BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Anggrek Spathoglottis plicata Blume. dapat dijumpai tumbuh di seluruh kawasan Indonesia termasuk di Provinsi Bengkulu. Tanamannya mudah tumbuh di tempat terbuka dan pada lahan-lahan marginal, padang rumput, di tepi sungai, di tebing-tebing bekas longsor, dimana kompetisi dengan tumbuhan lain tidak terlalu ketat. Klasifikasi lengkapnya seperti dirangkum oleh Jones (2006) sebagai berikut: Kingdom Subkingdom Phylum Subphylum Infraphylum Klas Subklas Superordo Ordo Famili Subfamili Genus Spesies Nama Botani
: : : : : : : : : : : : : :
Plantae Viridaeplantae Tracheophyta Euphyllophytina Radiatopses Liliopsida Liliidae Lilianae Orchidales Orchidaceae Epidendroideae Spathoglottis plicata - Blume Spathoglottis plicata Blume.
Anggrek Spathoglottis tumbuh di tanah atau termasuk anggrek terresterial. Ciri morfologinya antara lain memiliki umbi semu/kormus (cormus) berbentuk bulat telur, tertanam di bawah tanah. Setiap buku dan ujung kormusnya akan muncul tunas, setiap batang terdapat 4-7 daun.
Daunnya berbentuk lancet memanjang
dengan ujung yang meruncing, permukaan daun agak berlipatan (plicate), ukuran daunnya kurang lebih 100 cm x 6 cm. Anggrek S. plicata memiliki tangkai bunga fluorescent yang dapat mencapai 1 m atau lebih, dengan jumlah bunga sekitar 2-3 kuntum yang mekar serentak sementara yang lainnya masih kuncup. Bunga yang membuka penuh berdiameter 3 – 4 cm. Warna bunga bervariasi dari ungu terang, pink hingga putih. Kelopak bunga berbentuk lancet yang melebar di pangkalnya, berukuran 2 cm x 1.5 cm. Bibir bunga berbentuk spatula, runcing di pangkal dan
10
melebar di ujungnya. Tipe yang berbunga ungu memiliki variasi warna kuning di pangkal bibirnya yang bertitik-titik merah (Puspaningtyas et al. 2003). Kurang lebih 40 spesies Spathoglottis diketahui terdapat di Asia Tenggara dan Papua Nugini. Tujuh diantaranya bersifat indigenous terdapat di Filipina dan 21 spesies terdapat di Papua Nugini (Holtum 1972).
Nama generik Spathoglottis
berasal dari bahasa Yunani spathe berarti belati dan glotta berarti lidah, mengacu pada labellum dari genus (Davis dan Steiner 1982). Nama spesifik plicata diperoleh dari penampilan atau lekukan daun plicated . Thompson dan Wright (1995), melaporkan bahwa beberapa spesies anggrek Spathoglottis yang banyak terdapat di Indonesia antara lain S. plicata, S. aurea, S. unguiculata, dan S. angustorum. Anggrek S. plicata warna pink - ungu merupakan anggrek tipe standar yang memiliki penyebaran yang sangat luas mulai dari Sumatera sampai Filipina. Jenis anggrek ini merupakan spesies anggrek tanah yang banyak di budidayakan.
Anggrek
S. plicata warna putih masih sangat jarang dijumpai.
Spesies anggrek dengan warna putih (cv. Alba) banyak terdapat di Sulawesi. Anggrek S. unguiculata sangat mirip dengan S. plicata. Perbedaannya antara lain memiliki tangkai bunga tegak, kokoh dan pendek. Bunga tidak memiliki perpuntiran, sehingga menghadap ke dalam/ke atas pada saat mekar, warna bunga ungu tua, dan ukuran kecil. (Bechtel et al. 1982, Parker 1994). Karakter ini dapat diperbaiki dengan cara menyilangkan dengan S. plicata (Kartikaningrum et al. 2004). S. aurea memiliki daun hijau keunguan, lebar 4 cm, dan panjang tangkai daun 10-20 cm. Lebar bunga 6-7 cm, warna kuning emas, sepal dan petal berukuran sama, keping sisi dan bibir berbintik merah, pangkal bibir berbintik merah tersusun secara longitudinal, dan bibir sempit (lebar sekitar 4 mm) (Kartikaningrum et al. 2007). S. vanoverbergii juga memiliki bunga yang berwarna kuning, agak kecil, berasal dari pegunungan di Luzon (Filipina), kadang-kadang bersifat desiduous, petal lebih besar dari sepal (lebar petal 1.2-1.3 cm, sepal 0.7-0.8 cm). S. Ingham Red, bunganya kuning kecoklatan, dengan bagian permukaan belakang bercorak warna ungu, keping sisi lebar dan membulat di bagian ujung (Davis dan Steiner 1982). Ciri lain dari anggrek Spathoglottis adalah panjang tangkai bunganya. Beberapa jenis memiliki panjang tangkai bunga melebihi tinggi tanaman, sedangkan yang lain rangkaian bunganya tersembunyi di bawah kanopi tanaman karena tangkai bunganya
11
pendek. Bunga mekar tidak serempak dalam satu rangkaian bunga, setelah 2-3 hari bunga layu dan diganti dengan bunga lain secara berurutan. Jumlah bunga yang mekar pada saat yang sama bervariasi berkisar antara 2-3 kuntum per tangkai dan jumlah keseluruhan bunga antara 6-30 bunga/tangkai (Hawkes 1970). Morfologi lengkapnya oleh Lewis Roberts (Roberts 2009) disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Karakterisasi morfologi anggrek S. plicata Blume. (Roberts 2009).
Persilangan menggunakan induk dari spesies yang ada, telah diperoleh beberapa hibrida yang telah dilepas oleh BALITHI Segunung sebagai kultivar baru yaitu S.
plicata cv. Kartika, cv. Ani Yudhoyono dan cv. Bintang Segunung (SK
MENTERI PERTANIAN NOMOR : 506Kpts/PD.210/10/2003). Hasil Persilangan
12
anggrek S.
plicata yang belum dilepas sebagai varietas baru dilanjutkan
penelitiannya untuk melihat keragaan karakter kualitatifnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pemulia di Balithi menunjukkan adanya dominansi warna hasil persilangan dari tetua yang memiliki warna bunga yang berbeda. Urutan dominansi warna bunga Spathoglottis hasil persilangan adalah kuning, ungu tua, ungu muda, merah kecoklatan, pink, dan putih. Persilangan dengan tetua yang telah lanjut akan menghasilkan keturunan yang lebih variatif (Kartikaningrum et al. 2007) Persilangan antar hibrida maupun persilangan antar genus masih dapat dilakukan, karena ada beberapa spesies dan genus yang masih dapat dilakukan hibridisasi. Di alam penyerbukan anggrek Spathoglottis biasanya terjadi dengan bantuan serangga penghisap nektar seperti lebah, kupu-kupu dan beberapa spesies burung yang berukuran kecil (Bechtel et al. 1981, Cribb dan Tang 1982, Davis dan Stiener 1982) Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik yang luas pada Spathoglottis, seperti karakter panjang daun, lebar daun, diameter tangkai bunga, panjang bibir dan lebar bibir (Handoyo dan Prasetya 2006).
Karakter
pertambahan jumlah anakan, lebar daun, diameter tangkai bunga, panjang daun, lebar bibir, panjang tangkai bunga, ratio panjang-lebar bibir, lebar bunga, panjang bunga, dan panjang bibir mempunyai nilai heritabilitas tinggi, sedangkan karakter rasio panjang-lebar bunga, rasio panjang-lebar daun, dan jumlah kuntum mempunyai nilai heritabilitas sedang.
Hal ini membawa implikasi karakter ukuran daun, ukuran
bunga dan bibir, serta pertambahan jumlah anakan memiliki keragaman genetik yang luas dan nilai duga heritabilitas yang tinggi, sehingga seleksi akan efektif bila ditujukan hanya pada karakter tersebut dan karakter tersebut akan diwariskan ke generasi selanjutnya (Kartikaningrum et al. 2005; Kheawwongjun dan Thammasiri 2003). Anggrek Spathoglottis dapat berkembang biak dengan cepat melalui pemisahan anakan. Penanaman kormus tidak boleh seluruhnya terbenam di dalam tanah, separuhnya harus berada diatas permukaan tanah (Holtum 1972).
Perkembang
biakan melalui biji juga dapat dilakukan, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama, dan biasanya keberhasilannya akan tinggi bila melalui teknik kultur jaringan, karena biji anggrek tidak memiliki endosperm sehingga di alam hanya dapat bertahan hidup
13
sekitar 1-5% saja, kecuali bila biji jatuh ketempat-tempat yang terdapat mikoriza yang bersimbiosis dengan anggrek Spathoglottis sp. (Engle 1993, Hawkes 1970). Kartikaningrum et al. (2004) telah melakukan karakterisasi anggrek Spathoglottis sp. Koleksi Spathoglottis yang ada sekarang baru mengarah pada tetua-tetua yang memiliki keragaman karakter panjang tangkai bunga dan warna bunga. Beberapa nomor aksesi genus Spathoglottis yang sudah dikarakterisasi, terdapat keragaman karakter kualitatif pada bunga terutama bentuk sepal dan petalnya, sedangkan karakter-karakter pada daun tidak terdapat keragaman. Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa aksesi Spathoglotis diperoleh tingkat keragaman karakter-karakter morfologi sebesar 26%. Nilai keragaman karakter tersebut tergolong kecil. Peningkatan keragaman morfologi perlu dilakukan, misalnya dilakukan persilangan dengan genus-genus lain yang cocok, seperti Calanthe sp., Phaius sp. dan Bletila/Bletia sp. Warna bunga Spathoglottis dapat dikelompokkan menjadi empat warna dasar yaitu ungu, kuning, pink dan putih. Namun masing-masing warna memiliki gradasi warna dan keragaman yang luas. Perbanyakan Mikro Tanaman Anggrek Metode propagasi cepat sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi permintaan pasar yang semakin meningkat. Metode propagasi berbagai jenis anggrek secara in vitro sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti, diantaranya oleh Martin dan Madassery (2006), Kuo et al. (2005), Nayak et al. (2002) dan Park et al. (2002). Panduan untuk mempercepat pembungaan pada beberapa kultivar anggrek Dendrobium untuk mengatasi masa juvenil yang panjang sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti, diantaranya Sim et al. 2007, Ferreira et al. 2006, Wang et al. 1997. Penggunaan sitokinin sangat penting untuk perbanyakan in vitro berbagai jenis anggrek termasuk anggrek S. plicata. Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang sangat berperan dalam proses proliferasi sel (Ramirez-Parra 2005), menginduksi pembelahan sel serta pembentukan dan perkembangan tunas (Mok 1994), mengaktifkan pucuk tunas lateral yang dorman (Napoli et al. 1999) serta memperlambat senescence (Gan dan Amasino 1995). Umumnya anggrek sudah
14
dapat tumbuh baik tanpa penambahan sitokinin pada medium tanamnya, namun dengan penambahan sitokinin dapat memacu multiplikasi plb dan planlet menjadi lebih cepat. Multiplikasi plb dan planlet anggrek Dendrobium cv. Thampomas tercepat dan tertinggi didapat pada Media MS dengan penambahan 3 ppm BAP (Romeida dan Susanti 2004), sedangkan untuk anggrek Dendrobium silangan (cv. Thampomas x cv. Jaq. Hawaii) di dapat pada media MS dan Media Knudson C dengan penambahan 2% arang aktif dan 5 ppm BAP (Romeida dan Hidayanti 2005).
Jumlah planlet
terbanyak anggrek Dendrobium Chao Praya Smile dihasilkan pada medium MS dengan penambahan 4.4 µM BA (Hee et al. 2009). Seeni dan Latha (1992), melaporkan bahwa regenerasi eksplan daun anggrek Red Vanda (Rhenanthera imschootiana) pada medium Mira dengan penambahan 44.4 µM BA, 17.7 µM NAA, 2 g L-1 sukrosa dan 2 g L-1 pepton menghasilkan kalus mulai dari 10 sampai 12 minggu setelah tanam. Perkembangannya membentuk plb baru terjadi pada medium yang diperkaya dengan 10% air kelapa dan 35 g L-1 bubur buah pisang pada umur 12 minggu setelah sub kultur. Plb yang berkembang menjadi tunas juga dihasilkan setelah 12 minggu. Jumlah tunas tertinggi (multiplikasi tunas tertinggi) dihasilkan pada anggrek Blue Vanda yang mampu mencapai 40 tunas per eksplan juga dihasilkan pada medium yang sama dengan medium untuk Red Vanda hanya konsentrasi air kelapa ditingkatkan menjadi 15% (Seeni dan Latha 2000). Pertumbuhan tunas tertinggi anggrek Vanda spathula dihasilkan pada medium Mitra dengan penambahan kombinasi 44.4 – 66.6 μM BA dengan 28.5 - 40 μM IAA menggunakan explan buku tangkai bunga yaitu sebanyak 12.6 tunas/buku (Decruse et al. 2003). Penggunaan medium MS dengan modifikasi vitamin medium menggunakan B5 telah pula dilakukan untuk meningkatkan multiplikasi dan meningkatkan ketegaran tanaman sebelum diaklimatisasi. Ahmad et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan 30 g L-1sorbitol dapat meningkatkan proliferasi tunas, akar, dan mampu meningkatkan berat basah akar pada batang bawah peach G 677. Kenyo (2002), melaporkan bahwa medium ½MS dengan penambahan 60-90 g L-1 sukrosa mampu mempertahankan pertumbuhan optimum Lili kultivar Avignon dan Bergamo, tanpa menyebabkan pertumbuhan abnormal selama percobaan in vitro. Pembentukan
15
rimpang mikro jahe Gajah dapat pula distimulasi dengan pemberian 4.61 ppm BAP dan 30 g L-1sukrosa (Marlin 2005). Pemuliaan Mutasi Secara umum mutasi didefinisikan sebagai perubahan materi genetik, dan merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik.
Van Harten (1998),
menyatakan bahwa mutasi adalah perubahan sifat secara tiba-tiba dan perubahannya bersifat baka dan menurun atau perubahan genetik yang bersifat mendadak. Ilmu pemuliaan mutasi adalah ilmu pemuliaan berbasis individu sel yang berperan efektif secara genetik (Genetically Effective Cell = GEC). Pada pemuliaan mutasi, pemulia bekerja dengan beberapa GEC. Jadi berbeda dengan pemuliaan silangan (cross breeding), pemulia hanya bekerja dengan satu GEC (Albert et al. 1994) Akibat mutagen akan terjadi perubahan pada DNA baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom (Poespodarsono 1988). Secara molekuler, dapat dikatakan bahwa mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan (‘sequence’) nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas dan embrio. Mutasi berperanan penting dalam proses evolusi. Akibat mutasi terjadi keragaman materi genetik sebagai ‘bahan baku’ dalam pekerjaan program pemuliaan tanaman. Tanaman yang mempunyai serbuk sari yang steril atau tanaman apomiktik obligat, mutasi merupakan sumber pencipta keragaman. Brock (1979) menyatakan, untuk meningkatkan frekuensi kejadian mutasi alami, dilakukan mutasi buatan atau mutasi induksi (induced mutation) dengan menggunakan mutagen.
Mutagen adalah wahana yang digunakan untuk
menciptakan mutasi buatan. Menurut Simmonds (1979) dan Boerjes (1972), secara umum mutagen bisa dibedakan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen fisik adalah radiasi pengion seperti radiasi sinar alpha, sinar neutron, sinar X dan sinar gamma.
16
Poespodarsono (1988) mengelompokkan mutagen dalam tiga golongan, yaitu (1) mutagen kimia, seperti EMS (ethylene methane sulfonate), dES (diethyl sulfonate), BU (bromo urea), NMU (nitrosomethyl urea), NTG (nitrosoguanidine), acridines dan hydroxylamine, (2) mutagen fisik iradiasi, seperti sinar X, sinar α, sinar β dan sinar γ, fast neutron, ion beam dan electron beam (3) mutagen fisik nonradiasi, seperti sinar UV. Sinar–X, sinar gamma dan sinar beta tidak menghasilkan materi radioaktif pada materi yang diradiasi (Ismachin 2007). Sinar gamma (energi tinggi) sangat efektif, efisien dan paling banyak digunakan (Human 2003). Mutagen fisik non-radiasi berdaya tembus rendah, sehingga umumnya digunakan untuk mutasi mikroorganisme. Mutagen kimia bekerja dengan cara mengubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah urutan genetik pada kromosom, sedangkan mutagen fisik iradiasi menyebabkan mutasi karena sel yang teradiasi dibebani tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia; akibatnya, susunan kromosom pun berubah.
Perubahan sujumlah gen atau struktur kromosom akibat iradiasi sinar
gamma, umumnya disebabkan oleh karena terjadinya delesi segmen kromosom, duplikasi, inversi (parasentrik maupun perisentrik), translokasi dan insersi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah kromosom seperti aneuploidi, haploidi dan poliploidi (van Harten 2002). Beberapa elektron yang dilepas mampu menghasilkan energi yang cukup untuk mengionisasi partikel mereka sendiri. Proses ionisasi menghasilkan radikal ion positif dan elektron bebas. Elektron akan terjebak di dalam lingkungan polar di dalam sistem biologi yang banyak mengandung air, sehingga cukup waktu bagi ion radikal yang labil dan aktif untuk bereaksi dengan molekul lain atau masuk ke dalam susunan jaringan yang lebih dalam.
Elektron bebas dapat mempolarisasikan
sejumlah molekul air menjadi elektron berair (e-aq). Radikal bebas yang terbentuk dalam larutan lambat laun akan menggabung sehingga membentuk produk yang stabil. Adanya molekul oksigen (satu biradikal) akan bereaksi dengan radikal bebas yang terbentuk karena radiasi, menjadi radikal–peroksida. Ini berarti bahwa adanya oksigen akan mengubah dan memperbanyak produk sistem iradiasi (van Harten 2002).
17
Materi biologi selalu mengandung jumlah air yang cukup banyak,
oleh
karena itu penyerapan sinar pengion, disamping berperan dalam proses fisika maka peran proses kimiapun perlu diperhitungkan sebagai penyebab kerusakan genotipe (Van Harten, 1998). Reaksi kimia berantai yang terjadi adalah : H2O H2O+ + eH2O+ H+ + OHo e-
e-eq
e-eq
Ho
+
OH-
Sedangkan kombinasi radikal bebas akan menghasilkan produk berikut : e-eq
+
Ho
+ Ho
OHo
+
e-eq
H2 + 2OH H2
OHo H2 O2 (peroksida)
Broertjes dan van Harten (1988) menyatakan bahwa sinar gamma lebih sering digunakan karena mempunyai daya tembus yang lebih tinggi sehingga peluang terjadinya mutasi akan lebih besar. Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah ditemukannya sinar Alpha dan Beta oleh Rutherford dan Soddy (van Harten 1998). Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang lebih pendek dari sinar X, yang berarti dapat menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang lebih tinggi. Tingkat iradiasi energi sinar gamma yang dihasilkan dari reaktor nuklir mencapai lebih dari 10 MeV. Daya tembusnya ke dalam jaringan sangat dalam, bisa mencapai beberapa sentimeter dan bersifat merusak jaringan yang dilewatinya (Micke et el. 1987; van Harten 1998). Radiasi sinar gamma biasanya diperoleh dari disintegrasi radioisotop- radioisotop 137
Cs atau
60
Co. Menurut van Harten (1998)
60
Co memiliki dua puncak spektrum
energi radiasi, yaitu pada 1.33 dan 1.17 MeV, dengan waktu paruh 5.27 tahun. Sumber harus diamankan dalam lapisan logam yang tebalnya 2-5 cm, tergantung pada jenis isotop yang digunakan, karena sangat berbahaya bagi kesehatan bila terpapar langsung iradiasi sinar gamma.
18
Radiosensitivitas Radiosensitivitas adalah tingkat sensitivitas tanaman terhadap radiasi (van Harten 1998). Banyak hal yang dapat mempengaruhi radiosensitivitas. IAEA (1977) menyatakan bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi radiosensitivitas yaitu (1) faktor lingkungan, seperti oksigen, kandungan air, penyimpanan pasca iradiasi, dan suhu, serta (2) faktor biologi, yaitu volume inti dan volume kromosom saat interfase, serta faktor genetik (Micke dan Donini, 1993). Keragaman yang timbul akibat mutasi fisik iradiasi, sangat tergantung pada tingkat radiosensitivitas. Studi mengenai radiosensitivitas biasanya mengarah pada pemahaman terhadap mekanisme aksi dari ionisasi radiasi. Studi semacam ini sangat bermanfaat untuk menginduksi keragaman genetik, yang menyebabkan terjadinya aberasi kromosom, kerusakan fisik dan sterilitas, dan pada saat yang sama dapat dikontrol untuk memproduksi mutasi yang diinginkan (van Harten 1988). Secara visual tingkat sensitivitas materi genetik yang diradiasi dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun lethal dose 50% (LD50). LD50 adalah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi yang diradiasi. Umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50. Perlakuan iradiasi terhadap kalus umumnya menggunakan dosis sekitar LD30, yaitu dosis yang menyebabkan kematian 30% atau menjadi LD25 pada perlakuan chronic irradiation (Human 2003). Dosis optimum untuk menghasilkan mutan yang diinginkan, selain dipengaruhi oleh teknik iradiasi dan jenis tanaman, juga dipengaruhi oleh jenis radioisotop dan bentuk bahan tanaman yang diradiasi.
Ada 3 macam teknik iradiasi dalam
pemuliaan mutasi (Broertjes dan van Harten 1988) yaitu : 1.
Radiasi akut adalah teknik iradiasi dengan laju dosis yang tinggi, sehingga waktu iradiasi hanya dalam hitungan detik, menit atau beberapa jam saja. Teknik ini lebih sesuai untuk meradiasi biji/benih, stek, kalus atau individual sel (GEC).
2. Radiasi kronik adalah teknik meradiasi dengan laju dosis yang rendah atau sangat rendah, sehingga waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama bahkan
19
dapat dilakukan untuk paling tidak 1 siklus tanaman. Teknik ini dilakukan bila ada gamma room atau gamma garden/gamma field. 3. Radiasi berulang adalah pelaksanaan iradiasi dilakukan berulang beberapa kali dengan dosis yang kecil sampai dosis yang diinginkan tercapai. Besarnya laju dosis (dose-rate) tergantung besarnya aktivitas jenis radioisotop
sebagai
sumber
pengion.
Cobalt-60
adalah
radioisotop
yang
memancarkan sinar gamma. Makin tinggi aktivitas jenis Cobalt-60, makin tinggi juga laju dosisnya.
Laju dosis adalah jumlah dosis terserap per satuan waktu
(krad/detik atau Gy/detik). Dosis terserap adalah jumlah energi yang diserap per berat (massa) benda yang diradiasi. Satuan dosis terserap adalah rad atau Gray (Gy), 1 krad = 1000 rad = 10 Gy (Naumann et al. 1975). Perlakuan iradiasi sinar gamma yang optimum pada kalus jagung berada pada kisaran 20-25 gray (Sutjahjo et al. 2007). Sementara hasil penelitian Herison et al. (2008) mendapatkan pola respon awal benih dan radiosensitivitas galur jagung terhadap iradiasi sinar gamma bervariasi antar galur. Nilai LD50 galur-galur jagung yang diuji berkisar antara 97 Gy hingga 424 Gy. Keragaman karakter jumlah daun, panjang daun dan lebar daun meningkat antara 30-80%, sedangkan tinggi tanaman meningkat 250-1 300% akibat iradiasi pada LD50. Pemuliaan Mutasi pada Tanaman yang Berbiak secara Vegetatif Keuntungan dari perbanyakan secara vegetatif antara lain adalah secara genetik seragam dan tetap bersifat seperti tanaman aslinya, terutama pada tanaman yang tidak dapat berbuah ataupun tidak dapat menghasilkan biji, baik karena adanya kendala genetik maupun akibat adanya kendala fisik, atau tanaman yang mampu menghasilkan biji dengan cara apomiksis. Selain itu adapula tanaman yang mampu menghasilkan biji tapi bijinya tidak mempunyai endosperma seperti yang terjadi pada anggrek, sehingga di alam, persentase biji yang mampu tumbuh dan berkembang menjadi tanaman sangat rendah, karena adanya kendala-kendala tersebut maka pembiakan dengan cara vegetatif akan sangat membantu dan lebih menguntungkan (Chahal dan Gosal 2003).
20
Broertjes dan van Harten (1988), menyatakan bahwa aspek utama yang menjanjikan dari pemuliaan mutasi dibandingkan dengan pemuliaan konvensional adalah kemampuan mengubah hanya beberapa sifat jelek dari kultivar yang terpilih sebagai bahan pemuliaan, tanpa menimbulkan perubahan nyata dari keunggulan kultivar tersebut.
Selain itu melalui induksi mutasi
menggunakan dosis tinggi
dengan iradiasi sinar gamma dapat menghasilkan mutan yang ekstrim, seperti terjadinya kemandulan yang menghasilkan tanaman Cytoplasmic Male Sterile (CMS) yang sangat penting dalam menghasilkan tanaman jagung hibrida (Donini dan Micke 1984). Pemuliaan mutasi bertujuan untuk mengubah atau menambah satu sifat yang diinginkan dengan tetap mempertahankan keunggulan varietas tersebut. Perubahan genetik diharapkan terjadi setelah perlakuan dengan mutagen pada tanaman induk (materi genetik).
Perubahan yang sering terjadi adalah kehilangan (deletion),
duplikasi dan mutasi resesif. Pemutusan linkage dengan sifat yang tidak disukai atau efek pleiotropic mungkin terjadi (van Harten 2002). Kebanyakan mutasi menghasilkan gen resesif (relatif) terhadap alel pada varietas aslinya. Hasil demikian dapat menjadi halangan bagi pencapaian tujuan pemuliaan mutasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Bahan pemuliaan yang paling tepat untuk pemuliaan mutasi adalah kultivar unggul yang hanya memerlukan perbaikan sifat tertentu saja (Lapins 1974). Tabel 1. Pengaruh perlakuan mutagen pada level lokus. Genotipe awal
Genotipe Tipe perubahan setelah perlakuan AA ADelesi AA Aa Mutasi resesif Aa ADelesi Aa aDelesi Aa aa Mutasi Resesif Aa AA Mutasi Dominan aa aDelesi aa Aa Mutasi Dominan Sumber : IAEA (1977)
Pengaruh pada fenotipe Tak ada /lemah Tak ada /lemah Tak ada /lemah Nyata/Kuat Nyata (relatif) Tak ada /lemah Tak ada /lemah Nyata (relatif)
Probabilitas kejadian Tinggi Rendah, relatif Tinggi Tinggi Rendah, relatif Amat rendah Tinggi Amat rendah
Perlakuan dosis tinggi dalam waktu yang singkat (dosis akut) lebih tepat untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Perubahan genotipe (level lokus) yang sering
21
terjadi setelah dilakukan iradiasi secara umum dapat dilihat pada Tabel 1. Perlakuan induksi mutasi pada genotipe awal yang heterozigot mempunyai peluang yang lebih besar untuk menghasilkan mutan yang mudah terlihat (fenotipe nyata berbeda). Ternyata tanaman yang dibiakkan secara vegetatif umumnya mempunyai genotipe yang heterozigot, jadi menguntungkan bila diperbaiki dengan teknik mutasi.
Pemuliaan Tanaman Hias dengan Mutasi Induksi Mutasi induksi berperan penting dalam perakitan varietas unggul pada berbagai jenis tanaman hias. Hal ini disebabkan tidak semua tanaman hias mampu dengan mudah menghasilkan biji, sehingga sulit dilakukan hibridisasi. Penelitian mutasi induksi somatik di National Botanical Research Institute Lucknow, India terhadap beberapa komoditas tanaman hias dari tahun 1974 sampai 1998 menghasilkan 75 mutan yang telah dilepas sebagai kultivar baru dan unggul. Varietas mutan tersebut terdiri atas empat varietas bougenville, 43 varietas mutan krisan, satu varietas kembang sepatu, tiga varietas mutan lantana, enam varietas mutan portulaka, 16 varietas mutan mawar dan dua varietas mutan sedap malam (Gupta et al. 1984, Ahloowalia 1992). Penelitian
Busey (1980)
pada
stolon
tanaman
St.
Augustinegrass
(Stenotaphrum secundatum (Walt.) Kuntze) yang diradiasi sinar gamma dengan dosis 4.5 krad, telah menghasilkan tanaman mutan sebanyak 7 % dari tetua FA-243. Percobaan induksi mutasi dengan sinar gamma pada Thai Tulip (Curcuma alismatifolia) mendapatkan LD50 pada dosis sekitar 25 Gy, pada dosis tersebut terjadi perubahan perkembangan bunga, mutasi klorofil dan alterasi morfologi tanaman sehingga menghasilkan beberapa mutan (Abdullah et al. 2009) Banerji dan Datta (1992) menemukan dosis optimum sinar gamma sebesar 25 Gy pada tanaman krisan yang diradiasi dalam bentuk stek pucuk, sehingga menghasilkan mutan yang diinginkan terbanyak (30% dari populasi tanaman). Banerji dan Datta (1992), Busey dan Banerji (1993), Busey (2001), menghasilkan variasi warna pada krisan mutan, dari warna asli ungu menjadi belang putih-krem menggunakan dosis iradiasi sinar gamma 20 gray, serta menjadi putih dan berbentuk pompon pada dosis 25 gray. Galur mutan ini dirilis di India tahun 1995. Waluyo
22
(2001) mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang optimum untuk menghasilkan mutan krisan yang diinginkan pada kisaran 19.5-22 gray. Lamseejan et al. (2000), mendapatkan LD50 untuk tanaman krisan klon ungu pada dosis 14 Gy. Aisyah et al. (2009) melaporkan bahwa LD50 untuk stek pucuk anyelir yang diradiasi dengan sinar gamma berkisar antara 49-72 Gy. Mutasi fisik dengan iradiasi sinar gamma telah mampu menciptakan 106 mutan dari 5 nomor anyelir. Anyelir genotipe 10.8 merupakan genotipe yang paling tidak sensitif terhadap sinar gamma sedangkan genotipe 24.15 merupakan genotipe yang paling sensitif terhadap sinar gamma. Anyelir genotipe 24.1 merupakan genotipe yang paling banyak membentuk mutan. Generasi M1V2 merupakan generasi yang paling banyak mengekspresikan karakter mutan yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Perlakuan iradiasi sinar gamma telah mampu menghasilkan mutan-mutan yang secara kualitatif, warna dan bentuk petalnya stabil sampai generasi ketiga.
Sebaiknya seleksi
dilakukan pada tanaman M1V3, karena umumnya mutan yang dihasilkan sudah stabil. Penanda Morfologi Penanda
morfologi
yang
biasanya
digunakan
merupakan
penanda
berdasarkan pada hereditas Mendel yang sederhana, seperti bentuk, warna, ukuran dan berat. Karakter morfologi (fenotip) bisa digunakan sebagai indikator yang signifikan untuk gen yang spesifik dan penanda gen dalam kromosom karena sifatsifat yang mempengaruhi morfologi dapat diturunkan. Karakter kualitatif meliputi warna dan bentuk, umumnya dikendalikan oleh gen sederhana (satu atau dua gen) dan sedikit dipengaruhi oleh lingkungan (Stoskopf et al. 2009). Penanda morfologi dapat dijadikan dasar untuk mengukur besarnya keragaman yang terdapat pada tanaman berdasarkan karakter fenotipe, baik pada fase vegetatif maupun fase generatif. Karakter morfologi yang umumnya diamati secara mendetail pada fase vegetatif adalah organ akar, batang dan daun. Pengamatan fase generatif umumnya dilakukan pengamatan terhadap organ bunga, buah dan biji (Harris dan Harris 2004). Perbedaan karakter morfologi tanaman dapat diamati pada organ akar, batang dan daun. Daun lengkap mempunyai bagian upih daun atau pelepah daun (vagina),
23
tangkai daun (petioles), dan helaian daun (lamina) sedangkan daun tidak lengkap yaitu daun yang kehilangan salah satu bagian dari daun. Heterofili adalah bentuk daun yang berlainan pada satu pohon pada cabang yang berlainan, sedangkan anisofili adalah terdapat dua bentuk daun pada cabang yang sama. Bentuk daun dapat dilihat pada rasio panjang terhadap lebar daun. Bentuk daun oval/elips/jorong apabila rasio panjang : lebar menunjukkan 1.5 - 2 : 1, bentuk memanjang/oblong jika rasio menunjukkan 2.5 – 3 : 1, dan lanset dengan rasio 3 – 5 : 1 (Tjitrosoepomo 2005). Bentuk ujung daun terbagi menjadi bentuk (1) runcing yaitu ujung daun membentuk sudut lancip < 900, (2) meruncing (acuminatus) yaitu ujung runcing lebih tinggi sehingga ujung daun tampak sempit panjang dan runcing, (3) membulat (rotundus) ujung tumpul tidak membentuk sudut, (4) rompang (truncates) ujung daun rata, (5) ujung terbelah (retusus) ujung daun terdapat lekukan dan (6) ujung berduri (mucronatus) (Tjitrosoepomo 2005). Bentuk acuminate dapat didefinisikan pula sebagai ujung yang meruncing sehingga pada ujung daun membentuk cekungan sepanjang sisi pada ujungnya. Bentuk acute meruncing ke ujung dengan bentuk lurus pada kedua sisi ujung daun. Bentuk pangkal daun terbagi menjadi (1) oblique apabila bentuk pangkal daun tidak seimbang, (2) membulat (rounded), (3) aequilateral apabila kedua sisi bentuk seimbang, (4) cuneate apabila pangkal meruncing (Harris dan Harris 2004). Stomata yang terdapat pada permukaan daun merupakan peubah pada pengamatan morfologi. Stomata adalah celah dalam epidermis yang dibatasi oleh dua sel penutup berbentuk ginjal yang disebut sel penjaga yang berfungsi tempat masuknya CO2 dan air melalui daun, sedangkan sel yang berbeda bentuknya disebut sel tetangga. Bentuk sisi sel epidermis bervariasi seperti berleluk dalam, berlekuk dangkal atau rata. Sel epidermis yang mengelilingi sel penutup dapat digunakan sebagai identifikasi dari tipe stomata (Hartatik 2000). Tipe stomata dapat dibedakan menjadi 4, berdasarkan susunan sel epidermis yang berada di samping sel penutup yaitu : (1) anomositik apabila sel penutup dikelilingi oleh sel yang tidak dapat dibedakan ukuran dan bentuknya sama dengan sel epidermis, (2) anisositik apabila sel penutup dikelilingi tiga buah sel tetangga yang tidak sama besar, (3) parasitik apabila sel penutup diringi satu atau lebih oleh
24
sel tetangga yang sejajar dengan sel penutup dan (4) diasitik apabila stomata dikelilingi oleh dua sel tetangga yang letaknya tegak lurus (Tjitrosoepoemo 2005).
Penanda Molekuler Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) Penanda molekuler digunakan untuk menunjukkan polimorfisme pada tingkat DNA. Penanda molekuler yang diharapkan adalah sebagai berikut : (1) polimorfik yang tinggi, (2) kodominan untuk dapat membedakan homozigot dan heterozigot pada tanaman diploid, (3) pemunculan diseluruh genom, (4) selektif terhadap perilaku alami, (5) pendugaan mudah, cepat dan murah untuk dideteksi, dan (7) reproducibility tinggi (Kumar et al. 2009). Penanda dengan menggunakan DNA terbagi menjadi dua tipe yaitu (1) non PCR seperti RFLP dan (2) berbasis PCR seperti RAPD, AFLP, SSR, ISSR dengan terbentuknya separasi pita hasil proses elektroforesis sebagai pencerminan alel atau lokus. Penanda molekuler berbasis sekuen DNA dapat terdeteksi dan pewarisan sifat mudah diamati, sehingga efisien untuk evaluasi dan seleksi. Penanda molekuler Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan salah satu penanda dengan motif sekuen berulang. Ada kalanya terdapat penambahan sekuen nukleotida baik pada bagian ujung 3’ maupun ujung 5’ seperti (CA)8RG dan (CA)8RY. ISSR adalah fragmen DNA dengan ukuran 100-3000 bp berlokasi diantara wilayah mikrosatelit, wilayah amplifikasi sekuen DNA yaitu pada inter-SSR bagian flanked genom secara berlawanan pada area yang dekat dengan sekuen berulang (Zietkiewicz et al. 1994). Primer yang digunakan adalah primer utas tunggal dengan motif mikrosatelit/SSR. Keuntungan ISSR antara lain tidak diperlukannya data sekuen terlebih dahulu, membutuhkan 5-50 ng templat DNA per reaksi, ISSR tersebar diseluruh genom, dapat bersifat dominan maupun kodominan (Soltis et al. 1998) dan dapat menghasilkan pola polimorfisme lebih tinggi daripada RAPD pada beberapa tanaman (Guo et al. 2009). Penanda bersifat dominan, yaitu tidak dapat membedakan individu yang homozigot dan heterozigot, sedangkan penanda kodominan dapat membedakan individu yang homozigot dan heterozigot.
25
Tanaman umumnya memiliki dinukleotida dengan motif SSR seperti AC/TG, AT/AT, dan AG/TC. Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan penanda yang dikembangkan dari motif SSR. Interpretasi alel terletak pada pemunculan atau tidak munculnya pita DNA (Soltis et al. 1998),
ISSR dapat digunakan untuk
menghasilkan pola separasi pita DNA polimorfik dalam pengamatan genotipe untuk (1) memperoleh hubungan asal tanaman dengan pusat penyebaran, (2) identifikasi genetik tetua, klon, galur dan (3) analisis keragaman genetik serta kekerabatan (Gao et al. 2006; Guo et al. 2009).