BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
A. Tinjauan Pustaka 1. Kemiskinan Absolut Kemiskinan absolut berkaitan dengan standar
hidup minimum suatu
masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk garis kemiskinan. Kemiskinan absolut dapat menbedakan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekrja. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendaptannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2014). Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum, baik makanan seperti rendahnya kalori yang diterima, maupun non makanan seperti kebutuhan tempat tinggal, terbatas dalam akses fasilitas kesehatan, rendahnya kualitas pada fasilitas pendidikan, pengangguran (Kuncoro, 2010; Vijayakumar dan Olga, 2012).
10
Menurut Squire (1993) dalam Janjua P. Z. dan Kamal U. A. (2011) pengurangan kemiskinan dalam perkembangan dunia yang berbentuk negara dan tingkat daerah dengan berikut: pertama, pertumbuhan ekonomi akan mendukung tenaga kerja berproduktip yang mana penduduk miskin dapat menhindari dari lingkaran kemiskinan. Kedua, pengeluaran publik adalah sumber penting untuk meningkatkan pencapain penduduk miskin terhadap kesehatan dan pendidikan. Ketiga, ketetapan pada jasa subsidi masyarakat. Kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 macam menurut penyebabnya. Pertama, adalah kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau bisa dikurangi dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua, adalah kemiskinan
struktural,
yaitu
kemiskinan
yang
terjadi
sebagai
akibat
ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan (BPS, 2014). Menurut Djojohadikusumo (1995) dalam Sri (2010) menyatakan pola kemiskinan ada empat yaitu, pola pertama adalah persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Pola kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara 11
keseluruhan. Pola ketiga adalah seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti dijumpai pada kasus nelayan dan petani tanaman pangan. Pola keempat adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. a. Garis Kemiskinan Semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan pada norma tertentu. Pilihan norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran kemiskinan yang didasarkan konsumsi. Garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi (consumption-based poverty line) terdiri atas dua elemem, yaitu: (1) pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi standar gizi minimum dan kebutuhan mendasar lainnya; dan (2) jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Kuncoro, 2010:58-60). Dengan hal ini, ada tiga tingkat kemiskinan; 1) Kemiskinan Ekstrim (Extreme Poverty) menunjukkan kondisi rumah tangga yang tidak bias memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, menderita kelaparan kronis, tidak mampu mengakses kesehatan, tidak memiliki air bersih dan sanitasi, tidak mampu menyekolahkan sebagian atau seluruh anaknya, rumahnya tidak memiliki atap yang memadai untuk melindungi dari panas/hujan, dan pakaian/sepatu yang sederhana. 2) Kemiskinan Moderat (Moderate Poverty) umumnya menunjukkan kondisi hidup di mana kebutuhan dasar sudah terpenuhi, namun masih
12
relatif sederhana, karena umumnya hanya memiliki pendapatan antara US$1-2 per hari. 3) Kemiskinan Relative (Relative Poverty) umumnya ditemukan untuk rumah tangga denga pendapatan di bawah proposi rata-rata pendapatan nasional. b. Kebutuhan Dasar Garis
kemiskinan menurut
Badan
Pusat
Statistik
(BPS,
2014)
menggunakan batas miskin dari komponen kebutuhan dasar yang digunakan terdiri dari kebutuh makanan dan bukan makanan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan yang diambil berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, menurut (S. Harry dkk., 2012; Dewanto dkk., 2014) dengan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. Menurut S. Harry dkk (2012) formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :
Di mana : GKMj
=
Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum
disetarakan menjadi 2100 kilokalori). 13
Pjk
=
Harga komoditi k di daerah j.
Qjk
=
Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.
Vjk
=
Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
j
=
Daerah (perkotaan atau perdesaan)
Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga :
Di mana : Kjk
=
Kalori dari komoditi k di daerah j
Vjk
=
Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
Fj
=
Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang
menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori/kapita/hari. c. Kebutuhan Rumah Tangga Pendekatan non-moneter menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2014) untuk mengetahui karakteristik-karakteristik rumah tangga yang mampu mencirikan
14
kemiskinan secara konseptual (pendekatan kebutuhan dasar/garis kemiskinan). Hal ini menjadi sangat penting karena pengukuran makro (basic needs approach) tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu rumah tangga/penduduk miskin di lapangan. Informasi ini berguna untuk penentuan sasaran rumah tangga program pengentasan kemiskinan (intervensi program). Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKPM, 2000) diperoleh 8 variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah tangga miskin di lapangan yaitu; 1) Luas Lantai Perkapita. 2) Jenis Lantai. 3) Air Minum/Ketersediaan Air Bersih. 4) Jenis Jamban/WC. 5) Kepemilikan Asset. 6) Pendapatan (total pendapatan per bulan). 7) Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan). 8) Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, ayam). Menurut S. Harry dkk. (2012) nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :
Di mana: NFp
= Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).
15
Vi
= Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri
=
Rasio
pengeluaran
komoditi/sub-kelompok
non-makanan
menurut daerah (hasil SPPKD 2004). i
= Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p.
p
= Daerah (perkotaan atau perdesaan).
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I. Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera; 1) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masingmasing. 2) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih. 3) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja dan bepergian. 4) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. 5) Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Dalam kutipan BPS (2014) World Bank membandingkan kemiskinan antarnegara, Bank Dunia menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dollar Amerika dengan menggunakan paritas (kesetaraan) daya beli (purhasing power parity, PPP) per hari, bukan dengan nilai tukar US$ resmi. Angka konversi PPP adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah 16
kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli sebesar US$ 1 di Amerika Serikat. Garis kemiskinan menurut Todaro dan Smith (2011:266) dalam Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimentional Poverty Index - MPI) dengan menyusun
indeks
yang
didasarkan
pada
tingkat
rumah
tangga,
MPI
memperhitungkan adanya akibat interaksi negatif ketika orang-orang mengalami berbagai kekurangan-kemiskinan yang lebih buruk, yang dapat dilihat cukup denga jumlahkan kekurangan-kekurangan yang terjadi diseluruh negara yang kesuluruhan, menghitung rata-ratanya dan kemudian mengkombinasikannya. Pengukuran produksi yang disebut sebagai indikator, bagi setiap dimensi yang terpilih. Menurut Dewanto dkk. (2014) indeks melaporkan bahwa mareka memilih tiga dimensi yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup dengan sejumlah indikatornya masing-masing, karena mencerminkan masalah-masalah yang sering dikemukakan oleh penduduk miskin. 2. Inflasi Inflasi dapat dijelaskan sebagai kecenderungan meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus (Mankiw, 2012; Karl, dkk., 2012). Menurut TPID (2014) medefinisikan yaitu kenaikan tingkat harga secara keseluruhan. Berdasarkan teori ekonomi New-Keynesian tekanan inflasi dapat bersumber dari sisi permintaan, penawaran dan ekspektasi inflasi. Konsep ini dikenal pula dengan “Expectation- Augmented Phillips Curve”. Masing-masing sumber tekanan inflasi dapat dijelaskan sebagai berikut.
17
1) Inflasi permintaan (demand-pull inflation) Inflasi sisi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya kelebihan permintaan disebabkan oleh naiknya permintaan domestik, pengeluaran pemerintah, atau permintaan ekspor. 2) Inflasi penawaran (cost-push/supply shocks inflation) Inflasi sisi penawaran merupakan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi suatu barang atau jasa. Termasuk dalam kategori tersebut adalah kenaikan harga komoditas global yang diimpor sehingga meningkatkan biaya produksi, dan kenaikan harga komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah (administered prices) antara lain BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL). Kenaikan harga BBM atau listrik tersebut juga akan memicu peningkatan ongkos produksi atau pengadaan barang atau jasa lainnya, sehingga juga berpotensi meningkatkan tekanan inflasi. Terakhir, adalah inflasi yang disebabkan oleh kejutan (shocks) dari komoditas bahan pangan yang sangat rentan terhadap gangguan cuaca atau iklim. 3) Ekspektasi Inflasi Pembentukan ekspektasi inflasi pada dasarnya dapat berbentuk adaptif backward-looking dan forward-looking maupun bergabung dari keduanya. Pembentukan ekspektasi inflasi adaptif bahwa masyarakat masih menjadi peristiwa masa lalu sebagai acuan. Ekspektasi Inflasi yang terbentuk dipengaruhi oleh inflasi periode sebelumnya. Perilaku ekspektasi yang forward looking
18
membutuhkan anchor atau jangkar sebagai referensi. Dalam kaitan ini, sasaran inflasi yang ditetapkan Pemerintah diharapkan digunakan oleh masyarakat dan pelaku ekonomi sebagai tingkat inflasi ke depan, yang kemudian sebagai dasar perhitungan dan penetapan harga serta keputusan bisnis lainnya oleh pelaku ekonomi. a. Pengukuran Inflasi Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia menurut BPS dalam POKJANAS TPID (2014) bedasar Survei Biaya Hidup tahun 2012 (SBH 2012)
dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran, yaitu: (1) kelompok bahan makanan; (2) kelompok makanan jadi, minuman dan tembakau; (3) kelompok perumahan; (4) kelompok sandang; (5) kelompok kesehatan; (6) kelompok pendidikan dan olah raga; dan (7) kelompok transportasi dan komunikasi. b. Inflasi dan kemiskinan Kemiskinan akan meningkat dalam jangka waktu panjang akibat tingginya tingkat inflasi dalam negeri. Hal ini, secara langsung inflasi tidak dapat mengurangi
penganggurang,
sebagai
konsekwensi
meningkatnya
jumlah
penduduk miskin. Hal tersebut, efek inflasi dapat mengurangi daya beli dan
19
pendapatan rumah tangga, yang mana beberapa beban dalam meningkatkan harga membuat konsumer mendapat barang yang terbatas di banding sebelumnya. Efek inflasi terhadap kemiskinan yaitu melalui pengeluaran rumah tangga, apabila inflasi meningkat terdapat mengurangkan pembelanjaan rumah tangga hal tersebut membawa mareka terjerat dalam jurang kemiskinan (Maluleke, 2012). Menurut Sugema (2010) perhubungan dalam elastisitas pada kemiskinan di perdesaan. Penduduk miskin lebih meresponkan terhadap perubahan harga makanan. Sebaliknya penduduk miskin di perdesaan sedikit merespon terhadap non-makanan dari pada penduduk miskin di perkotaan. Menurut penelitian Maluleke (2012) inflasi paling diperhatikan oleh penduduk di Sharpeville (Afrika Selatan) yang mana mengefek buruk terhadap standar kehidupan mareka. Hal ini karena beberapa penyebabnya; pertama, tingginya tingkat inflasi. Kedua, tinggi tingkat inflasi bersamaan tingginya tingkat pengangguran. Meningkatnya tingkat harga BBM dunia akan berpengaruh negatif terhadap ekonomi Afrika Selatan, terlehatnya meningkat harga makanan. Ada beberapa faktor yang membuat kemiskinan mengembang luas di Sharpeville (Afrika Selatan) yaitu perbedaan ras dari dulu dan sekarang tingginya ketidak samaan terdapat menyebarkan juga kemiskinan. 3. Pengangguran Menurut BPS (2014) pengangguran terbuka didefinisikan sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan
20
pekerjaan, termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga hanya orang yang termasuk angkatan kerja saja yang merupakan pengangguran terbuka. Menurut Sukirno (2004) dalam Barika (2013) seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Definisi pengangguran menurut BPS dalam kutipan Kuncoro (2010) pengangguran terbuka (open unemployment) didasarkan pada konsep seluruh angkatan kerja yang mencari perkerjaan, baik yang mencari perkerjaan pertama kali maupun yang pernah bekerja sebelumnya. Sedang pekerja yang digolongkan setengah penganggur (underemployment) adalah pekerja yang masih mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja rendah. Setengah pengaggur sukarela adalah setengah penganggur tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain. Setengah penganggur terpaksa adalah setengah penganggur yang masih mencari pekerjaan
atau
bersedia menerima pekerjaan. Pekerja digolongkan setengah penganggur parah (severe underemployment) apabila ia masuk setengah menganggur dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. a. Pengangguran dalam Sektor Informal Pengangguran terbuka biasanya terjadi pada generasi muda yang baru menyelesaikan pendidikan menengah dan tinggi. Ada kecenderungan mareka yang baru menyelesaikan pendidikan berusaha mencari kerja sesuai dengan
21
aspirasi mareka. Aspirasi mareka biasanya adalah bekerja di sektor modern atau di kantor. Untuk mendapatkan pekerjaan itu mareka bersedia menunggu untuk beberapa lama. Tidak tertutup kemunkinan mereka berusaha mencari perkerjaan itu di kota atau di provinsi atau daerah yang kegiatan industri telah berkembang. Hal ini menyebabkan angka pengangguran tinggi di perkotaan atau di daerah kegiatan industri atau sektor modern berkembang. Sebaliknya pengangguran terbuka rendah di daerah atau provinsi yang tumpu pada sektor pertanian. Hal tersebut penyediaan pekerjaan di sektor informal oleh sebab rendahnya pendidikan dan kurang menjamin kelangsungan hidup (Kuncoro, 2010). b. Pengukuran Tingkat Pengangguran Menurut Mankiw dkk. (2012) badan statistik negara mengelompokkan orang dewasa pada setiap rumah tangga yang disurvei ke dalam satu kategori berikut.
Bekerja
Pengangguran
Tidak termasuk angkatan kerja
Setelah mengelompokkan seluruh individu yang disurvei ke dalam tiga kategori tersebut, badan statistik negara menghitung berbagai statistik untuk merangkum kondisi angkatan kerja. Angkatan kerja (labor force) adalah jumlah orang yang berkerja dan tidak berkerja. Angkatan kerja = Jumlah orang yang bekerja + Jumlah yang tidak bekerja.
22
Tingkat pengangguran (unemployment rate) adalah persentase angkatan kerja yang tidak bekerja:
Tingkat pengangguran =
Jumlah orang yang tidak bekerja Angkatan kerja
x 100
Setelah itu, tingkat pengangguran untuk seluruh populasi penduduk dewasa dan untuk kelompok yang lebih sempit, seperti laki-laki dan perempuan dapat dihitung. c. Pengangguran dan kemiskinan Pengangguran yang semakin tinggi akan semakin tinggi angka kemiskinan, oleh karena ketiadaan perkerja atau disebut juga pengangguran, maka akan menyebabkan seseorang tidak mampu mebiayai dirinya sendiri dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak sehingga akan tergolong pada kategori miskin (Barika, 2013). Menurut Jonaidi (2012) dalam penelitiannya bahwa tingkat pengangguran yang relatif tinggi akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, oleh karena penduduk meningkat, jumlah kapital terbatas dan teknologi rendah. Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran dan kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun lebih rendah. Pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian menurun sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Menurut Yacoub (2012) menyatakan bahwa terdapatnya di perdesaan pengangguran relatif rendah sebaliknya mareka tetap miskin. Hal ini,
23
penyebabnya yaitu diperdesaan sebagian besar tenaga kerja bekerja pada sektor pertanian
yang
melibatkan
hampir
seluruh
anggota
keluarga
tetapi
pengahasilannya rendah tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sedangkan penduduk di perkotaan pengangguran relatif tinggi ternyata memiliki tingkat kemiskinan lebih rendah oleh karena penganggur dalam sebuah rumah tangga, tetapi rumah tangga yang lain berkerja dengan tingkatan pendapatan tinggi sehingga cukup untuk mempertahankan keluarganya hidup berada di atas garis kemiskinan. Menurut Kabinlapat dkk. (2012) penduduk di perdesaan yang berkerja di sektor pertanian mempunyai pengangguran relatif tinggi oleh karena beberapa musim menyebab cuaca berubah pekerja di sektor pertanian tidak bisa menanam. Apabila perkerja tidak dapat hasilan akan menyebab kemiskinan meningkat. Sebaliknya penduduk di perkotaan yang tidak bekerja di luar sektor petanian apabila tidak dapat pekerjaan otomatis menjadi miskin bahkan menjadi miskin kronis. Salah satu karakteristik ketenagakerjaan yang dapat menggambarkan perbedaan antara rumah tangga miskin dan tidak miskin adalah lapangan usaha atau sektor yang menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga. Profil penduduk miskin seringkali melekat dengan bekerja di sektor pertanian (BPS, 2014) 4. Angka Partisipasi Sekolah (Pendidikan) Pendidikan adalah memperolehkan ilmu pengetahuan. Pendidikan formal dikenal dengan persekolahan yang prosesnya, memberikan ilmu pengetahuan dan
24
ketrampilan dari satu generasi kepada generasi berikut. Pendidikan bermulainya dari melek huruf sampai membelajar spesialis. Pencapaian pendapatannya tergantung pada ketrampilan, peluang dalam aksesnya pendapatan dan pendidikan. Hal ini, hasil pendapatan yang kaitan dengan pendidikan tergantung ketrampilan dan ilmu pengatahuan seseorang yang berbentuk barang dan jasa (Janjua dan Kamal, 2011:156). Pendidikan adalah proses yang paling penting untuk meningkatkan evulusi pasar tenaga kerja di masa depan, yang paling penting perlu menjadi sumber untuk generasi depan (Serban, 2012). Menurut Todaro (2003:413) dalam Ramayani (2012), pendidikan dan latihan dipandang sebagai suatu invesatasi di bidang sumber daya manusia yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor penting dalam organisasi perusahaan. Menurut Kuna Winaya (1990:19) dalam (Wartana, 2011:23) Tenaga kerja yang berpendidikan lebih mudah mengerti tentang hal-hal diperintahkan untuk mengerjakan, cepat tanggap, cepat menerima pendapat dan pandangan orang lain atau dari pimpinan. Pendidikan itu mengukurkan tahun belajar yang positif dalam hubung kait dengan produktivitas kerja (Chansarn, 2010). Pendidikan yang dialami menyebabkan individu bayak mendapatkan pengatahuan, pengalaman, dan sikap mental yang kuat. Pengatahuan, pengalaman dan sikap mental yang kuat diperoleh akan berpengaruh terhadap pola tingkat laku dan sikapnya. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka kualitas SDM juga semakin meningkat dan akan mendapatkan pekerjaan 25
atau pendapatan yang semakin tinggi di masa yang akan datang (Chansarn, 2009; Dewanto, 2014). Menurut BPS (2014) tingkat pendidikan yang ditamatkannya dapat mengambarkan kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari keahlian/keterampilan dan ilmu pengatahuannya, dengan semakin meningkatnya keterampilan/keahlian akan semakin mudah mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Menurut Raja (2000) dalam Afzal dkk (2012) Pendidikan adalah langkah pertama dalam pembangunan, hal ini ada dua sisi dalam proses yaitu sisi pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sisi kedua mengurangi kemiskinan dan meningkatkan produktivitas. Pendidikan secara luas ada hubung kait antara kemiskinan dan pendidikan, menurut Berg (2008) membagi menjadi dua arah yaitu penduduk miskin tidak dapat akses pendidikan dan penduduk yang tidak berpendidikan dibatasi hidup yang miskin. Menurut Jonaidi (2012:155) lebih dari enam puluh persen penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan yang pada umumnya menggantung hidupnya di sektor pertanian. Mareka dapat terbatasnya mengakses permodalan, teknologi, pendidikan. Bila dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, penduduk yang tinggal di perkotaan mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik dari pada penduduk di perdesaan (BPS, 2014). Kemiskinan absolut pada umumnya berada di negera sedang berkembang, terutamanya di perdesaan walaupun negara berkembang tidak terhindari dari kemiskinan absolut. Hal ini dapat mencerminkan keluarga miskin dalam keadaan membelajar, yang berdampak anak-anak mereka dalam kedudukan yang layak dan
26
kemampuan untuk belajar, keterkaitan dengan rendahnya pendidikan kepala rumah tangga dan terbatasnya sumber membelajar dalam pendidikan (Berg, 2008). Menurut Vijayakumar dan Olga (2012) Penduduk yang tinggal di perdesaan yang mempunyai tingkat pendidikan akan mempunyai kehidupan yang bagus dan ada peluang untuk mendapat pekerjaan untuk menentu mata pencaharian. Kepala rumah tangga yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan menurunkan peluang rumah tangga jatuh kedalam kemiskinan atau akan mengurangi kemiskinan (C. Imran dkk, 2009; S. Harry dkk, 2012). Pendidikan dapat mengurangi kemiskinan menurut Janjua dan Kamal (2011:154) menjadi tiga bahagian; pertama, pendidikan dapat meningkatkan pendapatan seseorang dan mengurangi kemiskinan. Kedua, perngaruh pendidikan terhadap kemiskinan bukan hanya pendapatan atau produktivitas tetapi berpengaruh secara tidak langsung juga seperti kurangnya kematian bayi, pengebangan kesehatan dan kepala rumah tangga yang berpendidikan. Ketiga, pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan dapat merubahkan beragam hal-hal yang terkaitan dengan keadaan ekonomi, keperluan tenaga kerja dan tingkat dan kualitas pendidikan. Kemiskinan mengurangi tingkat berpartisipasi sekolah, dimana pendidikan dengan tinggi pembayarannya dan keterbatasannya perasaan kepentingan pendidikannya, terkadang juga terbatasnya permintaan untuk berpendidikan diantaranya penduduk miskin di negera sedang berkembang. Permintaan
27
berkependidikan tergantung pada financial dan keperluan biaya pendidikan, kualitas pendidikannya (Berg, 2008). Untuk keterbatasan finansial pada keluarga miskin yaitu finasial terhadap menyekolahkan anak-anak mereka. Keterbatasnya
finasial bukan hanya
pembayaran sekolah tetapi pembayaran untuk alat-alat belajar, transportasi, seragam sekolah dan buku-buku sekolah, hal ini menjadi penyebabnya keluarga miskin tidak bisa melanjutkan menyekolahkan anak-anaknya (Berg, 2008).
Indikator Pengukuran Pendidikan Dimensi pendidikan menurut Todaro dan Smith (2011:266) memiliki dua
indikator, pertama adakah anggota keluarga yang tidak menyelesaikan lima tahun pendidikan dan kedua adakah anak usia sekolah yang tidak bersekolah di kelas satu sampai kelas delapan-dengan bobotan yang sama. Menurut Jonaidi (2012:155-156) kemiskinan dapat dicerminkan dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah tercerminkan dari lamanya pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengebangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja sehingga kemiskinan tetap merajalela (Jonaidi, 2012:160). Tingkat partisipasi sekolah merupakan salah satu indicator yang dapat mengukur partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan dari berbagai jenjang pendidikan dan kelompok umur. Tingkat partisipasi sekolah yang dapat diukur diantaranya yaitu Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Hal ini dapat menunjukkan bahwa semakin banyak masyarakat memperoleh layanan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu (BPS, 2014).
28
Peningkatan APS pada semua kelompok umur tersebut menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan semakin meluas dan mudah diakses oleh masyarakat. Selain itu, peningkatan APM di semua jenjang pendidikan didorong oleh meningkatnya APM baik di perkotaan dan perdesaan. Peningkatan APM pada semua jenjang pendidikan tersebut juga menunjukkan bahwa semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menyekolahkan anak-anak mereka (BPS, 2014). B. Penelitian Terdahulu Studi mengenai kemiskinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah banyak dilakukan oleh banyak penelitian sebelumnya. Kemiskinan terjadinya di berbagai negara, terutama di negara sedang berkembang.
Pada
umumnya
kemiskinan
menjadi
hambatan
dalam
membangunkan negara untuk mengurangkan masalah tersebut. Hal ini bisa menghalangkan dari masalah terutama faktor-faktor yang terpengaruh menjadi penyebabnya. Dengan menggunakan angka-angka Inflasi, Pengangguran dan Angka Partisipasi Sekolah sebagai variabel independen dalam penelitian kemiskinan di Indonesia. Secara ringkas dalam Tabel 2.1 disajikan ringkasan penelitian-penelitian sejenis yang menjadi referensi dalam penelitian ini.
29
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No 1.
No 2.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Nizar Chairul,Hamzah Abubakar dan Syahnur Sofyan. 2013, Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Serta Hubungannya Terhadap Tingkat Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Vol.1, No. 2 hlm. 1- 8
Peneliti,Tahun,Judul,Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Jonaidi Arius, 2012, Analisis Pertumbahan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia, Junal Kajian Ekonomi, Vol.1, No.1, hal. 140-164
Tujuan Studi - menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan secara langsung. - menganalisis pengaruh investasi dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, serta bagaimana pengaruh estimasi pertumbuhan ekonomi
Tujuan Studi Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia terhadap penganguran, kemiskinan, investasi. 2.untuk mengatahu bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap kehidupan, melek huruf, dan lamanya dalam pendidikan.
Model Empirik
Definisi Operational Variable -investasi - tenaga kerja
Ordinary Least Square (OLS)
Model Empirik
OLS
Definisi Operational Variable Y1 = pertumbuhan ekonomi Y2 = kemiskinan
X1 = Pengangguran X2 = Investasi X3 = Harapan Hidup X4 = Melek huruf X5= Lama pendidikan
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Pengaruh FDI, Investasi Pemerintah dan Tenaga Kerja terhadap pertumbuhan ekonomi pengaruh positif signifikan. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan sangat kecil sekali adalah pengaruh variable bebas signifikan. Pengaruh estimasi pertumbuhan ekonomi tehadap kemiskinan apa bila ada perubahan modal yg dari DFI, investasi pemerintah dan perubahan tenaga kerja bahwa pengaruh sangat kecil terhadap variable bebas adalah signifikan. Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan - Pengaruh penganguran terhadap pertumbuhan ekonomi dapat signifikan apa bila penganguran semakin meningkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin menurun. - pengaruh investasi dapat signifikan apa bila investasi semakin meningkat, maka pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. - pengaruh kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi bersignifikan, bahwa semakin menurun tingkat 30
kemiskinan maka pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. -pengaruh investasi,harapan hidup,melek huruf dan lama pendidikan berkorelasi negative dan bersignifikan terhadap kemiskinan Indonesia. Pengaruh pertumbuhan ekonomi berkorelasi negatif terhadap kemiskinan Indonesia dan ber signifikan terhadap variable kemiskinan. No 3.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Widodo Adi, Waridin dan K. J. Maria, 2011, Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Sektor pendidikan dan Kesehatan terhadap pengetasan kemiskinan melalui peningkatan pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, vol 1, No. 1, hal 25-42
Tujuan Studi - untuk mengetahui pertumbuhan tidak hanya pendidikan dan sector kesehatan, indicator perkembangan manusia dan indicator kemiskinan di provinsi Java Tengah. - untuk menganalisis indeks pembangunan manusia dalam terkaitan dengan pengeluaran pemerintah pada pendidikan dan kesehatan terhadap pengurangan kemiskinan.
Model Empirik
OLS
Definisi Operational Variable Y= Penduduk Miskin X1= Pengeluaran bidang Pendidikan dan kesehatan X2= IPM
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan H1 : Pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh positif terhadap IPM, selanjutnya IPM berpengaruh negative terhadap tingkat kemiskinan (IPM berfungsi sebagai variabel intervening (variabel yang memediasi) hubungan antara pengeluaran pemerintah pemerintah tersebut dengan tingkat kemiskinan). H2 : IPM mempengaruhi pengentasan kemiskinan secara negatif dan signifikan; dan IPM memperkuat atau memperlemah hubungan antara pengeluaran pemerintah tersebut dengan tingkat kemiskinan (IPM berfungsi sebagai variabel moderating)
31
No 4.
No 5.
No 6.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Dewanto Pendi, Rujiman dan Suriadi Agus. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan ekonomi dan Ketimpangan pendapatan terhadap Pengetasan Kemiskinan di Kawasan Mebidangro. Jurnal Ekonom, vol 17, no. 3, hal 138150
Tujuan Studi - untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan terhadap pengentasan kemiskinan di kawasan Mebidangro. - mengetahui tingkatan pengaruh pertumbuhan ekonomi apakah pro pooratau anti poor serta mengetahui sektor-sektor yang memiliki pengaruh terhadap pengentasan kemiskinan.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman
Tujuan Studi
Suliswanto M. Sri Wahyudi, 2010, Pengaruh Produk domestic Bruto (PDB)dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Terhadap Angka Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Ekonomi Pembangunan, vol.8, no. 2, hal. 357-366
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh produk domestic bruto (PDB). - untuk mengetahui seberapa besar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Kemiskinan di Indonesia.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman
Tujuan Studi
S. Harry Nurdyana, Budiono dan Fahmi Mohamad, 2012, Pendidikan dan Kemiskinan Studi
- untuk menentukan pengaruhan kemiskinan di Maluku Utara pada tahun 2010
Model Empirik
Regresi Data Panel
Model Empirik
Regresi Data Panel
Model Empirik
Definisi Operational Variable Y1= pertumbuhan ekonomi Y2= kemiskinan X1= tingkat pendidikan X2= tingkat melek huruf X3= angka harapan hidup X4= angka kematian bayi Definisi Operational Variable Y= Kemiskinan X1= PDRB X2= IPM
Definisi Operational Variable Y= kemiskinan X1= lama sekolah X2= jenis kelamin
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan 1. Pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di kawasan Mebidangro berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 2. Sektor-sektor yang berpengaruh dominan dalam pengentasan kemiskinan adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor angkutan dan komunikasi. Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Variable yang paling dominan terhadap besarnya kemiskinan adalah IPM, sedangkan Variable PDRB memiliki belum dapat signifikan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan 1. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara adalah negatif dan signifikan pada 32
Kasus Provinsi Maluku Utara, Regresi Probit
No 7.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Rusdarti dan Sebayang Lesta Karolina, 2013, Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Economia, vol. 9, No. 1, hal. 1-9
Tujuan Studi Untuk mendeskripsikan kemiskinan di Propinsi Jawa Tengah dan menganalisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto(PDRB),pengangguran, dan belanja public terhadap kemiskinan.
Model Empirik
Ordinary Least Square (OLS)
kepala rumah tangga X3= jumlah anak X4= umur X5= klasifikasi wilayah X6= jumlah anggota kurang dari 15 thn X7= jumlah anggota umur lebih 60 thn X8= pertanian X9= tidak kerja
Definisi Operational Variable Y= Jumlah penduduk miskin X1= Nilai PDRB harga kostan 2000 X2= tingkat pengangguran X3= APBD (pendidikan, kesehatan dan Infrastruktur)
level 1%. Besarnya marginal effect dari tingkat pendidikan dalam menurunkan kemiskinan di Provinsi Maluku Utara adalah sebesar 0,90 persen. Dengan demikian peningkatan satu tahun umur sekolah kepala rumah tangga akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,90 persen. 2. Variabel lain yang berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Maluku Utara adalah variabel pekerjaan kepala rumah tangga di sektor pertanian, jumlah anggota rumah tangga yang berumur di bawah 15 tahun, jumlah anak yang kurang dari 3 orang, serta variable klasifikasi daerah tempat tinggal rumah tangga. Sedangkan variabel lainnya tidak signifikan. Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan PDRB berpengaruh negative dan tidak mengalami penurunan yg signifikan terhadap kemiskinan. Pengangguran tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan
33
No 8.
No 9.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Barika, 2013, Effect of Economic Growth, Government Spending, Unemployment and Inflation on The level Of Poverty in Sumatra Province, Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan (JEPP), vol 5, No. 1, hal 27-36
Tujuan Studi Untuk Mengetahui Bagaimanakah pengaruh Laju Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah, Pengangguran dan Inflasi terhadap tingkat kemiskinan di provinsi Se Sumatera
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman
Tujuan Studi
Suryanto Dwi, -, Analisis Pengaruh Tenaga Kerja, Tingkat pendidikan dan penegeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Subosukawonosranten Tahun 2004-2008
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tenaga kerja, tingkat pendidikan dan pengeluaran pemenrintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Subosukawonosraten
Model Empirik
regresi berganda (Multiple Regression Analysis).
Model Empirik Regresi Panel
Definisi Operational Variable Y1= Tingkat Kemiskinan X1= Pertumbuhan Ekonomi X2= Pengeluaran Pemerintah X3= Tingkat Pengangguran X4= Laju Inflas Definisi Operational Variable Y= pertumbuhan ekonomi X1= tenaga kerja X2= tingakat pendidikan X3= pengeluaran pemerintah
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Pertumbuhan ekonomi (X1) dan Inflasi (X4) tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan dan Pengeluaran Pemerintah (X2) dan Pengangguran (X3) berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Semua variable bebas memberikan pengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
34
No 10.
No 11.
No 12.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Yacoub Yarlina, 2012, Pengaruh Tingkat Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimatan Barat, Jurnal EKSOS, vol.8, no.3, hal 176-185
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Kabinlapat Pawittra, Panthamit Nisit dan Jariyapan Prapatchon, 2012, The relationship Between Poverty and Economic Variables of Thailand, vol 1, No.1, hlm 2028
Tujuan Studi Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di provinsi Kalimatan Barat.
Tujuan Studi Untuk mengatahui pengaruh kemiskinan terhadap variabelvariabel ekonomi Thailand
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman
Tujuan Studi
Vijayakumar Sinnathurai, Olga Brezinova, 2012, Poverty Incidence and its Determinants in the Estate Sector of Sri Lanka, Journal of Competitiveness, vol.4, Issue 1, hlm 44-55
Untuk mengetahui dan analisis signifikan terhadap determinan kemiskinan di perkebunan yang mana tempat yang tertingginya kemiskinan kronis dan pengangguran.
Model Empirik
Regresi
Model Empirik
Regresi Data Panel
Model Empirik
Regresi Berganda
Definisi Operational Variable Y= tingkat Kemiskinan X= tingkat Pengangguran
Definisi Operational Variable Y= kemiskinan X1=pendapatan keluarga X2=gini X3=pengangguran X4=indeks komsumsi Definisi Operational Variable Y= kemiskinan X1= ketersediaan pasar X2= jalan X3= pendidikan X4= perkerjaan
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Hasil estimasi pengaruh tingkat pengangguran (X) terhadap tingkat kemiskinan (Y) bersignifikan dan negative oleh sebab pengangur yang ada di rumahtangga tersebut tidak secara otomatis menjadi miskin karena anggota keluarganya memiliki pendapatan yang cukup untuk mempertahankan keluarganya dari kemiskinan. Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan -variabel Gini, pengangguran dan Indeks Komsumsi berpengaruh signifikan dan positif terhadap Kemiskinan. -pendapatan keluarga berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Semua variabel independen ketersediaan pasar, jalan, pendidikan, perkerjaan industry berpengaruh signifikan dan negative terhadap kemiskinan di Sri Lanka 35
No 13.
No 14.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman Janjua P. Zamurrad dan Kamal U. Ahmed. 2011. The Role of Education and Income in Poverty Alleviation: A Cross-Country Analysis. The Lahore Journal of Economics. Vol 16 No 1 :143-172.
Tujuan Studi -Untuk mengetahui bahwa pendidik formal berpengaruh terhadap kemiskinan secara luas dari 40 Negara sedang berkembang. -untuk mendokong dalam pengurangan kemiskinan: pendidikan, perkembangan pendapatan perkapita atau pendapatan yang tidak merata dan apa tiga-tiganya variabel itu menunjukan bersama pada perbedaan pendapatan grup 40 Negara sedang berkembang.
Peneliti,Tahun,Judul, Nama Jurnal,Vol.No. Halaman
Tujuan Studi
Imelia. 2012. Pengaruh Inflasi terhadap kemiskinan di Propinsi Jambi. Jurnal Paradigma Ekonomika. Vol 1 No. 5
-untuk mengetahui bagaimana dampak inflasi dalam perekonomian propinsi Jambi terhadap kemiskinan
Model Empirik
Regresi Data Panel
Model Empirik Regresi Linear sederhana
industri X5= pekerjaan petani Definisi Operational Variable Y= kemiskinan X1= pendapatan X2 = pendapatan tidak merata X3= pendidikan
Definisi Operational Variable Y = Kemiskinan X = Inflasi
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan - perkembangan pendapatan perkapita dapat cukup dalam mengurangi kemiskinan. - pengurangan pendapatan yang tidak merata dapat mempengaruhi dalam mengurangi kemiskinan. - pendidikan menjadi pendorongan penting dalam pengurangan kemiskinan.
Hypotasis&Hasil Studi Serta Arah Hubungan Propinsi Jambi selama periode 19932007 ternyata varabel laju inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, dengan demikian hipotesis yang diajukan yaitu terdapat adanya pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan kemiskinan adalah tidak benar dn tidak bukti. 36
C. Kerangka Pemikiran Kemiskinan merupakan indikator penting dalam kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan akan menangani oleh pemerintah. Indonesia mengalami permasalahan meningkatnya jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan sejak dari awal krisis ekonomi pada tahun 1998. Masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan pada umumnya menderita kekurangan gizi, meningkatnya tingkat inflasi dan pengangurang, rendahnya angka partisipasi sekolah. Menurut (World Bank, 2001; BPS, 2014) kemiskinan melihat mengenai standar hidup minimum yang punya perbedaan antara tingkat pendapatan dan kebutuhan dasar seseorang adalah kekurangan gizi (2.100 kalori perorang perhari) dan keterbatasan kebutuhan dasar dan konsumsi non-makanan. Kebutuhan dasarnya termasuk mengikut sekolah dasar, nutrisi, kesehatan, air minum yang bersih dan perumahan. Kemiskinan di Indonesia ada terkaitan dengan faktorfaktor penyebabnya, yaitu tingkat inflasi, pengangguran dan angka partisipasi sekolah. Peningkatannya penduduk Indonesia setiap tahun, tetapi penyediaan lapangan kerja untuk angkatan kerja nasional mengalami keterbatasan, hal ini tingginya tingkat pengangguran, rendahnya perluasan kesempatan kerja yang
37
terbuka menjadi sebagai masalah yang dihadapi pemerintah dalam rangka pembangunan nasional (BPS, 2014). Kemiskinan di Indonesia pasca masalah krisis ekonomi pada tahun 1998 mengalami penurunannya tingkat kemiskinan, hal ini menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di tingkat SMA/SMK/MA meningkat tetapi masih ada kesenjangan antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan, dimana kesenjangan di daerah perkotaan lebih besar di bandingkan daerah perdesaan (BPS, 2014). Peningkatan kemiskinan di Indonesia selama periode krisis, kemudian mulai kembali penurunan secara cepat pada awal tahun 2000 namun dengan penurunan tingkat kemiskinan pasca krisis tetapi tetap mengalami melambat. Pelambatan dalam penurunan tingkat kemiskinan terjadi karena beberapa hal. Salah satu penyebabnya adalah faktor-faktor eksternal-salah satunya situasi makro dan inflasi (Satriawan, 2015). Dalam rangka kebijakan untuk mencapai pengurangan kemiskinan di perlukan memenuhi kebutuhan dasar yang mana standarnya belum dapat dipenuhi secara penuh. Untuk penanggulangan kemiskinan, perlu dijagakan kestabilan tingkat inflasi terutamanya pada kelompok harga makanan sepaya penduduk miskin bisa mendapatkan kebutuhan dasar. Ketenagakerja pada umumnya diperluaskan lapangan kerja atau mengadakan program-program training kerja supaya menciptakan pekerjaan untuk kelompok yang mencari pekerjaan. Angka partisipasi sekolah di tingkat SMA/SMK/MA, hal ini menunjukkan bahwa
38
kelompok yang ingin melanjutkan sekolahnya lebih tinggi, hal ini akan terdapat produktivitas kerja yang berproduktip apabila mereka menyelesaikan sekolah pada tingkat yang berpartisipasi atau lebih tinngi. Untuk meningkatkan APS pemerintah perlu mengadakan beasiswa untuk mereka melanjutkan sekolah. Hal tersebut untuk memenuhkan pendapatan seseorang atau masyarakat sepaya mencapai masyarakat kesejahteraan. Berdasarkan pemahaman tersebut, dikembangkan kerangka pemikiran yang menjadi dasar penelitian ini yang ditunjukkan Tabel 2.2 Percepatkan Pengurangan Kemiskinan untuk Mencapai Kesejahteraan Masyrakat
Substantif Problem, di Bidang Ekonomi yaitu Tingginya Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Situasi Problem, Kemiskinan meningkat, baik dalam meningkatnya inflasi dan pengangguran rendahnya Angka Partisipasi Sekolah (Pendidikan) dengan indikator : % Inflasi, % Pengangguran dan % APS.
Agenda Setting : Perumusan Masalah (Problem Structuring), faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi tingginya Kemiskinan di Indonesia. Analisis : Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan berdasarkan kajian teoritis dan menentukan skala prioritas faktorfaktor penentu dalam data time series delapan belas tahun mulai dari tahun 1996 – 2013. Policy Formulation : Hasil dari faktor – faktor dominan yang berpengaruh erat terhadap Kemiskinan ini digunakan sebagai input dari pembuat kebijakan dalam merumuskan suatu kebijakan yang akan dilaksanakan ( Manfaat dari mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh erat dapat digunakan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan ) Tabel 2.2 Kerangka berfikir faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia sebagai input dari perumusan kebijakan pemerintah dalam bidang penurunan kemiskinan di Indoenseia.
39
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis penelitian ini adalah : a. Tingkat Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan tinggi tingkat inflasi akan menyebabkan kelompok miskin tidak bisa mendapatkan kebutuhan dasar. b. Pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Hal ini sebab terjadinya surplus terhadap permintaan tenaga kerja dan jumlah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan c. Angka Patisipasi Sekolah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Hal ini sebabnya rendah angka partisipasi sekolah akan mengurangkan tingkat produktivitas kerja yang mana dunia usaha membutuhkan SDM
yang berpendidikan yang lebih tinggi
tingkat
pendidikannya.
40