkut perilaku atau perbuatan manusia dalam sebuah realitas, maka dalam perumusan undang-undang perlu diperinci agar perbuatan yang dilarang dapat tercakup dalam rumusan delik. Untuk itu Jan Remmelink,19 menyatakan unsur-unsur konstitutif yang harus diperinci dalam undang-undang yaitu : 1) Kadangkala pembuat undang-undang merumuskan unsur-unsur konstitutif diatas dengan sekadar menyebutkan penamaan yuridis: ‘etiket’ yuridis; 2) Undang-Undang menyebutkan secara terperinci unsur-unsur tindak pidana tanpa memberikan penamaan yuridis bagi keseluruhannya; 3) Undang-Undang memperinci unsur-unsur konstitutif tindak pidana dan menambahkan suatu kualifikasi yuridis. Pengertian atau makna tindak pidana menurut Lamintang, pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Lamintang, menjelaskan perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat. Yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.20 Menurut Hazewinkel Suringa, “strafbaar feit” sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya”. Para penulis lama seperti Profesor van Hamel, telah merumuskan
18
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 85-86. 19 Ibid, hal. 87. 20 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 181.
“strafbaar feit” itu sebagai “suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”.21 Menurut Pompe,22 “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Menurut Simons,23 telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dalam mengartikan istilah “strafbaar feit” Moeljatno, menolak istilah peristiwa pidana karena peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.24 Istilah “strafbaar feit” oleh Moeljatno25 artinya sejajar dengan (bukan sama dengan) perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Menurut Moeljatno26 “Strafbaar feit” mencakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan. Untuk itu Moeljatno,27 menyimpulkan perbuatan pidana mengandung unsur atau elemen sebagai berikut : 1) Kelakukan dan akibat (= perbuatan), 2) Hal ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
21
Ibid, hal. 181-182.
22
Ibid, hal. 182. Ibid, hal. 185. 24 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 86. 25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, edisi revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 59. 23
26 27
Ibid, hal. 62. Ibid, hal. 69.
4) Unsur melawan hukum yang obyektif, 5) Unsur melawan hukum yang subyektif. b. Korupsi Istilah korupsi yang telah diterima dan diserap ke dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi merupakan nomina (kata benda) diartikan penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Istilah korupsi dalam dekade terakhir ini begitu populer di semua kalangan masyarakat Indonesia yang sering didengar dan diketahui dari media massa baik cetak maupun elektronik. Bagi masyarakat Indonesia istilah korupsi sudah menjadi tidak asing lagi dan menjadi pembicaraan ditengah masyarakat pada semua kalangan. Menurut Benveniste definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, yaitu 28 : 1) Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. 2) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. 3) Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. 4) Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok”. Transparency International,29 menggunakan definisi korupsi yang lebih singkat yaitu menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Dalam definisi ini ada tiga unsur yaitu : 1) Menyalahgunakan kekuasaan, 2) Kekuasaan yang dipercayakan (baik disektor publik maupun disektor swasta),
28
Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hal. 17. Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi – Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 3. 29
3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga bagi anggota keluarganya dan teman-temannya). Korupsi sebagai bentuk tindak pidana merupakan kejahatan yang sangat berdampak serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dampak yang sangat membahayakan bagi kemanusiaan ini telah menjadi keprihatinan yang serius oleh masyarakat internasional. Bentuk keprehatinan ini diwujudkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Korupsi,30 dalam bagian pembukaannya menyatakan negara-negara peserta konvensi ini prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilainilai etika dan keadilan serta mengancam pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Syed Hussein Alatas dalam bukunya yang berjudul “The Sociology of Corruption” mengatakan bahwa praktek korupsi meliputi ciri-ciri31 sebagai berikut : 1) Selalu melibatkan lebih dari satu orang; 2) Pada umumnya dilakukan dengan penuh kerahasiaan; 3) Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; 4) Dengan berbagai macam aksi berlindung dibalik pembenaran hukum; 5) Mereka yang terlibat menginginkan keputusan yang tegas dan mampu mempengaruhi keputusan; 6) Mengandung penipuan baik pada badan publik ataupun masyarakat umum; 7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; Korupsi sebagai suatu tindakan atau perbuatan seseorang merupakan suatu peristiwa hukum yang batas-batas tertentu merupakan suatu tindak pidana. Dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1, menyebutkan Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang30
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 315. 31 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 10.
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2001
pada
dasarnya
dapat
dikelompokkan sebagai berikut : 1) Kerugian keuangan Negara (Pasal 2 dan Pasal 3); 2) Suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat 1 huruf a, huruf b, Pasal 6 ayat 2, Pasal 12 huruf c, dan huruf d); 3) Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b, dan Pasal 10 huruf c); 4) Pemerasan (Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, dan huruf f); 5) Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h); 6) Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i); 7) Gratifikasi (Pasal 12 B junto Pasal 12 C). Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas : 1) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21); 2) Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 junto Pasal 28); 3) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 junto Pasal 29); 4) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 junto Pasal 35); 5) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 junto Pasal 36); 6) Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 junto Pasal 31). Penelitian ini difokuskan pada lembaga apa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara dan dasar legitimasi Jaksa untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut yang dimaksud tindak pidana korupsi adalah perbuatan setiap orang baik orang perseorangan atau korporasi secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, melakukan perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Mengingat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tidak menyebutkan secara jelas mengenai lembaga yang berwenang untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara terkait dalam tindak pidana korupsi, namun secara implisit dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian keuangan negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. B. Landasan Teori Dalam penelitian untuk penyusunan tesis ini penulis menggunakan dua landasan teori yaitu teori hukum murni dari Hans Kalsen dan teori realisme hukum dari David Hume. Pertama, teori hukum murni menurut Hans Kalsen32 adalah hukum murni berusaha membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politis, dan sebagainya. Teori hukum murni adalah teori hukum positif bukan tentang tatanan hukum khusus. Disebut teori hukum murni karena menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing,33 namun mencoba mengungkap hakikat hukum itu sendiri, menentukan strukturnya dan karakteristik bentuk-bentuknya, independen dari konten perubahan yang dialaminya pada waktu yang berbeda dan diantara orang-orang yang berbeda. Dengan cara ini 32
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Teori) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 60. 33 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 1.
mendapatkan prinsip-prinsip fundamental yang dengannya tiap peraturan legal dapat dipahami sebagai sebuah teori, tujuan satu-satunya adalah untuk mengetahui subyeknya. Menjawab pertanyaan tentang apa hukum itu, bukan seperti apa hukum seharusnya yang merupakan bagian dari bidang politik hukum.34 Teori hukum murni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "grundnorm". Oleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka teori hukum murni hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal. Kedua, teori realisme hukum menurut David Hume, merupakan teori yang lahir dari teori empiris yang telah dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai pandangan hukum itu didapat pada kenyataan empiris (real). Empiris menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran sejati dapat diraih.35 Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di Amerika Serikat. Teori ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal dan terbaik dari kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan dunia nyata, dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realism hukum berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian pakar memandang bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan sosiologi terhadap hukum.36 Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme adalah hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti ketentuan-
34
Hans Kelsel, Dasar-dasar Hukum Normatif, Prinsip-prinsip Teoritis Untuk Mewujudkan Keadilan Dalam Hukum Dan Politik, Nusa Media, Bandung, 2014, hlm. 316. 35 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Semarang, 2003, hlm. 165. 36 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 45.
ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris. C. Penelitian Yang Relevan Dalam penulisan tesis ini penulis mengambil judul “Pelaksanaan Kewenangan Jaksa Untuk Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi” yang merupakan karya asli penulis bukan merupakan karya orang lain baik sebagian maupun seluruhnya. Penelitian dalam tesis ini memfokuskan pada : 1. Lembaga apa yang berwenang melakukan penghitungan kerugian Keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. 2. Apa dasar legitimasi jaksa berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dengan demikian penelitian ini, yang memfokuskan pada lembaga apa yang berwenang dan apa dasar legitimasi jaksa berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, sehingga penulis belum menemukan sebuah penelitian atau kajian yang membahas tentang pelaksanaan kewenangan jaksa untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. D. Kerangka Berfikir (Conceptual Framework) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak menyebutkan secara jelas mengenai lembaga yang berwenang untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara terkait dalam tindak pidana korupsi, namun secara implisit dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian keuangan negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk, sehingga dengan adanya ketidakjelasan dan tumpang tindihnya aturan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga terjadi perdebatan dan telah memasuki ranah implementasi mengenai lembaga yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara dan kerugian keuangan negara yang dilakukan perhitungan sendiri oleh jaksa. Dalam penelitian ini yang dikaji lebih jauh adalah mengenai lembaga apa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara dan apa dasar legitimasi jaksa berwenang menghitung kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Bagan kerangka berfikir Pelaksanaan Kewenangan Jaksa Untuk Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Lembaga
Yang
Berwenang
Dasar
Legitimasi
Jaksa
Menghitung Kerugian Keuangan
Menghitung Kerugian Keuangan
Negara
Negara
Dalam
Penanganan
Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam
Penanganan
Perkara Tindak Pidana Korupsi
Teori hukum Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti Solusi
Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundangundangan
Revisi Undang-Undang Kejaksaan Revisi
Undang-Undang
Pidana Korupsi Korupsi
Tindak