9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Simbol
simbol Dalam Komunikasi Budaya
Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya memperoleh serangkaian pengetahuan mengenai simbol
simbol. Simbol adalah
segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah di berikan sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol
simbol yang dimengerti oleh manusia. Kebudayaan sebenarnya adalah
suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol simbol
simbol. Dengan adanya
simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa
atau benda dapat dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja. Istilah simbol dalam pandangan Peirce dalam istlah sehari
hari lazim
disebut kata (word), nama (name), dan label (label), jadi tidak heran terjadi tumpang tindih. Dalam wawasannya, ketiga butir antara simbol, thought of
10
reference (pikiran atau referensi), dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle sebagai berikut:5 Pikiran atau referensi
Simbol
Acuan Gambar 2. 1 Alex Sobur . Semiotika Komunikasi. Cetakan ke empat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal 159
Berdasarakan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar pemikiran tersebut, terbuahkan referensi hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata atau kata
kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan
satuan pengertian tertentu.
Dalam setiap kebudayaan, simbol
simbol yang ada itu cenderung untuk
dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep
konsep
yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol
simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya
berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk, mengkombinasikan bermacam macam simbol, dan menginterpretasikan simbol
5
simbol yang dihadapi atau yang
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Cetakan ke Empat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal 159
11
merangsangnya. Jika serangkaian simbol
simbol itu dilihat sebagai bahasa,
maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam antropologi budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan. Simbol sama dengan lambang.
Secara etimologis, simbol berasal dari kata sym-ballein yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide.6 Ada pula yang menyebutkan Symbolos, artinya tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal pada seseorang.7 Biasanya simbol terjadi berdasarkan metomini (metominy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya Si kaca mata untuk sesorang yang berkacamata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung, kaki meja berdasarkan kias pada kaki manusia.8 Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan9
Komunikasi merupakan sebuah cara penyampain pesan yang memiliki beragam makna melalui sebuah media. Sedangkan budaya, merupakan proses konvensi atau kesepakatan berdasarkan pemikiran dan perasaan manusia dengan kumpulannya. Termasuk salah satunya ialah kesepakatan bahasa. Perlu ditekankan dalam pemaknaan bahasa di sini bukan saja perihal komunikasi verbal
6
Alex Sobur . Semiotika Komunikasi. Cetakan ke empat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal 155. 7 Ibid 8 Ibid 9 Indiwan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. 2013. Hal 155 156.
12
tetapi juga bahasa yang mengarah kepada non verbal. Secara jelas, mungkin kita tetap bisa hidup tanpa budaya dan bahasa, namun tidak sebaik sekarang.
Budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan
aturan yang dipancarkan secara sejarah. Pada dasarnya,
budaya adalah suatu kode.10 Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya budaya, yaitu:
a. Jarak kekuasaan (power distance) b. Maskulinitas
c. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance)
d. Individualisme Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Perbedaan budaya dalam sebuah negara menciptakan keanekaragaman pengalaman, nilai, dan cara memandang dunia. Keanekaragaman tersebut menciptakan pola komunikasi yang sama di antara anggota
pola
anggota yang memiliki latar belakang
sama danmempengaruhi komunikasi di antara anggota
anggota daerah dan etnis
yang berbeda. Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf
10
Lisa Hoecklin. Managing Cultural Difference. 1995.
13
kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber sumber alam yang ada disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia, atau sebagai "pola
pola bagi
kelakuan manusia". Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan aturan, petunjuk
petunjuk, resep
resep, rencana
strategi, yang terdiri atas serangkaian model
rencana, dan strategi
model kognitif yang digunakan
secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya.
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan
perasaan
dan emosi
emosi manusia serta menjadi sumber bagi
sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya.11 Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai
nilai moral, yang sumber dari nilai
nilai
moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia. 11
Ibid
14
Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuannya, secara terus menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk dapat memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda
benda yang ada
dalam lingkungannya sehingga kebudayaan yang dipunyainya itu juga dipunyai oleh para warga masyarakat di mana dia hidup. Karena, dalam kehidupan sosialnya dan dalam kehidupan sosial warga masyarakat tersebut, selalu mewujudkan berbagai kelakuan dan hasil kelakuan yang harus saling mereka pahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat tetap mereka pertahankan.
Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model
model kognitif
yang mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dan dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan rangsangan
rangsangan yang ada atau yang
sedang dihadapinya. Kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda
benda kebudayaan
tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Materi kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk menyeleksi, dan merangkaikan simbol
materi yang ada dalam setiap petunjuk untuk mengatur,
simbol yang diperlukan, sehingga simbol
simbol yang telah terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa
15
diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau benda
benda kebudayaan sebageimana
diinginkan oleh pelakunya. Di samping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat materi
materi yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi
tujuan
tujuan dan cara
cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik
baiknya,
berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya bahaya
bahaya
yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana mengatasinya. Dalam Kamus Inggris culture
Inggris, Oxford, kebudayaan diartikan sebagai mind) dan kerohanian (spirit)
sekelompok manusia, melalui latihan dan pengalaman. 12 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah laku manusia. Selain itu kebudayaan juga dapat diartikan sebagai penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai
nilai insani sehingga menjadi makin sempurna dimana didalamnya
tercakup usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkugan hidup, baik secara fisik maupun sosial. culture bahasa Inggris. Culture sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah; terutama mengolah tanah untuk bertani supaya memberikan kehidupan yang layak bagi manusia.13 Menurut
12 13
Ibid Ibid
16
Bakker, secara umum kebudayaan adalah sesuatu yang berharga atau baik, yang berlaku dalam masyarakat. Apabila kita menyimak pendapat para pakar antropologi (anthropolog) Melayu, mereka sepakat bahwa kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta buddhayah. Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi hal yang berkaitan dengan akal
budi. Beberapa ahli lain memberikan arti
kebudayaan sebagai berikut14 : a. Edward Burnet Taylor, seorang antropolog Inggris merumuskan
pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat kemampuan
kemampuan serta kebiasaan
istiadat, dan
kebiasaan lain yang
b. Melville Jean Herskovits, seorang antropolog Amerika, merumuskan
c. A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn merumuskan kebudayaan sebagai pola nilai, ide dan sistem simbolik lainnya yang
d. J. van Maanen dan E. H. Schein merumuskan kebudayaan sebagai nilai, keyakinan
14
Ibid
keyakinan, ekspetasi
ekspetasi, (harapan
17
e. M. C. Schwartz dan D. K. Jordan merumuskan kebudayaan sebagai pola keyakinan dan ekspetasi yang dimiliki bersama oleh para anggota dan yang menjadi sumber norma
norma pemandu
f. mental secara kolektif yang menghasilkan perbedaan antara anggota kelompok masyarakat yang satu dengan anggota kelompok
g. M. R. Louis, menggarisbawahi tiga aspek dalam kebudayaan, yaitu isi tertentu (makna dan interpretasi); yang khas bagi; kelompok
h. sistem untuk menciptakan, mengirimkan, menyimpan, dan
i.
P. R. Harris dan R. T. Moran mengkaitkan kebudayaan dengan
dan mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan untuk beradaptasi kepada generasi
18
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang dimiliki manusia dalam proses untuk menginterpretasikan dunianya, sehingga manusia dapat menghasilkan tingkah laku tertentu.15
2.1.1
Unsur
unsur Kebudayaan
Dengan memperhatikan kebudayaan, akan tampak bagi kita bahwa ada unsur
unsur dasar dan umum (universal) yang ada dalam kebudayaan. Unsur
unsur tersebut adalah antara lain; a. manusia terhadap objek
objek, peristiwa yang terjadi dan perilaku,
diungkapkan oleh bahasa. Bahas kebudayaan. Dalanm hal ini, bahasa menjadi alat atau sarana utama untuk mengkomunikasikan, membahas, men mewariskan arti
share - kan dan
arti kebudayaan kepada generasi selanjutnya.
b. Kepercayaan berkaitan erat dengan pandangan manusia tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan dapat berupa interpretasi akan masa lampau; atau penjelasan tentang masa sekarang ataupun tentang prediksi masa yang akan datang. Kepercayaan dapat juga timbul berdasarkan akal sehat (common sense), kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan atau gabungan dari hal
15
hal tersebut.
Andre Ata Ujan. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Cetakan ke III. Jakarta : PT. Indeks. 2011. Hal.24.
19
c. Norma dan Sanksi
Norma mempunyai sifat yang berbeda dengan nilai. Jika nilai, itu sifatnya abstrak, maka norma sifatnya konkrit, berupa suatu aturan tentang apa yang harus dilakukan leh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana seharusnya manusia bertindak dan berperilaku secara manusiawi. Norma adalah tolak ukur yang ditetapkan sebagai pedoman bagi setiap aktivitas manusia. Tadi dikatakan norma sebagai garis pedoman; adapun kekuatan penggerakanya disebut sanksi. Sanksi adalah gabjaran atau hukuman yang memungkinkan seseorang mematuhi norma yang berlaku. Tanpa dukungan sanksi, norma akan kehilangan kewibawaannya.
d.
dalam kebudayaan. Setiap kebudayaan pasti mempunyai cara untuk berekspresi, entah lewat
menunjukkan tentang keberadaannya kepada dunia. Cara pengungkaan (ekspresi) nilai secara artistik ini disebut seni atau kesenian. e. Pengetahuan dan Teknologi yang dimiliki oleh suatu bangsa digunakan untuk membangun kebudayaan materialnya.
20
f.
Jika kepercayaan menjelaskan tentang itu sesuatu, maka nilai menjelaskan bagaimana seharusnya sesuatu itu terjadi. Nilai itu sangat luas dan abstrak. Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia atau masyarakat dianggap paling berharga. Timbulnya nilai berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat (Pandangan hidup: muncul dari sikap manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap sesamanya. Ada standar kebenaran yang harus dimiliki oleh nilai, yakni sesuatu yang diinginkan semua orang dan layak dihormati.
g. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mampu mengekspresikan sebuah makna terdalam dari suatu maksud. Banyak simbol yang berupa objek fisik yang telah memperoleh makna kultural, dipergunakan untuk tujuan yang bersifat simbolik ketimbang tujuan instrumental. Simbol dapat berupa benda sehari
hari, benda
benda
yang telah memperoleh arti khusus atau ayau juga bahasa maupun gerak tubuh manusia.
2.1.2
Lapisan Kebudayaan Memahami kebudayaan dapat diibaratkan dengan usaha manusia untuk menyelami lautan (samudera). Pengeskplorasian kedalaman budaya terdiri atas16 ;
16
Ibid. Hal.31-33.
21
a.
Pada lapisan pertama, melihat artifak dan perilaku, aspek yang paling banyak dari kebudayaan. Metode eksplorasinya adalah observasi. Contohnya bangunan, ruangang, peralatan, sopan santun, sikap blak
b.
blakan, kasar, lembut.
Pada lapisan kedua, yang lebih dalam adaalah keyakian dan nilai (beliefs and values) dengan metode eksplorasinya adalah wawancara dan survei.
c.
Lapisan ketiga, yang paling dalam adalah asumsi dengan metode eksplorasinya adalah penyimpulan dan interpretasi. Misalnya, waktu merupakan sumber terbatas atau tidak, manusia pada dasarnya baik atau jahat; malas atau rajin, mendahulukan individu atau masyarakat; manusia itu ditentukan atau menentukan; mana yang diutamakan, kebenaran atau keharmonisan.
Pengertian dari lapisan
lapisan kebudayaan diatas yakni; artifak adalah
isitilah yang dipakai o
benda gerik lahiriah individu dalam
pergaulan sosial, termasuk cara bertutur kata, yang sadar atau tidak sadar, mendasarkan diri sendiri pada acuan batiniah berupa keyakinan, tata nilai dan pandangan dunia; keyakinan adalah pernyataan apa yang dianggap sebagai fakta dasar atau kenyataan hakiki dan nilai adalah pernyataan tentang apayang dianggap harus diwujudkan dalam kaitannya dengan kenyataan hakiki yang diyakini itu; asumsi adalah penafsiran tentang sesuatu yang dianggap bernilai.
22
2.1.3
Kebudayaan sebagai Identitas Diri Sejak awal manusia tidak dapat hidup sendiri, bahkan untuk adanya saja
manusia membutuhkan orang lain. Interaksi dan korelasi dengan sesama membuat setiap orang sanggup membangun kepribadiannya sebagaimana adanya. Pengaruh budaya itu bukan pilihan melainkan merupakan satu keterlemparan. Secara otomatis setiap orang dibesarkan dalam satu lingkup budaya tertentu.17
2.1.4
Keaneka
ragaman Budaya dan Nilai
nilai Bersama
Kenaekaragaman budaya itu tidak mengandaikan perbedaan yang tidak terjembatani. Perbedan
perbedaan itu terbentuk oleh situasi dan konteks yang
tidak terpatok mati dalam sejarah, melainkan selalu berkembang.18
2.2
Semiotika
Istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Seseorang menyebut semiologi jika ia berpikir tentang tradisi Saussurean. Dalam penerbitan - penerbitan Perancis, istilah
istilah semiologie
Elements de Semiologie salah satu judul yang dipakai oleh Roland Barthes. Sedangkan istilah semiotics, digunakan dalam kaitannya dengan karya Charles Sanders Pierce dan Charles Morris. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sama, walaupun
17 18
Ibid Hal.33. Ibid. Hal.34.
23
salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakaiannya. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya dapat saling menggantikan karena sama
sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu
tentang tanda.
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk
bentuk nonverbal, teori
teori yang
menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentan tanda merujuk kepada semiotika. Dengan semiotika, sudah pasti berhubungan dengan tanda. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang sign system (code keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan
Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang seme,
masa itu masih bermakna sesuattu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi semiotika disusun dalam tiga poros. Poros horisontal menyajikan tiga jenis penyelidikan semiotika (murni, deskriptif, dan terapan); poros vertikal menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintatik,
24
semantik, pragmatik), dan tiga poros yang menyajikan tiga kategori sarana informasi (signals, signs, symbols).19 Ada sembilan macam semiotik yang kita ketahui20 :
a.
Semiotik Analitik adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda
b.
Semiotik Deskriptif adalah semiotik yang memeperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksiskan sekarang.
c.
Semiotik Faunal (Zoo semiotic) adalah semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
d.
Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
e.
Semiotik Naratif adalah semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folkkore)
f.
Semiotik natural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
g.
Semiotik normatif adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang di buat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
19
Alex Sobur . Semiotika Komunikasi. Cetakan ke empat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal 18 19. 20 Alex Sobur. Analisis Teks Media (Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing). Jakarta : Rosda. 2001.
25
h.
Semiotik sosial adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berupa lambang.
i.
Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Pada akhir abad ke
19, Charles Sander Peirce nama lengkapnya ini,
memunculkan istilah semiotika atau semiotik yang merujuk kepada doktrin formal tentang tanda
tanda.21 Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang
tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda melainkan dunia itu sendiri terkait dengan pikiran terdiri atas tanda
tanda,
pikiran manusia seluruhnya
tanda karena jika tidak begitu manusia tidak akan bisa
menjalin hubungan dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda gerak
gerik, bentuk
tanda nonverbal seperti
bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional
lainnya, dapat dipandang sebagai jenis bahasa yang tersusun dari tanda
tanda
bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi relasi.
Pandangan Peirce tentang tanda
tanda berkaitan dengan objek
yang menyerupainya, keberadaanya mempunyai sebab tanda atau karena ikatan konvesional dengan tanda
21
objek
akibat dengan tanda tanda tersebut. Ia
Alex Sobur . Semiotika Komunikasi. Cetakan ke empat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal 13.
26
menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab akibat, simbol untuk asosiasi konvensional.22
TANDA Ditandai dengan :
IKON Persamaan (kesamaan)
INDEKS Hubungan sebab akibat
SIMBOL Konvensi
Contoh:
Gambar gambar, patung patung, tokoh besar
Asap/Api,
Kata
Gejala/Penyakit
Isyarat
Foto Reagan, Dapat dilihat
Bercak
Harus dipelajari
Proses
kata,
Merah/campak, dapat diperkirakan
Tabel 2. 1 Trikotomi Ikon/Indeks/Simbol Peirce. Sumber: Arthur Asa Berger. 2000b. Tanda tanda dalam kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: PT. TiaraWacana, hlm.14
Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya.23 Pertama, dengan mengikuti setiap objeknya, ketikan kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan denganobjek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, perkiraan yang pasti bahwa hak itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol. Berdasarkan objeknya ini, Peirce membagai tanda menjadi tiga, yakni; ikon, indeks, dan simbol.24 Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan ilmiah antara penada dengan petandanya.
22
Ibid Hal 34. Ibid Hal 35. 24 Ibid Hal 41. 23
27
Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). Dalam wawasan Peirce, tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Hubungan butir
butir tersebut oleh Peirce digambarkan sebagai
berikut: Icons
Signs:
Index (Indices)
Symbols Gambar 2. 2 Ikon, Indeks, dan Simbol. Sumber Logic as Semiotic: The Theory as Signs Semiotics, An Introductory Anthology. Robert E. Innis (ed.). Bloomington: Indiana University Press.
Ikon
Indeks
Simbol
Gambar 2. 3 Kategori Tipe tipe Tanda dari Peirce. Sumber : Hapsari Dwiningtyas. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi John Fiske. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada. Hal 79.
Peirce menulis:
karakter dari objek, saya menyebutnya sebagai ikon; kedua, di dalam eksistensi indidualnya benar
benar terkait dengan individual objek, saya menyebutnya
28
sebagai indeks; ketiga, dengan lebih atau kurang mendekati pasti, yaitu tanda akan diinterpretasikan sebagai objek yang mengirimkan makna sebagai konsekuensi 25
dari kebiasaan
Representamen adalah unsur tanda yang mewakili sesuatu, objek adalah sesuatu yang diwakili, interpretan adalah tanda yang tertera dalam pikiran si penerima setelah melihat representamen. Segitiga semiotik ini dapat berlanjut atau pembentuk tanda lain yang biasa disebut proses semiosis.26 Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis in belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran). Jadi, secara garis besar, pemaknaan suatu benda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari yang konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan dalam suatu proses semiosis, teori semiotik ini disebut bersifat trikotomis.27 Trikotomi tanda, meliputi: a. Hubungan objek dengan tanda (representamen), yang mencakup: i. Ikon, hubungan berdasarkan kemiripan: ikon topologis, ikon diagramatik, dan ikon matafori; ii. Indeks, hubungan yang mempunyai jangkauan ekstensial; iii. Simbol, hubungan berdasarkan konvensi.
25
Hapsari Dwiningtyas. Pengantar Ilmu Komunikasi John Fiske. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada. 2014. Hal 79. 26 Okke Zaimmar K. S. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa. 2008. 27 Benny H. Hoed. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Edisi Kedua. Jakarta: Komunitas Bambu. 2011.HaL 4.
29
b. Hubungan representamen dengan objek, mencakup: qualisign, sinsign dan legisign. c. Berdasarkan interpretannya, tanda dibagi menjadi; rhema (bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah first dan makna tanda tersebut masih dapat dikembangkan), dicisign (dicentsign, bilamana antara lambang itu dan interpretannya terdapat hubungan yang benar ada) dan argument (bilamana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum). Peirce serta Ogden dan Richard mengidentifikasikan hubungan segitiga antara tanda, pengguna, dan realitas eksternal sebagai sebuah model yang diperlukan untuk mempelajari makna. Peirce menjelasakan modelnya secara bagi seseorang mewakili sesuatu di dalam beberapa hal atau kapasitas tertentu. Tanda menuju pada seseorang artinya, menciptakan juga tanda yang lebih sempurna. Tanda yang tercipta di benak tersebut saya namakan interpretant (hasil interpretasi) dari tanda yang pertama. Tanda mewakili ojeknya (its object
28
Tanda
Interpretan
Objek
Gambar 2. 5 Kategori Tipe tipe Tanda dari Peirce. Sumber : Hapsari Dwiningtyas. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi John Fiske. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada. Hal 70. 28
Hapsari Dwiningtyas. Pengantar Ilmu Komunikasi Rajawali Grafindo Persada. 2014. Hal 70.
John Fiske. Edisi Ketiga. Jakarta: PT.
30
Tiga istilah dari Peirce dibuat model seperti yang terlihat pada gambar 2.5 di atas, panah yang berada pada dua ujung garis menekankan bahwa masing masing istilah hanya dapat dipahami dalam letrkaitannya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya (objek), dan dipahami oleh seorang (interpretant/hasil interpretasi). Kita harus menyadari bahwa interpretant bukanlah pegguna dari tanda melainkan seperti yang disebut Peirce di tempat lain,
tanda dan juga oleh pengalaman pengguna dari kata tersebut dan juga yang sedang dibahas. Oleh sebab itu, sebuah konsep mental bukanlah sesuatu yang tetap, seperti yang didefinisikan oleh kamus, namun bisa bervariasi dalam batasan batasan tertentu sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh pengguna. Batasan batasan tersebut dibuat oleh konvensi sosial berbagai variasi di dalamnya memungkinkan bagi perbedaan sosial dan psikologis di antara penggunanya. Satu perbedaan tambahan antara model
model semiotik dan proses
relevan pada konteks ini. Interpretant adalah konsep mental dari pengguna tanda, pengguna tanda bisa merupakan pembicara atau pendengar, penulis atau pembaca, pelukisa atau penikmat lukisan. Menerima sama kreatifnya dengan mengirim.
2.3
Tata Cara Orang Tionghoa Orang Tionghoa jaman dulu menyediakan peti mati di rumah untuk
persiapan penguburannya. Peti mati disebut Siu Pan atau Shouban (peti panjang umur). Selain itu juga dibuat Siu Yi atau Shou Yi (baju panjang umur) yang akan
31
dipakai pada jenasah dalam peti. Siu Yi ini dibuat pada waktu baik, biasanya bulan Lun Gue atau Run Yue (bulan kabisat) yang dianggap waktu baik untuk membuat Siu Yi ini.29 Waktu di rumah duka, anak dari almarhum harus membakar Gun Cua atau Yin Zhi (kertas perak) di atas baskom pembakaran. Pembakaran ini dilakukan terus menerus di samping peti jenazah. Sementara itu, di kolong peti jenazah dinyalakan pelita minyak. Meja sembahyang ditempatkan di depan jenazah (dekat kaki jenazah). Pada meja sembahyang dipasang lilin putih dan hio lo (tempat hio). Jika peti sudah ditutup juga dipasang foto almarhum. Hio yang dipakai adalah hio bertangkai hijau. Ada juga yang mengatakan jika almarhum meninggal lebih dari 60 tahun, hio yang dipakai bisa yang berwarna merah. Sesaji meja sembahyang adalah teliao (teh dan manisan seperti permen), nasi, sawi, dan lima macam buah ngo ko atau wu guo antara lain pisang, jeruk, semangka, dan lain-lain sesuai musim buah. Tidak harus menggunakan sam-seng (daging, ikan, ayam) apalagi ngo-seng. Anggota keluarga membuat dan memakai baju putih yang terbuat dari blacu (karung goni). Baju putih ini dipakai terbalik (jahitannya di luar). Anggota keluarga lelaki diikat kepalanya, anggota keluarga perempuan menggunakan kerudung. Ikat kepala dan kerudung ini diberi warna sesuai dengan hubungannya dengan almarhum. Untuk suku Hokkian: anak dan menantu berwarna hitam, cucu
29
King Han. (2011, 15 April). Budaya Tionghoa Forum Budaya & Sejarah Tionghoa. Berbagai
Tata Cara Upacara Kematuan Orag Tionghoa. Diakses 02 Juni 2015 15.32 WIB dari http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/674-berbagai-tata-cara-upacara-kematian-orangtionghoa?
32
dalam: biru, cucu luar: merah, buyut dalam: kuning. Waktu ada tamu yang bersembayang atau menghormat ke jenazah, anggota keluarga juga ikut sembahyang di sisi kanan (kalau dilihat dari depan) peti jenazah. Lalu menghormat atau paichiu kepada tamu tersebut.
Kegiatan yang perlu dilakukan dengan pembacaan doa (keng/paritta) adalah: 1.
Jip Bok atau Rumu (masuk peti);
2.
Sembahyang malam terakhir (malam kembang);
3.
Pemberangkatan jenazah;
4.
Saat menjelang penguburan atau kremasi;
5.
Upacara ki hok (setelah kembali dari kuburan atau krematorium);
6.
Upacara tiga hari, tujuh hari, empat puluh sembilan hari, dan seratus hari;
7.
Upacara siao siang 1 tahun dan tai siang 3 tahun.
Pada saat pemberangkatan jenazah, semangka yang dipakai di meja sembahyang dibanting hingga hancur ketika peti akan diangkat ke mobil jenazah. Ada cerita tentang kaisar Li Shimin yang mengunjungi neraka. Buah semangka yang dihancurkan ini adalah untuk para penghuni neraka yang sangat kehausan. Hiolo dan potret almarhum dibawa oleh anak lelakinya dengan diikat di badannya menggunakan kain blacu, serta ikut di mobil jenasah, sepanjang perjalanan ke pemakaman atau krematorium, (gincua) disebar di jalan. Jaman dahulu, peti jenasah digotong ke kuburan, dan anggota keluarga berlutut (paikui) di tiap jembatan yang dilalui.
33
Setelah pemakaman, anggota keluarga menjalani masa berkabung (memakai putih) TuaHa atau TuaPeq. Masa berkabung ini berbeda-beda sesuai dengan hubungan dengan almarhum. Untuk anak biasanya diambil satu atau tiga tahun. Khonghucu mengatakan seorang anak bergantung kepada orang tuanya, setidaknya sampai berusia tiga tahun, maka ketika orang tuanya meninggal, ia harus melakukan masa perkabungan selama tiga tahun (tiga kali sepuluh bulan). Untuk cucu dan buyut, masa berkabungnya bisa diambil waktu yang lebih pendek, misalnya satu tahun atau seratus hari atau empat puluh sembilan hari atau tujuh hari.
2.4
Prosedur Upacara Adat Kematian Etnis Tionghoa Upacara-upacara yang dilaksanakan dalam kematian terdiri atas empat
tahap yaitu sebelum masuk peti , upacara masuk peti dan penutupan peti , upacara pemakaman dan upacara pemakaman.30 A.
Belum masuk peti
Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat ) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.
Mayat dimandikan dan
dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum atau almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis. Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain. 30
B. Ginarti K. (2012, 14 Agustus). Budaya Tionghoa Forum Budaya & Sejarah Tionghoa. Tradisi Upacara Pemakaman & Kematian. Diakses 30 Mei 2015 20.42 WIB dari http://web.budayationghoa.net/index.php/item/1050-tradisi-upacara-pemakaman--kematian
34
Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain. B.
Upacara masuk peti dan penutupan peti
Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung. Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (u haouw). Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.
Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hweeshio atau cayma. Bagi yang beragama Budcha dipimpin oleh Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara
35
ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca atau cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.
Bagi anak cucu
-rumahan
yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu. Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki. Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup. Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat tiga atau empat hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman. Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.
C.
Upacara pemakaman
Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan. Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus
36
mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum.. Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang 2 (dua) sampai 5 (lima) meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah
buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja
berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah sam seng, yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar.
Putra tertua memegang foto almarhum dan sebatang bambu yang diberi Hoe berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara
saudaranya yang lain. Begitu peti
mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang
orang yang mengantar jenasah.
Pada hari penguburan, seluruh anggota keluarga, para kerabat dan teman masing
teman
masing akan meraup segenggam tanah dan menebarkannya ke peti mati,
perhatian yang harus diberikan gerakan dan juga cara menybarkan tanah, ketika menyebarkan tanah harus memiringkan tubuh dengan posisi menyamping lalu dengan lembut melepaskannya, tanah yang dilemparkan tidak boleh menghadap oeti atau ke bagian depan, tangan yang menebarkan harus dimiringkan ke bawah
37
dan tidak boleh melempar dengan ceroboh, gerakan
gerakan tersebut untuk
menunjukkan penghormatan kepada almarhum dan juga menunjukkan tingkat pengetahuan serta etika seseorang.31 Demikian pula setelah selesai penguburan. Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon toapekong
zah dan arwah
almarhum, sambil membakar uang akhirat. Semua anak
cucu tidak
diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal atau segenggam tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong. Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almarhum.
D.
Upacara sesudah pemakaman
Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, oranye. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal. Untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama dua tahun, untuk nenek dan kakek dilakukan selama satu tahun, dan untuk saudara dilakukan selama tiga atau enam bulan. Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup.
31
Master Philip Cheong. Tabu
tabu Cina Kuno. Jakarta: Karaniya. 2005. Hal 104.
38
a.
Meniga hari (3 hari sesudah meninggal)
Sesudah tiga hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenazah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung atau blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengan air kembang.
b.
Menujuh hari (7 hari sesudah meninggal)
Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa (hio) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar; dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal atau segenggam diambil, diserakkan ke atasnya. Upacara tujuh hari Ini berkaitan dengan kepercayaan purba dan masih ada hingga sekarang, bahkan umat Ruism atau Khonghucu dan Taoism serta Buddhism Mahayana Tiongkok mempertahankannya. Kaitannya adalah dengan kepercayaan akan alam kematian, dimana Po atau unsur pembentuk tubuh itu terurai selama tujuh kali tujuh hari atau selama empat puluh sembulan hari. Tou Qi atau Chu Qi itu berkaitan dengan kembalinya Hun yang ada untuk melihat keluarga dan keluarga berkewajiban mengantarnya dan terlepas dari dari ikatan.
39
c.
49 hari sesudah meninggal
Pada hari ke 49 ini kembali anak
cucu dan keluarga melakukan
upacara penghormatan di tempat jenasah berada (kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalam keadaan berkabung, namun telah rela melepaskan arwah si almarhum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas; berupa sepotong kain blacu dan goni. d.
Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian.
Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperingati oleh
menghormati. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum tiga macam, rokok, sirih sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah dua pasang samseng
lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus
dinyalakan lilin merah berpasang
pasang tergantung pada jumlah orang atau
leluhur yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kertas perak dan kertas emas).
40
2.5
Pangkat Dalam Tradisi Kematian Tionghoa Sekarang ini, yang sering ditemukan di Indonesia adalah anggota
keluarga yang berkabung memakai pakaian putih
putih dari kain blacu lalu
mengenakan pangkat di lengan. Ada keluarga yang mengenakan dengan aturan "laki
laki di sebelah kiri, perempuan di sebelah kanan", namun ada pula yang
mengenakan secara seragam di kiri atau di kanan saja. Ini adalah penyederhanaan dari ritual ribuan tahun lalu, yang diharuskan mengenakan baju dari kain goni sebagai tanda berkabung.
Pada dasarnya ada enam jenis pangkat di lengan atau di topi bagi anggota keluarga dekat dari mendiang: a.
Potongan goni kasar, untuk anak laki perempuan,
laki dan menantu
b.
Potongan goni halus, untuk anak perempuan yang telah menikah keluar,
c.
Potongan kain biru tua, untuk cucu dalam (anak dari anak laki laki),
d.
Potongan kain biru muda, untuk cucu luar (anak dari anak perempuan),
e.
Baju kaos berwarna kuning, untuk cicit dalam (cucu dari anak laki laki),
f.
Baju kaos berwarna merah muda, untuk cicit luar (cucu dari anak perempuan).
Dalam keluarga tertentu, bila mendiang mempunyai cicit pada prosesi pemakamannya dilengkapi dengan sebuah kereta tandu dari kertas dengan empat orang cicit sebagai penandu. Dua orang cicit dalam di depan dan dua orang cicit
41
luar di belakang, penandu harus merupakan cicit laki
laki. Namun tentunya jika
jarak antara rumah duka dan pemakaman relatif dekat, bila jauh sekali tetap saja tandu harus diikat di mobil jenis pick
up untuk diantar sampai ke pemakaman.
Ada pula pangkat lain untuk anggota keluarga yang lebih jauh:
a.
Potongan goni halus dan kain biru tua, untuk keponakan (yang semarga dengan mendiang),
b.
Potongan goni halus dan kain biru muda, untuk keponakan (yang tidak semarga dengan mendiang),
c.
Baju kaos berwarna biru, untuk anak dari keponakan,
d.
Baju kaos berwarna kuning, untuk cucu dari keponakan.
Lebih kurang seperti di atas, namun pada suku tertentu ada perbedaan sedikit di dalam realisasinya.
suku tertentu atau keluarga