Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Umum
Beton berlulang merupakan bahan konstruksi yang paling penting dan merupakan suatu kombinasi antara beton dan baja tulangan. Beton bertulang merupakan material yang kuat menahan gaya tekan, namun lemah dalam menahan tarik. Sehingga apabila beban yang melebihi kuat tariknya akan terjadi keretakan pada struktur beton. Dan fungsi ditanamkannya baja tulangan pada beton ini adalah untuk dapat menahan tegangan tarik yang diterima struktur beton atau menyediakan kuat tarik yang tidak dimiliki oleh beton. Adapun kelebihan dari beton bertulang sebagai bahan struktur antara lain : 1. Lebih murah. 2. Memiliki kuat tekan yang relatif lebih tinggi. 3. Mudah dibentuk dalam bentuk yang sangat beragam. 4. Tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi. 5. Ketahanan terhadap api dan air. 6. Struktur beton bertulang sangat kokoh. Namun, beton bertulang ini mempunyai kelemahan dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya, antara lain : 1. Mempunyai kuat tarik yang sangat rendah. 2. Memerlukan bekisting sementara selama konstruksi. 3. Rasio kekuatan terhadap berat yang rendah.
II-1
Bab II Tinjauan Pustaka
4. Stabilitas volumenya sangat rendah.
2.2
Momen Inersia Frame Konvensional (Stadium Utuh)
Pada perhitungan momen inersia ada perbedaan antara momen inersia konvensional (stadium utuh) dengan momen inersia pasca retak. Berdasarkan SKSNI T-15-1991-03 perhitungan kekakuan (momen inersia) pada penampang beton belum retak (utuh) menggunakan rumus : (2.1) Pada saat balok menerima beban-beban yang kecil ketika tegangan tarik masih lebih rendah dari modulus keruntuhan (tegangan tarik lentur pada saat beton mulai retak) penampang balok menahan lentur dengan tekan pada satu sisi dan tarik pada sisi lainnya. Gambar 2.1 menunjukkan variasi tegangan dan regangan untuk beban-beban kecil.
Gambar 2.1 Tahap beton belum retak
II-2
Bab II Tinjauan Pustaka
2.3
Momen Inersia Frame Stadium Retak
Pada saat perhitungan struktur gedung beton bertulang biasanya kuat tarik beton diabaikan dalam perhitungan desain, karena kuat tarik beton tidak terlalu besar. Namun berdasarkan informasi yang terbatas, diperkirakan bahwa nilai elastisitas tarik beton sama dengan modulus elastisitas kuat tekannya. Jadi, apabila kuat tarik beton melebihi kuat tariknya akan terjadi keretakan yang mengakibatkan adanya perubahan pada momen inersia. Adapun kuat tarik beton bervariasi antara 8% sampai 15% dari kuat tekannya. Menurut pendapat McCormac (2003:45) menyatakan, ketika beton mulai retak tulangan pada sisi tarik balok mulai bekerja menahan tarik yang disebabkan oleh momen yang terjadi. Sehingga regangan pada beton dan tulangan baja akan memiliki besar yang sama pada jarak yang sama dari sumbu nertal. Akan tetapi tegangannya tidak sama karena beton dan baja memiliki modulus elastisitas yang berbeda.
Perbandingan
modulus
baja
terhadap
modulus
beton
disebut
perbandingan modular (n). (2.2) dimana : Es = modulus elastisitas baja Ec = modulus elastisitas beton Jika perbandingan modular untuk sebuah balok bernilai 10, maka tegangan baja adalah 10 kali tegangan pada balok dengan jarak yang sama dari sumbu nertal. Dengan kata lain kerika n =10, satu inci persegi baja akan menerima gaya yang besarnya sama dengan yang diterima 10 in.2 beton. II-3
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada Gambar 2.2, tulangan-tulangan baja digantikan dengan luas transformasi (nAs). Pada sisi tarik digunakan garis putus-putus dengan menunjukan bahwa beton diasumsikan mengalami retak dan tidak dapat menahan tarik.
Gambar 2.2 Penampang beton mulai retak Karena adanya retak pada struktur balok dan kolom, akan mengakibatkan adanya perubahan bentuk atau kekakuan (momen inersia) pada penampang balok dan kolom. Gambar 23 kolom. Gambar 2.3 menunjukan perubahan pada penampang balok dalam keadaan utuh dan keadaan retak serta keadaan transformasi.
Gambar 2.3 Pemampang balok beton Berdasarkan Gambar 2.2 di dapatlah rumus turunan dari momen inersia yang sudah mengalami retak (stadium retak) : (2.3)
II-4
Bab II Tinjauan Pustaka
(2.4) Sehingga, 1/3
(2.5)
dimana : Icr = momen inersia transformasi dari penampang beton yang mengalami retak b
= lebar penampang
c
= jarak dari serat tekan ekstrim ke sumbu netral
n
= rasio modular
As = luas tulangan tarik As´ = luas tulangan tekan d
= kedalaman efektif penampang diukur dari serat tekan ekstrim ke sentroid tulangan tarik
d´ = jarak dari serat tekan ekstrim ke sentriod (titik pusat) baja tekan Seperti yang telah dijelaskan, beton mengalami tiga tahap yang berbeda sebelum keruntuhan terjadi. Adapaun tahap tersebut yaitu adalah: tahap beton tanpa retak, tahap beton mulai retak, dan keruntuhan beton. Untuk menggambarkan lebih jauh tentang tiga tahap perilaku beton tersebut, sebuah diagram momen-kurvatur diperlihatkan pada Gambar 2.4.
II-5
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.4 Diagram momen-kurvatur untuk balok beton bertulang yang mengalami tarik
2.4
Momen Inersia Efektif
Di dalam analisa kesinambungan elastis yang diperlukan hanyalah harga kekakuan relatif, namun dalam perhitungan lendutan harga absoulut dari Ec dan I harus ditentukan atau dimisalkan terlebih dahulu. Besarnya lendutan untuk setiap beban tidaklah konstan. Kekakuan lentur EcI bervariasi dengan besarnya momen lentur di dalam perilaku umum seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Varian cirian kekakuan lentur dengan momen yang dikerjakan
II-6
Bab II Tinjauan Pustaka
Momen inersia efektif ditetapkan sebagai suatu nilai rata-rata yang harus digunakan di seluruh suatu bentang sederhana dan merupakan suatu nilai tertimbang yang bergantung kepada berapa besar retak yang mungkin terjadi akibat momen (persamaan Kode 9.7) : (2.6) dimana : Menurut SKSNI-T-15-1991-03 modulus keruntuhan sebagai berikut : (2.7) = momen retak, kecuali bahwa fr harus dimodifikasi (Kode 9.5.2.3a) apabila digunakan beton ringan. Ma =
M maksimum dalam bagian konstruksi pada tahap pembebanan yang diamati, dalam MN-m.
Icr =
I yang berdasarkan luas penampang retak yang dipindahkan, dalam m4.
Ig =
I yang berdasarkan luas penampang beton kotor (tanpa baja), dalam m4.
yt =
jarak dari sentroid ke serat terluar, dalam m.
Laporan dari Panitia ACI 435 menegaskan bahwa Ig dalam hubungan ini akan lebih tepat apabila ia mencakup luas penampang yang dipindahkan, terutama di tempatkan di tempat dimana penulangan adalah berat. Persamaan di atas dapat ditulis secara lebih sederhana sebagai : (2.8) Dalam bentuk ini harus diingat bahwa Mcr/Ma adalah paling penting apabila Ma tidak terlalu jauh berbeda dengan Mcr. II-7
Bab II Tinjauan Pustaka
Penggunaan Ie memberikan lenturan seketika apabila digunakan dalam rumusrumus yang biasa untuk lenturan-lenturan elastis. Baik susut maupun rayapan akan menghasilkan penambahan yang berarti kecuali beban hanya merupakan beban sementara. Kode menetapkan pengali berikut untuk mendapatkan penambahan dalam lenturan (ditambahkan kepada lenturan dasar) yang disebabkan oleh beban yang biasa dipikul : (2.9) Untuk balok-balok menerus, Ie dapat dihitung di tengah bentang dan di perletakan-perletakan dan Ie rata-rata digunakan untuk menghitung lenturan seketika. Pembahasan Kode Branson menunjukkan bahwa suatu jumlah dari dua nilai Ie yang dinyatakan dalam perbandingan dari momen negatif terhadap momen positif juga mungkin. Momen inersia efektif Ie secara teoritis harus dihitung pada setiap tingkat beban total untuk pada lendutan: umumnya beban mati, beban mati dan beban hidup, dan beban mati ditambah beban hidup tetap. Ie harus dihitung pada setiap ujung dan tengah bentang untuk mendapatkan harga rata-rata seperti yang disarankan oleh Peraturan ACI. (2.10) dimana : Iem
= inersia efektif pada lapangan
Ie1
= inersia efektif tumpuan kiri
Ie2
= inersia efektif tumpuan kanan
II-8
Bab II Tinjauan Pustaka
2.5
Dasar-dasar Perencanaan Struktur Gedung Bertingkat Banyak
Dalam menganalisis dan mendesain suatu struktur gedung diperlukan adanya ketetapan kriteria
yang dapat digunakan untuk menentukan apakah struktur
gedung tersebut telah memenuhi atau sesuai dengan desain yang dipergunakan sesuai penggunaannya. Adapun kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan dalam analisis dan desain struktur diantaranya yaitu : 1. Kesesuain dengan lingkungan sekitar 2. Ekonomis 3. Memenuhi persyaratakan kemampuan layan 4. Kuat dalam menahan beban yang rirencanakan 5. Mudah perawatannya
2.5.1
Beban-Beban pada Struktur
Dalam melakukan analisis desain pada struktur, perlu memperkirakan secara akurat beban-beban yang akan diterapkan pada struktur serta besarnya beban yang bekerja pada struktur tersebut. Perencanaan bangunan konstruksi beton bertulang pada umumnya berdasarkan pada keadaan batas atau ultimit. Analisis struktur dikerjakan untuk berbagai kombinasi pembebanan ultimit untuk mendapatkan gaya dalam desain berdasarkan keadaan ekstrem yang mungkin terjadi. 1. Beban Mati Beban mati adalah berat struktur gedung yang memiliki besar yang konstan dan terdapat pada satu posisi tertentu. Adapun berat sendiri struktur untuk bangunan beton bertulang adalah pelat, balok kolom, dinding, langit-langit, II-9
Bab II Tinjauan Pustaka
tangga, dan saluran air. Semua motode untuk menghitung beban mati adalah untuk menghitung elemen didasarkan atas peninjauan berat suatu material yang terlibat berdasarkan volume elemen tersebut.
2. Beban Hidup Beban hidup adalah beban yang letaknya dapat berubah, bisa ada atau tidak ada pada waktu tertentu pada struktur. Beban hidup meliputi beban orang, barang-barang gudang, dan beban peralatan yang sedang bekerja. Meskipun dapat berpindah-pindah, beban hidup masih dapat dikatakan bekerja secara perlahan-lahan pada struktur.
3. Beban Gempa Gempa merupakan suatu fenomena alam yang tidak dapat dihindari. Banyak tempat di dunia yang berada pada daerah gempa, salah satunya adalah Indonesia. Oleh sebab itu, pada daerah yang rawan gempa perlu memperhitungkan beban gempa dalam desain semua jenis struktur. Menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.1.1, standar ini menentukan pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung. Gempa rencana merupakan beban gempa yang ditetapkan mempunyai periode ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama umur gedung 50 tahun. Untuk struktur beton bertulang yang berada di wilayah rawan gempa harus didesain sebagai struktur strong column weak beam (Gambar 2.6). Maksudnya kolom didesain harus lebih kuat dari balok, sehingga jika terjadi gempa kuat, II-10
Bab II Tinjauan Pustaka
pada balok akan terjadi kerusakan, namun kolom masih dapat berdiri dengan baik sehingga nyawa manusia yang berada didalam bangunan dapat terselamatkan (SNI 03-1726-2002).
Gambar 2.6 Kolom kuat balok lemah Menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.7.1 Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Data-data untuk menentukan beban gempa rencana antara lain : 1. Faktor Keutamaan (I) menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.1.2 I = I1 . I2
(2.11)
dimana : I
= faktor keutamaan.
I1 = faktor keutamaan untuk menyesuaikan perode ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung. I2 = faktor keutamaan untuk menyelesaikan peride ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut. II-11
Bab II Tinjauan Pustaka
Adapun Faktor-faktor Keutamaan I1, I2, dan I sebagai berikut : Tabel 2.1 Faktor Keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan Faktor Keutamaan Kategori Gedung I1
I2
I
Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran
1,0
1,0
1,0
Momen dan bangunan monumental
1,0
1,6
1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fassiliras radio dan televisi.
1,4
1,0
1,4
Gedung untuk menyimpan bahan berbhaya seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun.
1,6
1,0
1,6
Cerobong, tangki di atas menara
1,5
1,0
1,5
SNI 03-1726-2002
2. Faktor reduksi gempa (R) menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.3.3 1,6 ≤ R = µ . f1 ≤ Rm
(2.12)
dimana : R = faktor reduksi gempa µ = faktor dakrilitas untuk struktur gedung f1 = faktor kuat lebih beban beton dan bahan 1,6 Rm = faktor reduksi gempa maksimum Nilai R dan µ ditetapkan berdasarkan tabel 2.2
II-12
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.2 Parameter daktilitas struktur gedung Taraf kinerja struktur gedung
µ
R pers.(6)
Elastik penuh
1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0
1,6 2,4 3,2 4,0 4,8 5,6 6,4 7,2 8,0
5,3
8,5
Daktail parsial
Daktail penuh SNI-03-1726-2002
3. Faktor Respon Gempa (C1) Nilai respon gempa didapat dari spectrum respon gempa rencana untuk waktu getar alami fundamental (T) dari struktur gedung. Nilai ini bergantung pada : 1. Waktu getar alami struktur (T), dinyatakan dalam detik. T = 0,06 H3/4
(2.13)
dimana : H = tinggi struktur bangunan (m) 2. Nilai respon gempa juga tergantung dari jenis tanah. Berdasrkan SNI 03-1726-2002, jenis tanah dibagi menjadi tiga bagian yaitu tanah keras, sedang dan lunak.
II-13
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.3 Jenis-jenis tanah
SNI 03-1726-2002
Nilai respons gempa ditentukan berdasarkan 6 wilayah rawan gempa (Gambar 2.7) untuk setiap jenis tanah. Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilainya bergantung pada waktu getar alami struktur dan kurvanya ditampilkan dalam spektrum respons gempa rencana (Gambar 2.8).
Gambar 2.7 Peta wilayah gempa Indonesia (SNI 03-1726-2002)
II-14
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.8 Respons spektrum gempa rencana (SNI 03-1726-2002)
2.5.2
Analisis Struktur Secara Statik Ekivalen
Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk dapat menahan suatu beban geser dasar horizontal total akibat gempa (V), yang ditentukan menurut rumus sebagai berikut :
II-15
Bab II Tinjauan Pustaka
(2.14) dimana : V = gaya geser horizontal total akibat gempa C1 = faktor respon gempa I
= factor keutamaan
R = factor reduksi gempa Wt = berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai. Beban geser dasar akibat gempa (V) harus dibagukan sepanjang tinggi bangunan gedung. Beban ini dibagi menjadi beban-beban horizontal terpusat yang bekerja pada masing-masing tingkat lantai menurut rumus berikut :
Fi =
Wi . z i n
∑W i =1
i
V
(2.15)
. zi
dimana : Fi = gaya lateral yang bekerja pada lantai ke-i Wi = berat lantai tingkat ke-i zi = tinggi lantai ke-I diukur dari penjepitan lateral V = gaya geser dasar, jika
≥ 3 maka 0,1 V harus dianggap terpusat pada
massa lantai tingkat paling atas, sisanya 0,9 V harus dibagi sepanjang tinggi struktur gedung sesuai rumus (2.14).
II-16
Bab II Tinjauan Pustaka
2.5.3
Faktor Beban Ultimit
Secara umum menurut SNI beton 2002 pasal 11.2 ada 6 macam kombinasi beban yang harus dipertimbangkan. Kombinasi-kombinasi beban ultimit yang dipakai adalah sebagai berikut : 1. U = 1,4D (pada tahap pelaksanaan bangunan)
(2.16)
2. U = 1,2D + 1,6L + 0,5 (A atau R)
(2.17)
3. U = 1,2D + 1,0L ± 1,6W + 0,5 (A atau R)
(2.18)
4. U = 0,9D ± 1,6W
(2.19)
5. U = 1,2D + 1,0L ± 1,E
(2.20)
6. U = 0,9D ± 1,0E
(2.21)
dimana : D = beban mati L = beban hidup A = beban atap R = beban hujan W = beban angin E = beban gempa
II-17