BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyediaan Pangan Penyediaan pangan adalah Pengadaan bahan makanan dari proses memilih dan pengolahan makanan. Upaya mencapai status gizi masyarakat yang baik atau optimal dimulai dengan penyediaan pangan yang cukup. Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur-mayur, dan buahbuahan. Agar produksi pangan dapat dimanfaatkan setinggi-tingginya perlu diberikan perlakuan pascapanen sebaik-baiknya.(Almatsier, 2002) Menurut Suryana (2003), apabila ditinjau dari ketersediaan komoditas pangan per kapita per tahun secara mikro pada tingkat rumah tangga masih terdapat masalah yang tidak seimbang dari sisi kecukupan dan komposisinya. Ketersediaan bahan pangan sumber energi dan protein masih secara dominan dipenuhi oleh pangan sumber karbohidrat, khususnya beras. Kelompok padi-padian menyumbang protein sekitar 56-61%, kacang-kacangan sekitar 19% dari total ketersediaan protein, ketersediaan protein dari pangan hewani masih relatif rendah. Undang-undang No.7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya bahan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau, mempunyai pengertian : a. Pangan bukan berarti hanya beras atau komoditas tanaman pangan tapi mencakup makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan. Dengan demikian
Universitas Sumatera Utara
proses produksi pangan tidak hanya di hasilkan oleh kegiatan subsektor pertanian, tapi juga peternakan, perikanan, dan industri pengolahan pangan. b. Penyediaan pangan yang cukup diartikan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu untuk memenuhi asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) yang bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, daya tahan jasmani dan rohani. Dengan demikian ketahanan pangan tidak hanya berupa pemenuhan konsumsi pangan saja tapi harus memperhatikan kualitas dan keseimbangan konsumsi gizi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) tentang pengaruh penyuluhan gizi terhadap perilaku ibu dalam penyediaan menu seimbang untuk balita, menyimpulkan bahwa pengetahuan ibu yang rendah tentang penyediaan menu seimbang sangat berpenaruh terhadap pemberian makanan anak balita dan status gizinya. Ketersediaan pangan di keluarga harus memenuhi jumlah yang cukup untuk memenuhi seluruh anggota keluarga baik jumlah, mutu dan keamanannya. Kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi seimbang dipengaruhi oleh daya beli (kemiskinan), pengetahuan dan juga oleh kemampuan wilayah dan rumah tangga memproduksi dan menyediakan pangan secara cukup, aman, dan kontiniu. Keluarga yang mampu memenuhi hal ini disebut sebagai keluarga yang memiliki ketahanan pangan yang baik. Pangan dalam kelurga dipengaruhi oleh ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana penyediaan pangan mencakup kualitas dan kuantitas bahan pangan untuk memenuhi standart kebutuhan energi bagi individu agar mampu menjalankan aktifitas sehari-hari (Dinkes Prop Sumut, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Penyediaan Menu Seimbang Untuk Balita Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap artinya kualitas dari
makanan harus baik dan kuantitas makanan pun harus cukup, dan bergizi artinya makanan mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dengan memperhitungkan: 1. Pada periode ini dibutuhkan penambahan konsumsi zat pembangun karena tubuh anak sedang berkembang pesat. 2. Bertambahnya aktivitas membutuhkan penambahan bahan makanan sebagai sumber energi. 3. Untuk perkembangan mentalnya anak membutuhkan lebih banyak lagi zat pembangun terutama untuk pertumbuhan jaringan otak yang mempengaruhi kecerdasan walaupun tak secara signifikan. 2.3.
Pengaturan Makanan Untuk Balita Dalam merencanakan pengetahuan makanan makan untuk balita, jika kita
hendak menentukan makanan yang tepat untuk seorang bayi atau anak, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menentukan jumlah kebutuhan zat gizi dengan menggunakan data tentang kebutuhan zat gizi. 2. Menentukan jenis bahan makanan yang dipilih untuk menterjemahkan zat gizi yang diperlukan dengan menggunakan daftar komposisi zat gizi dari berbagai macam bahan makanan. 3. Menentukan jadwal waktu makan dan menentukan hidangan. Perlu pula ditentukan cara pemberian makan. 4. Memperhatikan masukan yang terjadi terhadap hidangan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Perlu dipertimbangkan kemungkinan faktor kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu makanan. Perhatikan pula bila ia betul-betul terjadi keadaan anoreksia. Bila tidak terdapat sisa makanan, mungkin makanan yang diberikan jumlahnya kurang. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk pengaturan makan yang tepat adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan, kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, akseptabilitas dari makanan dan toleransi anak terhadap makanan yang diberikan. Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut di atas, umumnya tidak akan banyak terjadi kekeliruan dalam mengatur makan untuk seorang anak balita. Pada umumnya kepada anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan yang serupa, yaitu 3 kali makan dan diantaranya dapat diberikan makanan kecil (Husaini, 1999). 2.4.
Pemilihan Bahan Makanan Ada 3 faktor yang mempengaruhi pemilihan bahan makanan, yaitu (1) Jenis
dan banyaknya pangan yang dikonsumsi dan tersedianya pangan. (2) tingkat pendapatan dan (3) Pengetahuan gizi. Bahan makanan perlu diperhatikan dan dipilih yang sebaik-baiknya dilihat dari segi kebersihan, penampilan dan kesehatan. Penjamah makanan dalam memilih bahan yang akan diolah harus mengetahui sumber-sumber makanan yang baik serta memperhatikan ciri-ciri bahan yang baik. 2.5.
Pengolahan Bahan Makanan Menurut Sediaoetama (1989), terdapat beberapa tingkat pengolahan bahan
makanan, antara saat dipanen sampai dikonsumsi di ats meja. Suatu bahan makananmungkin mengalami pengolahan pada semua tingkatnya, tetapi mungkin
Universitas Sumatera Utara
pula hanya sebagian dari padanya.Tingkat pengolahan bahan makanan tersebut meliputi : 1. Pengolahan Pasca Panen (Posthaverst) Pengolahan bahan makanan setelah dipanen (nabati maupun hewani), disebut pengolahan pasca panen. Tujuan pengolahan pasca panen ini adalah : a. Menghindari kerusakan atau pembusukan yang berlebihan, bahkan agar makanan utuh dan segar terus. b. Menghasilakan produk yang tahan lama untuk disimpan atau diangkut dalam jarak jauh. c. Menghasilkan produk yang sesuai untuk pengerjaan khusus lebih lanjut (sesuai kualitas dan kondisi fisiknya). d. Menghasilkan produk yang memenuhi kualitas dan persyaratan lain yang diminta oleh pasaran konsumen. Pengerjaan pasca panen yang dikenakan pada berbagai bahan makanan tersebut berbeda untuk bahan makanan yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada tujuan pengolahan dan jenis bahan makanan. 2. Pengolahan di Dapur Rumah Tangga Sebelum dihidangkan diatas meja makan untuk dikonsumsi, bahan makanan yang dibeli atau dipetik dikebun atau pekarangan sekitar rumah, mengalami berbagai pengerjaan di dapur rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk : a. Memudahkan bentuk makanan yang dikonsumsi b. Menjamin keamanan pangan c. Menambah rasa enak dan menarik dari bahan makanan yang dikonsumsi.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dapur rumah tangga sebelum dikonsumsi meliputi : 1. Penyiangan Bahan Makanan Bahan makanan nabati yang datang di dapur rumah tangga pada umumnya mempunyai bagian-bagian yang tidak dapat dimakan, sehingga harus dibuang dan dibersihkan dari bagian yang akan di masak lebih lanjut. Pada sayuran dan buahbuahan, bagian yang rusak atau busuk harus dipotong atau disingkirkan. Pada penyiangan bahan makanan, zat-zat yang terbuang tidak begitu banyak, sehingga tidak berarti bagi penurunan nilai gizi makanan yang dikonsumsi. Namun demikian, pembuangan kulit buah yang terlalu tebal dapat menyebabkan cukup banyak zat gizi yang ikut terbuang mubazir. 2. Pemotongan Menjadi Ukuran Kecil Pemotongan dan perajangan bahan makanan mempunyai tujuan utama agar ukuran yang dikomsumsi menjadi cukup kecil sehingga mudah dimasukkan ke dalam rongga mulut untuk dikunyah lebih lanjut. Terutama bahan makanan yang agak keras dan akan lebih mudah dikunyah bila dimakan dalam bentuk potonganpotongan keciltersebut. Potongan dan perajangan bahan makanan dapat mempengaruhi kepada kandungan zat-zat gizi, sehingga menurunkan nilai gizi bahan makanan tersebut apabila dikerjakan sembarangan. 3. Pencucian Mencuci bahan makanan sebelum dimasak dapat dilakukan sebelum dipotong dan dijaring atau setelahnya. Biasanya bahan makanan tidak lagi dicuci setelah dihaluskan. Dengan mencuci kotoran yang melekat pada permukaan luar, bahan makanan dibersihkan. Hal ini perlu karena ketika sedang dipasarkan, sering bahan Universitas Sumatera Utara
makanan tersebut tidak dibungkus atau dilindungi terhadap pengotoran dan pencemaran. Pencucian bahan makanan sebaiknya dilakukan dengan air mengalir atau dibawah pancuran (kran air leding). Mencuci bahan makanan lebih baik dikerjakan sebelum bahan makanan tersebut dipotong atau dirajang, karena zatzat mudah larut dalam air akan ikut terbuang dengan air pencuci tersebut. 4. Pengolahan Dalam Proses Pemasakan Dalam proses pembuatan masakan didapur rumah tangga, dilakukan pengolahan dengan : a. Pengolahan Thermis Sebenarnya pengertian masak secara luas tidak hanya pengolahan yang mempergunakan pengaruh thermal, karena termasuk pula cara-cara mengolah lainnya, misalnya dalam hal membuat acar. Pemasaran mengubah sifat-sifat physiko-kimiawi makanan dengan akibat lebih lanjut kepada nilai gizinya. b. Pengolahan Kimiawi Secara tidak sadar, para ibu rumah tangga mungkin juga mempergunakan pengolahan kimiawi ketika memasak makanan di dapur. Pada pembuatan masakan acar misalnya, bahan makanan nabati direndam dalam larutan asam cuka, sehingga terdapat pH yang sangat rendah. Zat-zat gizi pada umumnya menjadi lebih stabil dalam kondisi pH rendah, sehingga pemasakan menjadi acar berpengaruh baik atas kandungan zat-zat gizinya.
Universitas Sumatera Utara
c. Pengolahan mikrobiologis Pengolahan makanan secara mikrobiolofis ini juga sering dilakukan oleh ibu rumah tangga di dapur, dengan mempergunakan jenis jamur atau kapang dan ragi (yeast). Jamur dipergunakan pada pembuatan tempe oncom, sedangkan ragi (yeast) dipergunakan pada pembuatan kue (bika ambon) dan roti. Cara ini lebih banyak dilakukan di pabrik-pabrik untuk menghasilkan produk yang dipasarkan dan hanya sedikit para ibu yang melakukannya di dapur rumah tangga. Menurut Dewi (2004) pengolah makanan menyangkut 4 (empat) aspek yaitu : a. Penjamah makanan Penjamah makanan adalah seorang tenaga yang menjamah makanan mulai dari mempersiapkan, mengolah, menyimpan, mengangkut maupun dalam penyajian makanan. Pengetahuan, sikap, dan prilaku seorang penjamah mempengaruhi kualitas makanan yang dihasilkan. Penjamah juga dapat berperan sebagai penyebar penyakit, hal ini bisa terjadi melalui kontak antara penjamah makanan yang menderita penyakit menular dengan konsumen yang sehat, kontaminasi terhadap makanan oleh penjamah yang membawa kuman. b. Cara Pengolahan Makanan Persyaratan pengolahan pangan adalah semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung antara penjamah dengan makanan. Perlindungan kontak langsung dengan makanan jadi dilakukan dengan : sarung tangan, penjepit makanan, sendok, garpu, dan sejenisnya. Dan setiap tenaga
Universitas Sumatera Utara
pengolahan makanan pada saat bekerja harus memakai celemek, tutup rambut, tidak merokok dan tidak mengunyah makanan. c. Tempat Pengolahan Makanan Tempat pengolahan makanan dimana makanan diolah sehingga menjadi makanan jadi biasanya disebut dengan dapur, menurut Depkes RI 1994 perlu diperhatikan kebersihan tempat pengolahan tersebut serta tersedianya air bersih yang cukup. d. Perlengkapan/Peralatan dalam Pengolahan Makanan Prinsip dasar pesyaratan perlengkapan/peralatan dalam pengolahan makanan adalah aman sebagai alat/perlengkapan pengolahan makanan. Aman ditinjau dari bahan yang digunakan dan juga desain perlengkapan tersebut. 2.5.1. Penyimpanan Bahan Makanan Menurut Depkes RI (1994) penyimpanan makanan dimaksudkan untuk mengusahakan makanan agar dapat awet lebih lama. Kualitas makanan yang telah diolah sangat dipengaruhi oleh suhu, dimana terdapat titik-titik rawan untuk perkembangbiakan bakteri patogen dan pembusuk pada suhu yang sesuai dengan kondisinya. Penyimpanan bahan makanan merupakan suatu tata cara menata, menyimpan, dan memelihara keamanan bahan makanan, baik kualitas maupun kuantitas. Penyimpanan bahan makanan ini bertujuan untuk : 1. Memelihara dan mempertahankan kondisi dan mutu bahan makanan yang disimpan. 2. Melindungi bahan makanan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan, dan gangguan lingkungan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan makanan dengan mutu dan waktu yang tepat. 4. Menyediakan persediaan bahan makanan dalam macam, jumlah, dan mutu yang memadai. 2.5.2. Penyajian Makanan Penyajian makanan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebelum makanan di konsumsi. Menurut Permenkes No304/Menkes/Per/IX/1989, persyaratan penyajian makanan adalah sebagai berikut : 1. Harus terhindar dari pencemaran 2. Peralatan untuk penyajian harus terjaga kebersihannya 3. Harus dijamah dan diwadahi dengan peralatan bersih 4. Penyajian dilakukan dengan prilaku yang sehat dan pakaian yang bersih 5. Penyajian makanan harus memenuhi persyaratan berikut : -
Ditempat yang bersih
-
Meja ditutup dengan kain putih atau plastik
-
Asbak tempat abu rokok setiap saat dibersikan
-
Perlatan makan dan minum yang telah dipakai paling lambat 5 menit sudah dicuci
2.6.
Higiene Dan Sanitasi Higiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada manusia. Usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena Universitas Sumatera Utara
pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan lingkungan disebut higiene (Depkes RI, 2009). Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu kesehatan mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama proses pengolahan, penyiapan, pengangkutan, penyajian, sampai pada saat makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada pasien.(Direktorat Hygiene dan Sanitasi, Dinjen Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular). Dalam mengolah suatu makanan, penjamah makanan harus memperhatikan berbagai aspek higiene dan sanitasi. Higiene dan sanitasi merupakan suatu tindakan atau upaya untuk meningkatkan kebersihan dan kesehatan melalui pemeliharaan dini setiap individu dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya, agar individu terhindar dari ancaman kuman penyebab penyakit (Depkes RI, 1994). Sanitasi makanan dimulai sebelum makanan di produksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan pada saat makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsi. 2.6.1. Tujuan Higiene Dan Sanitasi Makanan Menurut Prabu (2008) sanitasi makanan bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan yang akan merugikan pembeli, mengurangi kerusakan/pemborosan makanan. Higiene dan sanitasi makanan bertujuan untuk mengendalikan faktor
Universitas Sumatera Utara
makanan, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. 2.7.
Status Gizi
2.7.1. Status Gizi anak Balita Mc. Laren memberikan batasan gizi atau nutrisi sebagai suatu proses dimana makhluk hidup memanfaatkan makanan untuk keperluan pemeliharaan fungsi organ tubuh, pertumbuhan dan penghasil energi. Manfaat makanan diperoleh melalui proses pencernaan, penyerapan, transpor dalam tubuh, penyimpanan, metabolisme dan membuang sisa-sisa yang tidak diperlukan tubuh (Berg, 1981). Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh asupan gizi (konsumsi pangan) dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut sering terjadi dan saling mempengaruhi. Penyebab langsung ini dapat timbul karena tiga faktor penyebab tidak langsung seperti ketahanan air bersih dan pelayanan kesehatan dasar. Lebih jauh masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan, ketahanan pangan dan kesempatan kerja yang sempit (Depkes RI, 1995). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukmawaty (2010) tentang konsumsi pangan dan status gizi anak peserta program pendidikan anak usia dini, menyimpulkan bahwa anak balita yang mempunyai status gizi normal ditemukan pada keluarga kecil (3-4 orang), pendapatan keluarga tinggi dan pengetahuan gizi ibu baik. Sementara anak balita yang gizi kurang, pendek dan kurus ditemukan pada keluarga besar (7-9 orang) dan pengetahuan gizi ibu kurang. Anak balita yang memiliki status gizi normal ditemukan pada keluarga yang konsumsi energi dan protein baik. Sementara gizi kurang, pendek dan kurus pada konsumsi energi dan protein keluarga kurang dan defisit. Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Kebutuhan Zat Gizi Pada Anak Balita Menurut Uripi (2004) kebutuhan zat gizi pada balita adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan. Kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, berat badan, aktivitas dan tinggi badan. Kebutuhan zat gizi pada balita harus cukup dan seimbang karena anak balita sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Kebutuhan energi dan protein balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata per hari yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi (1998) dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.1 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata per hari. No Golongan Umur Berat Badan Tinggi Badan Energi Protein (kg) (cm) (kkal) (gr) 1 1-3 12 90 1.250 23 2 4-5 18 110 1.750 32 Fungsi utama energi sebagai zat tenaga yang menunjang aktivitas sehari-hari dan fungsi utama protein sebagai zat pembangun bagi jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Makan makanan yang beraneka ragam menunjang terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi balita. Konsumsi pangan yang cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor yang menentukan agar proses tumbuh kembang anak balita menjadi optimal dan memiliki daya tahan tubuh yang kuat (Depkes RI, 2000). 2.8.
Pengukuran Status Gizi Balita Untuk mengetahui, menilai status gizi dapat dilakukan secara langsung
dengan pemeriksaan Antropometri, pemeriksaan tanda tanda klinik, penilaian secara biokimia dan pemeriksaan biofisik. Untuk penelitian di lapangan lebih sering
Universitas Sumatera Utara
digunakan Antropometri, karena relatif murah dan mudah, objektif dan dapat dengan cepat dilakukan pengukuran serta dapat dilakukan setiap orang setelah dilatih. Status gizi anak balita dapat diukur dengan indeks antropometri BB/U, TB/U, dan BB/TB. 2.8.1. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat dan tingkat gizi. Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan, akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan dan keterangan untuk pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1. Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitive, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang. 2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukurannya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu. Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi badan (BB/TB) (Depkes RI, 1995) 2.8.1.1.
Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Supariasa (2002), berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tetang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh Universitas Sumatera Utara
sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak misalnya karena penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau berkembang lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat-sifat ini, maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current nutritional status). 2.8.1.2.Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau, dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (tujuh tahun), menggambarkan status gizi masa balitanya. Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan dengan kesahihan pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur (Jahari, 1998). Universitas Sumatera Utara
2.8.1.3.Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini dan masa lalu, terlebih bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu indeks berat badan menurut tinggi badan disebut pula sebagai indikator yang independen terhadap umur. Karena BB/TB memiliki keuntungan dan kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita (B. Abas, 1998).
Universitas Sumatera Utara
2.9.
Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan latar belakang, tujuan dan manfaat, maka kerangka konsep
penelitian adalah sebagai berikut :
Penyediaan Pangan Keluarga - Pemilihan Bahan Makanan
Asupan Gizi - Energi - Protein
- Pengolahan Bahan Makanan
Status gizi Balita
______ : Yang akan di teliti _ _ _ _ : Tidak diteliti Dari kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa dalam penyediaan pangan keluarga yaitu pemilihan dan pengolahan bahan makanan mempengaruhi status gizi balita.
Universitas Sumatera Utara