BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Kokas Kokas merupakan hasil pirolisis dari bahan organik dengan kandungan karbon yang sangat tinggi yang mana setidaknya bagian di dalam kokas tersebut telah melewati fase cair atau kristal-cair selama proses karbonisasi dan terdiri dari karbon non-grafit. Kebanyakan bahan-bahan pembentuk kokas adalah karbon yang dapat berbentuk grafit. Struktur mereka adalah campuran dari tekstur optik dengan berbagai ukuran, dari isotropik optik hingga anisotropi (-200um diameter). (Bahan Bacaan OJT CE Meter) Kokas merupakan produk yang terbesar tonasenya hasil destilasi batubara. Kebutuhan akan kokas bergantung pada kebutuhan akan baja. Kira-kira 98 persen produksi ter batubara didapat dari tanur hasil sampingan. Dewasa ini, dengan banyaknya aromatik yang dihasilkan industri migas, hasil utama distilasi batubara beralih menjadi penyediaan kokas untuk industri baja. Walaupun kokas dapat juga dibuat dari migas, ada dua macam prosedur pengkokasan batubara, yaitu proses sarang tawon (bee – hive) dan proses hasil samping (by – product). Proses sarang tawon merupakan proses yang sangat kuno. Pada tabor hasil sampingan, muatan berupa batubara, yang campurannya diatur dengan teliti, dipanaskan dari dua sisi sehingga kalor mengalir ke tengah, dengan demikian menghasilkan kokas yang lebih kecil dan lebih padat dari yang dihasilkan pada tanur sarang tawon. (George T. Austin, 1985)
Universitas Sumatera Utara
Bila batubara dipirolisis atau di destilasi dengan memanaskannya tanpa kontak dengan udara, ia akan terkonversi menjadi zat padat, cair, dan gas. Dalam prakteknya, suhu tanur dijaga diatas 900º C, tetapi bisa juga berkisar antara 500º C sampai 1000º C. Produk utamanya (menurut beratnya) adalah kokas. Jika unit itu menggunakan suhu 450º C sampai 700º C, proses tersebut disebut karbonisasi suhu rendah (low- temperature carbonization), sedangkan pada suhu diatas 900º C, disebut karbonisasi suhu tinggi ( high- temperature carbonization). Kokas merupakan bahan baku dalam pembuatan anoda karbon yang akan
digunakan dalam proses elektrolisis sebagai kutub positif.
(Bahan bacaan OJT CE Meter)
2.2. Jenis-jenis kokas Jenis-jenis kokas dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Green Coke adalah hasil karbonisasi padatan yang utama yang dihasilkan dari pemanasan fraksi karbon pada temperatur dibawah 900 0K (juga disebut kokas baku) b. Calcined Coke adalah kokas yang berasal dari minyak bumi atau kokas dari hasil pengolahan batubara dengan sebuah fraksi massa dari hidrogen kurang dari 0,1% berat. Kokas jenis ini dihasilkan melalui pemanasan dari Green Coke hingga suhu kira-kira 1600 K. c. Petroleum Coke adalah hasil karbonisasi dari fraksi didih karbon yang terbentuk dalam proses pengolahan minyak bumi d. Coal Derived Pitch Coke adalah hasil karbonisasi padatan yang paling utama dalam industri yang dihasilkan dari coal-tar-pitch atau ter (aspal).
Universitas Sumatera Utara
e. Metallurgical Coke yang dihasilkan melalui karbonisasi batubara atau campuran batubara pada temperatur hingga diatas 1400 K untuk menghasilkan bahan karbon makroporos yang kuat. f. Delayed Coke adalah bentuk yang paling umum digunakan untuk hasil karbonisasi utama pada fraksi didih hidrokarbon melalui proses pemasakan kokas. Delayed Coke memiliki tingkat grafit yang lebih baik dibandingkan dengan kokas yang dihasilkan dengan proses lain bahkan dengan bahan dasar yang sama. Hasil utama dari delayed coke ini adalah sponge coke dan needle coke. Shot coke juga dihasilkan seperti timbunan bola dengan diameter 1-2 mm, tapi tidak memiliki nilai jual. g. Sponge Coke memiliki tekstur optik yang tak-terorientasi (tak-terarah) dan digunakan sebagai pengisi untuk elektroda pada industri aluminium. h. Needle Coke adalah bentuk umum yang digunakan untuk kokas jenis khusus dengan tingkat grafit yang tinggi yang dihasilkan dari struktur mikrokristal yang dimilikinya. (Harry Marsh, 1989)
2.3. Pengotor Kokas dan Pengaruhnya Kualitas dan bahan-bahan dari green coke sangat erat hubungannya dengan sumber bahan mentah dan proses pemasakan kokas. Umumnya minyak mentah yang berasal dari Cina mengandung sulfur dan vanadium yang rendah tapi tinggi kandungan kalsium, silikon, dan nikel. 70% sulfur dan 90% dari pengotor logam terkonsentrasi dalam green coke. Yang menarik perhatian bagi para pengguna petroleum coke adalah kadar pengotor di dalamnya dan struktur fisika dari kokas tersebut. Pengotor tersebut dapat terbentuk dari
Universitas Sumatera Utara
elemen-elemen yang terikat secara kimia dalam membentuk kokas. Molekul-molekul seperti sulfur, vanadium, dan nikel. Kotoran (impurities) tersebut juga dapat terbentuk dari elemen-elemen yang memang ada di dalam kokas tersebut seperti silikon, besi, natrium, dan kalsium. 1. Sulfur : adalah elemen yang paling umum dijumpai di dalam minyak mentah. Jumlah sulfur dalam petroleum coke sangat diperhatikan bagi para pengguna. Konsentrasi yang tinggi di dalam kokas yang membentuk anoda dapat menyebabkan masalah lingkungan pada produksi anoda karena semua sulfur tersebut dilepaskan dalam bentuk SO2/SO3 ke atmosfer. 2. Vanadium : terkandung di dalam minyak mentah dan residunya hampir secara kuantitatif ditemukan sebagai senyawa kompleks purin di dalam kokas. Jumlah vanadium yang ada sangat diperhatikan dalam pembuatan anoda karena konsentrasi yang tinggi meningkatkan reaktifitas udara pada anoda. Dalam produksi aluminium (proses peleburan) vanadium dikurangi dan ditemukan, sebagai pengotor dalam logam tersebut. 3. Nikel : terkandung di dalam minyak mentah dan seperti vanadium hampir secara kuantitatif dapat ditemukan di dalam kokas. Layaknya vanadium, nikel akan berakhir di dalam aluminium. 4. Natrium : terjadi sebagai kontaminan dalam produksi minyak mentah. Jika ini tidak dihilangkan maka natrium akan berakhir di dalam kokas. Sodium (natrium) memiliki dampak terhadap reaktifitas karboksi dari anoda. 5. Besi : terjadi sebagai kontaminan yang masuk kedalamnya dan seperti vanadium dan nikel yang akan berakhir sebagai pengotor dalam aluminium.
Universitas Sumatera Utara
6. Kalsium : muncul sebagai senyawa organik maupun anorganik. Senyawa anorganik ada dalam bentuk CaCl2, CaCO3 dan CaSO4, sementara senyawa organik Ca terikat kepada asam naftenik dan asam fenolik. Ca memiliki dampak negatif terhadap (Liu Fengqin, 2004)
reaktifitas CO2 dari kokas.
Unsur-unsur di dalam petroleum coke yang dapat mempengaruhi kinerja anoda dalam proses elektrolisis dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini : Typ. Elements
Values
Anodes Metal
Consumption/
Current
Pollution
Energy Quality
Consumption
Efficiency
S
%
0.5 - 3.5
O
H
%
0.05 - 0.10
O
Si
ppm
50 – 250
o
Fe
ppm
50 – 400
o
Ti
ppm
5 – 10
o
Pb
ppm
1 – 10
o
Ni
ppm
50 – 220
o
o
V
ppm
30 – 350
o
o
Na
ppm
30 – 120
o
K
ppm
5 – 10
o
Ca
ppm
20 – 100
o
P
ppm
1 – 10
O
o
o
(Werner K. Fischer, 1995)
Universitas Sumatera Utara
Memproduksi kokas dari bahan baku dengan konsentrasi aspal dan resin yang tinggi akan menghasilkan kokas dengan konsentrasi pengotor yang tinggi pula seperti sulfur dan vanadium, menjadikan kokas tersebut tidak sesuai lagi peruntukkannya dalam produksi batangan anoda. Sebuah bahan baku dengan kandungan molekul aromatik yang tinggi, seperti residu vakum dengan kira-kira 50% berat karbon aromatik, menghasilkan kokas yang sesuai untuk elektroda pada proses aluminium. Membuat kokas dari bahan baku dengan kandungan karbon aromatik yang tinggi akan menghasilkan sebuah kokas dengan kualitas yang baik, yang dikenal sebagai needle coke. Beberapa jenis bahan-bahan dari kokas hasil kalsinasi minyak bumi yang digunakan dalam
produksi
elektroda
dapat
dilihat
pada
tabel
2
berikut
:
(Markus W. Meier, 1996) Property
Unit
Typical Value
Water content
wt. %
0.0 – 0.2
Oil content
wt. %
0.10 – 0.30
> 8 mm
wt. %
10 – 20
8 - 4 mm
wt. %
15 – 25
4 - 2 mm
wt. %
15 – 25
2 - 1 mm
wt. %
10 – 20
1 - 0.5 mm
wt. %
5 – 15
0.5 - 0.25 mm
wt. %
5 – 15
< 0.25 mm
wt. %
2–8
Grain size
Tapped bulk dens. 2 - 1 mm Grain stability
8 - 4 mm
Density in xylene Specific electrical resistance
kg/dm
3
wt. % kg/dm µΩm
3
0.80 – 0.86 75 - 90 2.05 – 2.10 460 - 540
Universitas Sumatera Utara
CO2 reactivity loss 1000 C
wt. %
3 - 15
Air reactivity at 525 C
%/min
0.05 - 0.3
Ǻ
25 - 32
wt. %
0.10 – 0.20
wt. %
0.5 – 3.5
V
ppm
30 - 350
Ni
ppm
50 - 220
Si
ppm
50 - 250
Fe
ppm
50 - 400
Al
ppm
50 - 250
Na
ppm
30 - 120
Ca
ppm
20 - 100
Mg
ppm
10 – 30
Crystallite size Lc Ash content Unsur
S
(Markus W. Meier, 1996) 2.4.
Kegunaan Lain dari Kokas Berdasarkan pada jenis yang akan diproduksi dan kadar pengotor yang spesifik yang
ada dalam hasil akhir, petroleum coke pada dasarnya digunakan untuk tiga jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan ini dapat diklasifikasikan sebagai bahan bakar, elektroda, dan metalurgi. Klasifikasi yang keempat masih relatif baru digunakan, yaitu gasifikasi, yang masih dalam tahap evaluasi bagi perusahaan-perusahaan tapi tidak memberikan hasil yang cukup signifikan pada saat ini. Penggunaan sebagai bahan bakar Penggunaan petroleum coke sebagai bahan bakar umumnya masuk kepada dua kategori, bahan bakar untuk pembangkit tenaga uap dan bahan bakar untuk pabrik semen. Untuk
Universitas Sumatera Utara
penggunaan ini, kokas biasanya dicampur dengan batubara bitumen atau digunakan dalam kombinasi dengan minyak atau gas. Pada umumnya, kokas sebagai bahan bakar digunakan dalam kombinasi dengan batubara bitumen memiliki keuntungan sebagai berikut disamping batubara bitumen itu sendiri : 1. Grinding (penggilingan). Kokas lebih mudah untuk digiling daripada batubara bitumen, dihasilkan dengan biaya penggilingan yang lebih murah dan tidak perlu perawatan yang lebih. 2. Nilai Pemanasan (Heating Value). Nilai pemanasan dari petroleum coke adalah lebih dari 14.000 Btu/lb, dibandingkan dengan 9000 sampai 12.500 Btu/lb untuk batubara. 3. Kandungan abu. Kandungan abu yang sangat rendah (kurang dari 0,5 persen berat) dari kokas menghasilkan biaya pengolahan yang lebih murah. Penggunaan Untuk Elektroda Kadar sulfur yang rendah, sponge coke dengan kadar logam yang rendah, setelah proses kalsinasi, dapat digunakan untuk membuat anoda pada industri aluminium. Industri aluminium merupakan industri satu-satunya yang mengkonsumsi kokas paling banyak. Untuk setiap pon dari aluminium yang dihasilkan melalui proses peleburan hampir ½ lb dari kokas hasil kalsinasi yang digunakan. Needle coke merupakan petroleum coke yang paling banyak dipesan yang dihasilkan dari bahan aromatik dengan kandungan sulfur yang rendah. Penggunaan utama dari needle coke yang dkalsinasi adalah pada pembuatan elektroda grafit untuk dapur elektrik pada industri baja.
(Robert A. Meyers, 1986)
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, anoda prapanggang untuk produksi aluminium terdiri dari sekurangkurangnya 65% petroleum coke, 20% batang anoda yang didaur ulang, dan 15% coal tar pitch sebagai perekat. Bahan dasar lainnya juga digunakan, atau masih digunakan, sebagai contoh cairan kokas, kokas dari batubara, dan pitch minyak bumi. Dikarenakan jumlahnya yang relatif kecil, tidak ada satu pun dari bahan ini yang sangat mempengaruhi dalam produksi anoda. Petroleum coke yang digunakan untuk pembuatan anoda yang berkualitas dihasilkan dari fraksi minyak berat (heavy residual) dari minyak mentah, melalui sebuah proses yang dikenal dengan istilah delayed coking. Viskositas dari cairan hidrokarbon yang terbentuk pada proses melalui fase transisi dari cairan ke bentuk padat diperoleh dengan cara cracking, dehidrogenasi, dan polimerisasi. Kokas yang “baru” atau green coke yang dihasilkan belum sesuai sebagai kokas pengisi di dalam elektroda. Kokas ini merupakan sebuah amorf, struktur yang sangat lemah, termasuk di dalam jenisnya 8 – 15 % berat merupakan hidrokarbon yang mudah menguap. Kokas ini juga memiliki reaktifitas yang tinggi dan konduktivitas listrik yang lemah. Sebagai proses lanjutan green coke tadi dilakukan pemanasan yang ditujukan menjadi kokas pengisi dalam elektroda, proses tersebut dikenal sebagai kalsinasi. Selama proses kalsinasi hingga mencapai suhu 1350 0C, kokas mengecil hingga kira-kira 10 – 14 % berat dan kandungan senyawa volatil berkurang sampai 0,5% berat. Senyawa-senyawa yang mudah menguap ini dilepaskan sebagai gas, seperti CH 4, C2H6, H2, H2S, dan CH3SH. Kualitas kokas yang dihasilkan dari kalsinasi dikendalikan oleh komposisi kimia dari bahan baku sebagaimana parameter operasional selama proses coking dan kalsinasi. (Markus W. Meyer, 1996)
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan metalurgi Petroleum coke dengan kandungan sulfur yang rendah (2.5% berat atau kurang) dapat digunakan dalam metalurgi besi ketika dicampurkan dengan batubara yang rendah kemampuan menguapnya. Petroleum coke yang digunakan dalam penuangan besi atau untuk pembuatan baja meningkatkan bahan-bahan dari batubara melalui penurunan jumlah zat yang mudah menguap dan meningkatkan nilai rata-rata pemanasan. Kandungan logam dalam kokas tidak menjadi masalah dalam industri metalurgi. (Robert A. Meyers, 1986) 2.5. Analisis dengan X-Ray Fluorescene X-Ray Fluoerescene merupakan suatu metode analisis suatu bahan yang sifatnya tidak merusak (non-destruktif). Sebuah sumber X-ray digunakan untuk meradiasi sampel dan menyebabkan unsur-unsur di dalam sampel tersebut mengeluarkan karakteristik sinar X yang mereka miliki. Sebuah system pendeteksi digunakan untuk mengukur posisi puncak pendaran sinar x untuk identifikasi kualitatif terhadap keberadaan unsur, dan mengukur intensitas puncak untuk penentuan kuantitatif terhadap komposisi tersebut. Semua unsur terkecuali unsur dengan massa atom yang rendah dapat dianalisis dengan menggunakan alat X-Ray Fluorescene. Ketika sebuah unsur ditembakkan oleh sinar X, karakteristik radiasi akan dikeluarkan sebagai bentuk energi yang akan dipergunakan elektron dalam perpindahan dari satu orbital ke orbital lainnya. Sinar primer dari tabung (tube) sinar X menyebabkan perpendaran karakteristik berupa garis lurus dari unsur yang terdapat dalam suatu sampel. (Sheralyn M. Hume, 1990)
Universitas Sumatera Utara
Kadar pengotor (impurities) dalam kokas dapat ditentukan dengan menggunakan XRay Fluorescene dengan pellet yang ditekan (pressed) dengan diameter 40 mm. Analisis X-ray fluorescene merupakan metode penentuan elemen dalam padatan atau cairan yang cepat, tidak merusak, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan peralatan konvensional, hal ini berdasarkan pada pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar X yang diemisikan oleh sampel, ketika tereksitasi oleh sinar dari tabung X-ray primer. Pada dasarnya ini merupakan sebuah teknik permukaan, karena sinar primer tidak masuk terlalu jauh kedalam zat tersebut. Biasanya hanya beberapa micrometer untuk unsur-unsur yang cukup berat seperti emas dan sekitar setengah millimeter untuk unsurunsur yang lebih ringan seperti aluminium. Energi yang tinggi yang terkandung di dalam sebuah sinar X menyebabkan sebuah sampel mengeluarkan karakteristik sinar X dari atom-atom di dalam sample tersebut. Elemen diidentifikasi dari panjang gelombang atau energi dari karakteristik radiasi ini, dan konsentrasi dihitung dari pengukuran intensitas. (Clive Whiston, 1987) Penembakan suatu bahan atau logam tertentu oleh sejumlah elektron, yang memiliki energi yang cukup besar dapat menghasilkan sinar-X. Hampir semua energi kinetik dari elektron ini berubah menjadi panas, tapi sebagian dari padanya berubah menjadi sinar X. E = 1,1 X 10-9 Z . V Keterangan : E Z
; Efisiensi pembentukan sinar X ; Nomor atom target
Universitas Sumatera Utara
V
; Tegangan listrik dari sinar X
Prinsip pembentukan sinar X Sinar X Filamen
Target
Elektron
+
_
Listrik bertegangan Tinggi Gambar 1. Pembentukan sinar X X-ray tube adalah sumber sinar X yang paling banyak dipergunakan dalam peralatan diffraksi sinar-X, X-ray tube ini mempunyai berbagai bentuk untuk berbagai kegunaan. Efisiensi kerja dari alat X-ray tube ini, sangat dipengaruhi oleh titik lebur dan daya hantar panas dari target. Pengukuran panjang gelombang dari sinar X adalah melalui pengukuran sudut difraksi dengan menggunakan kristal. Hubungan antara panjang gelombang ( λ ), ketebalan kristal dan sudut difraksi ( θ ) dinyatakan dengan persamaan Braggs : 2 d sin θ = n λ Keterangan : n ; Derajat refleksi ( konstanta ) θ
; Sudut yang terbentuk antara sinar datang dengan bidang kristal.
λ ; Panjang gelombang sinar X.
Universitas Sumatera Utara
d ; Tebal kristal
θ
θ d
Gambar 2. Difraksi Sinar-X
(X-Ray User Guide)
Analisa kualitatif digunakan untuk menentukan elemen-elemen apa saja yang ada di dalam sampel. Ini juga dapat digunakan sebagai analisa kuantitatif untuk menentukan : -
level dan bentuk background
-
Adanya garis lain yang berlebih
Analisa kualitatif biasanya dilakukan dengan memeriksa secara lamban sepanjang sudut 2θ yang terbentuk. Sebuah puncak akan ditemukan hanya jika hokum Bragg terpenuhi. Spektrum yang dihasilkan dari pemeriksaan ini memiliki puncak-puncak yang berkaitan dengan elemen-elemen yang ada dalam sampel. Selama pemeriksaan, goniometer memutar kristal melalui sudut θ sementara detektor berputar melalui sudut 2θ. Ini memastikan bahwa sudut antara sinar-x, kristal dan detektor selalu memenuhi hokum Bragg. Intensitas dari background bergantung pada sejumlah faktor, termasuk : -
komposisi sampel
-
pengaturan optik
-
intensitas sinar-x yang mengenai sampel
Universitas Sumatera Utara
Intensitas dari puncak-puncak tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi dari elemenelemen dalam sampel dan hasil perpendaran dari garis karakteristik, sebagai tambahan dari beberapa faktor diatas. Posisi puncak pada spektrum yang keluar bergantung pada panjang gelombang dari unsur dan Kristal yang digunakan, seperti yang dapat dilihat dengan mengubah hukum Bragg : Sin θ = nλ 2d Karena panjang gelombang untuk setiap elemen adalah sama, variabel satu-satunya adalah 2d jarak dari kristal. Jadi, perbedaan kristal akan menghasilkan puncak pada lokasi yang berbeda untuk elemen yang sama. Analisa kuantitatif digunakan untuk menghasilkan konsentrasi dari elemen-elemen yang ada dalam sampel. Ini merupakan sebuah metode analisa komparatif, yang berdasarkan fakta bahwa intensitas terukur dari radiasi karakteristik dari sebuah elemen dalam sampel langsung terhubung dengan konsentrasinya. Dengan membandingkan intensitas yang terukur dengan intensitas untuk sampel yang telah diketahui konsentrasinya, ini memungkinkan untuk menghitung konsentrasi dari elemen tersebut. Inti dari analisa kuantitatif adalah kalibrasi. Ini membentuk factor konsentris dari intensitas terukur dengan konsentrasi dari sebuah elemen. Setiap elemen yang diinginkan harus dikalibrasi sebelum hasilnya dapat diperoleh. Kalibrasi dilakukan dengan mengukur sejumlah standar (sampel kalibrasi) yang mengandung konsentrasi yang telah diketahui dengan baik dari elemen-elemen tersebut yang diinginkan tadi. Kalibrasi terdiri dari sejumlah tahapan : -
memasukkan data standar
Universitas Sumatera Utara
-
mengukur sampel standar
-
menggambar kurva kalibrasi ; intensitas yang terukur harus digambar versus konsentrasi yang telah diketahui, yang menghasilkan “garis regresi”.
Jika prosedur ini telah diselesaikan untuk semua elemen yang diinginkan, maka sampel normal dapat kemudian diukur dan dihitung konsentrasinya. Intensitas yang direkam ketika mengukur standar kalibrasi digambarkan versus konsentrasi yang telah diketahui dari elemen-elemen tersebut untuk menciptakan “kurva kalibrasi” atau “garis regresi”. Perbandingan intensitas terukur dari sampel normal versus garis tersebut memberikan hasil konsentrasi dari elemen dalam sampel. Garis regresi diekstrapolasi dalam dua arah dari titik yang terukur. Titik dimana garis yang melalui sumbu Y merupakan level background (Rb) dari pengukuran. Konsentrasi dapat diukur dari persamaan : C = (Rp – Rb) / m Dimana : C : konsentrasi Rp: intensitas puncak yang terukur Rb: intensitas background m : slope dari garis regresi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara