9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Bencana Secara umum pengertian Bencana adalah kejadian tiba-tiba atau musibah yang besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi normal dari suatu masyarakat atau komunitas (UNDP 2007). Pengertian bencana dalam Kepmen No. 17/kep/Menko/Kesra/x/95 adalah sebagai berikut: “ Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat Menurut Coburn, A. W. dkk. 1994. Di dalam UNDP 2007 mengemukakan bahwa: “ Bencana adalah Satu kejadian atau serangkaian kejadian yang memberi meningkatkan jumlah korban dan atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di luar kapasitas norma”. Bencana pada dasarnya di bagi dua yaitu yang di akibatkan oleh ulah manusia seperti kebakaran, kecelakaan laulintas, pencemaran, ledakan Bom, kecelakaan induststri. Maupun dari alam sendiri seperti Gempa Bumi, Tsunami, Longsor lahan, Angin Puting beliung, terjadinya secara mendadak maupun secara bertahap yang akan mengakibatkan penderitaan terhadap masyarakat (Sutikno 2001 : 270) .
10
Menurut Haryanto (2001 : 35) Berpendapat bahwa karakteristik bencana mempunyai pengertian sebagai berikut : 1. Gangguan terhadap kehidupan normal, yang biasanya merupakan gangguan cukup besar, mendadak dan tidak terkirakan terjadinya, serta meliputi daerah dengan jangkauan luas. 2. bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di badan, kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kehilangan harta benda. 3. mempengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan sistem pemerintahan, gedung gedung, atau bangunan, sarana komunikasi, dan pelayanan masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa secara tiba tiba yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban, kerusakan fasilitas serta akan merusak kehidupan normal masyarakat dalam skala wilayah tertentu.
B. Gerakan Tanah Menurut Noor, J (2006:105) gerakan tanah adalah proses perpindahan suatu masa batuan/tanah akibat gaya gravitasi. Gerakan tanah seringkali disebut sebagai longsoran dari massa tanah/batuan dan secara umum diartikan sebagai suatu gerakan tanah dan atau batuan dari tempat asalnya karena pengaruh gaya berat (grafitasi). Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan tanah, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat menyebabkan terjadinya gerakan tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar.
11
1.
Jenis-Jenis Gerakan Tanah Gerakan tanah dibedakan menjadi beberapa jenis, berdasarkan atas cara
perpindahan massa batuannya. Menurut Sukandarrumidi (2008:126) ada 5 jenis gerakan tanah, yaitu : a. Gerakan tanah tipe jatuhan (rocks Fall), terjadi apabila massa batuan berpindah dari daerah elevasi tinggi ke daerah elevasi rendah. Gerakan tanah tipe ini semata-mata terjadi karena pengaruh gravitasi. Gerakan tanah tipe ini terjadi di tebing yang curam baik yang terjadi secara alamiah atau karena dibuat oleh manusia, misalnya pada saat membuat jalan di daerah zona patahan atau dengan cara memotong tebing. Gerakan ini sering terjadi apabila secara alamiah massa batuan telah mengalami pecah-pecah membentuk bongkah-bongkah, sementara itu tumpukan batuan yang ditindih dalam keadaaan labil/tidak stabil. Ketidakstabilan batuan yang menindih dan ditindih tersebut dipicu oleh tingginya tingkat pelapukan lanjut, mengakibatkan batuan tidak kompak dan mudah lepas.. gerakan tanah jenis ini dapat terjadi setiap saat dan dapat dipicu oleh getaran yang kuat atau gempa. b. Gerakan tanah tipe rayapan (creep soil), terjadi apabila massa batuan yang terdiri dari pelapukan tanah yang cukup tebal bergerak secara perlahan-lahan. Bidang gelincir pada umumnya batuan yang kedap air (batu lempung), sedang bagian atasnya merupakan batuan yang telah lapuk lanjut. Tanda-anda awal gerakan tanah tipe ini adalah keluarnya air sepanjang bidang gelincir. Gerakannya akan bertambah cepat apabila dipicu hujan lebat. Gerakan tanah jenis ini umum terjadi pada musim hujan. Gerakan lambat ditunjukkan dengan berubahnya tegakkan tanaman yang sedang tumbuh. c. Gerakan tanah tipe longsoran (rocks slump), terjadi apabila massa batua secara besar-besaran bergerak sesuai dengan arah kemiringan perlapisan batuan. Bidang gelincir merupakan batuan yang kedap air, misalnya batu lempung. Massa batuan yang mengalami gerakan biasanya telah retak-retak. Longsoran tipe ini akan dipicu oleh curah hujan. d. Gerakan tanah tipe nendatan, biasanya terjadi di daerah yang relative datar. Mekanisme kejadiannya hampir sama dengan gerakan tanah tipe longsoran, hanya bagian dalam dari bagian yang bergerak permukaanya agak turun sedikit. Gerakan tanah tipe ini dipicu oleh hujan yang lebat. 2.
Faktor Pengontrol Terjadinya gerakan tanah Proses terjadinya gerakan tanah melibatkan interaksi yang kompleks
antara aspek geologi, geomorfologi, hidrologi, curah hujan dan tata guna lahan.
12
Pengetahuan tentang kontribusi masing-masing faktor tersebut pada kejadian gerakan tanah sangat diperlukan dalam menentukan daerah-daerah rawan berdasarkan jenis gerakan tanahnya (Purwoko, 2008:27). Untuk lebih jelasnya mengenai faktor pengontrol gerakan tanah dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Faktor pengontrol Gerakan Tanah Jenis Gerakan Tanah Faktor Pengontrol Kondisi Lereng (Kemiringan Lereng)
Tanah/batuan penyusun lereng a. Massa yang bergerak
b. bidang gelincir c. Masa tanah/ batuan yang tidak bergerak Kondisi Geologi e. Kondisi struktur geologi pada lereng f. Sejarah Geologi Iklim dan curah hujan
Kondisi hidrologi pada lereng
Lain-lain penggunaan lahan pada lereng Sumber : Purwoko (2008)
Runtuhan/jatuha n & Robohan Kemiringan umumnya lebih dari 45° Batuan yang terpotong-potong oleh bidang-bidang retakan atau kekar umumnya berupa blok-blok batuan
Luncuran Kemiringan menengah hingga curam (20°-65°) 1. tanah residu (andosol/lato sol) 2. koluvium 3. endapan volkanik yang lapuk 4. rombakan batuan
Nendatan Kemiringan menengah (20°-45°)
Aliran, rayapan, pergerakan Lateral Kaki pegunungan dengan kemiringan (12°-20°)
1. tanah Tanah lempung jenis residu Smectit (monmorilonit dan (andosol/l vermiculit) atosol) 2. koluvium 3. endapan volkanik yang lapuk 4. rombakan batuan Tanpa bidang Merupakan bidang kontak antara material penutup yang gelincir bersifat Blok-blok batuan Tanah/batuan dasar yang bersifat lebih kompak dan lebih yang masih stabil masif, misal batuan dasar berupa breksi andesit dan andesit. Beberapa lereng bergerak karena kehadiran bidang kekar atau bidang perlapisan batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng, serta kemiringan lereng lebih curam dari pada kemiringan bidang tersebut dan lebih besar dari besar sudut gesekan dalam pada bidang tersebut Daerah geologi yang aktif yang terletak pada zona penunjaman, umumnya berasosiasi dengan aktivitas gunung api dan morfologi perbukitan 1. Intensitas hujan yang tinggi (lebih dari 70 mm/jam atau 2.500 mm/tahun) 2. Intensitas hujan yang kurang dari 70 mm/jam yang terjadi terus- menerus selama beberapa jam, hari atau beberapa minggu. 1. Kondisi muka air tanah dangkal pada lereng yang tersusun oleh tanah/ dan batuan yang membentuk akuifer tak tertekan 2. Kondisi muaka air tanah dalam namun diatas muka air tanah terdapat akuifer menggantung 3. Pada lereng terdapat pipa atau saluran alam yang arah alirannya searah kemiringan lereng Lahan pada lereng jenuh air, misalnya akibat adanya persawahan dan saluran air untuk domestik yang mengakibatkan rembesan air ke dalam lereng
13
3.
Metoda Penanggulangan dan Pencegahan Bahaya Gerakan tanah Penanggulangan dan pencegahan bahaya gerakan tanah dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan metoda, baik yang berkaitan dengan tipe dan faktor penyebab gerakan tanah. Terdapat beberapa tipe gerakan tanah yang dapat ditanggulangi dengan cara rekayasa keteknikan, seperti di wilayah perbukitan dilakukan terasering untuk lereng yang cukup terjal atau dengan menerapkan struktur dan pondasi bangunan yang dapat menahan terjadinya gerakan tanah. Untuk mengetahui secara detil tentang tipe dan faktor dari gerakan tanah di suatu wilayah, maka diperlukan suatu penyelidikan geologi secara detail dan kompherensif sehingga dapat diketahui sebaran, lokasi tipe, dan jenis gerakan tanah serta kestabilan wilayah di daerah tersebut. Pada kestabilan wilayah dan lokasi gerakan tanah merupakan out-put dari hasil akhir penyelidikan geologi dan digunakan sebagai sumber informasi di dalam perencanaan pembangunan (Pusat Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2003). Keterlibatan faktor pemicu gerakan tanah harus dikaji dan di evaluasi, seperti: (1) cuaca dan iklim guna mengetahui hubungan antara periode curah hujan dengan longsoran. (2) data air bawah tanah sebelum dan sesudah terjadi longsoran, (3) catatan kegempaan untuk menentukan hubungan antara longsoran dengan gempa bumi, (4) catatan mengenai pembukaan dan penggalian lahan dan aktivitas di atas lahan yang kemungkinan melebihi beban atau penambangan tanah pada lereng-lereng bukit. Beberapa metoda penanggulangan dan pencegahan serta perbaikan terhadap gejala gerakan tanah yang ditujukan terutama untuk mengurangi gaya gesar (shear-stress), peningkatan resistensi geser (shear-
14
strenght) atau kedua duanya. Untuk mengurangi gaya geser dapat dilakukan dengan cara penggalian material penyebab longsor, atau dengan cara mengurangai keterjalan lereng serta memindahkan permukaan tanah yang tidak stabil. Pengurangan derajat kelerengan akan berdampak pada berkurangnya beban masa batuan/tanah yang dapat meluncur atau longsor. Pemindahan masa batuan/tanah yang ada di bagian muka luncuran sekaligus akan mengurangi beban dan gaya geser. Pada tipe gerakan tanah jenis luncuran ritasional (slumping), resistensi geser batuan akan semakin meningkat jika masa batuan/tanah dipindahkan kearah bagian belakang luncuran ( Noor J, 2006:113). Penanganan bencana alam melalui penataan ruang merupakan tugas kompleks yang melibatkan berbagai instansi dan kewenangan. Penanganan bencana seharusnya dilakukan secara proaktif melalui upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang dapat dilakukan melalui bidang penataan ruang secara profesional dalam suatu manajemen risiko bencana yang komprehensif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, pemerintah kabupaten kota maupun provinsi berwenang dalam upaya pengurangan risiko bencana. Salah satu upaya pemerintah daam hal ini terkait dengan penataan ruang adalah menyediakan peta rawan bencana yang skalanya sesuai dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
15
Tabel 2.2 Kebutuhan Penanganan Bencana Gerakan Tanah Melalui Penataan Ruang
-
-
-
-
Preventif Pendataan secara teknis terhadap gejala/kemungkinan kejadian dan lingkungannya. Penelitian dan pengkajian daerah rawan longsor. Standardisasi bangunan penahan longsor. Sosialisasi dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap bahaya longsor. Pemantauan dan peringatan dini.
Penanganan Pra Bencana Mitigasi - Mikro zonasi daerah rawan longsor dari skala regional sampai dengan kabupaten dan lokal. - Monitoring, sosialisasi mitigasi bencana longsor, dan early warning system. - Pembuatan terasering pada lereng untuk mengarahkan aliran air. - Pengembalian fungsi lereng-lereng bukit terjal melaui reboisasi. - Membangun sistem tanggap darurat (emergency response system) berbasis GIS.
-
-
-
-
Kesiapsiagaan Analisis risiko kejadian bencana gerakan tanah. Penyusunan program resettlement kawasan permukiman yang rentan bahaya longsor. Sosialisasi peringatan dini tanggap darurat dan evakuasi. Eavakuasi dan pengungsian Pemulihan, mengembalikan kondisi dan fungsi infrastruktur kawasan.
Penanganan Pasca Bencana - Rehabilitasi Upaya perbaikan infrastruktur dan utilitas, peningkatan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan bencana, rekomendasi program perbaikan dan peningkatan fungsi kawasan (reboisasi, dll). - Rekonstruksi Redesain atau rezonasi kawasan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap gerakan tanah/longsor, relokasi infrastruktur ke kawasan lain yang lebih aman.
Sumber : Pusat Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2003
C. Sikap 1.
Pengertian Sikap Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial semenjak awal
abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner Dictionary (Hornby, 1974) dalam Ramdhani (2008:1) mencantumkan bahwa sikap (attitude), berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu “Manner of placing or holding the body, dan Way of feeling, thinking orbehaving”. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Free online dictionary (www.thefreedictionary.com) mencantumkan sikap sebagai a complex mentalstate involving beliefs and feelings and values and dispositions to act in certainways. Sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu.
16
Dalam studi kepustakaan mengenai sikap diuraikan bahwa sikap merupakan produk dari proses sosialisasi di mana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya (Mar’at, 1982). Sikap adalah suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila idividu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa betuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya disadari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang member kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positifnegatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, S., 1995). 2.
Komponen Sikap Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu
(Azwar S., 2000 : 23): a. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. b. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. c. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.
17
3.
Tingkatan Sikap Sikap
terdiri
dari
berbagai
tingkatan
yakni
(Soekidjo
Notoatmojo,1996:132): a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut. c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri. 4.
Sifat Sikap Sikap dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Heri
Purwanto, 1998 : 63): a. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. b. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
5.
Pembentukan Sikap Seseorang tidak dilahirkan dengan sikap dan pandangannya, melainkan
sikap tersebut terbentuk sepanjang perkembangannya. Dimana dalam interaksi
18
sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya (Azwar, 1995). Dari pendapat di atas, Azwar (1995) menyimpulkan bahwa faktor-faktor mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. a. Pengalaman pribadi Middlebrook (dalam Azwar, 1995) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, karena penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama membekas. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Individu pada umumnya cenderung memiliki sifat yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting yang didorong oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik. c. Pengaruh kebudayaan Burrhus Frederic Skin, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 1995). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah. d. Media massa Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh
19
dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. f. Faktor emosional Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran prustrasi atau pengalihan bentuk mekamisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu prustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. 6.
Ciri – Ciri Sikap Ciri-ciri sikap adalah (Heri Purwanto, 1998 : 63): a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini membedakannnya dengan sifat motif-motif biogenis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat. b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu. c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas. d. Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuanpengetahuan yang dimiliki orang.
D. Masyarakat Masyarakat merupakan salah satu satuan sosial, sistem sosial, atau kesatuan hidup manusia. Istilah Bahasa Inggisnya adalah Society, sedangkan masyarakat itu sendiri berasal dari bahasa Arab “Syakara” yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. kata Arab masyarakat berarti saling bergaul yang istilah ilmiahnya berinteraksi.
20
Istilah masyarakat didefinisikan oleh beberapa ahli yaitu menurut Koenjaraningrat (1990:14) adalah “kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama”. Menurut Krech, Crutchfield dan Ballachey dalam Kusmawati (2005:25); “a society is that it is an organized collectivity of interacting people whose activities become centered around a set of common goals, and who tend to share common beliefs, attitudes, and of actions”. Unsur masyarakat berdasarkan definisi ini adalah kolektivitas interaksi manusia yang terorganisasi, kegiatannya terarah pada sejumlah tujuan yang sama, serta memiliki kecenderungan untuk memiliki keyakinan, sikap, dan bentuk tindakan yang sama. Adapun menurut Horton dan Hunt dalam Effendi dan Malihah (2007:47); “a society is a relatively independent, self-perpetuating human group who accupy territory, share a culture, and have most of their associations within this group”. Unsur masyarakat menurut definisi di atas adalah kelompok manusia yang sedikit banyak memiliki kebebasan dan bersifat kekal, menempati suatu kawasan, memiliki kebudayaan, serta memiliki hubungan dalam kelompok yang bersangkutan. Unsur-unsur masyarakat menurut Horton dan Hunt dalam Effendi dan Malihah (2007:47) terdiri atas: 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kumpulan orang-orang. Sudah terbentuk dengan lama. Sudah memiliki sistem dan struktur sosial tersendiri. Memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku yang dimiliki bersama. Adanya kesinambungan dan pertahanan diri. Memiliki kebudayaan.
21
Berdasarkan pengamatan dan penghayatan, kita setuju bahwa manusia sejak lahir sampai mati akan selalu terikat dengan masyarakat. Karena setiap orang ada dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, ia akan mengenal orang lain, dan paling utama mengenal diri sendiri selaku anggota masyarakat. Kepentingan yang melekat pada diri masing-masing menjadi dasar interaksi sosial yang mewujudkan masyarakat sebagai wadahnya. E. Relokasi 1.
Pengertian Relokasi Pengertian Relokasi dalam kamus Bahasa Indonesia di terjemahkan bahwa
relokasi adalah membangun kembali perumahan, harta kekayaan, termasuk tanah produktif dan prasarana umum di lokasi atau lahan lain. Dalam relokasi adanya obyek dan subjek yang terkena dampak dalam perencanaan dan pembangunan relokasi . 2.
Pemilihan Tempat Relokasi Lokasi dan kualitas tempat relokasi baru adalah faktor penting dalam
perencanaan relokasi, karena sangat menentukan hal-hal berikut ini, kemudahan menuju ke lahan usaha, jaringan sosial, pekerjaan, bidang usaha, kredit dan peluang pasar. Setiap lokasi mempunyai keterbatasan dan peluang masingmasing. Memilih lokasi yang sama baik dengan kawasan yang dahulu (tempatnya yang lama) dari segi karakteristik lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi akan lebih memungkinkan relokasi dan pemulihan pendapatan berhasil. Jadi pemilihan lokasi harus dipertimbangkan sebagai bagian dari Studi Kelayakan.
Pemilihan
lokasi
harus
memperhitungkan
dampak
terhadap
22
masyarakat setempat. Permasalahan seperti kualitas lahan, daya tampung lokasi, kekayaan milik umum, sumber daya, prasarana sosial dan komposisi penduduk (stratifikasi
sosial,
suku-bangsa,
jenis
kelamin,
etnik
minoritas)
perlu
dipertimbangkan selama studi kelayakan. Idealnya, tempat relokasi baru sebaiknya secara geografis dekat dengan tempat lama/asli untuk mempertahankan jaringan sosial dan ikatan masyarakat yang sudah baik (Romdiati, dkk., 2000). Menurut F. Davidson et al. Relocation and Resettlement Manual (2003), ada 4 tahapan dalam pemilihan lokasi yaitu : a. Pemilihan lokasi dan alternatif: Memilih lokasi yang baik adalah unsur paling penting. Mulai dengan pilihan-pilihan altematif, yang melibatkan pemukim kembali yang potensial dan penduduk setempat dalam proses tersebut. b. Studi Kelayakan: Melakukan studi kelayakan lokasi alternatif dan mempertimbangkan potensi kawasan dari segi persamaan ekologi, harga lahan, pekerjaan, kemungkinan untuk memperoleh kredit, pemasaran dan peluang ekonomi lainnya untuk mata pencarian dan masyarakat setempat. c. Susunan dan Rancangan : Susunan dan rancangan kawasan relokasi harus sesuai dengan spesifikasi dan kebiasaan budaya. Mengidentifikasi lokasi sekarang terhadap berbagai prasarana fisik dan sosial di masyarakat yang terkena dampak: bagaimana anggota keluarga, kerabat, terkait satu sama lain di kawasan sekarang, serta berapa, sering dan siapa (jenis kelamin/umur) yang menggunakan berbagai sarana dan prasarana sosial. Penting memahami pola pemukiman dan rancangan yang ada supaya dapat menaksir kebutuhan di kawasan pemukiman yang baru. Masukan masyarakat harus menjadi bagian integral proses rancangan. d. Pembangunan Lokasi Pemukiman Kembali: Luas lahan untuk pembangunan rumah harus berdasarkan tempat tinggal sebelumnya dan kebutuhan di kawasan baru. Pemukim kembali harus diijinkan membangun rumah mereka sendiri dari pada diberikan rumah yang sudah disediakan oleh pemerintah. Seluruh sarana dan prasarana fisik dan sosial harus sudah siap sebelum pemukim diminta untuk pindah ke lokasi. Perkumpulan masyarakat harus diajak bermusyawarah dalam pembangunan lokasi pemukiman kembali.
23
F. Permukiman Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Menurut Undang-Undang No.4 tahun 1992 tantang Perumahan dan Permukiman bahwa pengertian permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik barupa berwawasan perkotaan ataupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan dengan fungsi utama sebagai lingkungan hunian yang dilengkapi sarana dan prasarana, sehingga mencapai fungsi permukiman yang optimal. Definisi lain dikemukakan oleh Djambut Blaang (1986:29), permukiman adalah suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional sebagai status sosial, ekonomi dan fisik tata ruang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan membudidayakan sumber-sumber dan dalam mengelola lingkungan yang ada untuk mendukung kelangsungan dan meningkatkan mutu kehidupan dan memberikan rasa aman, tentram, hikmat, nyaman, dan sejahtera dalam keselarasan, keserasian, dan ketertiban berfungsi sebagai wadah yang dapat melayani pribadi. Permukiman yang layak dan serasi menurut Sumaatmadja (1999:30) mencakup empat kebutuhan pokok, yaitu pangan, air bersih, energi, dan lapangan kerja. Jadi, permukiman merupakan kawasan yang didominasi lingkungan hunian dengan fungsi utama sebaagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan
24
prasarana lingkungan untuk mendukung kehidupan sebagai fungsi permukiman dapat berdaya guna. Budihardjo dalam Anggraeni (2010:15) menjelaskan “awal permukiman manusia mulanya manusia purba membuat bangunan-bangunan permukiman ialah perlindungan fisik terhadap hujan dan matahari, terhadap keganasan alam dan pengembangan diri, tehadap binatang-binatang buas dan sebagainya”. Menurut Soeprapto (1976:250) permukiman dapat dibedakan menjadi dua, yaitu permukiman tradisional dan permukiman non-tradisional. 1. Permukiman tradisional; lingkungan yang dibatasi oleh kesatuan traidisional, seperti desa, kampong, pendukuhan dan sebagainya. 2. Permukiman non-tradisional; lingkungan hidup yang dibatasi oleh kesatuan genealogis, seperti klan, marga, rumah-rumah adat, kesain dan lain-lain. Perkembangan dan pertumbuhan permukiman tradisional ini sangat dipengaruhi oleh kegiatan usaha, sumber kehidupan dan alam sekitarnya. Permukiman non-tradisional sebagian tumbuh dan berkembang karena pengaruh perekonomian dan perdagangan. Menurut Blaang (1986:5) “bermukim pada hakikatnya adalah hidup bersama, dan untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan manusia adalah sebagai tempat tinggal yang diperlukan oleh manusia untuk memasyarakatkan diri”. Blaang (1986:7) juga menyatakan bahwa “tujuan bermukim adalah agar setiap orang dapat menempati perumahan yang sehat, untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan kesejahteraan sosialnya”. Berhasilnya pengelolaan lingkungan permukiman sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang bersifat membina, membangun dan mengembangkan.
25
Berkenaan dengan syarat permukiman, Soeprapto dalam Anggraeni (2010:16) mengemukakan bahwa “pola permukiman yang ideal adalah permukiman yang berbentuk perumahan, sarana umum, fasilitas sosial maupun penataannya dapat menunjang perwujudan dan cita-cita dari masyarakat itu sendiri”. Permukiman harus mencerminkan adanya hidup kekeluargaan, tingkat derajat yang sepadan, kerukunan beragama dan mendorong terwujudnya kegotongroyongan, serta kemanfaatan bersama dalam kegiatan kebudayaan, olah raga, kesejahteraan keluarga, dan pemeliharaan lingkungan, untuk itu semua tentunya diperlukan adanya sarana umum yang diperlukan dalam bidang-bidang tersebut dengan jumlah penduduk.
G. Hipotesis Penelitian Hipotesis menurut Hasan (2004:31) adalah “pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah sehingga harus diuji secara empiris”. Dalam penelitian ini terdapat perbedaan pendapat mengenai sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman. perbedaan pendapat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat kerusakan, tingkat kerugian, status kepemilikan rumah, pengetahuan luas lahan ganti rugi, pengetahuan jumlah uang ganti rugi, dan pengetahuan mekanisme relokasi. adapun hipotesis dari hubungan masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara tingkat kerusakan dengan sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman.
26
2. Terdapat hubungan antara tingkat kerugian dengan sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman. 3. Terdapat hubungan antara tingkat status kepemilikan rumah dengan sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman. 4. Terdapat hubungan antara pengetahuan luas lahan ganti rugi dengan sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman. 5. Terdapat hubungan antara pengetahuan jumlah uang ganti rugi dengan sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman. 6. Terdapat hubungan antara pengetahuan mekanisme relokasi dengan sikap masyarakat terhadap rencana relokasi permukiman.