5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Kinerja Sistem Irigasi Kinerja jaringan irigasi dipengaruhi turunnya kinerja pintu saluran sekunder yang mengalirkan debit air tidak sesuai debit standar pintu dikarenakan telah terjadi kebocoran, secara analisa ekonomi menimbulkan kerugian setiap musim tanam. Kehilangan air pada saluran sekunder disebabkan evaporasi, rembesan dan bocoran (Susi Hariany, dkk., 2011). Endah Aryuningsih Tri Raharjeng (2012) dalam penelitiannya hasil penilaian kinerja sistem irigasi DI Krisak 66,28% dengan menambahkan komponen Rasio Pelaksanaan Pembagian Air (RPPA) menjadi 69,79%. Evaluasi pembagian air melalui penambahan komponen RPPA perlu dilakukan untuk mencegah konflik air. Simulasi yang dilakukan pada setiap aspek dapat disimpulkan bahwa aspek yang tidak melibatkan perseorangan atau kelompok secara langsung (prasarana fisik, sarana penunjang, dan dokumentasi) lebih sensitif dapat meningkatkan kinerja daripada aspek yang melibatkan perseorangan atau kelompok secara langsung (produktivitas tanam, organisasi personalia, dan P3A). Upaya peningkatan kinerja sistem irigasi memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka peningkatan setiap aspek disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Menurut Supriyono, dkk. (2013) dalam menentukan skala prioritas penanganan untuk meningkatkan kinerja jaringan irigasi, apabila tersedia biaya yang cukup, maka prasarana fisik yang terendah dapat terlebih dahulu ditangani, namun jika ketersediaan biaya kurang, maka dapat menangani faktor non fisik yang terendah. Olvi Pamadya Utaya Kusuma, dkk. (2012) dan Supriyono, dkk. (2013) menganalisis kinerja jaringan irigasi untuk menentukan skala prioritas penanganan sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007. Diah Asri Sawitri, dkk. (2009) mengembangkannya dengan perancang sistem penilaian kinerja yang dapat mengakomodir vagueness dan ketidakpresisian penilaian yang dilakukan pakar serta
6
menilai kinerja irigasi menggunakan konsep fuzzy, yaitu: Fuzzy AHP (menggabungkan konsep Fuzzy dan Hirarki) dan Fuzzy MCDA mendapatkan hasil yang lebih mendekati penilaian yang dilakukan manusia (humansitik), serta mempercepat waktu perhitungan. Rini Wahyu Sayekti, dkk. (2012) evaluasi kinerja suatu daerah irigasi dapat dilihat dari segi fisik dan non fisik yang terdiri dari penerapan pola tata tanam dan teknik pemberian air. Teknik pemberian air adalah keseragaman, efisiensi pemberian air, dan kecukupan. Mengetahui kinerja daerah irigasi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan air irigasi di daerah yang membutuhkan. Evaluasi kinerja irigasi dimaksudkan agar ada perbaikan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hasil kinerja irigasi yang lebih baik dan optimal. Serta menyarankan bahwa penelusuran saluran dan bangunan irigasi pada sebuah jaringan irigasi sebaiknya rutin dilaksanakan, agar tetap bisa mengontrol secara fisik dan mendapat manfaat terhadap existing sebuah jaringan irigasi. Februarman (2009) mengatakan bahwa mengalirkan air dari sumbernya (intake) ke areal persawahan diperlukan saluran irigasi. Hal yang sama disampaikan Martana (2008) dalam penelitiannya, bahwa air irigasi tidak begitu saja dapat dialirkan ke petak-petak sawah, melainkan harus melalui suatu sistem jaringan irigasi yang terdiri dari saluran dan bangunan air irigasi tersebut adalah bangunan pengambilan (intake). Menurut Fanny Dwiyulitasari Edwar, dkk. (2013) kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi dapat mempengaruhi distribusi air ke petak-petak sawah, bila kondisi ini dibiarkan terusmenerus akan berdampak terhadap penurunan produksi pertanian. Pengoptimalan daerah irigasi perlu disusun skala prioritas pemeliharaan baik rutin, berkala, dan darurat, sehingga umur manfaat dari saluran dan bangunan irigasi tercapai tanpa pemeliharaan atau rehabilitasi secara besar-besaran. Penelitian yang dilakukan Bolanos, M.G. et al. (2011) menilai kinerja 22 jaringan irigasi kecil dan menengah yang dikelola masyarakat di sepanjang tepi Mauritania Sungai Senegal, Sub-Saharan Afrika menggunakan Proses Penilaian Cepat dengan wawancara semi-terstruktur dengan perwakilan dari masing-masing jaringan irigasi yang terdiri dari: organisasi koperasi, kepemilikan lahan, sistem irigasi dan kelembagaan/organisasi, pola tanam dan tanah. Selain itu, untuk setiap jaringan irigasi layanan pemberian air dilakukan pengamatan kualitatif dan komparatif selama inspeksi
7
di lapangan, kinerja stasiun pompa dievaluasi oleh seorang ahli, pengukuran debit di hulu sistem, pencatatan waktu irigasi harian dan hasil panen dengan plot sampling. Hasil penilaian menunjukkan kapasitas penyaluran air pada daerah irigasi tidak cukup di sepertiga jaringan, dan ketidakcukupan dipengaruhi pemeliharaan yang buruk. Karatas, B.S. et al. (2009) menilai kinerja sistem irigasi menggunakan teknik penginderaan jauh pada Perkumpulan Pemakai Air (Water User’s Associations/WUAs) di Lower Gediz Basin, Turki Barat berdasarkan lima indikator, yaitu overall consumed ratio (ep), relative water supply (RWS), depleted fraction (DF), crop water deficit (CWD), and relative evapotranspiration (RET). Parameter evapotranspirasi potensial dan aktual digunakan dalam menentukan indikator diperkirakan sesuai dengan Surface Algoritma Neraca Energy Land (SEBAL) menggunakan metode NOAA-16 gambar satelit. Hasil nilai rata-rata musiman semua indikator kinerja menunjukkan pemberian air irigasi kurang dari yang dibutuhkan Perkumpulan Pemakai Air. Kedekatan dengan sumber bisa menjadi keuntungan dalam memperoleh air dan ketika air tidak mencukupi, air tanah di daerah akar tanaman dapat digunakan, sebagai akibat dari curah hujan dan/atau irigasi yang tidak efisien sebelumnya. Dibeberapa negara pemerintah menyerahkan pengelolaan air irigasi ke Perkumpulan Pemakai Air (WUAs). Kinerja pengelolaan air irigasi dinilai dengan pendekatan terpadu. Membandingkan penilaian kinerja 4 (empat) Perkumpulan Pemakai Air yang mengambil alih pengelolaan air irigasi di Saluran Tepi Kiri Proyek Irigasi Rani Avanti Bai Sagar (RABSP), Jabalpur, India menggunakan 4 (empat) indikator, yaitu: pemberian air, pemeliharaan, keuangan dan keberlanjutan. Hasil penilaian digunakan untuk mencari pengelolaan terbaik, ide kreatif, dan prosedur operasi yang sangat efektif berdasarkan pengalaman untuk meningkatkan kinerja pengelolaan air irigasi (Chouhan, S.S. et al., 2015). Mattamana, B.A. et al. (2013) menyatakan bahwa sebuah sistem dapat diterima bila pemberi dan penerima puas. Sudut pandang dari penerima yaitu petani puas ketika air irigasi yang tersedia dapat diandalkan dan memenuhi kebutuhan air irigasi, sedang sudut pandang pemberi yaitu pengelola sistem irigasi puas ketika sistem mampu menghemat dan mendistribusikan air irigasi secara merata sesuai kebutuhan. Sebagai
8
indikator menilai kinerja sistem irigasi dari sudut pandang petani terdiri dari kecukupan kebutuhan air, kehandalan, dan kekurangan air irigasi. Ketiga indikator tersebut dapat membantu petani untuk mengidentifikasi apakah air sampai atau tidak pada lahan pertanian dalam jumlah yang memadai dan tepat waktu; dari sudut pandang pengelola sistem irigasi terdiri dari efisiensi, keadilan dan pemborosan yang dapat membantu pengelola sistem irigasi mengontrol sistem penyaluran air ekonomis. Penelitian yang sama juga dilakukan Kuscu, H. et al. (2009) dengan indikator kinerja berdasarkan kepuasan petani sebagai indikator kinerja sosial, sedangkan indikator kinerja fisik dan keuangan menunjukkan kinerja pengelolaan air irigasi, dan sebagai faktor penentu menggunakan Model Logit. Indikator-indikator tersebut dilaksanakan 2 (dua) tahap pada jaringan irigasi Bursa-Karacabey (KIS), Turki Barat. Pada tahap pertama, kinerja pengelolaan air irigasi dinilai menggunakan 2 (dua) indikator fisik, yaitu rasio irigasi rata-rata dan pasokan air relatif dan 3 (tiga) indikator kinerja keuangan, yaitu kecukupan keuangan manajemen anggaran, operasi dan pemeliharaan, dan jumlah staf per satuan luas. Pada tahap kedua pengelolaan air irigasi diuji dan dinilai dengan Model Logit, mengambil persepsi petani tentang kepuasan layanan irigasi, yaitu kebijakan biaya irigasi dan pemeliharaan irigasi dan saluran drainase. Salah satu alasan kinerja sistem irigasi tidak tercapai, karena peningkatan kinerja ditekankan pada infrastruktur fisik dan mengabaikan dimensi sosial, maka pengelolaan irigasi partisipatif dimasukkan dalam operasi sistem irigasi. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi cara meningkatkan kinerja sistem irigasi. Banyak tolak ukur dan parameter yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja irigasi, dalam penelitian ini akan menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 Tanggal 11 September 2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Evaluasi kinerja sistem irigasi adalah untuk mengetahui kondisi sistem irigasi yang meliputi: 1.
Kondisi keberfungsian prasarana bangunan irigasi yang meliputi kondisi: bangunan utama, saluran pembawa, bangunan pada saluran pembawa, saluran pembuang, jalan inspeksi, dan kantor dan gudang.
9
2.
Besarnya produktifitas tanam yang meliputi: pemenuhan kebutuhan air irigasi (faktor K), realisasi luas tanam, dan produktifitas padi.
3.
Ketersediaan dan kemanfaatan sarana penunjang yang meliputi: peralatan operasi dan pemeliharaan, transportasi, alat-alat kantor Perwakilan Balai, dan alat komunikasi.
4.
Kondisi organisasi personalia yang meliputi: organisasi operasi dan pemeliharaan dan personalia.
5.
Kondisi dokumentasi jaringan irigasi yang meliputi: buku data daerah irigasi, peta dan gambar-gambar skema jaringan irigasi serta gambar pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.
6.
Kondisi P3A.
2.1.2. Pemberian Air Irigasi Ketersediaan air yang semakin terbatas, sistem pemberian air irigasi yang lebih efisien dalam penggunaan air irigasi dapat mengatasi masalah kekurangan air pada petak tersier sawah. Pemberian air efisien, bila debit air yang disalurkan melalui sarana irigasi seoptimal mungkin sesuai dengan kebutuhan tanaman padi pada lahan pertanian yang potensial. Menilai efisiensi irigasi pada petak tersier sawah menggunakan teknik drum padi dan teknik inflow – outflow, sebagai neraca kesetimbangan debit air di petak tersier sawah dengan mengamati parameter-paramater yang sangat mempengaruhi efisiensi pemberian air irigasi, yaitu: evapotranspirasi, perkolasi, curah hujan efektif, dan debit air irigasi (Akmal, dkk., 2014). Menurut Ankum P. (1995) dalam penelitian Roni Komarudin (2010) permasalahan yang sering dihadapi dalam operasional jaringan irigasi yang dapat dijadikan indikasi atas rendahnya kinerja jaringan, diantaranya: efisiensi distribusi air masih rendah terutama di tingkat jaringan tersier, manajemen operasional irigasi kurang tepat penerapannya sehingga dapat menimbulkan konflik, biaya operasi dan pemeliharan tidak mencukupi sehingga fungsi jaringan cepat menurun. Fanny Dwiyulitasari Edwar, dkk. (2013) dalam penelitian kinerja saluran primer dan bangunan bagi, penyebab pendistribusian air ke petak-petak sawah tidak merata disebabkan saluran yang patah
10
dan retak, serta penyadapan liar yang banyak dilakukan petani, sehingga kinerja daerah irigasi tidak optimal. Suroso, dkk. (2007) dalam penelitiannya mengevaluai kinerja jaringan irigasi Banjaran di Kabupaten Banyumas untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan air irigasi menggunakan: 1) Imbangan air (water balance) antara kebutuhan air irigasi dan ketersediaan air yang ada, surplus atau defisit, 2) Efektifitas jaringan irigasi adalah perbandingan antara debit rencana pemberian dengan debit kapasitas saluran, dan 3) Efisiensi jaringan irigasi adalah perbandingan antara debit realisasi pemberian dengan debit rencana pemberian. Kebutuhan air irigasi dapat dipenuhi dari debit yang tersedia dan harus cukup untuk disalurkan ke setiap saluran sampai ke petak-petak sawah. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan pengukuran debit terhadap kebutuhan air agar penyaluran air efektif dan efisien. Untuk meningkatkan efisiensi penyaluran air perlu peningkatan kerjasama antara pemerintah dengan petani dalam tata cara pemakaian air yang baik (Ahmad Ansori, dkk., 2013). Syaifuddin, dkk. (2013) dalam penelitian kinerja distribusi air pada DI Wawotobi menggunakan indeks keandalan yaitu perbandingan jumlah kejadian yang dapat diandalkan dengan jumlah kejadian, dan indeks kelentingan yaitu perbandingan jumlah kejadian yang tidak dapat diandalkan dengan jumlah kejadian dikurangi dengan indeks keandalan dikalikan jumlah kejadian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketersediaan debit andalan (Q80) rerata bulanan masih memenuhi kebutuhan, yaitu 68,50 m3/detik. Kebutuhan air rerata untuk areal sawah seluas 9.448 ha sebesar 10,35 m3/detik. Kinerja distribusi air belum/kurang baik ditunjukkan nilai indeks keandalan < 0,75 dan indeks kelentingan rendah pada MT I dan MT II, juga faktor K rendah, yaitu 0,72. Olvi Pamadya Utaya Kusuma, dkk. (2012) perhitungan perbandingan debit air (neraca air) untuk mengecek ketersediaan air irigasi sudah cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan air irigasi yang ada di petak-petak sawah. Dalam perhitungan neraca air, kebutuhan pengambilan yang dihasilkan untuk pola tanam yang dipakai dibandingkan dengan debit tersedia di intake untuk tiap periode 10 harian dan luas
11
daerah irigasi yang diairi. Semakin besar perbandingan antara debit tersedia dengan debit kebutuhan akan memberikan nilai produksi tanaman yang semakin tinggi. Hal yang sama juga diteliti Supriyono, dkk. (2013) perhitungan perbandingan debit air (keseimbangan debit/faktor K) untuk tiap periode 15 harian. Sistem pembagian dan pemberian air irigasi didasarkan ketersediaan air menggunakan faktor K yaitu perbandingan debit yang tersedia di intake dengan debit yang dibutuhkan, bila K = 1 persediaan cukup, bila K < 1 persediaan kurang (M. Nurul Huda, dkk., 2012). Supadi (2009) dalam penelitiannya pada Saluran Induk Colo Timur yang melintasi Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen, bahwa untuk menerapkan sistem pemberian air irigasi secara adil dan merata pada lahan persawahan khususnya saat musim kemarau, penanganan pemberian air irigasi pada daerah irigasi yang melintasi beberapa kabupaten, maka daerah irigasi yang terletak di bagian hilir atau ujung saluran (terisolir) kurang tepat apabila penentuan koefisien K disamakan dengan bagian tengah dan hulu, karena faktor kehilangan air lebih besar. Pola pengaturan air irigasi yang terletak pada ujung saluran (terisolir) untuk menjamin pasokan air, maka penentuan nilai koefisien K semakin ke hilir semakin besar, karena faktor kehilangan air di sepanjang saluran semakin ke hilir semakin besar. Pengelolaan pembagian air irigasi tidak bisa dilaksanakan secara parsial, karena dalam satu daerah irigasi merupakan satu kesatuan pengelolaan secara terpadu. Pemberian air irigasi yang tepat sangat ditentukan oleh besarnya nilai koefisien K yang diterapkan, jika debit air irigasi terbatas dan nilai K kurang dari 0,50, maka pemberian air irigasi harus dilaksanakan dengan sistem giliran. Evaluasi kinerja irigasi dan produktivitas air melalui data satelit penginderaan jauh dan data sekunder produksi pertanian di sistem irigasi Rechna Doab Provinsi Punjab Pakistan, digunakan untuk merancang strategi pengelolaan air yang tepat. Sehingga sistem irigasi dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan dan meningkatkan produktivitas air secara berkelanjutan. Perkiraan berbasis penginderaan jauh dari kebutuhan air dan ketersediaan air dikombinasikan dengan data produksi pertanian sekunder dapat memberikan perkiraan yang lebih baik dari kinerja irigasi, termasuk produktifitas air di berbagai skala pilihan alternatif. Indikator berbasis
12
penginderaan jauh untuk memperkirakan keadilan, kecukupan, kehandalan dan produktifitas air (Ahmad, M.D. et al., 2009). Pemberian air pada penelitian ini dilihat dari faktor K berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007, yaitu perbandingan antara debit air yang tersedia dengan debit air yang diperlukan. Evaluasi pemberian air dengan faktor K dilakukan di tiap pintu bangunan sadap tersier, yaitu perbandingan antara debit yang tersedia di pintu bangunan sadap tersier dengan debit kebutuhan air pada areal tanam yang dilayani pintu sadap. Debit air yang tersedia/disalurkan dapat diketahui melalui pengukuran kecepatan aliran air dengan menggunakan current meter dikalikan dengan luas penampang basah saluran, sedangkan debit air yang dibutuhkan didapat dari perkalian luas areal tanam yang dilayani pintu sadap dengan satuan kebutuhan air sesuai jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman.
Matrik penelitian yang terkait untuk mengetahui posisi penelitian disajikan dalam Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1. Matriks Penelitian yang Relevan No. 1.
2.
Penulis (Tahun) Endah Aryuningsih Tri Rahajeng (2012)
Olvi Pamadya Utaya Kusuma, dkk. (2012)
Topik
Lokasi
Tujuan Penelitian
Metode Analisis Per. Men. PU No. 32/PRT/M/2007
Hasil Penelitian Kinerja sistem irigasi 66,28%, kurang dan perlu perhatian.
Kinerja Sistem Irigasi Daerah Irigasi (DI) Krisak Kabupaten Wonogiri
DI Krisak Kabupaten Wonogiri
Menganalisis kinerja sistem irigasi.
Studi Penentuan Skala Prioritas Peningkatan Kinerja Jaringan Irigasi pada Daerah Irigasi Bodor Kabupaten Nganjuk
DI Bodor Kabupaten Nganjuk
- Menganalisis kinerja sistem irigasi untuk menentuan skala prioritas penanganan.
- Per. Men. PU No. 32/PRT/M/2007
- Kinerja sistem irigasi baik: JI Mlilir 74,07, JI Ngrambe Kanan 79,14, JI Ngrambe Kiri 76,85, JI Banaran Kanan 74,51, JI Banaran Kiri 77,42.
- Menganalisis debit tersedia di intake untuk tiap periode 10 harian dengan kebutuhan air irigasi di petak sawah.
- Perbandingan Debit air (Neraca Air) = perbandingan jumlah periode tercukupi dengan jumlah periode yang diukur.
- Tingkat kecukupan air DI Bodor: JI Mlilir 55,55%, JI Ngrambe Kanan 91,67%, JI Ngrambe Kiri 55,55%, JI Banaran Kanan 50,00%, JI Banaran Kiri 55,55%.
14
No. 3.
4.
Penulis (Tahun) Supriyono, dkk. (2013)
Suroso, dkk. (2007)
Topik
Lokasi
Studi Penentuan Skala Prioritas Berdasarkan Kinerja Jaringan Irigasi pada Jaringan Irigasi Batujai, Gde Bongoh, dan Sidemen di Kabupaten Lombok Tengah
Jaringan Irigasi Batujai, Gde Bongoh, dan Sidemen Kabupaten Lombok Tengah
Evaluasi Kinerja Jaringan Irigasi Banjaran untuk Meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi Pengelolaan Air Irigasi
DI Banjaran Kabupaten Banyumas
Tujuan Penelitian
Metode Analisis - Per. Men. PU No. 32/PRT/M/2007
Hasil Penelitian - Kinerja sistem irigasi: DI Batujai 65,67%, DI Gde Bongoh 67,60%, DI Sidemen 73,68%.
- Menganalisis debit tersedia di intake untuk tiap periode 15 harian dengan kebutuhan air irigasi di petak sawah.
- Keseimbangan debit (Faktor K) = perbandingan jumlah periode tercukupi dengan jumlah periode yang diukur.
- Faktor K: DI Batujai 0,58, DI Gde Bongoh 0,67, DI Sidemen 0,96.
- Menganalisis imbangan air (water balance), surplus atau defisit.
- Perbandingan kebutuhan air irigasi dengan ketersediaan air yang ada.
- Ketersediaan air di sungai masih bisa mencukupi kebutuhan air irigasi.
- Menganalisis efisiensi jaringan irigasi.
- Perbandingan debit realisasi pemberian dengan debit rencana pemberian.
- Efisiensi sangat rendah. - Pemakaian air irigasi di daerah hulu berlebihan dan pemakaian air irigasi di tengah dan hilir kekurangan.
- Menganalisis kinerja sistem irigasi untuk menentuan skala prioritas penanganan.
15
No. 5.
6.
Penulis (Tahun) M. Nurul Huda, dkk. (2012)
Syaifuddin, dkk. (2013)
Topik
Lokasi
Tujuan Penelitian
Kajian Sistem Pemberian Air Irigasi sebagai Dasar Penyusunan Jadwal Rotasi pada Daerah Irigasi Tumpang Kabupaten Malang
DI Tumpang Kabupaten Malang
- Mengevaluasi pembagian air eksisting.
Evaluasi Kinerja Daerah Irigasi Wawotobi Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara
DI Wawotobi - Menganalisis Kabupaten ketersediaan air dan Konawe Kebutuhan air Propinsi irigasi. Sulawesi Tenggara - Menganalisis pendistribusian air untuk tiap periode 15 harian.
Metode Analisis - Faktor K. Menggunakan data sekunder/ eksisting.
Hasil Penelitian - Ketersediaan air faktor K ≥ 1.
- Analisa debit andalan dan kebutuhan air irigasi.
- Ketersediaan debit masih memenuhi kebutuhan air irigasi.
- Indeks keandalan = perbandingan jumlah kejadian yang dapat diandalkan dengan total jumlah kejadian dan faktor K.
- Kinerja distribusi air: nilai indeks keandalan < 0,75 belum/ kurang baik, dan faktor K 0,72 rendah.
16
No. 7.
8.
Penulis (Tahun) Rini Wahyu Sayekti, dkk. (2012)
Supadi (2009)
Topik
Lokasi
Penentuan Kinerja Irigasi pada 16 Bangunan Utama (Secara Seri) di Daerah Irigasi Jilu, Kabupaten Malang
DI Jilu Kabupaten Malang
Pengkajian Penanganan Pemberian Air Irigasi di Petak Terisolir Ujung Saluran Irigasi pada Musim Kemarau
Saluran Induk Colo Timur yang melintasi Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen
Tujuan Penelitian Menganalisis kinerja Daerah Irigasi dilihat dari segi fisik dan non fisik terdiri dari penerapan pola tata tanam dan teknik pemberian air (keseragaman, efisiensi pemberian air, dan kecukupan) Menentukan besarnya nilai koefisien K pada daerah irigasi bagian hulu, tengah, dan hilir untuk menerapkan sistem pemberian air irigasi secara adil dan merata pada lahan persawahan saat musim kemarau.
Metode Analisis - Kondisi fisik: Departemen PU 1991.
Hasil Penelitian Nilai kinerja 70,596 % tergolong baik.
- Kecukupan Pemberian air = perbandingan jumlah periode terpenuhi dengan jumlah periode. Nilai koefisien K. Menggunakan data sekunder.
Bagian hulu (Sukoharjo) tidak pernah mengalami kekurangan air irigasi, bagian tengah (Karanganyar) pasokan air mampu memenuhi kebutuhan air dan bagian hilir/ terisolir (Sragen) pembagian air dilaksanakan dengan sistem giliran.
17
No. 9.
Penulis (Tahun) Dewi Setyarini (2015) Penelitian yang dilaksanakan
Topik Evaluasi Kinerja Sistem Irigasi dan Pemberian Air Saluran Sekunder Pulosari
Lokasi Saluran Sekunder Pulosari (DI Colo Timur) Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen
Tujuan Penelitian - Menganalisis kinerja sistem irigasi ditinjau dari aspek kondisi fisik dan non fisik. - Menganalisis pemberian air.
Metode Analisis - Per. Men. PU No. 32/PRT/M/2007
- Faktor K
Hasil Penelitian -
18
18
Penelitian sebelumya berlokasi pada daerah irigasi, antara lain: DI Krisak Kabupaten Wonogiri, DI Bodor Kabupaten Nganjuk, Jaringan Irigasi Batujai, Gde Bongoh, dan Sidemen Kabupaten Lombok Tengah, DI Banjaran Kabupaten Banyumas, DI Tumpang Kabupaten Malang, DI Wawotobi Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara, DI Jilu Kabupaten Malang, Saluran Induk Colo Timur yang melintasi Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen, sedangkan penelitian yang dilakukan berlokasi di Saluran Sekunder Pulosari (DI Colo Timur) Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 oleh Olvi Pamadya Utaya Kusuma, dkk. (2012) dan Supriyono, dkk. (2013) digunakan untuk menganalisis kinerja jaringan irigasi dalam menentukan skala prioritas penanganan, sedangkan dalam penelitian ini dan penelitian Endah Aryuningsih Tri Raharjeng (2012) digunakan untuk menilai kinerja sistem irigasi. Ketersediaan dan kebutuhan air irigasi menggunakan data sekunder/eksisting atau menggunakan analisis rumus yang sudah ada antara lain: perhitungan debit andalan F.J. Moch, modus dan median, LPR-FPR, dan penman, faktor K yang didapat dari perbandingan jumlah periode tercukupi/dapat diandalkan dengan jumlah periode yang diukur/total jumlah kejadian untuk peiode 15 harian atau 10 harian dalam satu tahun pada jaringan irigasi. Penelitian ini dan penelitian Supriyono, dkk. (2013) menganalisis pemberian air saat musim kemarau dengan faktor K yaitu perbandingan ketersediaan dengan kebutuhan, data didapat dari pengukuran dilapangan dan dilakukan analisis sesuai rumus yang sudah ada. Penilaian kondisi fisik Rini Wahyu Sayekti, dkk. (2012) dalam penelitiannnya menggunakan Departemen
PU 1991, sedangkan penelitian ini
menggunakan Pedoman Penilaian Kondisi Fisik Jaringan Irigasi Tahun 2010.
2.1.
Landasan Teori
2.2.1. Kinerja Sistem Irigasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 tentang irigasi pada ketentuan umum bab I pasal 1 berbunyi sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia.
19
Evaluasi kinerja sistem irigasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kinerja sistem irigasi terdiri yang dari 6 (enam) aspek meliputi: kondisi prasarana fisik, produktifitas tanam, sarana penunjang, organisasi personalia, dokumentasi dan kondisi kelembagaan P3A. Penilaian kinerja sistem irigasi ini sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 Tanggal 11 September 2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Untuk penetapan kriteria penilaian kinerja sistem irigasi dengan bobot maksimal penilaian setiap aspek dan indikatornya, dapat dilihat Tabel 2.2.:
Tabel 2.2. Penetapan Bobot Penilaian Kinerja Sistem Irigasi Tiap Aspek ASPEK
NILAI BOBOT MAKSIMUM JUMLAH
1.
100
Aspek Kondisi Prasarana Fisik mencakup indikator:
45
1)
Kondisi Bangunan Utama,
13
2)
Kondisi Saluran Pembawa,
10
3)
Kondisi Bangunan pada Saluran Pembawa,
9
4)
Kondisi Saluran Pembuang dan Bangunan,
4
5)
Kondisi Jalan Inspeksi,
4
6)
Kondisi Kantor Dinas, Perumahan Dinas dan Prasarana
5
Gudang. 2.
3.
Aspek Produktifitas Tanam mencakup indikator:
15
1)
Kondisi Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi (Faktor K),
9
2)
Kondisi Realisasi Luas Tanam,
4
3)
Kondisi Produktifitas Tanam Padi.
2
Aspek sarana penunjang mencakup indikator:
10
1)
Kondisi Peralatan Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi,
4
2)
Kondisi Alat Transportasi,
2
3)
Kondisi Alat-alat Kantor Pelaksana Operasi dan Pemeliharaan
2
Jaringan Irigasi, 4)
Kondisi Alat Komunikasi.
2
20
ASPEK
NILAI BOBOT MAKSIMUM
4.
Aspek organisasi personalia mencakup indikator:
15
1)
5
Penyusunan Tugas dan Tanggung Jawab Personil Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi,
2)
Susunan Organisasi Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan
10
Jaringan Irigasi. 5.
Aspek dokumentasi mencakup indikator:
5
1)
Adanya Buku Data Daerah Irigasi,
2
2)
Peta dan Gambar-gambar Jaringan Irigasi dan Gambar Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan.
6.
3
Aspek kondisi P3A mencakup indikator:
10
1)
Status Badan Hukum IP3A/GP3A,
1,5
2)
Kondisi Perkembangan Kelembagaan IP3A/GP3A,
0,5
3)
Frekuensi rapat/pertemuan Ulu-ulu/P3A Desa/GP3A dengan
2
Perwakilan Balai/Ranting Pengairan, 4)
Aktifitas P3A dalam mengikuti penelusuran jaringan irigasi,
5)
Partisipasi P3A dalam perbaikan jaringan irigasi dan Bencana Alam,
1
2
6)
Iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi tersier,
7)
Partisipasi P3A dalam perencanaan Pola Tanam dan Rencana
2
Tata Tanam dan Alokasi Air Irigasi.
1
(Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 32/PRT/M/2007). Penetapan kriteria penilaian kinerja sistem irigasi dalam monitoring dan evaluasi sebagai berikut: 1.
Nilai bobot antara
: 80 – 100 Kinerja Sangat Baik
2.
Nilai bobot antara
: 70 – 79
Kinerja Baik
3.
Nilai bobot antara
: 55 – 69
Kinerja Kurang dan Perlu Perhatian
4.
Nilai bobot antara
: < 54
Kinerja Jelek dan Perlu Perhatian
Indeks kinerja sistem irigasi dalam monitoring dan evaluasi dapat dilihat Tabel 2.3.
21
Tabel 2.3. Indeks Kinerja Sistem Irigasi Uraian
Nilai Bobot
1
2
JUMLAH NILAI BOBOT I. KONDISI PRASARANA FISIK 1.a. Bangunan Utama yang ada Bangunan Kantong Lumpur. 1.1. Bendung a. Mercu b. Sayap c. Lantai Bendung d. Tanggul Penutup e. Jembatan f. Papan Operasi g. Mistar Ukur h. Pagar pengaman 1.2. Pintu-pintu Bendung dan Roda Gigi dapat dioperasikan. a. Pintu Pengambilan b. Pintu Penguras Bendung 1.3. Kantong Lumpur dan Pintu Pengurasnya. a. Bangunan Kantong Lumpur baik. b. Kantong Lumpur telah dibersihkan. c. Pintu Penguras dan Roda Gigi Kantong Lumpur dapat dioperasikan. 1.b. Bangunan Utama yang tidak ada Bangunan Kantong Lumpur. 1.1. Bendung a. Mercu b. Sayap c. Lantai Bendung d. Tanggul Penutup e. Jembatan f. Papan Operasi g. Mistar Ukur h. Pagar pengaman 1.2. Pintu-pintu Bendung dan Roda Gigi dapat dioperasikan. a. Pintu Pengambilan b. Pintu Penguras Bendung 1.3. Kantong Lumpur dan Pintu Pengurasnya.
100 45 13,00 4,00 0,80 0,60 0,80 0,80 0,20 0,40 0,20 0,20 7,00 3,50 3,50 2,00 0,70 0,60 0,70 13,00 5,00 1,00 0,75 1,00 1,00 0,25 0,50 0,25 0,25 8,00 4,00 4,00 0,00
Nilai Kondisi Fisik (NKF) 3
Nilai Kondisi Bobot (NKB) 4=(2x3)/ 100
22
Uraian
Nilai Bobot
1
2
II. PRODUKTIFITAS TANAM (Tahun sebelumnya) 1. Pemenuhan kebutuhan air (faktor K) 2. Realisasi luas tanam (e) Luas baku (Ha) (a) Musim tanam Realisasi Tanam - MT. I - MT. II - MT. III (b) Jumlah I,II,III (c) 300 IP Maks (%) Indeks Pertanaman (IP) yang ada (d) = (b)/(a)x100% Prosentase Realisasi Luas Tanam = (e) (d)/(c)x100% 3. Produktifitas padi (c)
Nilai Kondisi Fisik (NKF) 3
Nilai Kondisi Bobot (NKB) 4=(2x3)/ 100
15,00 9,00 4,00
2,00
Rencana produktifitas padi rata-rata 6,13 (a) (ton/ha) (b) Produksi padi yang ada (ton/ha) (c) Prosentase produktifitas padi = Bila produksi padi yang ada > produksi ratarata, maka prosentase produktifitas padi (c) ditulis 100%.
(Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007) Tabel selengkapnya disajikan dalam Lampiran A.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 Tanggal 11 September 2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, mengamanatkan dalam rangka mengukur keberhasilan kegiatan pemeliharaan jaringan irigasi diperlukan adanya penilaian kondisi fisik jaringan irigasi. Pedoman penilaian kondisi fisik jaringan irigasi menggunakan tahun 2010.
23
Kriteria Penilaian kondisi fisik jaringan irigasi: 1.
Komponen yang dinilai. Penilaian jaringan irigasi dibagi beberapa komponen utama, yaitu:
1)
Bangunan Utama (Waduk, Bendung, Pengambilan Bebas, dan Pompa);
2)
Saluran Pembawa (Saluran Induk/Primer dan Sekunder);
3)
Bangunan pada Saluran Pembawa (Bagi, Bagi/Sadap, Sadap, dan/atau Corongan).
4)
Bangunan Pelengkap: terjun, pelimpah samping/penguras, shypon, goronggorong, talang, jembatan, cross drain, dan lain-lain); Tiap Komponen utama tersebut dibagi menjadi komponen-komponen yang lebih
kecil dan masing-masing komponen akan dinilai kondisinya. Tiap komponen akan memberikan kontribusi nilai kondisi terhadap kondisi fisik jaringan irigasi secara keseluruhan. 2.
Penetapan bobot kondisi tiap komponen. Kontribusi nilai tiap komponen terhadap keseluruhan jaringan irigasi bobotnya
tidak sama, bobot tiap komponen disusun berdasarkan besarnya pengaruh komponen tersebut terhadap pelayanan air irigasi. Apabila dalam penilaian bagian bangunan tidak ada, nilai bobot ditambahkan kebagian bangunan lain sesuai urgensinya. 3.
Identifikasi dan analisi tingkat kerusakan. Berdasarkan hasil inventarisasi dilakukan identifikasi permasalahan dan tingkat
kerusakan/keberfungsian jaringan irigasi guna penentuan klasifikasi. Adapun penilaian kondisi fisik jaringan irigasi (%) ditetapkan menjadi 4 (empat) klasifikasi sebagai berikut: 1)
Kondisi baik jika nilai kondisi > 90 – 100 % dan nilai tingkat kerusakan < 10 % dari kondisi awal bangunan/saluran, diperlukan pemeliharaan rutin.
2)
Kondisi rusak ringan, jika nilai kondisi 80 – 90 % dan nilai tingkat kerusakan 10 – 20 % dari kondisi awal bangunan/saluran, diperlukan pemeliharaan berkala.
3)
Kondisi rusak sedang,jika nilai kondisi 60 – 79 % dan nilai tingkat kerusakan 21 – 40 % dari kondisi awal bangunan/saluran, diperlukan perbaikan.
24
4)
Kondisi rusak berat, jika nilai kondisi < 60 % dan nilai tingkat kerusakan > 40 % dari
kondisi
awal
bangunan/saluran,
diperlukan
perbaikan
berat
atau
penggantian. Dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Penilaian Kondisi Fisik Bangunan pada Jaringan Irigasi 1.
Bangunan Utama Kondisi Bangunan
No
1
Bangunan
Bangunan Utama a. Pintu - Pintu Bangunan Pengatur (CKR) - Pintu Pengambilan TOR 21 (Bangunan Sadap)
Baik
Rusak Ringan
Rusak Sedang
Rusak Berat
Nilai Kondisi > 90 –100%
Nilai Kondisi 80– 90 %
Nilai Kondisi 60 – 79 %
Nilai Kondisi < 60 %
Tingkat Kerusakan <10%
Tingkat Kerusakan 10- 20 %
Tingkat Kerusakan 21 – 40 %
Tingkat Kerusakan > 40 %
- Pintu air dapat dioperasi kan dan berfungsi dengan baik secara mekanis dan/atau hidrolis. - Daun pintu yang terpasang tidak bocor.
- Pintu air dapat dioperasikan dan berfungsi dengan baik secara mekanis dan/atau hidrolis.
- Pintu air dapat dioperasikan tetapi kurang lancar.
- Daun pintu yang terpasang dijumpai kebocoran kecil.
- Terdapat atap pelindung pintu.
- Atap pelindung dan pengaman pintu sebagian ada yang rusak.
- Daun pintu yang terpasang terdapat kebocoran yang cukup banyak. - Atap pelindung dan pengaman pintu kerusakan cukup banyak.
- Pintu air tidak dapat dioperasikan. - Daun pintu yang terpasang terdapat kebocoran banyak sekali/tidak berfungsi. - Terdapat penunjuk manual opersai pintu. - Tidak terdapat atap pelindung dan pengaman karena sudah rusak dan tidak berfungsi.
25
Kondisi Bangunan Baik No
b. Jembatan
2
Rusak Ringan
Rusak Sedang
Nilai Kondisi > 90 –100%
Nilai Kondisi 80– 90 %
Nilai Kondisi 60 – 79 %
Nilai Kondisi < 60 %
Tingkat Kerusakan <10%
Tingkat Kerusakan 10- 20 %
Tingkat Kerusakan 21 – 40 %
Tingkat Kerusakan > 40 %
- Terdapat jembatan dan berfungsi baik (dapat dilalui). - Terdapat kantordalam kondisi baik.
- Jembatan mengalami kerusakan ringan.
- Jembatan mengalami kerusakan sedang.
- Jembatan sudah tidak dapat dilalui.
- Terdapat kantor dalam kondisi rusak ringan.
- Terdapat kantor dalam kondisi rusak sedang.
- Kantor tidak dapat diperguna kan.
- Terdapat perumahan dalam kondisi baik.
- Terdapat perumahan dalam kondisi rusak ringan.
- Terdapat perumahan dalam kondisi rusak sedang.
- Perumahan tidak dapat diperguna kan.
- Terdapat gudang penyimpana n dalam kondisi baik.
- Terdapat gudang penyimpanan dalam kondisi rusak ringan.
- Terdapat gudang penyimpanan dalam kondisi rusak sedang.
- Gudang penyimpana n tidak dapat diperguna kan.
Bangunan
Bangunan Pelengkap a. Kantor b. Perumahan c. Gudang
Rusak Berat
(Sumber: Pedoman Penilaian Kondisi Fisik Jaringan Irigasi Tahun 2010, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah) Tabel selengkapnya disajikan dalam Lampiran B.
4.
Metode Perhitungan Penilaian Kondisi fisik Jaringan Irigasi Banyaknya jumlah bangunan irigasi dan panjang maupun banyaknya ruas saluran
irigasi dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda, maka perhitungan penilaian kondisi jaringan irigasi menggunakan metode sebagai berikut:
26
Kondisi Jaringan Irigasi dihitung dengan rumus:
(2.1) dengan: KJ Kbu Kbbs Ksbw Ksbg Kbssp
= = = = = =
Kondisi Jaringan(%), Kondisi bangunan utama(%), Kondisi bangunan bagi atau sadap(%), Kondisi saluran pembawa (%), Kondisi saluran pembuang (%), Kondisi bangunan sepanjang saluran pembuang (%).
Sedangkan metode perhitungan tiap-tiap kondisi dapat dihitung menggunkan rumusrumus sebagai berikut: 1)
Kondisi bangunan utama dihitung dengan rumus sebagai berikut: (
)
(
)
(
)( )
(2.2)
dengan: Kbu ( ( ( n 2)
) ) )( )
= = = = =
Kondisi bangunan utama (%), Kondisi rata-rata bangunan utama 1(%), Kondisi rata-rata bangunan utama 2 (%), Kondisi rata-rata bangunan utama (n) (%), Jumlah bangunan utama.
Kondisi bangunan bagi/sadap dihitung dengan rumus sebagai berikut: (
)
(
)
(
)( )
dengan: Kbbs ( ( ( n 3)
= ) = ) = )( ) = =
Kondisi bangunan bagi/sadap(%), Kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap 1(%), Kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap 2 (%), Kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap (n) (%), Jumlah bangunan bagi/sadap.
Kondisi saluran pembawa dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(2.3)
27
(
)
(
)
(
)( )
(2.4)
dengan: Ksbw ( ( ( n 4)
= ) = ) = )( ) = =
Kondisi saluran pembawa (%), Kondisi rata-rata saluran pembawa 1(%), Kondisi rata-rata saluran pembawa 2 (%), Kondisi rata-rata saluran pembawa (n) (%), Jumlah bangunan saluran pembawa.
Kondisi saluran pembuang dihitung dengan rumus sebagai berikut: (
)
(
)
(
)( )
(2.5)
dengan: Ksbg ( ( ( n 5)
= ) = ) = )( ) = =
Kondisi saluran pembuang (%), Kondisi rata-rata saluran pembuang 1(%), Kondisi rata-rata saluran pembuang 2 (%), Kondisi rata-rata saluran pembuang (n) (%). Jumlah saluran pembuang.
Kondisi bangunan disepanjang saluran pembuang dihitung dengan rumus sebagai berikut: (
)
(
)
(
)( )
(2.6)
dengan: Kbbg ( ( ( n
= ) = ) = )( ) = =
Kondisi bangunan pembuang (%), Kondisi rata-rata bangunan pembuang 1(%), Kondisi rata-rata bangunan pembuang 2 (%), Kondisi rata-rata bangunan pembuang (n) (%). Jumlah bangunan pembuang.
2.2.2. Pemberian Air Irigasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 tentang irigasi pada ketentuan umum bab I pasal 1 dan bab VII pasal 43 menyatakan pembagian air irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi atau bangunan bagi sadap yang telah ditentukan dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder, dan pemberian air irigasi
28
adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier melalui bangunan sadap atau bangunan bagi-sadap yang telah ditentukan. Evaluasi pemberian air menggunakan faktor K dengan mengukur berapa jumlah air yang disalurkan lewat tiap pintu air di bangunan sadap dan menghitung berapa jumlah air yang dibutuhkan di areal pertanian untuk jenis tanaman tertentu dan pada tahap pertumbuhan tertentu. Langkah-langkah perhitungan faktor K adalah sebagai berikut: 1.
Menghitung debit aliran Pengukuran debit secara langsung dilakukan dengan memakai bangunan ukur
yang dibuat sedemikian sehingga debit dapat langsung dibaca atau dengan mempergunakan tabel. Pengukuran debit secara tidak langsung dilakukan dengan mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang basah, dengan cara sebagai berikut: 1)
Mengukur kecepatan aliran dengan menggunakan alat ukur arus (current meter). Distribusi kecepatan pada vertikal mempunyai bentuk parabolis dengan
kecepatan nol di dasar dan bertambah besar dengan jarak menuju ke permukaan. Dalam arah lebar sungai, kecepatan aliran di kedua tebing adalah nol, dan semakin tengah kecepatan semakin bertambah besar. Dengan memperhatikan distribusi tersebut, maka pengukuran kecepatan harus dilakukan di beberapa vertikal dalam arah lebar sungai dan beberapa titik pada vertikal. Semakin banyak vertikal dan titik pengukuran akan memberikan hasil semakin baik. Dari data kecepatan di beberapa titik pada vertikal dihitung kecepatan reratanya (Bambang Triatmodjo, 2008). Kecepatan aliran yang diukur adalah kecepatan aliran titik dalam satu penampang tertentu. Current Meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran air di sungai atau di saluran. Alat ini digunakan karena memberikan ketelitian yang cukup tinggi. Alat ini terdiri dari sensor kecepatan yang berupa baling-baling propeler, sensor optik, pengolah data. Prinsip yang digunakan adalah hubungan antara kecepatan aliran dengan putaran baling – baling. Untuk menghitung besarnya kecepatan aliran berdasarkan kecepatan baling – baling digunakan rumus :
29
(2.7) dengan:
2)
V n
= =
p t a dan b
= = =
kecepatan aliran (m/dtk), banyaknya putaran per detik, yaitu perbandingan jumlah putaran baling-baling current meter dengan waktu pengukuran, n = p/t, jumlah putaran per siklus, waktu siklus (dtk), tetapan/koefisien yang diperoleh dari pemeriksaan atau kecepatan permulaaan untuk mengatasi gesekan dalam alat.
Luas tampang aliran atau bagian penampang basah saluran diperoleh dengan mengukur lebar dasar saluran, elevasi permukaan air, dan kemiringan talud saluran, dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: (
)
(2.8)
dengan:
3)
A
=
b h m
= = =
luas penampang basah saluran atau potongan melintang aliran (m2), lebar dasar saluran (m), kedalaman aliran air (m), kemiringan talud saluran (1 vertikal : m horisontal).
Menentukan besarnya debit aliran pada saluran dengan mengalikan antara luas tampang aliran dan kecepatan aliran (Bambang Triatmodjo, 2008). Debit dihitung
berdasarkan
hasil-hasil
pengukuran
dilakukan
dengan
cara
menggunakan persamaan sebagai berikut:
(2.9) dengan: Q V A
= = =
debit aliran (m3/dtk), kecepatan rata-rata aliran (m/dtk), luas penampang basah saluran (m2).
30
2.
Menghitung debit air yang dibutuhkan Kebutuhan air irigasi adalah banyaknya air dalam m3/dtk/ha atau lt/dtk/ha yang
dibutuhkan di areal tanam untuk jenis tanaman tertentu dan pada tahap pertumbuhan tertentu. Debit air yang dibutuhkan didapat dari perkalian luas areal tanam yang dilayani pintu air bangunan sadap tersier dengan satuan kebutuhan air sesuai jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman. Satuan kebutuhan air irigasi dapat dilihat pada Tabel 2.5.
(2.10) dengan: Qbn LA α
= = =
debit air yang dibutuhkan di petak tersier ke n (lt/dtk), luas areal tanam yang dilayani pintu sadap (ha), satuan kebutuhan air sesuai jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman (lt/dtk/ha).
Tabel 2.5. Satuan Kebutuhan Air Irigasi SATUAN KEBUTUHAN AIR MT. I MT. II & III 1,250 1,125
URAIAN Pengolahan Tanah Persemaian:
PADI PERTUMBUHAN
PALAWIJA
TEBU
0.00 - 0.50 bulan 0.50 - 1.00 bulan 1.00 - 1.50 bulan 1.50 - 2.00 bulan 2.00 - 2.50 bulan 2.50 - 3.00 bulan 3.00 - 3.50 bulan
Perlu Banyak Air Perlu Sedikit Air Pengolahan Tanah Tebu Muda Tebu Tua
0,725 0,725 0,725 0,725 0,725 0,300 0,300 0,825 0,360 0,125
0,825 0,825 0,825 0,825 0,825 0,300 0,300 0,300 0,150 0,850 0,360 0,125
(Sumber: Permintaan Air untuk Kebutuhan Irigasi Teknis Colo Timur, Balai PSDA Bengawan Solo, untuk Wilayah Kabupaten Karanganyar)
31
Kehilangan dapat terjadi di saluran induk/primer, saluran sekunder, dan petak tersier. Besarnya kehilangan air di saluran induk/sekunder biasanya ditaksir sebesar 10% - 20% tergantung panjang saluran, jenis tanah dan lain-lain (Kep.Men PU No. 498/KPTS/M/2005). Besarnya kehilangan air di petak tersier besarnya antara 20% – 30% atau efisiensi pengaliran air dipetak tersier adalah 70% - 80%, dengan kata lain Faktor Tersier (FT) adalah:
(2.11)
(2.12) Menghitung kebutuhan kotor air dalam petak tersier adalah dengan cara mengkalikan kebutuhan bersih air dipetak tersier dengan faktor tersier.
3.
Menghitung faktor K Faktor
K
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
32/PRT/M/2007 menyatakan bahwa dari hasil pencatatan debit sungai pada bangunan pengambilan terjadi kekurangan air (pada tanggal tertentu), maka pembagian dan pemberian air irigasi perlu dikoreksi dengan menggunakan perhitungan faktor K, yaitu nilai koreksi pemberian air berdasarkan perbandingan antara jumlah air yang tersedia dengan jumlah air yang dibutuhkan. Persamaannya sebagai berikut:
(2.13) dengan: K Qan
= =
Qbn
=
faktor K debit air yang tersedia/diberikan melalui pintu sadap/debit aliran ke n (lt/dtk), debit air yang dibutuhkan di petak tersier ke n (lt/dtk).
32
Faktor K berkisar antara 0 sampai dengan 1 dimana kondisi terburuk ditunjukkan dengan nilai 0 yang berarti kebutuhan air sama sekali tidak terpenuhi dan kondisi terbaik ditunjukkan dengan faktor K = 1 yang berarti kebutuhan air bisa tercukupi seluruhnya. Beberapa kondisi faktor K, yaitu: 1)
K ≥ 1, persediaan air tercukupi, pemberian air dapat dialirkan secara terus menerus.
2)
0,75 < K < 1, persediaan air kurang, pemberian air secara terus menerus disesuaikan faktor K.
3)
0,50 < K < 0,75, potensi kekeringan, pemberian air secara bergiliran di saluran tersier.
4)
0,25 < K < 0,50, rawan kekeringan, pemberian air secara bergiliran di saluran sekunder.
5)
K < 0,25, sangat rawan kekeringan, pemberian air secara bergiliran di saluran primer. Pada musim kemarau yaitu antara bulan April sampai dengan September,
berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 498/KPTS/M/2005 tentang Penguatan Masyarakat Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, pada umumnya debit yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan air yang diperlukan. Apabila debit tersedia (Qt) lebih kecil dari debit yang dibutuhkan (Qb), maka untuk pemerataan, keadilan dan efisiensi penggunaan air irigasi, pemberian air diatur secara giliran.