9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori Dalam bisnis modern dewasa ini para pelaku bisnis menuntut untuk menjadi orang-orang profesional dibidangnya. Mereka dituntut mempunyai keahlian dan keterampilan bisnis yang melebihi keterampilan dan keahlian bisnis orang kebanyakan lainnya. Hanya orang profesional yang akan menang dan berhasil dalam bisnis yang penuh persaingan yang ketat. Kaum profesional bisnis ini dituntut untuk memperhatikan kinerja tertentu yang berada diatas rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir. Namun yang menarik, kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis, manajerial dan organisasi teknis murni, melainkan juga menyangkut komitmen aspek etis. Kinerja yang menjadi syarat keberhasilan bisnis ini juga menyangkut komitmen moral, integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak yang terkait.
2.1.1 Personal selling Definisi dari personal selling menurut Swastha & Irawan (2003) menjelaskan sebagai berikut : “Personal selling adalah presentasi lisan dalam suatu percakapan dengan calon pembeli atau lebih yang ditujukan untuk menciptakan penjualan” Saat ini konsumen semakin efektif dalam memilih produk, hal ini disebabkan oleh beragamnya produk yang ada dipasaran. Suatu produk betapapun bermanfaatnya, tetapi jika tidak dikenali oleh konsumen maka produk tersebut
10
tidak akan diketahui dan mungkin tidak akan dikonsumsi oleh konsumen. Oleh karena itu, perusahaan harus berusaha mempengaruhi konsumen agar dapat menciptakan permintaan produk itu. Semakin terbukanya akses konsumen atas informasi mengenai perusahaan perbankan dan semakin banyaknya pesaing yang menawarkan produk yang sama, maka hal ini telah menciptakan smart customer, mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memilih produk yang terbaik. Untuk
menghadapi kondisi tersebut,
perusahaan
berusaha
untuk
mengoptimalkan penjualan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melakukan komunikasi pada konsumennya untuk menginformasikan bahwa perusahaan mempunyai produk dengan kualitas lebih bagus, fitur produk yang sangat menarik dan yang memuaskan dan sejumlah keunggulan lainnya dari pada pesaing usaha yang bisa dilakukan yaitu dapat dengan menggunakan kegiatan promosi, yang merupakan salah satu unsur dari bauran pemasaran yaitu personal selling. Kotler (2005) menjelaskan, personal selling merupakan sarana promosi yang dapat dikatakan paling berhasil guna sampai pada tahap tertentu dari suatu proses pembelian. Menurutnya, personal selling memiliki ciri khusus yaitu : 1. Pertemuan Pribadi : penjualan pribadi mencakup hubungan langsung dan interaktif antara dua orang atau lebih. Masing-masing pihak dapat mengamati reaksi-reaksi pihak lain. 2. Perkembangan Hubungan : Penjualan pribadi memungkinkan segala jenis hubungan berkembang, mulai dari hubungan penjualan seadanya sampai hubungan pribadi yang mendalam.
11
3. Tanggapan
: penjualan pribadi membuat pembeli merasakan suatu
kewajiban untuk mendengarkan pembicaraan penjualan. Menurut Kotler (2005), personal selling adalah komunikasi dua arah dan bersifat pribadi antara personal antara wiraniaga pelanggan-pelanggan individu baik secara tatap muka (face to face), melalui telepon, melalui maupun dengan cara yang lainnya. Dengan demikian, personal selling mempunyai keunggulan tersendiri dibandingkan dengan bentuk promosi lain, tenaga penjual dapat menyesuaikan penawaran mereka kepada para nasabah, sehingga para nasabah merasa diajak berkomunikasi dan diberikan kesempataan untuk tawar-menawar baik mengenai harga, maupun jasa dan jangka waktunya. Dalam menjalankan kegiaan personal selling seorang sales person melakukan tugas pemasaran yang dimulai dari mencari calon pembeli sampai pada pelayanan purna jual, adapun tahap-tahap dalam personal selling menurut Kotler (2004) adalah : 1. Prospecting and Qualifying 2. Pre Approach 3. Approach 4. Presentation and Demonstration 5. Overcoming Objection 6. Closing 7. Folloe Up and Maintenance
12
Melalui proses personal selling, sales person dapat secara langsung menyampaikan informasi yang lengkap mengenai karakteristik produk yang dimiliki oleh perusahaan. Informasi yang lengkap mengenai karakteristik produk yang dimiliki oleh perusahaan. Informasi yang diberikan oleh sales person akan sangat berguna bagi calon konsumen sebelum melakukan pembelian, karena menurut Sutisna (2005) dalam bukunya Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran, bahwa personal selling terjadi proses alur komunikasi dua arah, sehingga konsumen secara langsung bisa bertanya mengenai produk kepada sales person atau tenaga penjual tentang produk yang akan dibeli. Dengan informasi tersebut, konsumen akan merasa puas dan akhirnya dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk membeli produk. Melalui personal selling akan tercipta komunikasi secara langsung antara penjual yang mewakilinya dengan konsumen, dimana tenaga penjual mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Tenaga penjual dapat mengetahui secara langsung perilaku pembeli (nasabah), keinginan, motivasi pembeli maupun keluhankeluhan yang diajukan pada saat melakukan pendekatan penjual dilaksanakan sehingga tenaga penjual dapat mengadakan penyesuaian atau penanggulangan masalah-masalah yang timbul pada saat itu juga. Aktivitas personal selling memang menuntut mereka untuk bekerja secara profesional sehingga harus memahami dan menetapkan etika profesinya, mereka harus juga harus memahami menerapkan etika dalam bisnis. Ginanjar Kartasasmita (1997) mengatakan etika merupakan rambu-rambu atau patokan yang ditentukan sendiri oleh pelaku atau kelompok, karena moral bersumber pada
13
budaya masyarakat maka moral dunia usaha nasional tidak berbeda dengan moral bangsanya. Dengan sebuah produk intagible (tidak berwujud fisik) dan dengan hak cipta yang tidak memungkinan dalam beberapa inovasi jasa, staf pemasaran dalam industri jasa di hadapkan dengan suatu tantangan khusus, bagaimana sebuah perusahaan dapat mencapai korporat yang unik, pembedaan diferensi produk dan reputasi khusus dalam pasar. Dalam sebuah lingkungan yang ketat seperti ini, kepiawaian pemasaran dalam layanan atau jasa akan menjadi yang paling utama. 2.1.1.1 Karakteristik personal selling Personal selling banyak digunakan oleh perusahaan karena dalam personal selling perusahaan dapat langsung berkomunikasi dengan konsumen sehingga perusahaan dapat mengetahui apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh konsumen. Adapun tujuan dari yang dilakukannya personal selling yang diungkapkan oleh Stanton (1996)
dalam bentuk bukunya Pemasaran adalah
menambah penjualan yang menguntungkan dengan menawarkan pemenuhan kebutuhan dalam jangka panjang. Personal selling dapat menjalankan tujuan ini dengan tepat karena memiliki sifat-sifat khusus. Menurut Tjiptono (2002) bahwa sifat-sifat yang terkandung dalam personal selling adalah sebagai berikut : 1. Konfrontasi Personal (personal confrontation), yaitu adanya hubungan yang hidup, langsung dan interaktif antara dua orang atau lebih. 2. Penanaman
(cultivation),
yaitu
sifat
yang
memungkinkan
berkembangnya segala macam hubungan yang lebih akrab.
14
3. Tanggapan (response), yaitu situasi yang seolah-olah mengharuskan pelanggan untuk mendengar, memperhatikan dan menanggapi. 2.1.1.2 Tujuan personal selling Tujuan personal selling menurut Tjiptono (2002) secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Mencari pembeli dan menjalin hubungan dengan mereka. 2. Mengalokasikan kelangkaan waktu, penjual demi pembeli. 3. Memberi informasi mengenai produk perusahaan kepada pelanggan 4. Mendekati, mempresentasikan dan mendemonstrasikan, mengatasi penolakan, serta menjual produk kepada pelanggan. 5. Memberikan berbagai jasa dan pelayanan kepada pelanggan . 6. Melakukan riset dan intelejen pasar. 7. Menentukan pelanggan yang akan dituju. Dari pembahasan disebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari personal selling yaitu berusaha merumuskan tugas yang dijalani oleh para personal selling. Agar menjalankan tugas dari perusahaan tidak hanya menawarkan produk-produk perusahaan saja namun berusaha untuk mendapatkan informasi dan menjalin hubungan yang baik dari konsumen serta menimbulkan kesetiaan pada produk yang telah digunakan oleh konsumen. 2.1.1.3 Kelebihan dan kekurangan personal selling Personal selling terdiri dari komunikasi individual (personal) dan ini berlainan dengan komunikasi non personal yang berbentuk periklanan, promosi,
15
penjualan dan alat-alat lain. Personal selling mempunyai beberapa kelebihan seperti diutarakan oleh Stanton (1996) dalam bukunya Prinsip Pemasaran: 1. Flexibility,
berarti
para
wiraniaga
melakukan
penjualan
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan atau konsumen,
mereka
berusaha
memberikan
pelayanan
yang
memuaskan baik sebelum dan sesudah penjualan. 2. Focused on perspective customers, yang berarti penjualan dengan cara tatap muka, dapat berfokus pada masa depan konsumen. Para wiraniaga dapat menganalisis keberatan-keberatan yang diajukan oleh konsumen untuk berusaha memperbaiki hal tersebut. 3. Tenaga penjual yang ditugaskan oleh perusahaan dapat segera mengetahui reaksi pelanggan terhadap penawaran dan penjualan dan dapat mengadakan penyesuaian ditempat saat itu pula. 4. Result in the actual sale, yang berarti para wiraniaga harus berusaha
menyelesaikan
penjualan
dengan
cara
membuat
konsumen senang. Perusahaan berkesempatan untuk menemukan secara pasti sasaran mereka yang lebih efektif. 5. Tenaga
penjual
yang
ditugaskan
oleh
perusahaan
dapat
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk penjualan, memberitahukan sikap pelanggan serta meneruskan keluhan kepada pemimpin perusahaan.
16
Adapun kekurangan personal selling sebagai berikut ; 1. Biaya yang diperlukan cukup tinggi karena biaya untuk membentuk dan memberdayakan tenaga penjual cukup besar, walaupun perusahaan dihadapi dengan biaya yang sangat tinggi tersebut namun pengguna tenaga penjual memungkinkan perusahaan mencapai sasaran yang diinginkan. 2. Sulitnya perusahaan untuk menarik tenaga penjual yang cukup memenuhi persyaratan guna melakukan tugas penjualan. 3. Kesetiaan pelanggan dapat hilang bila wiraniaga pensiun atau berhenti dari perusahaan. 2.1.1.4 Bentuk-bentuk personal selling Cara personal selling adalah cara yang unik karena tidak mudah untuk diulang dan dapat menciptakan komunikasi dua arah antara ide yang berlainan antar penjual dan pembeli. Sehingga dapat menggugah hati pembeli, menurut Tjiptono (2002) bentuk-bentuk dari personal selling secara umum dapat digeneralisasikan menjadi : 1. Pengantar (Deliverer) yaitu penjualan bertugas mengantar produk ketempat pembeli. 2. Pencari pesan (Order getter) yaitu penjual yang mencari pembeli atau mendatangi pembeli. 3. Penerima pesan (Order taker) yaitu penjual yang melayani pelanggan didalam outlet.
17
4. Pembawa misi (Misionary sales people) yaitu penjual yang ditugaskan untuk melatih, mendidik dan membangun goodwill dengan pelanggan atau calon pelanggan. 5. Spesialis teknisi (Technical spesialist) yaitu penjual yang harus memiliki atau memberikan pengetahuan teknis kepada pelanggan. 6. Pencipta permintaan (Demand creator) yaitu penjual yang harus memiliki kreativitas dalam menjual produknya. 2.1.1.5 Kriteria-kriteria Personal selling Tenaga penjual merupakan orang penting, sebab merekalah yang secara langsung mengadakan kontrak dengan konsumen. Tenaga penjual yang ditugaskan untuk melakukan personal selling menurut Tjiptono (2002) harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : 1. Salesmanship Penjual harus memiliki pengetahuan tentang produk dan menguasai seni penjual, seperti mendekati pelanggan. Memberikan presentasi dan demostrasi,
mengatasi
penolakan
pelanggan,
dan
mendorong
pembelian. 2. Negotiating Penjual harus mempunyai kemampuan untuk bernegosiasi tentang syarat-syarat penjualan. 3. ReationshipMarketing Penjual harus tahu cara membina dan memelihara hubungan baik dengan para pelanggan.
18
2.1.1.6 Strategi Personal selling Para tenaga penjual sebaiknya tahu bagaimana mendiagnosa masalah pelanggan
dan
mengajukan
solusinya.
Perusahaan-perusahaan
harus
menyebarkan tenaga penjual secara strategis sehingga mereka mengunjungi pelanggan pada saat yang tepat. Beberapa tugas khusus tenaga penjual yang harus dilaksanakan : 1. Mencari calon pelanggan : melakukan pencarian calon pembeli atau petunjuk. 2. Menetapkan sasaran : memutuskan bagaimana mengalokasikan waktu mereka diantara calon dan pelanggan 3. Berkomunikasi : mengkomunikasikan tentang produk dan jasa perusahaan tersebut. 4. Menjual : menyediakan berbagai layanan kepada pelanggan, memberikan konsultasi tentang masalah, memberikan bantuan teknis, merencanakan pembiayaan dan melakukan pengiriman. 5. Melayani : menyediakan berbagai layanan kepada pelanggan, memberikan konsultasi tentang masalah, memberikan bantuan teknis, merencanakan pembiayaan, dan melakukan pengiriman. 6. Mengumpulkan informasi : melakukan riset pasar dan melaksanakan tugas inteligen. 7. Mengalokasikan : Memutuskan pelanggan mana akan memperoleh produk tidak mencakupi selama masa-masa kekurangan produk.
19
2.1.2 Etika Bisnis Menurut Keraf (1998) dalam bukunya Etika Bisnis bahwa etika bisnis adalah “Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan mengenai masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima” 2.1.2.1 Norma Umum 1. Norma Sopan Santun Norma sopan santun atau yang juga disebut norma etiket adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia. Norma ini tidak menentukan baik buruknya seseorang sebagai manusia, karena hanya menyangkut sikap dan perilaku lahiriah. Kendati perilaku dan sikap lahiriah bisa menentukan pribadi seseorang, tidak dengan sendirinya sikap ini menentukan sikap moral seseorang. 2. Norma Hukum Norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena
dianggap
perlu
dan
niscaya
demi
keselamatan
dan
kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Norma ini mencerminkan harapan, keinginan dan keyakinan seluruh anggota masyarakat tersebut tentang bagaimana secara baik. 3. Norma Moral Norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral disini meletakan dasar dan tolok ukur penilaian atas perilaku seseorang sebagai penghayatan hidupnya
20
sebagai manusia begitu saja atau dalam kaitan dengan profesi tertentu yang diembannya. 2.1.2.2 Teori Etika 1. Etika Deontologi Etika deontologi menekan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan. 2. Etika Teleologi Etika
teleologi
mengukur
baik
buruknya
suatu
tindakan
berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang timbul oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, apabila bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau apabila akibat yang ditimbulkan baik dan berguna. 2.1.2.3 Bisnis dan Etika Etika bisnis untuk pertama-tama memperhatikan bahwa memang bisnis membutuhkan etika, bukan hanya berdasarkan tuntutan etis belaka melainkan juga berdasarkan tuntutan kelangsungan bisnis itu sendiri.
21
1. Mitos Bisnis Amoral Mitos bisnis amoral mengungkapkan keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungannya sama sekali. Bisnis tidak punya sangkut paut dengan etika dan moralitas, keduanya adalah bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak boleh dinilai dengan menggunakan norma dan nilai-nilai etika. Bisnis dan etika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak boleh di campur adukan. Sebagai sebuah bentuk persaingan semua orang yang terlibat didalamnya selalu berusaha dengan segala macam cara dan upaya untuk bisa menang. Yang utama bagi orang-orang bisnis adalah bagaimana bisa menang dalam persaingan yang ketat, bagaimana bisa untung sebesarbesarnya. Karena itu segala peluang dan cara dipakai untuk bisa meraup keuntungan. Maka norma-norma dan nilai-nilai etika akan dengan mudah diabaikan. Itu berarti etika tidak punya tempat dan tidak relevan untuk kegiatan bisnis. 2. Keuntungan dan Etika Dari sudut pandang etika keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena keuntungan memungkinkan suatu perusahaan bertahan dalam kegiatan bisnisnya, keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan melainkan dapat menghidupi karyawan-karyawan bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang semakin baik. Dengan keuntungan yang terus
22
diperoleh, perusahaan dapat mengembangkan terus usahanya dan berarti membuka lapangan kerja bagi banyak orang lainnya. 3. Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis Lingkup etika bisnis lebih sering ditujukan kepada para manajer dan pelaku bisnis, dan lebih sering berbicara mengenai bagaimana perilaku bisnis yang baik. Etika bisnis dalam lingkupnya tidak hanya menyangkut perilaku dan organisasi perusahaan secara internal melainkan juga menyangkut perilaku bisnis secara eksternal. Etika bisnis berfungsi untuk menggugah masyarakat untuk bertindak menuntut para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik demi terjaminnya hak dan kepentingan masyarakat tersebut. 2.1.2.4 Prinsip-prinsip Etika Secara umum prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia. Demikian pula prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. 1. Prinsip Kejujuran Para pelaku bisnis modern sadar dan mengakui bahwa memang kejujuran dalam bisnis adalah kunci keberhasilan termasuk untuk bertahan dalam jangka panjang, dalam suasana bisnis yang penuh dengan persaingan ketat.
23
2. Prinsip Keadilan Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalam relasi eksternal perusahaan maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. 3. Prinsip Saling Menguntungkan Prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan secara positif menuntut hal yang sama, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. 4. Integritas Moral Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntut internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menjaga nama baik atau nama baik perusahaannya. 2.1.2.5 Jenis-jenis Etika Perbankan Etika perbankan yang diartikan dengan kebiasaan yang baik atau peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis dalam dunia perbankan yang diterima dan ditaati oleh bankir-bankir di negara kita dan kemudian mengedap menjadi normatif dalam perilakunya. Etis perbankan di Indonesia sesuai dengan falsafah negara harus berlandaskan Pancasila. Sasaran etika perbankan dimaksudkan agar tercapai keselarasan, kedamaian, dan ketertiban dalam masyarakat perbankan.
24
1. Etika perbankan di bidang kestabilan nilai rupiah Bank Indonesia sebagai bank sentral membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Ukuran nilai rupiah dianggap stabil, jika kenaikan harga umum berkisar antara 0% sampai 15% dalam jangka waktu satu tahun. Seandainya jumlah uang yang beredar menjadi inflasi terbuka, maka golongan yang berpendapatan tetap dan rakyat banyak dirugikan. Demikian tidaklah etis dan tidak sesuai dengan ajaran Pancasila. Bank Indonesia yang diberikan wewenang oleh pemerintah akan melakukan kebijaksanaan moneter untuk mengurangi uang yang beredar, sehingga kestabilan nilai rupiah terkendalikan. Bank sentral bekewajiban mengatur dan mengawasi pemberian kredit perbankan. Kredit yang diberikan jika melampaui batas ceiling mempengaruhi kestabilan nilai rupiah, yang juga dapat mengakibatkan inflasi. Hal yang demikian ditinjau dari segi etis perlu dicegah. 2. Etika kewajiban bank sentral Bank sentral berkewajiban membina dan mengawasi perbankan, dari sudut ekonomi perusahaan terutama dengan jalan menjaga dan mengatur likuiditas dan solvabilitas perbankan. Dengan pengawasan ini, para kreditur bank terlindung. Adalah etis setiap bank yang mendapat kepercayaan dari nasabah untuk menyimpan atau menitipkan uang, tidak akan mengalami kekurangan nilai nominal terhadap uang simpanan tersebut.
25
3. Etika memperlancar produksi serta memperluas kesempatan kerja Indonesia sebagai bank sentral, membantu pemerintah mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja, guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Perbankan pada umumnya wajib mengikuti batas-batas yang telah ditetapkan dalam rencana kredit, rencana kredit disusun oleh bank sentral untuk diajukan kepada pemerintah melalui dewan moneter dalam rangka penyusunan rencana moneter. Bank sentral memberikan kredit likuiditas gadai ulang kepada perbankan untuk mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja, sesuai dengan program pemerintah, Center Banker bersama masyarakat banyak, bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial. 4. Etika perbankan di bidang kepercayaan masyarakat Lembaga keuangan adalah semua badan yang melalui kegiatankegiatannya dibidang keuangan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan dan menjualkan kepada masyarakat. Sesuai dengan pengertian bank oleh undang-undang tersebut, tugas bank komersial adalah : a) Operasi perkreditan aktif b) Operasi perkreditan yang pasif c) Usaha bank sebagai perantara di bidang perkreditan dan memberi jasa-jasa perbankan.
26
5. Etika mencari laba Etika mencari laba adalah kemampuan dari suatu perusahaan perbankan memperoleh laba. Bagi bank mencari laba sebagai etis penting sekali, karena sebagai berikut. a) Menambah kepercayaan para pemilik untuk menginvestasikan modalnya dengan membeli saham-saham yang dikeluarkan oleh bank, jika bank ingin memperbesar modalnya. b) Bank terus menerus merugi tidak mungkin melanjutkan usahanya. Laba justru digunakan untuk memperbesar modal kerja. c) Tidak seharusnya laba dibagikan kepada pemilik saham, sebagian disisihkan dalam bentuk cadangan modal. Kenaikan cadangan modal menambah kreadibilitas (tingkat kepercayaan) masyarakat terhadap bank. d) Laba dianggap sangat kurang, maka besar kemungkinan modal bank tidak bertambah, bahkan pemegang saham dapat saja menjual sahamnya untuk diinvestasikan kepada perusahaan lain yang lebih menguntungkan. e) Laba merupakan penilaian keterampilan pemimpin bank. f) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum. 6. Akhlak serta moral yang baik Dalam rangka melaksanakan kepercayaan masyarakat, dengan sendirinya Indonesia harus memenuhi berbagai syarat. Pengertian bankir mencakup komisaris, diektur utama, direktur, kepala urusan, kepala
27
bagian, pemimpin cabang atau wakilnya. Menjadi anggota direksi sebaiknya dipenuhi syarat-syarat tersebut dibawah ini. a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b) Setia kepada Pancasila c) Berwibawa d) Jujur e) Cakap / ahli f) Adil 7. Golongan yang berkepentingan Di
dalam
masyarakat
perbankan,
empat
golongan
yang
berkepentingan adalah pemerintah, pemegang saham, bankir, dan nasabah. Pemerintah menetapkan berbagai peraturan atau instruksi demi tercapainya di Indonesia suatu sistem perbankan yang sehat dan tertib.
2.1.3 Kepribadian Hubungan antara perilaku dengan kepribadian mungkin merupakan salah satu masalah paling rumit yang harus dipahami oleh para manajer. Kepribadian banyak dipengaruhi oleh faktor kebudayaan dan sosial. Kepribadian memiliki pengertian yang luas, kepribadian bukan hanya mencakup sifat-sifat yang positif, sifat-sifat menarik ataupun segala sesuatu yang nampak secara lahiriah, tetapi juga meliputi dinamika individu tersebut. Menurut Setiadi (2003) mendefinisikan kepribadian sebagai berikut. “Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan penyesuaian dirinya lingkungan secara unik”.
28
Sedangkan menurut Sofyandi dan Garniwa (2005) menjelaskan kepribadian ialah “Seperangkat karakteristik yang relatif mantap kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan oleh faktor-faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan. Perangkat variabel ini menentukan persamaan dan perbedaan perilaku individu”. 2.1.3.1 Prinsip-prinsip kepribadian Beberapa prinsip pada umumnya diterima oleh para ahli psikologi yang diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Kepribadian adalah suatu keseluruhan yang terorganisasi, apabila tidak, individu itu tidak mempunyai arti. 2. Kepribadian kelihatannya diorganisasi dalam pola tertentu. Pola ini sedikit banyak dapat diamati dan diukur. 3. Walaupun kepribadian mempunyai dasar biologis, tetapi perkembangan khususnya adalah hasil dari lingkungan sosial dan budaya. 4. Kepribadian mempunyai berbagai segi yang dangkal. 5. Kepribadian mencakup ciri-ciri umum dan khas. Setiap orang berbeda satu sama lain dalam beberapa hal.. 2.1.3.2 Faktor-faktor pembentuk kepribadian Kepribadian seorang dewasa umumnya sekarang dianggap terbuat baik faktor keturunan maupun lingkungan, yang diperlunak oleh faktor situasi. 1. Keturunan Keturunan merujuk ke faktor-faktor yang ditentukan pada saat pembuahan. Sosok fisik, daya tarik wajah, kelamin, tempramen, komposisi otot dan reflek, tingkat energi, dan ritme hayati merupakan karakteristikkarakterisrik yang dianggap sebagai atau sama sekali atau sebagian besar
29
dipengaruhi oleh kedua orang tua. Pendekatan keturunan beragumen bahwa penjelasan paling akhir dari kepribadian seseorang individu adalah struktur molekul dari gen-gen, yang terletak dalam kromosom. 2. Lingkungan Diantara
faktor-faktor
yang
menggunakan
tekanan
pada
pembentukan kepribadian kita adalah adalah budaya dalam mana kita dibesarkan , pengkondisian dini kita, norma-norma di antara keluarga kita, teman-teman, dan kelompok-kelompok sosial, serta pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Lingkungan dipaparkan kepada kita melainkan peranan yang cukup besar dalam membentuk kepribadian kita. 3. Situasi Situasi mempengaruhi efek keturunan dan lingkungan pada kepribadian. Kepribadian seorang individu, sementara umumya mantap dan konsisten, memang berubah dalam situasi yang berbeda. Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berlainan memunculkan aspek-aspek yang berlainan dari kepribadian seseorang oleh karena itu hendaknya kita tidak melihat pola kepribadian dalam ketepencilan. 2.1.3.3 Batasan Kepribadian 1. Dinamis Kepribadian itu selalu berubah. Perubahan ini digerakkan oleh tenaga-tenaga dari dalam dari individu yang bersangkutan, akan tetapi perubahan tersebut tetap berada dalam batas-batas bentuk polanya.
30
2. Organisasi Mengadung pengertian bahwa kepribadian itu merupakan suatu keseluruhan yang bulat. 3. Psikofisis Kepribadian tidak hanya bersifat fisik-fisik dan juga tidak hanya bersifat psikis tetapi merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut. 4. Unik Kepribadian antara individu yang satu dengan yang lain tidak ada yang sama. 2.1.3.4 Segi-segi Kepribadian 1. Self Secara singkat dapat dirumuskan sebagai taksiran perkiraan dan perasaan seseorang mengenai siapa dia? Apa dia? Dan di mana dia berada? 2. Personality trains Kecenderungan-kecenderungan umum kita yang beraneka ragam untuk mengevaluasi situasi-situasi dengan cara-cara tertentu kemudian bertindak dengan hasil evaluasi tersebut. 3. Kecerdasan Kesiagaan
stabilitas
belajar,
kecepatan
melihat
hubungan-
hubungan, kesanggupan memutuskan sesuatu dengan cara cepat dan tepat dan kemudian kesanggupan menghimpun data dan inferensi-inferensi untuk kemudian menarik suatu kesimpulan.
31
4. Appearance and impressions Kedua hal ini merupakan bagian yang cukup penting dari kepribadian walaupun ada perbedaan pendapat tentang appearance yang bagaimanakah yang dapat menimbulkan impressions yang menyenangkan, tetapi semua sependapat bahwa hal ini merupakan satu aspek kepribadian. 5. Kesehatan Kesehatan yang dimiliki individu tersebut, baik secara lahiriah maupun batiniah yang mendukung pengambilan keputusan. 6. Tinggi, berat dan bentuk badan Ketiga faktor ini sangat berhubungan erat dengan appearance dan impressions walaupun sering pula bahwa dua orang yang memiliki tinggi, berat, dan bentuk badan yang serupa tapi appearance berlainan dan karenanya menimbulkan impressions yang berlainan juga. 7. Sikap terhadap orang lain Beberapa sikap kita terhadap orang lain seringkali mencerminkan bagaimana sikap kita terhadap diri kita sendiri, akan tetapi ada hal yang harus diingat bahwa kepribadian mencakup seluruh sikap yang ada pada diri seseorang. 8. Knowledge Pengetahuan yang kita miliki merupakan umur dari kepribadian kita, semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang maka akan semakin baik serta lebih berhati-hati dalam menentukan keputusan.
32
9. Skills Kecakapan seseorang sangat mempengaruhi bagaimana pandangan orang lain terhadap diri kita, bahkan turut mempengaruhi pandangan kita terhadap diri kita sendiri. 10. Nilai Sering disebut juga dengan nama “karakter”, ini merupakan segi kepribadian yang sangat mempengaruhi karena menyangkut soal-soal baik dan tidak baik, etika dan moral. 11. Emotional tone and control Emotional tone merupakan suatu segi dari kepribadian, sering disebut juga “tempramen” yaitu istilah yang dipergunakan waktu melukiskan nada emosi yang terjadi pada diri seseorang. 12. Peranan Peranan mempunyai pengaruh yang penting antar kepribadian kita. 2.1.3.5 Teori-teori kepribadian 1. Teori Psychoanalitis Teori ini menunjukan bahwa perilaku manusia ini dikuasai oleh personalitasnya atau kepribadiannya. Pelopor dari teori ini adalah Sigmund Freund yang telah menunjukkan betapa besarnya sumbangan karyanya pada bidang psikologi, termasuk konsepsinya mengenai suatu tingkat ketidak sadaran dari kegiatan mental. Ia juga menandaskan bahwa hampir semua kegiatan mental adalah tidak dapat diketahui dan tidak bisa
33
didekati secara mudah bagi setiap individu, namun kegiatan tertentu dari mental ini dapat mempengaruhi perilaku manusia. 2. Teori Sosial Dari prespektif teori sosial, kepribadian dijelaskan dengan pola perilaku yang konsisten yang memperlihatkan hubungan orang-orang dengan situasi sosial. Dalam pandangan teori sosial, setiap orang berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Ketika dalam suatu masyarakat terdapat dogma-dogma yang kuat sehingga mengungkung anggota masyarakatnya, maka tindakan perilaku seseorang akan diarahkan oleh dogma-dogma itu. 3. Teori Konsep Diri Yang berkaitan dengan kepribadian adalah konsep diri (atau citra pribadi) seseorang. Dalam pandangan dan persepsi atas dirinya sendiri. Dengan demikian, setiap individu berfungsi sebagai subjek dan objek persepsi. Konsep diri yang dimiliki oleh seseorang individu adalah berupa penilaian-penilaian
terhadap
dirinya
sendiri.
Selanjutnya
individu
(konsumen) menilai bagaimana diri mereka memandang mereka sendiri. Konsep diri yang ada pada konsumen bisa berhubungan dengan sifat-sifat seperti bahagia, keberuntungan, modern, praktis, energenetis, serius, pengendalian diri, kesuskesan, sensitif dan agresif. 4. Teori Sifat / Ciri (Trait Theory) Pendekatan
teori
ciri
(Trait)
kepribadian
berusaha
mengklasifikasikan manusia menurut karakteristik atau ciri-ciri dominan.
34
Trait adalah setiap karakteristik yang berbeda dari yang satu dengan yang lainnya, dan ciri atau sifat itu relatif permanen dan konsisten. 2.1.3.6 Dimensi Kepribadian Akhir-akhir ini sekumpulan riset yang mengesankan mendukung bahwa lima dimensi kepribadian mendasari semua dimensi lain. Faktor lima besar itu adalah : 1. Ekstraversi Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang senang bergaul banyak bicara dan tegas. 2. Sifat menyenangkan Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang baik hati, kooperatif, dan mempercayai. 3. Sifat mendengarkan kata hati Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, tekun, dan berorientasi prestasi. 4. Kemantapan emosional Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang tenang, bergairah, terjamin (positif), lawan tegang gelisah, murung dan tak kokoh (negatif). 5. Keterbukaan terhadap pengalaman Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang berimajinatif, secara artistik peka, dan intelektual.
35
2.2 Review penelitian sebelumnya Berbagai pelanggaran etika telah banyak terjadi saat ini. Aturan mengenai etika merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Sehingga kegiatan para pelaku bisnis diharapkan mempunyai integritas dan kompetensi yang tinggi (Abdullah & Hakim, 2002). Menurut Chua dkk (1994), etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu. Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat seharusnya memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional (Agoes, 1996). Poedja (2008), didalam penelitiannya mengenai Pengaruh Personal selling Terhadap Penjualan deposito di PT. Bank Jabar Banten Cibinong, hasil penelitian membuktikan bahwa variabel personal selling mempunyai korelasi positif terhadap penjualan deposito. Maria (2008), penelitiannya membuktikan bahwa Pengaruh Personal selling Terhadap Keputusan Pembelian pada PT. Asuransi Jasindo Cabang Bandung dapat disimpulkan hasil kegiatan personal selling yang dilaksanakan dapat meningkatkan keputusan pembelian konsumen terhadap produk-produk yang ditawarkan. Mediawati (2008), melakukan penelitian tentang Peran Personal selling dalam Meningkatkan Volume Penjualan pada PT. Sima Solution, maka hasilnya
36
dapat disimpulkan bahwa jika jumlah personal selling (orang) meningkat, maka volume penjualan (unit) akan meningkat dapat diterima. Laksim (2006), dalam penelitiannya mengenai Pengaruh Personal selling terhadap penjualan deposito pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Lexi Pratama Mandiri Bandung, hasil penelitiannya adalah aktivitas personal selling yang telah dilakukan menunjukan adanya hubungan yang sangat kuat antara simpanan deposito dengan aktivitas personal selling.
2.3 Kerangka Pemikiran Peran perempuan dalam organisasi bisnis terus berkembang dalam penelitian-penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam manajemen bisnis. Penelitian manajemen bisnis dan ilmu-ilmu sosial menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir saja, hampir 300 artikel telah membahas perbedaan jenis kelamin dalam bidang manajemen organisasi. Pada penelitian ini dikaji pendekatan tradisional untuk memeriksa perbedaan jenis kelamin dalam etika. Selanjutnya disajikan alternatif perbedaan pandangan berdasarkan jenis kelamin dan status keprofesian tentang etika yang didasarkan pada persepsi dan membahas implikasi dari pendekatan ini. Perbedaan jenis kelamin dalam manajemen akan terbawa ke isu-isu etis yang berbeda. Banyak penelitian mendukung pandangan ini. Bukti menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda setidaknya meliputi empat dimensi mengenai etika, yaitu: pengembangan moral, sistem nilai etika, sensitivitas untuk isu-isu etis, dan perilaku etis.
37
2.3.1 Pengembangan moral. Salah satu dimensi mengenai etika, yaitu pengembangan moral, menurut Gilligan (1977, 1982) terdapat perbedaan yang mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam orientasinya terhadap moral. Dia menolak pandangan Kohlberg (1981) mengenai tahap-tahap pengembangan moral, yang dinyatakan bahwa moralitas seseorang lebih didasarkan pada kriteria keadilan bagi seseorang yang tingkat pemahamannya mengenai moral lebih tinggi. Sebaliknya, dia menegaskan bahwa keadilan menggambarkan pandangan laki-laki mengenai moralitas dan menunjukkan bahwa perempuan lebih menekankan kepedulian sebagai kerangka yang utama dalam orientasi moral. Penelitian lain juga mendukung pandangan ini (misalnya, White, 1992, 1994), meskipun kadang-kadang perbedaan orientasi moral antara pria dan wanita belum secara mendalam dikaji sebagaimana yang dilakukan oleh Gilligan (menurut pendapat Pratt et al, 1988). Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa penalaran etis dapat berbeda antara jenis kelamin dengan cara lain. Sebagai contoh, Konovsky dan Jaster (1989) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam pembenaran yang digunakan untuk mendukung perilaku yang tidak etis. Galbraith dan Stephenson (1993) menemukan bahwa pria dan wanita berbeda dalam menggunakan aturan main ketika membuat keputusan yang etis, dan bahwa perempuan lebih memperlihatkan keragaman dalam aturan main untuk membuat keputusan daripada laki-laki. Perempuan dan laki-laki menggunakan kerangka kerja etis yang berbeda untuk mengevaluasi situasi etis (Schminke dan Ambrose, 1997), dan Arlow (1991) menunjukkan bahwa perempuan kurang menekankan
38
pada aspek kebijaksanaan, egois, dan "kewajaran" ketika mengevaluasi isu-isu etis.
2.3.2 Sistem nilai etika Perbedaan gender dalam nilai-nilai manajerial (erat kaitannya dengan etika) juga telah ditemukan. Sebagai contoh, Chusmir et al. (1989) menunjukkan bahwa gaya manajerial tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, demikian juga untuk sistem nilai. Mereka menemukan bahwa perempuan memberi peringkat lebih tinggi secara signifikan untuk nilai-nilai harga diri dan harmonisasi batin daripada laki-laki. Betz et al. (1989) menemukan perbedaan jenis kelamin dalam nilai-nilai yang terkait dengan bisnis, dan Ameen et al. (1996) melaporkan bahwa pada pihak laki-laki lebih besar sinisme etisnya daripada perempuan.
2.3.3 Sensitivitas untuk isu-isu etis Perbedaan gender memungkinkan juga adanya perbedaan sensitivitas terhadap isu-isu etis (sejauh mana seseorang mengetahui peristiwa sebagai mengandung isu-isu etis atau tidak etis). Khazanchi (1995) menemukan bahwa perempuan lebih mampu mengenali isu-isu etis dan tindakan tidak etis dalam skenario yang melibatkan pengelolaan sistem informasi. Secara khusus, perempuan lebih akurat mengenali isu-isu etis tentang pengungkapan, integritas, dan adanya konflik kepentingan. Ameen et al. (1996) menemukan bahwa mahasiswa perempuan mampu mengidentifikasi 18 dari 23 pertanyaan tentang
39
etika (misalnya, kecurangan pada ujian, memalsukan penelitian, menyalin PR) sebagai tindakan tidak etis daripada mahasiswa laki-laki. Mason dan Mudrack (1996) menemukan bahwa di antara individu yang bekerja penuh waktu, perempuan mampu mengidentifikasi pernyataan-pernyataan tentang etika (misalnya, memalsukan dokumen, berbohong kepada rekan kerja untuk melindungi perusahaan) sebagai lebih tidak etis daripada laki-laki. Ruegger dan Raja (1992) melaporkan bahwa wanita lebih mampu mengidentifikasi beberapa bidang pekerjaan yang kurang etis daripada laki-laki. Bidang pekerjaan
ini
termasuk melakukan pekerjaan yang mungkin berbahaya atau tidak etis, tanggung jawab majikan atas keselamatan para pekerjanya, pengungkapan dan kewajiban perusahaan untuk tidak mengeksploitasi stakeholder meski dalam posisi harus melakukannya. Demikian pula, wanita tampaknya menunjukkan perasaan kuat mengenai masalah-masalah etis dibanding laki-laki (Jones dan Gautschi, 1988),
2.3.4 Perilaku etis Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa perempuan dapat berperilaku lebih etis dibanding laki-laki. Sayre et al. (1991) menemukan bahwa tenaga penjual wanita cenderung kurang terlibat dalam praktik menjual yang tidak etis daripada tenaga penjual laki-laki. Tyson (1990) menemukan bahwa dalam beberapa situasi kaum perempuan cenderung tidak terlibat dalam perilaku yang tidak etis dibandingkan laki-laki, meskipun itu dianggap perlu untuk mencapai targetnya. Demikian pula, Betz et al. (1989) menunjukkan bahwa laki-laki lebih memungkinkan untuk terlibat dalam sejumlah kegiatan yang tidak etis termasuk
40
mengambil jalan pintas dalam menjalankan prosedur, memanipulasi biaya perjalanan, terlibat dalam transfer dana ilegal, dan membeli obat-obatan terlarang. Perempuan juga kurang kemungkinan untuk "melakukan seperti yang diperintahkan," "tidak melakukan apa pun," atau "setia" dalam situasi yang tidak etis, dan lebih mungkin untuk “menghindar" sebagai pilihan daripada laki-laki (Jones dan Gautschi, 1988). Akhirnya, Ameen et al. (1996) menemukan bahwa mahasiswa laki-laki lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku yang tidak etis seperti kecurangan dalam ujian atau tugas-tugas di perguruan tinggi.
2.4 Pengembangan hipotesis Perbedaan jenis kelamin telah menarik perhatian yang cukup besar dalam memperlihatkan peranannya dalam pengelolaan organisasi bisnis. Penelitian ini di bagi menjadi dua kategori untuk mengidentifikasi perbedaan persepsi mengenai etika berdasarkan jenis kelamin dan status keprofesian (calon dan pemeran personal selling). Penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh Ameen et al., (1996); Betz et al., (1989); dan Mason dan Mudrack, (1996) dengan menekankan pada pendekatan perbedaan antara lakilaki dan perempuan (perbedaan - sosialisasi gender) dan pendekatan struktural (atau sosialisasi profesi). Pandangan beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki keunikan dalam kualitas manajerial, keterampilan, dan sikap feminin dalam gaya manajerial (Grant, 1988; Loden, 1985). Karakteristik ini mungkin sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi berdasarkan perbedaan gender yang merupakan
41
bawaan sejak lahir, yang menyebabkan pria dan wanita untuk mengikuti jalan yang berbeda dalam pengalaman organisasi mereka. Sebagai hasilnya, pria dan wanita menampilkan berbagai perbedaan perilaku, dan mungkin merespons dengan sangat berbeda pula dalam mengelola organisasi bisnis (Lueptow, 1981; Veroff, 1977). Perbedaan jenis kelamin juga dapat mempengaruhi proses pengembangan struktur moral dan sistem nilai yang dianut seseorang. Sebagai contoh, Boldizar et al. (1989) menunjukkan bahwa proses di mana pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan berinteraksi untuk mempengaruhi perkembangan moral orang dewasa secara berbeda antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, Schminke dan Wells (1999) menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap perubahan dalam orientasi etis sebagai hasil dari interaksi kelompok daripada kaum laki-laki. Pandangan lainnya menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam sifat, sikap, perilaku, reaksi pengaturan organisasi, atau pengelolaan organisasi. Bahkan, Deaux (1984) menyimpulkan bahwa gender bukanlah pembeda dalam memeriksa perilaku sosial pada umumnya. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan struktural atas perbedaan jenis kelamin yang mengikuti karya Kanter (1977) dan peneliti lainnya (misalnya, Feldberg dan Glenn, 1979; Markham et al., 1985). Pendekatan struktural menunjukkan bahwa apa pun perbedaan dalam bersosialisasi, perempuan dapat memainkan peran dan kontribusinya dalam pengelolaan organisasi yang tidak berbeda dengan laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan diharapkan dapat merespon yang sama dalam melakukan kerja sama. Menurut pandangan ini, manajer perempuan jauh
42
lebih mirip dengan laki-laki daripada melihat dari sisi yang berbeda (Morrison et al., 1987; Powell, 1990). Berdasarkan pandangan yang demikian kontras, maka pada penelitian ini dirumuskan beberapa hipotesis untuk diuji apakah terdapat perbedaan persepsi mengenai etika berdasarkan aspek demografi dan status keprofesiannya, sebagai berikut: H1: ada perbedaan persepsi etika bisnis di antara personal selling dan calon personal selling (mahasiswa). H2: ada perbedaan persepsi atas etika menjual berdasarkan perbedaan aspek demografi (terutama perbedaan gender).