BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang Perbankan Syari’ah di Indonesia 1. Pengertian Bank Syari’ah Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian. Bank Syariah menurut Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000 ialah bank umum sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariat Islam, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang Bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariat Islam yaitu bagi hasil.1 Bank Islam adalah institusi keuangan yang menjalankan usaha dengan tujuan menerapan prinsip ekonomi dan keuangan Islam pada area perbankan. Perbedaan yang mendasar dengan perbankan konvensional ialah: (i) akad yang dipraktikan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, (ii) dalam strukturnya terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional dan produk-produk bank agar sesuai dengan ketentuan syariah, (iii) bisnis atau usaha yang dibiayai adalah usaha yang halal. 2. Prinsip Bank Syari’ah Bank syariah di Indonesia didasarkan pada prinsip hukum Islam. System bank syariah menawarkan fungsi dan jasa yang sama dengan system bank konvensional meskipun diikat oleh prinsip-prinsip Islam. Prinsip bank syariah adalah aturan perjanjian berdasaran hukum Islam antar Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha maupun kegiatan 1
Muhammad Ghafur, Potret Perbankan Syariah di Indonesia Terkini, Biruni Press, Yogyakarta, 2007, hlm 4.
15
lainnya yang sesuai dengan Islam. Secara umum prinsip Bank Syariah adalah melarang melakukan transaksi yang mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, dan jual beli barang haram. Prinsip bank syariah ini diterapkan untuk mencapai tujuan sesuai jalur syariah. Prinsip Bank syariah antara lain:2 a. Prinsip mudharabah (pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil) Bank memberi modal, nasabah memberikan keahlianya, laba dibagi menurut rasio nisbah yang disetujui. b. Prinsip murabahah (prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan). Nasabah membeli suatu komoditi menurut rincian tertentu, bank mengirimkan kepada nasabah imbalan harga tertentu berdasarkan persetujuan awal kedua belah pihak. c. Prinsip musyarakah (pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip modal) Bank
dan
nasabah
menjadi
mitra
usaha
dengan
masing-masing
menyumbang modal ddan menyepakati rasio laba dimuka untuk waktu terentu. d. Prinsip Ijarah (pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan) e. Prinsip Ijarah wa iqtina (dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain. 3. Sejarah Bank Syari’ah Mandiri Periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah. maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu jumlah Bank Perkreditan Syariah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 unit.3 2
http://blog.ekonomi-holic.com/2012/06/Pengertian-dan-prinsip-bank-syariah.html?m=1 diakses pada tanggal 15 pebruari 2016 3 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hlm. 191.
16
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 membawa hikmah tersendiri bagi tonggak sejarah sistem perbankan syariah di Indonesia. Disaat bank- bank konvensional terkena imbas dari krisis ekonomi, saat itulah berkembang pemikiran mengenai suatu konsep yang dapat menyelamatkan perekonomian dari ancaman krisis yang berkepanjangan. PT. Bank Susilo Bakti yang dimiliki Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) dan PT. Bank Dagang Negara merupakan salah satu dari beberapa bank yang ada di Indonesia yang terkena dampak krisis tersebut. Mereka melakukan langkah merger sampai konversi menjadi bank syariah dengan suntikan modal dari pemilik.4 Dengan terjadinya merger empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim dan Bapindo) kedalam PT. Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 31 Juli 1999, rencana perubahan PT. Bank Susila Bakti menjadi bank syariah (dengan nama bank syariah Sakinah) diambil alih oleh PT. Bank Mandiri persero. Perubahan PT. Bank Susila Bakti menjadi bank syariah didukung sepenuhnya oleh pemilik barunya yaitu PT. Bank Mandiri. Kemudian melalui Akta No.23 tanggal 8 September 1999 Notaris : Sutjipto, SH. nama PT. Bank Syariah Sakinah Mandiri diubah menjadi PT. Bank Syariah Mandiri. Melalui surat
keputusan
Deputi
gubernur
Senior
Bank
Indonesia
No.1/1/KEP.DGS/1999 tanggal 25 Oktober 1999, Bank Indonesia telah menyetujui perubahan nama PT. Bank Susila Bakti menjadi PT. Bank Syariah Mandiri. Tepatnya tanggal 1 November 1999 merupakan hari pertama beroperasinya PT. Bank Syariah Mandiri.5 Bank Syariah Mandiri adalah sebagai bank yang mengoperasionalkan usaha-usahanya pada bidang perbankan yang dilandasi dengan nilai-nilai rohani dengan berpedoman pada Al-Qur'an dan As-sunah.
4
www.syariahmandiri.co.id di akses pada tanggal 10 September 2015 Ibid
5
17
4. Visi dan Misi Bank Syari’ah Mandiri Bank Syariah Mandiri untuk berkembang lebih baik dan lebih besar lagi dengan visi dan misi sebagai berikut: a. Visi adalah Menjadi bank syariah terpercaya pilihan mitra usaha b. Misi adalah 1)
Menciptakan suasana pasar perbankan syariah agar dapat berkembang dengan mendorong terciptanya syarikat dagang yang terkoordinasi dengan baik;
2)
Mencapai pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan melalui sinergi dengan mitra strategi agar menjadi bank syariah terkemuka di Indonesia yang mampu meningkatkan nilai bagi para pemegang saham dan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat luas;
3)
Memperkerjakan pegawai yang profesional dan sepenuhnya mengerti operasional perbankan syariah;
4)
Menunjukkan komitmen terhadap standar
kinerja operasional
perbankan dengan pemanfaatan teknologi mutakhir, serta memegang teguh prinsip keadilan, keterbukaan dan kehati-hatian; 5)
Mengutamakan mobilisasi pendanaan dari golongan masyarakat menengah dan ritel, memperbesar portofolio pembiayaan untuk skala menengah dan kecil, serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infaq dan shadaqoh yang lebih efektif sebagai cermin kepedulian social;
6)
Meningkatkan permodalan sendiri dengan mengundang perbankan lain, segenap lapisan masyarakat masyarakat dan investor asing. PT. Bank Syariah Mandiri sebagai lembaga yang operasionalnya
dengan prinsip syari'ah telah menetapkan budaya kerjanya mengacu pada sikap akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia) yang terangkum dalam
18
lima pilar yang disingkat SIFAT, pilar ini merupakan penyempurnaan dari Tim pengembangan budya SIFAT. Yang dimaksud SIFAT yaitu : 6 (a)
Shiddiq (Integritas) yaitu Menjaga martabat dengan integritas. Awali dengan niat dan hati tulus, berpikir jernih, bicara benar, sikap terpuji dan perilaku teladan
(b)
Istiqomah (Konsisten) yaitu Konsisten adalah kunci menuju sukses, pegang teguh komitmen, sikap optomis, pantang menyerah, kesabaran dan percaya diri
(c)
Fathonah (Profesionalisme) yaitu Profesional adalah gaya kerja Bank Syariah Mandiri. Semangat belajar berkelanjutan, cerdas, inovatif, terampil dan adil
(d)
Amanah (Tanggung - Jawab) yaitu Terpercaya karena penuh tanggung jawab. Menjadi terpercaya, cepat tanggap, obyektif, akurat dan disiplin
(e)
Tabligh (Kepemimpinan) yaitu Kepemimpinan berlandaskan kasih sayang. Selalu transparan, membimbing, visioner, komunikatif dan memberdayakan. PT. Bank Syariah Mandiri sebagai lembaga yang operasionalnya,
mempunyai sebuah produk untuk kemajuan masyarakat dan ikut menumbuhkan perekonomian Negara, di antaranya yaitu :7 (a)
Pembiayaan Jual Beli adalah Pembiayaan murabahah yaitu akad jual beli antara bank dan nasabah bank membeli barang yang dibutuhkan nasabah dan kemudian menjual kepada nasabah sebesar harga beli ditambah margin tertentu. Pembiayaan ini memberikan manfaat dapat membiayai kebutuhan dalam hal pengadaan barang, angsuran tetap dan dapat dipakai untuk keperluan konsumtif dan produktif;
(b)
Pembiayaan Bersama adalah Pembiayaan Musyarakah yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kerjasama usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana tertentu
6 7
Ibid Ibid
19
dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan. Pembiayaan yang memiliki nilai bagi hasil yang adil dan berimbang dan tergantung bagaimana kinerja usaha ini dapat dipakai untuk membiayai modal kerja usaha baik dalam bentuk investasi, project financial, modal usaha, maupun yang terbaru yaitu pembiayaan dana berputar yang mana dapat ditarik sewaktu-waktu. Pembiayaan ini juga tersedia dalam mata uang asing; (c)
Pembiayaan Total adalah Pembiayaan total musyarakah yaitu akad kerjasama antara dua pihak untuk kerjasama usaha tertentu, dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal sedangkan pihak kedua bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan. Pembiayaan yang tersedia juga dalam valuta asing ini memberikan
kemudahan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan modal kerja, memberikan pembiayaan penuh untuk kebutuhan modal usaha, serta nilai bagi hasil yang adil dan berkembang tergantung kinerja usaha. Pembiayaan ini digunakan untuk keperluan produktif baik bagi badan usaha maupun perorangan; (a)
Pembiayaan Sewa atau Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, malalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri;
(b)
Pembiayaan Pertanian adalah Salam yaitu transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh PT. Bank Syariah Mandiri sebagai lembaga yang baru berdiri, dengan
keterbatasan serta kondisi Perbankan di Indonesia yang semakin pesat, mempunyai cukup banyak Permasalah yang dihadapai, diantaranya yaitu : 8 1) Bidang Operasional (a)
Masih kurangnya semangat untuk memaksimalkan pencapaian target yang ditentukan;
8
Ibid
20
(b)
Dalam pelayanan kas masih kurang cepat
2) Bidang Pemasaran (a)
Semakin tingginya persaingan antar bank syari'ah;
(b)
Masih banyaknya masyarakat yang belum terlalu mengenal dan mengetahui mengenai bank syari'ah, sehingga menghambat perkembangan bank
3) Bidang Sosialisasi (a)
Masih terbatasnya sosialisasi hanya pada marketing sebagai salah satu kunci pemasaran dan berkembangnya bank;
(b)
Belum adanya bagian khusus sebagai pensosialisasi sehingga sosialisasi menjadi terhambat karena marketing berkonsentrasi dalam menjalankan tanggung jawabnya.
B. Tinjauan tentang Nisbah Bagi Hasil dalam Perbankan Syari’ah 1. Pengertian Nisbah Bagi Hasil Secara terminologi, profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan “Distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”.9 Dapat pula dikatakan lebih lanjut bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Dalam ajaran Islam, konsep profit sharing sering disebut bagi hasil. Konsep ini dengan mudah dijumpai dalam praktek masyarakat Islam pada masa Rasulullah dan sahabat hingga masyarakat muslim saat ini.10 Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu.11 Dalam dunia perbankan, Muhammad lebih lanjut menjelaskan bahwa bagi hasil (profit sharing) adalah merupakan suatu sistem yang meliputi tata 9
Muhamad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Op Cit, hlm. 22. M. B. Hendrie Anto, Op Cit, hlm. 242. 11 Drs. H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, S.H, Op Cit, hlm. 61. 10
21
cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib).12 Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank (mudharib) dengan penyimpan dana (shahibul maal), maupun antara bank dengan nasabah bank penerima dana (pengusaha). Hasil usaha bank yang dibagikan kepada nasabah penyimpan dana adalah laba usaha bank yang dihitung selama periode tertentu. Sedangkan hasil usaha nasabah penerima dana yang dibagi dengan bank adalah laba usaha yang dihasilkan nasabah penerima dana dari salah satu usahanya yang secara utuh dibiayai bank.13 Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam sistem bagi hasil di Indonesia, yakni profit sharing. Profit sharing adalah sistem bagi hasil yang basis perhitungannya adalah dari profit yang diterima bank (laba bersih). Dengan demikian profit sharing merupakan konsep yang paling lazim dan tidak ada keraguan didalamnya, bahkan seluruh ulama sepakat dengan transaksi bagi hasil ini. Hadirnya sistem bagi hasil dalam perbankan Islam tentunya tidak akan memberikan ruang gerak bagi sistem bunga, karena keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib. Bank syariah dalam operasinya menggunakan prinsip profit and loss sharing atau lebih di kenal dengan bagi hasil. Profit sharing dalam kamus ekonomi di artikan pembagian laba. Secara definitive profit sharing diartikan distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.14 Bagi hasil atau disebut juga dengan nisbah merupakan kesepakatan besarnya masing-masing porsi bagi hasil yang akan diterima oleh pemilik dana (shahibulmaal) dan pengelola dana (mudharib) yang tertuang dalam akad atau perjanjian yang telah ditandatangani pada awal sebelum dilaksanakannya kerja sama.
12
Muhamad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Op Cit, hlm. 52. Prof. H. A. Djazuli dan Drs. Yadi Janwari, M. Ag, Op Cit, hlm. 63 14 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil pada Bank Syariah, Op Cit, hlm. 18 13
22
Nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad musyarakah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermusyarakah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul al-mal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak mengenai cara pembagian keuntungan, adapun nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal tertentu.15 Penentuan besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masingmasing pihak yang berkontrak, tetapi dalam prakteknya di perbankan modern, tawar-menawar nisbah antara pemilik modal (yakni investor atau deposan) dengan bank syari'ah hanya terjadi bagi deposan / investor dengan jumlah besar, karena mereka ini memiliki daya tawar yang relatif tinggi. Kondisi seperti ini sebagai spesial nisbah, sedangkan untuk nasabah deposan kecil tawar-menawar tidak terjadi. Bank syari'ah akan mencantumkan nisbah yang ditawarkan, deposan boleh setuju boleh tidak. Bila setuju maka ia akan melanjutkan menabung, sebaliknya bila tidak setuju dipersilahkan mencari bank syari'ah lain yang menawarkan nisbah lebih menarik.16 Nisbah bagi hasil hanya bisa digunakan pada produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Umcertainty contracts (NUC), yakni akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun Waktu (timing).17 Produk-produk yang memenuhi kreteria ini adalah Pembiayaan mudharabah dan musyarakah, karena pembiayaan mudharabah dan musyarakah hanya bisa dihitung keuntungannya atau bagi hasilnya pada waktu usaha tersebut sudah dijalankan dan menghasilkan untung ataupun rugi.18 Berbeda lagi dengan margin keuntungan, margin keuntungan hanya digunakan pada produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural 15 16 17 18
Adiwarman Karim, Op,Cit, hlm.194. Ibid Ibid, hlm. 286 Ibid
23
Certainty Contracts (NCC), yakni akad bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun wakru (timing), seperti pembiayaan Murabahah, ijarah, salam dan istisna‟.19
2. Macam-macam nisbah Nisbah bagi hasil dapat dibedakan dengan sebutan-sebutan sebagai berikut: a)
Nibah aktiva tetap terhadap modal bersih adalah nisbah ini digunakan untuk menentukan tingkat investasi dalam aktiva tetap dengan modal yang dimiliki oleh pemilik usaha bisnis, dalam ketentuan bidang perbankan nisbah aktiva tetap teerhadap modal bersih tidak boleh melebihi 50% (ratio of fixed asets net worth).
b)
Nisbah at-tamwil wa al-wada‟i adalah financing to deposit Ratio (FDR). Rasio pembiayaan bank syariah dengan dana pihak ketiganya; Rasio penyaluran dan penghimpunan dana.
c)
Nisbah fi ihtiyathi naqdi adalah rasio cadangan tunai (cash ratio); bagian dari total aktiva bank komersil yang ditahan dalam bentuk aktiva yang mempunyai likuiditas tinggi untuk menghadapi penarikan uang oleh nasabah dan kewajiban keuangan lainya.
d)
Nisbah jariyah adalah rasio lanar (quick ratio), perbandingan antara aktva lancer dan kewajiban jangka pendek.
e)
Nisbah jumlah modal adalah ratio jumlah modal (total capacita/ratio)
f)
Nisbah kas adalah rasio kas (cash ratio)
g)
Nisbah laba bersih terhadap modal bersih adalah nisbah untuk menilai resiko
kredit,
yaitu
kemampuan
bisnis
(kegiatan
usaha)
untuk
menghasilkan laba dalam satu periode (rate off net profits to net workth) h)
Nisbah laba terhadap aktiva (ROA) adalah laba bersih dibagi total aktiva; ROA merupakan rasio atau nisbah utama untuk mengukur kemampuan dan efisiensi aktiva dalam menghasilkan laba (profitabillitas) (return on ossets / ROA)
19
Op.Cit, hlm. 279
24
i)
Nisbah laba terhadap modal adalah laba bersih dibagi modal sendiri merupakan rasio atau nisbah profitabilitas yang mengukur tingkat kemampuan modal dalam menghasilkan laba bersih (return on equity / REO)
j)
Nisbah likuidasi adalah nisbah yang mengukur kemampuan bank, perusahaan, atau pemimjam untuk memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo; nisbah ini dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan utang lancar (liquidity ratio).
k)
Nisbah modal primer terhadap aset adalah modal inti dibagi rata-rata total asset (primary capiol toasets ratio)
l)
Nisbah modal sesuaian adalah rasio modal yang telah disesuaikan terhadap total aset, rasio ini digunakan dalam perhitungan kecukupan modal; perhitungan modal bank dilakukan dengan memperhitungkan cadangan kerugian/ keuntungan surat berharga dikurangi dengan kredit yang diklasifikasikan macet (adjusted capital ratio)
m)
Nisbah modal terhadap resiko asset adalah jumlah modal dibagi rata-rata total aset nilai setiap aset tersebut didasarkan pada bobot resikonya (capital to risk asets ratio)
n)
Nisbah perputaran adalah nisbah yang menunjukan tingkat kecepatan konversi piutang menjadi kas atau lamanya perputaran aset menjadi kas (turnover ratio)
o)
Nisbah si‟ri al sahmi ila al rihbi adalah rasio pendapatan terhadap harga suatu saham (price earning ratio – PER)
p)
Nisbah utang terhadap modal bersih adalah nisbah ini digunakan untuk menetapkan proporsi utang terhadap modal bersih yang digunakan dalam kegiatan usaha (ratio of debt to net worth)
25
3. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bagi hasil dan bunga memang sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, Tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut:20
Tabel 1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil No
Bunga
No
Bagi Hasil
1
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
1
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
2
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang di pinjamkan.
2
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
3
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan di tanggung bersama oleh kedua belah pihak.
4
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
4
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
5
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk islam.
5
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Salah satu karakteristik dasar yang membedakan Bank Syari‟ah dan Bank konvensional adalah bahwa kontrak hubungan bank syariah dengan akun investasi pemegang tidak menentukan bahwa pemegang rekening tersebut, berhak untuk kembali ditentukan dalam bentuk persentase investasi mereka karena ini sangat dilarang oleh syariah. Sebaliknya, hubungan kontrak berdasarkan kontrak musyarakah yang menetapkan bahwa laba menyadari dari investasi dana musyarakah dibagi antara pemegang rekening investasi sebagai rabal mal dan Bank Islam sebagai mudharib sebuah dasar untuk 20
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Suatu pengenalan Umum, Cendekia Institute, Jakarta, 1999, hlm. 87-88.
26
mempertimbangkan musyarakah sebagai wali dengan sehubungan dengan dana musyarakah adalah bahwa musyarakah yang menggunakan uang orang lain dengan persetujuan dan mudharib dan pemilik dana berbagi manfaat dari penggunaan dana. Pada prinsipnya, wali harus tidak dapat dimintai tanggung jawab kerugian yang diderita oleh dana. Sebaliknya, risiko tersebut kerugian harus ditanggung oleh dana musyarakah.21 Pentingnya system bagi hasil dalam operasional bank syariah, dipandang perlu untuk menganalisis hal-hal yang mempengaruhi bagi hasil tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya bagi hasil di kelompokkan menjadi 2, yaitu:22 a) Faktor langsung yaitu i.
Investmen rate, merupakan persentasi aktual dana yang di infestasikan dari total dana yang di himpun. Jika bank menentukan investmen rate sebasar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana yang di himpun di alokasikan untuk memenuhi likuiditas;
ii.
Jumlah dana yang tersedia untuk di investasikan merupakan jumlah dana yang tersedia untuk di investasikan;
iii.
Nisbah (profit sharing ratio), Salah satu ciri utama almudhorabah adalah adanya nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian, Nisbah antara satu bank dengan bank lain dapat berbeda, sebagaimana perbedaan dalam periode al mudhorobah misalnya deposito 1 bulan , 3 bulan, 6 bulan , dan 12 bulan. Selain itu nisbah juga bisa berbeda antara satu akun dengan akun yang lainnya, sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.
b) Faktor tidak langsung yaitu: i.
Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudhorobah. Bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya (profit and
21
Mahmoud A. El-Gamal, Islamic Bank Corporate Governance and Regulation: A Call for Mutualization, Tulisan pada International Journal Rice University, 2005, hlm 4 22 Ibid, hlm. 139-140
27
sharing). Pendapatan yang dibagi hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya; ii.
Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting) besarnya bagi hasil secara tidak langsung di pengaruhi oleh berjalannya aktoifitas yang terapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
4. Penetapan Nisbah Bagi Hasil Musyarakah Musyarakah adalah Pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana dana dari bank merupakan bagian dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.23 1) Manfaat: a) Lebih menguntungkan karena berdasarkan prinsip bagi hasil; b) Mekanisme pengembalian yang fleksibel sesuai dengan realisasi usaha. 2) Fasilitas: a) Mekanisme pengembalian pembiayaan yang fleksibel (bulanan atau sekaligus diakhir periode); b) Bagi hasil berdasarkan perhitungan revenue sharing; c) Pembiayaan dapat dalam berupa Rupiah dan US Dollar. 3)
Persyaratan Pembiayaan Tabel 3. Persyaratan No 1 2 3 4 5
23
Keterangan Identintias diri dan pasangan Katu Keluarga & Surat Nikah Copy Rekening Bank 3 Bulan terakhir Akta Pendirian Usah Identitas Pengurus
Badan Usaha -
Perorangan
-
V
V
V
V V
-
www.syariahmandiri.co.id, di Akses pada tanggal 10 September 2015
28
V
6 7
Legalitas Usaha V Laporan Keuangan 2 V Tahun terakhir 8 Rencana usaha 12 Bulan V yang akan datang 9 Data objek pembiayaan V Sumber : http://www.syariahmandiri.co.id 4)
V V V V
Simulasi Hasil Nisbah Perhitungan musyarakah Tabel 4. Simulasi Hasil Nisbah Perhitungan No Keterangan 1 Kebutuhan Modal Kerja 2 Modal Sendiri
Total Rp. 1.000.000,-
Rp. 300.000,- (min 30%) 3 Pembiayaan Bank Rp. 700.000,(max 70%) 4 Rencana Penerimaan Rp. 5.000.000,Usaha per/bulan 5 Jangka Waktu 3 6 Ekspektasi Rate 18% p.a 7 Realisasi Pendapatan 3.000.000,Usaha per/bulan 8 Bagi Hasil yang Rp.75.600,diterima Bank (2,52%) 9 Bagi Hasil yang Rp.2.924.400,diterima Nasabah (97,48%) Sumber : http://www.syariahmandiri.co.id Penentuan Nisbah Musyarakah di Bank Syari‟ah pada dasarnya harus mengutamakan nilai dengan mengacu pada sejauh mana mereka membantu dalam membangun masyarakat lebih maju. Dengan begitu mereka bisa melewati dan dapat bertahan pada Point teratas, bisa efisiensi keuntungan, dalam ukuran perdagangkan untuk mempromosikan norma-norma Islam yang nyata. Sehingga Penentuan nisbah bagi hasil dalam pembiayaan Musyarakah itu di tentukan berdasarkan jenis usahanya bukan ditentukan berdasarkan dari jumlah nilai yang dibiayai bank kepada nasabah. Kita tidak perlu menilai bank syariah
dengan
kinerja
sepenuhnya
pada
Kriteria
utama
atau
membandingkannya dengan lembaga konvensional pada saat ini. tujuan sosial
29
bisnis dalam Islam adalah godaan duniawi serta moderat untuk orang-orang yang tanpa henti mengejar keuntungan dalam bisnis.24
C. Tinjauan tentang Asas Kebebasan Berkontrak 1. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dalam akad, menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan sejumlah asas yang terdapat dalam hukum perjanjian yakni :25 1) Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij/otonomi) 2) Asas konsensualisme (persesuaian kehendak) 3) Asas kepercayaan 4) Asas kekuatan mengikat 5) Asas persamaan hukum 6) Asas keseimbangan 7) Asas kepastian hukum 8) Asas moral 9) Asas kepatutan 10) Asas kebiasaan Mariam Darus Badrulzaman menurunkan uraian tentang asas-asas tersebut di atas. Salah satunya adalah asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang sangat esensial dari hukum dalam hukum perjanjian. Mengutip istilah prancis Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa asas ini dinamakan juga asas otonomi “konsesialisme”, yang menentukan “adanya” (raison d‟etre, het bestaanwaarde) perjanjian. Pengertian Kebebasan Berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian,
24
Zubair Hasan, Evaluation of Islamic banking performance: On the current use of econometric models, Tulisan pada International Munich Personal RePEc Archive, Faculty of Economics and Management Sciences, International Islamic University, Malaysia, (IIUM), 2005, hlm 15 25 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Pejelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 108.
30
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.26 Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti "kemauan" (will) para pihak untuk saling berpartisipasi,
ada
kemauan
untuk
saling
mengikatkan
diri.
Asas
konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
a) Konteks Hukum Islam Kebebasan berakad/berkontrak (Mabda Hurriyah at Ta‟aqud) diakui dalam hukum Islam. Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Kebebasan berkontrak merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis dan apapun juga tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengaan kepentingan sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan jalan batil. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari‟ah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil bahwa, ”Syari‟ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama.”27 Dalam QS.al-Maidah ayat 1 disebutkan, yang artinya ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian”28
26
Ridwan Chairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, UI FH Pasca Sarjana, Jakarta, 2004, hlm. 38. 27 Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari‟ah, Yogyakarta, Jurnal Ekonomi Islam (La Riba) Vol. II, No. 1, Juli 2008, hlm. 100. 28 Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung , 2009, hlm. 107.
31
Ayat ini memerintahkan kaum mu‟minin untuk memenuhi akad-akad. Menurut kaidah ushul fiqih (metodologi penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini (kata ; aufu) menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam akad ini ayat disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al” (al-aqadaal-uqud). Menurut kaidah usul fikih, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukan kata umum. Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat membua akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim Dari sahabat Abu Hurairah, Rasul bersabda “orang-orang muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka”. Hadis ini menunjukan bahwa syarat-syarat atau janji-janji apa saja yang di buat dan wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini al-Kasani (w. 587/1190) memberi penjelasan, bahwa zahir hadis ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hadis ini meuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan kesetiaanya kepada janji itu adalah dengan memenuhi janji-janji tersebut. Asasnya ialah bahwa setiap tindakan hukum seseorang terjadi menurut yang ia kehendaki apabila ia orang yang cakap untuk melakukan tindakan tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan itu. Asas kebebabasan dalam berkontrak dalam Islam dibatasi oleh ketentuan syariah islam. Akad dibuat tidak boleh ada unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan. Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam QS. Al Baqarah ayat 256 disebutkan, yang artinya “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
32
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”29 Adanya
kata-kata
tidak
adanya
paksaan
ini,
berarti
islam
menghendaki hal hal perbuatan apapun harus didasari oleh kebebasan untuk bertindak, sepanjang itu benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Sebagaimana dalam Pasal 1138 KUHPerdata, maka perjanjianperjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), harus didasari adanya itikad baik. Di samping itu ada kaidah hukum Islam yang berbunyi, “pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah adanya apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji”. Kaidah ini menunjukan adanya kebebasan berkontak karena perjanjian tu dinyatakan sebagai berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. Kebebasan berkontak dalam hukum Islam bukanya tidak terbatas. Kebebasan tersebut tidak boleh menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang lain. Dalam QS.An nisa :29 Allah berfirman yang artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jka makan harta sesame itu dilakukan) dengan cara tukar menukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu”.30 Yang dimaksud dengan “makan harta bersama dengan cara batil” adalah makan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan tidak sah menurut hukum syari‟ah, baik yang dilarang secara langsung didalam nas maupun berdasarkan ijtihad atas nas. Secara umum, dapat dikatakan memakan harta dengan jalan batil adalah bertentangan dengan ketertiban dan kesusilaan dalam hukum Islam lebih luas cakupanya, karena mencakup larangan riba, garar dan syarat-syarat peserta akad yang fasid.
29 30
Ibid, hlm. 43 Ibid , hlm. 84.
33
b) Konteks Hukum Adat Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.31 Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Dari istilah Hukum Adat tersebut di atas, terdapat sumber-sumber Hukum Adat, antara lain yaitu :32 a) Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat; b) Kebudayaan tradisionil rakyat; c) Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli; d) Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat; e) Pepatah adat; f) Yurisprudensi adat; g) Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuanketentuan hukum yang hidup; h) Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja; i) Doktrin tentang hukum adat, dan; j) Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Hukum Positif yang dianut Indonesia bekas peninggalan belanda pada dasarnya bersifat Individualis, sehingga pada masalah Perjanjian dalam
31
Bewa Ragawino, S.H., M.Si, Modul Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, FISIP UNPAD, Bandung, 2008, hlm. 2. 32 Ibid, hlm 15
34
Hukum Adat pada dasarnya perjanjian dibuat secara individual, karena perjanjian itu tetap tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang ada dalam masyarakat (syarat sahnya perjanjian: sebab yang halal), bahwa perjanjian para pihak sebenarnya tidak lepas dari jalinan dengan masyarakat.33 Karena tidak bisa lepas dari masyarakat, perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan tersebut menjadi asasi dari perjanjian, bahkan jauh sebelum orang-orang sadar keberadaannya, asas keseimbangan telah lazim diterapkan. Menurut Herlien, asas keseimbangan merupakan konstruksi dari kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan, penyalah gunaan keadaan, dan iustum pretium. Asas keseimbangan juga melalui interpretasi hermeneutik ternyata berhubungan dengan asas-asas klasik perjanjian. Menurut Herlien dari uraian Moh. Koesnoe tentang asas laras (harmoni) dalam hukum adat Indonesia. Asas laras berkenaan dengan persoalan bagaimana memuaskan kebutuhan estetis yang hidup dalam masyarakat. Asas ini memberikan jawaban atas suatu persoalan sehingga penyelesaiannya itu dianggap memuaskan dari ukuran kebutuhan dan perasaan hukum dan moral: segala sesuatu telah kembali seperti semula (seperti sebelum sengketa muncul dan mengganggu keseimbangan masayarakat). Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:34 a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya. Bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas membuat perjanjian, akan tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang ada di dalam Al-Quran maupun didalam
33
www.hukum online.com diakses pada tanggal 15 Pebruari 2016 Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.2. 34
35
al-Hadist. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Dasar hukum mengenai suatu perjanjian yang melawan hukum ini terdapat dalam hadis Rasulullah SAW, yang artinya: „Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah bathil, sekalipun seribu syarat”. b. Harus sama ridha dan ada pilihan Bahwa dalam sebuah perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, dan di dalamnya tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan, maupun penipuan. Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, perjan jian yang dibuat dapat dibatalkan. Dengan demikian perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah, apabila tindakan pembatalan belum dilakukan. c. Harus jelas Dalam sebuah perjanjian harus jelas apa saja yang menjadi objeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat didalam perjanjian. Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak bersifat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian menurut Hukum Islam yang memerlukan adanya kesepakatan juga diatur dalam hukum perdata barat.Pasal 1338 KUHPerdata
D. Tinjauan Tentang Pembiayaan Musyarakah 1. Pengertian Pembiayaan musyarakah Landasan hukum positif tentang Musyarakah ini diatur dalam UndangUndang nomor 10 Tahun 1998 dengan aturan pelaksana Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, Pasal 28 butir b.2.b. Sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6, terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000. Secara etimologis musyarakah berasal dari kata (as-Syirkah) yang artinya percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya sehingga
36
sulit dibedakan. Syirkah dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan Sharing. Syirkah juga berarti membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sedangkan secara terminologis, para ilmuwan fiqih memberikan pengertian sebagai berikut :35 i.
Menurut Hanifiyah, mendefinisikan musyarakah sebagai “aqdun baina almutasyarikaini fii ra‟si al-maali wa ar-rabkhi, yaitu Perjanjian antara orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
ii.
Menurut Syafiiyah, yaitu hak berbuat hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
iii.
Menurut Hasbi Assidiqi mengartikan Syirkah, yaitu Transaksi antara dua orang atau lebih untuk bekerjasama dalam suatu usaha dan membagi keuntungannya.
iv.
Menurut ulama Malikiyah, Syirkah (Musyarakah) adalah suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Dalam mazhab Syafi‟i dan Hambali diuraikan bahwa syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan syirkah yang berupa akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dengan modal dan keuntungan.36 Dikemukakan pula dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, maka semua pihak yang mengikat diri berhak bertindak hukum terhadap harta syarikat itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai yang disepakati.37
2. Dasar Hukum Syirkah, antara lain : 38 1) Q.S An Nisa ayat 12 ......... jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu....( Q.S An Nisa : 12)39
35
Burhanudin Harapan, Modul Hukum Kerjasama Bisni dalam Islam dan Penerapannya dalam Lembaga Keuangan di Indonesia. Surakarta, 2015, hlm. 1. 36 Abdul Aziz Dahlan (et.al), Op.Cit, hlm. 1711. 37 Nasrun Haroen, Op.Cit, hlm. 166. 38 Burhanudin Harapan, Op Cit, hlm. 2.
37
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa saudara-saudara seibu bersekutu dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagi kepada yang lain. 2) Q.S Ash Shad ayat 24 ....... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini"..... ( Q.S Ash Shad : 24)40 3) No. 32/34/Kep/Dir Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah Ketentuan Pasal 28 huruf (b) 2 b), bahwa Bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi, melakukan penyaluran dana melalui, pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, dan bagi hasil lainnya. 4) Menurut Fatwa DSN 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Musyarakah (a) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: i. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). ii. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. iii. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. (b) Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut: i. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. ii. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
39 40
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Op. Cit, hlm. 80. Ibid, hlm. 455.
38
iii. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal. iv. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. v. Seorang
mitra
tidak
diizinkan
untuk
mencairkan
atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri. (c)
Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian) i. Modal a) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra; b) Para
pihak
tidak
boleh
meminjam,
meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan; c) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. ii. Kerja a) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya; b) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
39
iii. Keuntungan a) Keuntungan
harus
dikuantifikasi
dengan
jelas
untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah; b) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra; c) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya; d) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. iv. Kerugian Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal. v. Biaya Operasional dan Persengketaan a) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama; b) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Menurut Undang-Undang nomor 21 / 2008 Tentang Perbankan Syari‟ah mengenai pembiayaan musyarakah 1) Ketentuan Pasal 1 Ayat (25) huruf (a), yaitu Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; Syariah dan/atau Undang Undang Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
40
2) Ketentuan Pasal 19 Ayat (2) huruf (c), yaitu Kegiatan usaha Undang Undang Syariah meliputi: menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 3) Ketentuan Pasal 36, yaitu dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan Undang Undang Syariah wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau Undang Undang Syariah dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya. 4) Ketentuan Pasal 37 Ayat (1), yaitu Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan Undang Undang Syariah kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan Undang Undang Syariah yang bersangkutan; 5) Ketentuan Pasal 40 Ayat (1), yaitu dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan Undang Undang Syariah dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambatlambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
3. Rukun dan Syarat sahnya Syirkah Sebagai sebuah perjanjian, syirkah atau perserikatan harus memenuhi segala macam rukun dan syaratnya agar perjanjian tersebut sah dan mempunyai akibat hukum seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya. Adapun yang menjadi rukun syirkah menurut ketentuan syariat Islam adalah sebagai berikut: a. Sighat (lafaz akad)
41
Dewasa ini seseorang dalam membuat perjanjian perseroan/syirkah pasti dituangkan dalam bentuk tertulis berupa akta. Shigat pada hakikatnya adalah kemauan para pihak untuk mengadakan serikat atau kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan usaha. Contoh lafaz akad: Aku bersyirkah dengan mu untuk urusan ini atau itu” dan pihak lain berkata “Telah aku terima” b. Orang (pihak-pihak yang mengadakan serikat) Orang yang akan mengadakan perjanjian perserikatan harus memenuhi syarat yaitu:, bahwa masig-masing pihak yang hendak mengadakan syirkah ini harus sudah dewasa (baligh), sehat akalnya dan atas hendaknya sendiri. c. Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan) Setiap perseriakatan harus memiliki tujuan dan kerangka kerja (frame work) yang jelas serta, dibenarkan menurut syarak. Untuk menjalankan pokok pekerjaan ini tentu saja pihak-pihak yang ada harus memasukan barang modal atau saham yang telah ditentukan jumlahnya.
4. Macam-macam Syirkah Dalam kontek hukum Islam dikenal macam-macam syirkah yang masingmasing memiliki ciri khas dalam hal perjanjian yang mendasarinya. Namun secara garis besar seriakt dapat di bedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu: a.
Syirkah Amlak Syirkah Amak yaitu kepemilikan barang bersama-sama atas suatu barang tanpa didahului oleh suatu akad melainkan secara ijbar/otomatis, misalnya pemilikan harta secara bersama-sama karena suatu warisan.
b.
Syirkah Ukud Syirkah Ukud yaitu serikat yang ada atau terbentuk disebabkan para pihak yang memang sengaja melakukan perjanjian untuk bekerja bersama demi tujuan bersama dengan terlebih dahulu para pihak yang terlibat memasukan partisipsi modalnya. Tujuan didirikanya syirkah tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk harta benda.
42
Jenis syirkah Ukud dapat dibedakan menjadi 4 macam antara lain: 1. Syirkah Mufawadhah, yaitu kerjasama dua orang atau lebih pada suatu obyek dengan syarat tiap-tiap pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama, sehingga tiap-tiap pihak dapat melakukan perbuatan hukum atas nama orang-orang yang bekerjasama itu. 2. Syirkah Al-Inan, kerjasama dalam modal dalam suatu perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi bersama dengan jumlah modal yang tidak harus sama porsinya. 3. Syirkah Al-Wujuh, yaitu kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai, sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. 4. Syirkah Al-Abdan, yaitu kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu perkerjaan, seperti pandai besi, servis alat-alat elektronik, laundry, dan tukang jahit. Hasil yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama dengan kesepakatan mereka berdua.
E. Teori Hukum Menganalisis mengenai pokok masalah yang menjadi kajian didalam sebuah penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan teori. Teori pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis, tentang fenomena dan merinci hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu gejala.41
41
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 14.
43
1. Teori Keadilan oleh Sayyid Quthb Sayyid Quthb menyatakan asas Islam dalam menegakkan keadilan memiliki beberapa fondasi atau asas yang utama yaitu:42 Pertama, kebebasan jiwa yang mutlak. Islam menjamin kebebasan jiwa dengan kebebasan yang penuh, yang tidak hanya dinilai dari sisi maknawi atau sisi ekonomi semata, melainkan pada dua sisi itu secara keseluruhan. Islam membebaskan jiwa dari bentuk perbudakan, berupa kultus individu dan ketakutan terhadap kehidupan, rezeki dan kedudukan. Kedua, persamaan kemanusiaan yang sempurna. Dalam Islam, tidak ada kemuliaan bagi orang yang berasal dari keturunan bangsawan. Islam datang untuk menyatakan kesetaraan jenis manusia, baik asal maupun tempat berpulangnya, hak dan kewajibannya di hadapan undang-undang dan di hadapan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada yang membedakan di antara manusia, kecuali amal saleh. Dan tidak ada kemuliaan kecuali bagi orang-orang yang bertakwa Persamaan tersebut dapat juga dipahami sebagai persamaan yang dilatar-belakangi oleh faktor ekonomi. Artinya, kemuliaan yang hakiki tidak dimiliki oleh seseorang karena ia orang memiliki kekayaan, juga bukan karena jabatan dan sebagainya. Mengenai Teori Keadilan, sebagaimana di dalam Al Quran, surat An Nisa ayat 58, Allah SWT, berfirman : Apabila (kamu) menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil). (Qs. An Nisa : 58)43 Al Quran, surat Asy Syura ayat 15, Allah SWT, berfirman : Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami 42
Jurnal oleh Asnawiyah, Konsep Sosialisme Islam Menurut Sayid Quthb, PPS Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Kopelma Darussalam Banda Aceh, Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, April 2013, hlm 56 43 Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Op. Cit, hlm. 88
44
amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah kembali (kita)". (Qs. Asy Syura : 15)44 Al Quran, surat Al Maidah ayat 8, Allah SWT, berfirman : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al Maidah : 8)45 Al Quran, surat An Nahl ayat 76, Allah SWT, berfirman : Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (Qs. An Nahl : 76)46 Al Quran, surat An Nahl ayat 90, Allah SWT, berfirman : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(Qs. An Nahl : 90)47 Al Quran, surat Al Hujurat ayat 9, Allah SWT, berfirman : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
44
Ibid, hlm. 368. Ibid, hlm 109. 46 Ibid, hlm. 276. 47 Ibid, hlm. 278. 45
45
adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qs. Al Hujurat : 9)48 Al Qur‟an surat Al Muthaffifin ayat 1-6, Allah SWT berfirman: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orangorang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam. (QS. Al-Muthaffifîn :1-6)49 Selain dari teori-teori keadilan serta ayat-ayat Al Quran tentang bersikap Adil, dalam Islam untuk mencari keuntungan di dunia bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara‟, bahkan secara khusus diperintahkan Allah kepada orang-orang yang mendapatkan amanah harta milik orang-orang yang tidak bisa bisnis dengan baik,50 sebagaimana Al Quran surat An Nisa ayat 29, Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An Nisa :29)51 Al Qur‟an surat Al Baqarah ayat 195, Allah SWT berfirman : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al Baqarah :195)52 Al Qur‟an surat An Nur ayat 37, Allah SWT berfirman : laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang
48
Ibid, hlm. 517. Ibid, hlm. 588. 50 http://www.dakwatuna.com, diakses pada tanggal 7 Maret 2016 51 Diterbitkan oleh Jabal, Op Cit,hlm. 84 52 Ibid, hlm. 31. 49
46
(di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.(QS. An Nur : 37)53 Tingkat laba atau keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat, seperti Hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga 100% dari modal. Pada prinsipnya Ekonomi Syariah dalam mengambil profit margin yang tinggi bahkan sampai 100% sekalipun bukanlah menjadi masalah. Karena prinsip dasar dalam kegiatan jual-beli yang sesuai dengan syariah tercantum dalam kaidah fiqh yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua bentuk
mu‟amalah
boleh
dilakukan
kecuali
ada
dalil
yang
mengharamkannya. Sebagaimana hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Ja'd al-Bariqi ra.Hal itu berdasarkan dalil sebegai berikut:54 “Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: “Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi ,dan Ibnu Majah dari penuturan Urwah Ibnul Ja'd al-Bariqi ra) Hadits Riwayat Ibnu Majah, yaitu:55 ”Rasul saw. telah ditanya seorang wanita, katanya: „Aku seorang wanita sering jual beli. Bila aku mau beli sesuatu, kutawar lebih 53
Ibid, hlm 356. Op Cit, http://www.dakwatuna.com 55 Ibid. 54
47
rendah daripada yang kumaui sampai mencapai harga yang kuinginkan. Tetapi bila aku mau jual sesuatu, kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi daripada yang kumaui, kemudian kuturunkan sedikit demi sedikit sampai mencapai harga yang kuinginkan. (Bolehkah perbuatanku ini?‟. Jawabnya: „Jangan begitu! Bila engkau mau beli sesuatu, tawarlah dengan harga yang hendak kau berikan atau dengan harga yang hendak kau hindari. Dan bila engkau mau jual sesuatu, tawarkanlah dengan harga yang hendak kau berikan atau dengan harga yang hendak kau hindari. (HR Ibnu Majah) Pada Hakikatnya Allah swt. mengutus Rasul-Nya agar menegakan keadilan dan memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat dan berlaku adil, Perintah berbuat adil dalam Alquran sangat tegas, yakni selain menggunakan kata-kata atau Ushlub Amar, juga menggunakan fi‟il amar, kedua ushlub tersebut menunjukkan perintah yang wajib dipenuhi atau dilaksanakan. Rasulullah saw. diutus oleh Allah swt. untuk menegakkan keadilan di antara agar:56 a) Manusia menegakkan kehidupan yang berkeadilan, disebutkan pada surah al-hadid ayat 25 dan surah al-Nahl ayat 90. b) Kepemimpinan yang adil melahirkan tanggung jawab memberi perlawanan kepada kezaliman, disebutkan pada surah al-Baqarah ayat 124. c) Menjadi misi ke Nabi-an atau ke Rasul-an Nabi Muhammad saw. keadilan menjadi syarat terwujudnya ketaqwaan, disebutkan pada surah al-Maidah ayat 8. Dengan demikian keadilan menjadi sebuah hal yang sangat penting dimiliki dan diwujudkan dalam kehidupan masyarakat sebab menjadi misi keRasulan Nabi Muhammad saw. yang merupakan tanggung jawab kepemimpinan yang harus ditegakan sebagai salah satu syarat dalam mewujudkan ketaqwaan kepada Allah swt.57
56
Ambo Asse, Konsep Adil dalam Al Quran, Jurnal Al Risalah, Vol 10 Nomor 2 Nopember 2010, hlm 278-279 57 Ibid
48
2. Teori Hukum Islam pada masa Pemikiran Post-modern Pergeseran dari era modern kepada post-modern, merupakan sebuah proses pengikisan. Pandangan demikian itu paling tidak didukung dua hal dengan alasan sebagai berikut. Pertama terjadi proses “pergantian” sejauh bahwa modernisme telah memenuhi sebagian janji-janjinya; dan Kedua sebagian lagi sebagai suatu proses “keuangan”, sejauh modernisme tidak lagi mampu memenuhi sebagian janji-janji yang lainnya. Persoalan dua hal tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut Pertama, Modernisme selalu bersanding dengan kapitalisme, dan selalu dianggap saling bertautan, serta tidak dapat dilepaskan, meski pada kenyataannya berbeda secara otonom dari sudut pandang historis. Kedua, proses
historis
tersebut
(modernisme
dan
kapitalisme)
saling
mengkonvergensi dan menginterpenetrasi satu sama lain, meski kondisikondisi dan dinamika perkembangannya tetap terpisah dan relatif otonom. Modernisme tidak mensyaratkan kapitalisme sebagai mode produksinya bahkan dipahami sebagai sesuatu mode produksi tersendiri.58 Menurut Jean Baudrillard, Post-Modernis adalah Wilayah (Dunia) Imajinasi, wajah simulacra yang beranak-pinak dan berekstase sedemikian rupa hingga menciptakan dunia imajiner hyperrealnya sendiri. Seluruh realitas akan digenangi oleh berlapis-lapis duplikasi simulacra, sehingga tak ada kemungkinan lagi untuk membuat semacam jarak reflektif, inilah salah satu bentuk paradoks dan hingar bingarnya postmodernis. Indah naum absurd dan membingungkan sebagaimana dikatakan bambang sugiharto “mana mungkin kita akan berbicara suatu korelasi dan transisi antar hyperreal dan real. Namun itulah sebuah contoh dan perspektif yang kontradiktif performatif yang diidap oleh wacana-wacana postmodernis khususnya Baudrillard.
Itulah pesona post-modernis, hukum akan
58
Prof. Dr. H.R. Otje Salman S.,S.H dan Anthon F Susanto.S.H.,M.Hum, Teori Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 117 – 118.
49
menampilkan wajahnya yang lain yaitu wajah hukum yang penuh noise dan tubulensi.59 Ciri-ciri Postmodernisme yang sangat menonjol, diantaranya sebagai berikut: 60 a) Berusaha memahami era posmodernis berarti mengasumsikan pertanyaan tentang, hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas, memudarnya kepercayaan kepada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya semangat pluralism; b) Meledaknya industri media massa, dimana kekuatan media massa menjelma bagaikan “agama”, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, dan tanpa disadari telah diatur oleh media massa, seperti televise dan sinema yang menjadi instrument ikut dalam memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global; c) Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan yang diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia; d) Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta ketertarikan romantisme dengan masa lalu; e) Semakin menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan; f) Semakin terbukanya peluang bagi kelas-kelas untuk mengemukakan pendapat dengan bebas, karena demokrasi adalah syarat mutlak bagi perkembangan era posmodernisme; g) Semakin terbukanya peluangakan berkembangnya eklektisme dan percampuran berbagai wacana; h) Ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh ahli posmodernis, meskipun mereka mengklaim dapat menjangkaunya.
59
Ibid, hlm. 121 - 122. Akbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam terj. M. Sirozi, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 21-41. 60
50
Bagi umat Islam, sebelum fase Postmodernisme adalah fase sejarah yang ditandai dengan maraknya aktivitas mulai dari maraknya pemikiran Islam hingga tindakan politik, dari arsitektur hingga mode berpakaian. Fase sebelum Postmodernisme yaitu modernisme bahwa masyarakat Muslim pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa, sehingga dalam beberapa hal umat Islam banyak unsur kesamaannya dengan Negara Eropa. maka Postmoderne biasa diartikan sebagai upaya kembali kepada nilai-nilai tradisional Muslim dan menolak modernisme yang nantinya akan membangkitkan respon kaum muslim dalam segala bidang, termasuk politik, arsitektur, serta mode pakaian.61Oleh karena itu Postmodernisme dalam dunia Islam mempunyai arti peralihan menuju identitas Islam yang sejati yang bertentangan dengan identitas Barat.62 Pada pertengahan 1980-an, Prof. Dr. Muanawir Sjadzali, MA. Melemparkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Salah satu gagasan beliau adalah tentang perlunya pemikiran ulang mengeni pembagian harta waris yang selama ini menggunakan hukum lama dalam pelaksanaannya. Terlepas setuju atau tidak dengan gagasan pembaruan itu, pak munawir telah ikut merangsang dan mendorong umat Islam khususnya di Indonesia untuk membicarakan kembali aspek tertentu hukum Islam sehingga tetap relevan digunakan dalam setiap masa, bahwa masalah hukum Islam akan selalu menjadi perbincangan, perdebatan, dan pembahasan yang tidak akan pernah berakhir, karena problematika sosial akan terus berkembang seiring dengan laju dan semangat zaman. Pada dasarnya para ulama membagi hukum menjadi dua macam, yaitu hukum syari‟at yang bersumber dari nash agama yaitu al-Qur‟an dan Hadis yang
sifatnya
mengikat
dan
tidak
berubah.
Hanya
saja
dalam
melaksanakannya Allah selalu meberikan kemudahan dan keringanan disaat menemukan kesulitan. Allah berfirman (al-Baqarah, 2:185). Sedangkan hukum fikih adalah hasil ijtihad dari para mujahid. Ijtihad di sini akan 61 62
Ibid, hlm 46 Ibid, hlm 47
51
menghasilkan hukum yang berbeda karena setiap mujahid bisa jadi mempunyai pandangan yang berbeda dengan yang lain sesuai dengan tingkatan intelektual, lingkungan, serta latar belakang pemikirannya. Oleh karena itu hukum fikih adalah produk pemikiran manusia yang tidak bersifat “sakral” (bisa berubah) dan kebenarannya terikat oleh waktu.63 Dalam suatu masalah terkadang terjadi perbedaan pendapat dalam penerapan hukumnya, misalnya masalah hukum potong tangan sebagai akibat perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam kaitannya dengan masalah potong tangan di atas ulama tradisional serta modern dihadapkan dengan realitas zaman yang berbeda sehingga dalam penerapannya tidak berada dalam satu warna. Perbedaan pendapat di atas lahir karena perbedaan pemahaman teks nash serta tuntutan untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga dalam kerangka Postmodernisme perlu diupayakan untuk melakukan dekonstruksi hukum Islam yang sudah tidak relevan dengan semangat zaman melalui pemahaman kontekstual terhadap nashnash yang ada sesuai dengan realitas masyarakat. Sehingga akhirnya muncul cendekiawan muslim kontemporer seperti Fazlurrahman yang dalam kasus pencurian perlu diterapkan teori gradasi. Artinya, pencuri yang baru pertama kali mencuri tidak harus dipotong tangan, melainkan hukum ta‟zir. Sementara Muhammad Syahrur, memahami hukuman potong tangan dalam al-Qur‟an sebagai hukum yang tertinggi. artinya kita boleh berijtihad mengurangi hukuman tersebut dan tidak boleh melebihi ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur‟an.64 Pembaruan hukum Islam mutlak diperlukan. Pendekatan-pendekatan model apa pun dalam mengimple-mentasikannya berhak untuk diketengahkan, kemudian dibahas serta diuji kelayakannya.
63
Zainul Kamal, Islam Negara dan Civil society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Kumpulan Karangan, Paramadina, Jakarta, 2005, hlm. 62-63. 64 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2004, hlm. 113.
52
Hukum Islam merupakan sebuah keniscayaan maka tentu tidak pada tempatnya.
F. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan, antara lain: 1. Penelitian oleh Ayu Nurhasanah, S.H, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2005, dengan Judul
:
“Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil (AlMusyarakah) pada Bank Syari‟ah Mandiri Cabang Pontianak”. Penelitian ini mengemukakan 3 (tiga) masalah yaitu (1) Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pontianak, (2) Bagaimanakah penanganan yang dilakukan oleh pihak Bank dalam menangani pembiayaan yang bermasalah yang terjadi dalam akad Musyarakah, dan (3) Bagaimana penerapan sanksi yang akan diberlakukan kepada mudharib bila ia melanggar perjanjian dalam akad pembiayaan Musyarakah. Hasil Penelitian ini menemukan jawaban bahwa Pertama, Pelaksanaan perjanjian pembiayaan penyaluran dana berdasarkan prinsip bagi hasil pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Pontianak dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi yang berpedoman pada prinsip 5 C (character, capacity, capital, collateral, condition of economy) ditambah 7 aspek (yuridi, manajemen, teknis, pemasaran, keuangan,
social
ekonomi,
agunan)
serta
aspek
syariah,
Kedua,
Penyelesaian atas pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil bermasalah dilakukan melalui 2 (dua) Langkah yaitu 1) Langkah penyelamatan, apabila pembiayaan masih ada harapan kembali kepada Bank, yaitu rescheduling, reconditioning dan restrcturing. Selain itu dapat pula dilakukan marger, join venture, atau take over (pengambil alihan) kegiatan usaha oleh Bank dengan akusisi atau aliansi, 2) Langkah penyelesaian, apabila pembiayaan sulit bahkan sudah tidak ada harapan kembali kepada Bank, yaitu dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri/ Pengadilan Niaga atau melalui jalur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) bagi masyarakat
53
umum (utamanya dari kalangan non Islam) atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASARNAS) bagi umat Islam apabila terjadi sengketa di antara mereka. Ketiga, Penerapan sanksi yang akan diberlakukan pada nasabah (Mudharib) yang mampu tapi menunda-nunda pembayaran dan/ atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya dapat dikenakan sanksi yang didasarkan pada prinsip Ta‟zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sanksi dapat berupa denda. 2. Penelitian oleh Wawan Saputra, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang,2013, dengan Judul : ”Perjanjian Bagi Hasil dalam Pembiayaan Musyarakah antara Nasabah dengan Bank pada PT.Bank BNI Syari‟ah Cabang Padang”.Penelitian ini hendak mengkaji 2 (dua) hal yaitu : Mengkaji bentuk pengaturan perjanjian antara nasabah sebagai pengelola dengan bank sebagai pemilik modal dan Pelaksanaan perjanjian pembiayaan Musyarakah yang dilakukan oleh bank negara indonesia Syariah Cabang Padang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Bentuk pengaturan perjanjian antara nasabah sebagai pengelola dengan bank sebagai pemilik modal Pada PT Bank BNI syariah cabang padang terdapat bentuk perjanjian antara nasabah sebagai pengelola dengan Bank sebagai pemilik modal yaitu Musyarakah (syirkah) adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kegiatan usaha, masing-masing pihak berkontribusi dana sesuai porsi yang disepakati Dan keuntungan atau kerugian dibagi secara proposional atau sesuai dengan kesepakatan bersama. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, baik secara hukum perdata pasal 330 BW dan hukum islam berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 ayat 1. dalam bentuk perjanjian antara nasabah sebagai pengelola dan bank sebagai pemilik modal memakai teori tentang kepercayaan. Dimana PT Bank BNI syariah cabang padang memberikan
kepercayaan
sepenuhnya
kepada
nasabahnya.
Adapun
Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Yang Dilakukan Oleh PT bank BNI Syariah Cabang Padang didasarkan kepada kepercayaan (trust
54
Investmen) Pembiayaan Musyarakah merupakan akad kerja sama antara pemilik dana yang menyediakan seluruh kebutuhan modal dengan pihak pengelola usaha untuk melakukan kegiatan usaha bersama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan (nisbah) yang disepakati. Apabila terjadi kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal, selama bukan diakibatkan kelalaian pengelola usaha. Apabila terjadi kerugian akibat kelalaian pengelola maka akan menjadi tanggung jawab pengelola usaha itu sendiri. 3. Penelitian oleh Rastono, S.H, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, dengan Judul : ”Penerapan Prinsip bagi Hasil dalam Pembiayaan terhadap Nasabah Bank Syari‟ah”. Penelitian ini hendak mengkaji 2 (dua) hal yaitu : Mengkaji prinsip bagi hasil dalam pembiayaan dan bagaimana penerapan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil terhadap nasabah bank Syariah dan hambatan yang dihadapi Bank Syariah.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Prinsip hasil terdiri dari prinsip mudharobah dan prinsip musyarokah. Penerapan pembiayaan berdasarkan bagi hasil terdiri dari pembiayaan mudharobah dan pembiayaan
musyarokah. Hambatan
yuridis
dan
penyelesaian dalam menerapkan prinsip bagi hasil adalah, masalah sumber daya manusia insani dan standar fatwa. Skema pembiayaan bagi hasil juga memiliki kelemahan dalam penerapannya, terutama berkaitan dengan besarnya resiko yang meliputi resiko pembiayaan, resiko pasar dan resiko operasional. Kendala penerapan pembiayaan ini terutama berkaitan dengan masalah keagenan yaitu asimetrie information, moral hajar dan adverse selection (seleksi yang merugikan). Dalam prakteknya kendala-kendala ini dengan penerapan incentive-compatible constraint. 4. Penelitian oleh Rahmani Timorita Yulianti, Tulisan pada Jurnal Ekonomi Islam, Tahun 2008.Judul : ”Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari‟ah”. Penelitian ini ingin mengetahui Asas-asas perjanjian (akad) dalam hukum kontrak syari‟ah yang meliputi antara lain hukum kontrak syari‟ah, asas-asas perjanjian (akad), dan Asas kebebasan berkontrak.Hasil penelitian mengemukakan bahwa dalam hukum kontrak
55
syariah, paling tidak terdapat 14 macam asas perjanjian yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dan bertransaksi dalam penegakan hukum kontrak syariah tersebut. Asas-asas perjanjian itu adalah, Asas ilahiah, asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak, asas kebolehan, asas perjanjian itu mengikat, asas keseimbangan prestasi, asas keadilan, asas persamaan, asas kejujuran, asas tertulis, asas kepastian hukum, asas iktikad baik,asas kepribadian, dan asas kemanfaatan atau kemaslahatan.Salah satu asas dalam asas perjanjian ada yang dinamakan asas kebebasan berkontrak. Dengan asas kebebasan berkontrak tersebut kaum muslimin mempunyai kebebasan untuk membentuk akad-akad baru selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tujuan hukum Islam. Dengan demikian fiqih mu‟amalah dapat dikembangkan secara dinamis dalam rangka menjawab persoalan-persoalan
baru
ekonomi
kontemporer.Dalam
merespon
perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi sudah seharusnya ahli fiqih mu‟amalah disamping menguasai prinsip-prinsip dan asas-asas umum hukum Islam itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek mu‟amalah kontemporer yang banyak dikuasai oleh ahli ekonomi konvensional pada umumnya. Hal ini penting dilakukan karena, bagaimana mungkin penetapan hukum atas bentuk-bentuk mu‟amalah kontemporer dalam hal ini perjanjian,menjadi akurat jika masalah mu‟amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami.Model kajian fiqih mu‟amalah dewasa ini disamping model kajian konseptual teoritik, juga sudah saatnya dikombinasikan dengan model kajian empirik atas persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, sehingga penguasaan kedua metodologi kajian fiqih mu‟amalah sudah saatnya diimplementasikan. 5. Penelitian oleh Adi Suryanto Putra, Tulisan pada Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang, Tahun 2013.Judul : ” Penetapan Nisbah bagi Hasil dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah pada BNI Syari‟ah Padang”. Penelitian ini ingin mengetahui Penetapan nisbah bagi hasil dalam perjanjian pembiayaan Musyarakah pada BNI Syariah Padang, kemudian Pelaksanaan perjanjian pembiayaan Musyarakah dengan prinsip bagi hasil
56
pada BNI Syariah Padang, dan Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh PT. BNI Syariah Padang dalam pelaksanaan bagi hasil.Hasil penelitian mengemukakan bahwa Pertama, Penetapan Nisbah Bagi Hasil Berdasarkan Musyarakah Di BNI Syariah Padang adalah pihak Bank Syariah melihat dan mengkaji dulu jenis usaha dari nasabah yang akan meminjam dana di BNI Syariah. Pihak bank meminta laporan pendapatan selama setahun sebelum mengajukan peminjaman dan meneliti hasil dari usaha nasabahnya, agar dalam pembiayaan Musyarakah nantinya pihak bank dan nasabah samasama menikmati keuntungan dengan sistem bagi hasil yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi penetapan nisbah bagi hasilnya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak (nasabah dan bank). Kedua, Pelaksanaan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Al Musyarakah) pada BNI Syariah Cabang Padang adalah Pelaksanaan perjanjian pembiayaan penyaluran dana berdasarkan prinsip bagi hasil pada PT. BNI Syariah Cabang Padang dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi yang berpedoman pada prinsip 5 C (character, capacity, capital, collateral, condition of economy) ditambah 7 aspek (yuridis, manajemen, teknis, pemasaran, keuangan, social ekonomi, agunan) serta aspek syariah. Ketiga, Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh PT. Bank BNI Syariah Padang dalam Pelaksanaan Bagi Hasil adalah secara garis besar, suatu perusahaan/ Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya tentu mengalami kendala atau hambatan. Secara umum kendala yang dihadapi oleh PT. BNI Syariah Cabang Padang. Melalui review
secara mendalam
berbagai penelitian terdahulu
yang relevan dengan penelitian yang akan penulis lakukan maka dapat disampaikan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya oleh karena : Pertama : Dalam membedah masalah yang diajukan, penulis menggunakan metode pendekatan Empiris, Ruang lingkup pembahasan mencakup Tata Hukum Positif dihubungkan dengan Hukum Islam, untuk memahami Permasalahan di Lapangan. Sedangkan Asas-Asas Hukumnya,
57
berfungsi untuk menemukan ius constituendumnya (Hukum yang di Citacitakan). Kedua :
Masalah penelitiannya berbeda dengan penelitian
sebelumnya, antara lain mengemukakan 2 (dua) permasalahan, yaitu Pertama, Bagaimana prosedur penentuan nisbah bagi hasil dalam perjanjian Musyarakah di Bank Syari'ah Mandiri Cabang Cirebon, Kedua, Bagaimana kedudukan calon nasabah dalam keikutsertaanya menentukan nisbah bagi hasil di Bank Syari'ah Mandiri Cabang Cirebon
G. Kerangka Berfikir Adapun dalam konteks penelitian ini penulis membuat kerangka berpikir sebagaimana tergambar dalam bagan berikut ini : Prosedur penentuan Nisbah bagi Hasil dalam Perjanjian Musyarakah Bank Syari’ah
Isi Perjanjian Baku
Nasabah
Negosiasi SP3 Penetapan bagi hasil
Mengajukan Keinginan Nasabah
Perjanjian Musyarakah
Analisis menggunakan : a) Teori Keadilan Sayyid Quthb b) Teori tentang Hukum Islam pada masa Pemikiran Post-modern.
Faktor-faktor yang memepengaruhi nisba bagi hasil Kedudukan Calon Nasabah dalam keikutsertaannya menentukan nisbah bagi hasil
58
Sumber Bagan : Hasil Olah Penelitian Keterangan Bagan : Kerangka berpikir merupakan pengarah atau pedoman yang lebih nyata dari kerangka teori dan mencakup definisi operasional atau kerja.65 Adapun dalam penelitian ini yang dimaksud dengan : a) Prosedur penentuan nisbah bagi hasil dalam perjanjian Musyarakah, adalah rangkaian kegiatan yang dibuat secara teratur untuk mencapai tujuan kesepakatan bersama. b) Bank Syari‟ah adalah Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Pasal 1 ayat (7); c) Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah. (Pasal 1 ayat (19). d) Perjanjian Baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditor, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu debitor, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya. e) Negosiasi SP3 adalah tahap awal sebelum melakukan perjanjian Musyarakah, antara lain terlebih dahulu dilakukan survey terhadap calon Nasabah yang dianggap layak untuk menerima fasilitas Kredit, pihak Bank akan menerbitkan SP3K (Surat Penegasan Pemberian Kredit). Di dalam SP3K ini akan muncul jumlah kredit yang disetujui, 65
Sri Mamudji et. al., Melode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 67.
59
jangka waktu kredit, nilai angsuran, termasuk biaya yang timbul dari proses pengajuan KPR (biaya notaris, appraisal, provisi bank, asuransi jiwa dan bangunan, serta saldo mengendap). Biaya proses ini wajib disetorkan dalam rekening masing-masing konsumen f)
Mengajukan keinginan Nasabah adalah Calon Nasabah sebelum masuk ke tahap Perjanjian, secara mandiri dan bebas dapat mengajukan keinginan sesuai dengan kemampuan, tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama.
g) Perjanjian Musyarakah adalah perjanjian pembiayaan antara Bank Syariah dengan nasabah yang membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan di muka. h) Analisis dengan Teori-teori dengan tujuan agar mendapatkan suatu hasil kajian Analisis yang Komprehensip dan Akuntable. i)
Kedudukan calon Nasabah dalam keikutsertaan menentukan Nisbah bagi hasil adalah mencari daya tawar nasabah sejauhmana dapat ikut serta menentukan keinginan para pihak dalam Perjanjian Musyarakah.
60