6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Spondias pinnata
2.1.1 Klasifikasi Berikut klasifikasi tanaman S. pinnata menurut Hutapea (1994): Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Sapindales
Famili
: Anacardiasae
Marga
: Spondias
Jenis
: Spondias pinnta (L. F.) Kurz
Nama Umum : Kedondong Hutan
2.1.2 Deskripsi Spondias pinnata merupakan pohon dengan tinggi ± 20 m. Batang berbentuk tegak dan bulat. Batang tersebut berkayu dengan permukaan yang halus dan terdapat percabangan simpodial yang berwarna putih kehijauan. Daun tanaman S. pinnata termasuk kedalam daun majemuk dengan bentuk lonjong serta menyirip ganjil. Letak daun ini tersebar dengan bentuk pangkal dan ujung yang meruncing. Tulang dari daun yang berwarna hijau ini memiliki bentuk menyirip. Daun dengan bentuk tepi yang rata ini memiliki panjang 5-8 cm dan lebar 3-6 cm. Bunga dari tanaman S. pinnata merupakan bunga yang majemuk yang berbentuk
6
7
malai. Bunga ini terletak di bagian ketiak daun dan di bagian ujung cabang. Bunga dengan panjang 24-40 cm dan kelopak panjang ±5 cm ini memiliki warna ungu. Benang sari nya berjumlah delapan dengan warna kuning dan terdapat mahkota dengan jumlah empat sampai lima. Mahkota bunga tersebut berbentuk lanset dengan warna putih kekuningan. Tanaman S. pinnata memiliki buah jenis buni yang berdaging dengan bentuk lonjong berdiameter ±5 cm. Buah ini memiliki serat dengan warna hijau kekuningan. Biji dari buah ini memiliki bulat dan mengandung serat kasar. Warna biji tersebut adalah putih kekuningan. Akar dari tanaman S. pinnata ini memiliki jenis akar tunggang dengan warna coklat tua (Hutapea, 1994). Tanaman S. pinnata ditampilkan pada gambar 2.1.
a
c
b
Gambar 2.1
Daun Tanaman S. pinnata (a), Buah Tanaman S. pinnata (b), Tanaman S. pinnata (c).
2.1.3 Khasiat dan Bioaktivitas Tiap bagian tanaman S. pinnata memiliki khasiat yang berbeda. Berdasarkan pengobatan empiris daun dari tanaman S. pinnata memiliki khasiat sebagai obat batuk sedangkan bagian kulit kayunya memiliki dua khasiat masing-
8
masing sebagai obat disentri dan sebagai obat kencing nanah (Heriyanto dan Subiandono, 2007; Hutapea, 1994). Acharyya et al. (2010) melaporkan bahwa ekstrak MeOH akar S. pinnata memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antioksidan. Ekstrak MeOH kulit batang S. pinnata memiliki aktivitas hambatan terhadap bakteri Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Proteus mirabilis (Chetia and Gogoi, 2011). Selain itu, Muhammad et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak etanol 80% daun S. pinnata memiliki aktivitas antibakteri terhadap beberapa bakteri Gram negatif dan bakteri Gram positif. Das et al. (2011) melaporkan ekstrak etanol daun S. pinnata memiliki aktivitas hambatan terhadap bakteri Salmonella thypi dan Vibrio cholera. Dwija dkk. (2013) melaporkan ekstrak MeOH daun S. pinnata memiliki aktivitas antituberkulosis terhadap bakteri M. tuberculosis MDR, dengan hambatan sebesar 100% pada konsentrasi 50 dan 250 mg/mL, pada konsentrasi 10 mg/mL hambatan ekstrak sebesar 73,26 %. Medisina (2012) melaporkan bahwa ekstrak etanol 80% daun S. pinnata memiliki aktivitas yang lebih baik, yaitu pada pemberian ekstrak konsentrasi 10 dan 100 mg/mL mampu memberikan aktivitas hambatan terhadap isolat M. tuberculosis MDR, masing-masing sebesar 94,94% dan 100%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ramayanti (2013) melaporkan ekstrak etanol 80% daun S. pinnata pada konsentrasi 50 mg/mL memiliki persentase hambatan sebesar 100% terhadap isolat M. tuberculosis H37Rv. Fraksi 3 yang merupakan fraksi hasil pemisahan dari ekstrak etanol 80% daun S. pinnata menggunakan kromatografi kolom, mampu menghambat
9
pertumbuhan M. tuberculosis MDR sebesar 72,35% pada konsentrasi 1 mg/mL. Profil KLT ekstrak menunjukkan bahwa bercak flavonoid merupakan bercak paling intensif dan bercak terpenoid muncul sebagai bercak dengan intensitas lebih rendah (Savitri, 2013a). Penelitian Savitri (2013b) menunjukkan bahwa ekstrak etanol terpurifikasi yang diperoleh dengan ekstraksi bertingkat simplisia dengan n-heksana, dilanjutkan secara digesti dengan etanol 80%, memiliki aktivitas hambatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan ekstrak etanol total, yaitu memiliki persentase hambatan sebesar 98,1% pada konsentrasi 10 mg/mL.
2.2
Flavonoid sebagai Antituberkulosis Flavonoid merupakan senyawa polifenol dengan susunan kerangka dasar
C6-C3-C6. Femichin D, dehydrolupinifolinol, lupinifolin dan eriosemaon A adalah golongan senyawa flavonoid yang diperoleh dari Eriosema chinense Vogel famili Leguminosae. Flavonoid tersebut mampu memberikan aktivitas hambatan terhadap isolat M. tuberculosis H37Ra, dengan nilai MIC sebesar 12,5 µg/mL (Sutthivaiyakit et al., 2009). Struktur umum senyawa golongan senyawa flavonoid ditampilkan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur umum flavonoid (Marais et al., 2006)
10
Perbandingan 2:8 kandungan flavonoid dari ekstrak etil asetat buah Campomanesia metilflavanon
adamantium dan
(Myrtasae),
yaitu
5,7-dihidroksi-6,8-di-C-
2’,4’-dihidroksi-3’,5’-dimetil-6’-metoksikalkon
mampu
memberikan persentase hambatan terhadap isolat M. tuberculosis H37Rv, dengan nilai MIC sebesar 7,8 µg/mL (Pavan et al., 2009). Camacho et al. (2009) juga melaporkan mengenai mekanisme golongan senyawa flavonoid terhadap M. tuberculosis, yaitu dengan cara membentuk ikatan kompleks antara golongan senyawa flavonoid dengan protein yang terdapat pada dinding sel bakteri. Brown et al. (2007) melaporkan bahwa flavonoid bekerja sebagai antituberkulosis dengan cara menghambat enzim fatty acid synthase II (FAS II) yang berperan dalam pembentukan asam mikolat.
2.3
Ekstraksi Ekstraksi merupakan metode untuk memisahkan senyawa tertentu dari
matriks seluler. Prosesnya dimulai sejak pelarut kontak dengan dinding sel tumbuhan. Kemudian pelarut tersebut berpenetrasi ke dalam sel tumbuhan dan melarutkan senyawa tertentu di dalam sel tumbuhan. Setelah itu terjadi proses difusi zat aktif keluar sel dan pengumpulan zat aktif terekstraksi yang disebut sebagai ekstrak (Crowley, 2006). Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode sesuai dengan senyawa tertentu yang diinginkan. Perlu diperhatikan kemudahan, kemurahan dan efisensi dalam pemilihan metode ekstraksi tersebut. Metode konvensional yang dapat
11
digunakan diantaranya maserasi, perkolasi, digesti, infusa, dekokta dan sokletasi (Sticher, 2008). 2.3.1 Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan cara merendam serbuk simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Perendaman dilakukan di dalam wadah tertutup di suhu ruangan dalam jangka waktu 3 hari. Proses ekstraksi dipercepat melalui pengadukan beberapa kali. Proses ekstraksi akan selesai apabila keseimbangan antara konsentrasi metabolit di dalam pelarut dan serbuk simplisia sudah tercapai. Metode ini banyak digunakan karena memiliki kemudahan dalam hal pengadaan alat dan pengerjaanya (Handa, 2008; Seidel, 2008). 2.3.2 Digesti Digesti merupakan metode modifikasi dari metode maserasi. Pada metode ini ditambahkan bantuan pemanasan lemah yaitu pemanasan 40-50oC (Departemen Kesehatan RI, 2000). Metode ini digunakan untuk mengekstraksi senyawa aktif yang stabil terhadap pemanasan lemah. Pemanasan tersebut dapat mengurangi kekentalan pelarut, sehingga lapisan batas pelarut juga akan berkurang, akibatnya kemampuan penyari dalam mengikat senyawa tertentu juga akan meningkat (Handa, 2008).
2.4
Ekstraksi Cair-Cair Ekstraksi cair-cair merupakan metode pemisahan yang sederhana dan
dapat memisahkan sampel dalam jumlah besar dengan pemakaian pelarut yang
12
minimum. Sampel yang sudah dilarutkan dalam pelarut yang cocok kemudian dicampurkan kembali dengan pelarut yang dapat membentuk dua fraksi (Handa, 2008). Ekstraksi cair-cair merupakan metode ekstraksi dengan cara menggojog larutan yang mengandung analit dengan menggunakan dua pelarut yang sesuai dan tidak saling campur sehingga diperoleh 2 fraksi yang terdiri dari fraksi yang mengandung analit dan fraksi yang mengandung pengotor sesuai dengan tingkat kepolarannya. Penggojogan dilakukan di dalam corong pisah dan dilakukan selama beberapa gojogan. Kemudian hasil gojogan didiamkan hingga kedua fraksi saling terpisah sempurna (Handa, 2008). Pemilihan pelarut yang digunakan pada metode ekstraksi cair-cair ditentukan oleh beberapa hal yaitu, keterpisahan kedua pelarut yang digunakan (miscibility gap), kapasitas pelarut (capacity), selektivitas pelarut (selectivity), densitas pelarut (density), titik leleh pelarut (melting point), viskositas pelarut (viscocity), tegangan permukaan atau surface tension (Gmehling and Andre, 2014). Tahap-tahap penting dalam proses pemisahan pada metode ekstraksi caircair adalah tahap penggojogan, pendiaman kedua pelarut yang sudah digojog hingga terbentuk dua fraksi dan pemisahan kedua fraksi. Selain itu pemisahan akan lebih optimal apabila dilakukan beberapa jumlah pengulangan (Handa, 2008).
13
2.5
Kromatografi
2.5.1 Kromatografi Vakum Cair Kromatografi vakum cair merupakan metode pemisahan seperti metode kromatografi lapis tipis preparatif. Hanya saja pada vakum cair cair berbentuk kolom dan dengan bantuan vakum. Tidak seperti kolom lambat, fase diam pada vakum cair diperbolehkan berada dalam bentuk kering (Ried and Sarker, 2006; Sticher, 2008). Fase diam dalam metode vakum cair sama dengan metode kromatografi lapis tipis, hanya saja tidak menggunakan bahan penyangga dan pengikat. Contohnya antara lain aluminium oksida, silika gel, CN, diol dan poliamida. Umumnya vakum cair menggunakan silika gel 60 berukuran 15-40 µm yang bersifat mudah untuk dikemas ke dalam kolom. Sedangkan jenis fase gerak yang dapat digunakan antara lain heksana dan etil asetat (Pedersen and Osenbohm, 2001; Ried and Sarker, 2006; Sticher, 2008; Ghisalberti, 2008). Kolom berdiameter 10-13 cm disiapkan pada corong kaca sinter. Silika gel 60 ditambahkan dengan ketukan perlahan ke dalam corong dengan ketinggian 6-7 cm agar kolom menjadi padat dan memiliki permukaan yang datar. Kolom yang lebih padat diperoleh dengan memberikan tekanan pada permukaan silika sambil diberi perlakuan vakum melalui bagian bawah corong (Pedersen and Osenbohm, 2001; Ried and Sarker, 2006; Ghisalberti, 2008). Jumlah sampel yang dapat dipisahkan dalam satu kali proses berkisar antara 1 miligram hingga 50 gram, sesuai dengan ukuran corong yang digunakan.
14
Pemisahan akan optimal apabila sampel diletakkan setipis mungkin pada bagian atas kolom (Pedersen and Osenbohm, 2001; Ghisalberti, 2008). Proses elusi dilakukan dengan melewatkan fase gerak melalui kolom yang sudah dilapisi sampel dan kertas saring. Fase gerak dialirkan melalui kolom dengan bantuan vakum kemudian fraksi dikumpulkan. Fraksi dipantau menggunakan kromatografi lapis tipis. Rf analit umumnya memiliki nilai 0,5. Jumlah tampungan fraksi yang lebih kecil menghasilkan pemisahan yang lebih baik (Pedersen and Osenbohm, 2001; Ghisalberti, 2008). Metode vakum cair lebih ekonomis daripada kromatografi lapis tipis preparatif. Metode ini juga dapat digunakan untuk pemisahan sampel jumlah besar (> 10 g campuran senyawa) tanpa kehilangan daya pemisahan. Selain itu, metode ini juga relatif cepat pengerjaanya daripada kolom lambat pada jumlah fraksi yang sama (Ghisalberti, 2008; Pedersen and Osenbohm, 2001; Ried and Sarker, 2006). 2.5.2 Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis adalah metode untuk tujuan analisis kualitatif atau analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dengan kromatografi lapis tipis dilakukan untuk mengetahui jenis senyawa yang terkandung di dalam sampel (Handa, 2008). Metode pemisahan ini menggunakan suatu plat yang terdiri dari adsorben, pengikat dan penyangga. Penyangga yang digunakan diantaranya Kromatografi
lembar
kaca,
plastik,
atau
logam.
Metode
ini
mampu
15
mengidentifikasi sampel yang belum dipisahkan sebelumnya dengan bantuan pereaksi semprot (Tesso, 2005). Adsorben yang digunakan memiliki ukuran 0,25 mm untuk tujuan analitik dan ukuran 0,75-2 mm untuk tujuan preparatif. Jenis adsorben yang sering digunakan adalah silika gel (Sherma, 2008). Selain itu dapat juga digunakan selulosa, poliamida, RP-2, RP-12 dan RP 18 (Hahn-Deinsotrop, 2007; Sherma, 2008). Tabel 2.1 Beberapa Sistem Pemisahan dengan KLT untuk Produk Bahan Alam (Gibbons, 2006; Harborne, 2006; Jones and Kinghorn, 2006) Eluen Heksana:etil asetat
Fase Diam Silika gel
Keterangan Sistem umum yang digunakan
Petrol:dietileter
Silika gel
Sistem umum yang digunakan untuk senyawa nonpolar seperti terpen dan asam lemak
Petrol:CHCl3
Silika gel
Berguna untuk pemisahan derivat asam sinamat dan kumarin
CHCl3:aseton
Silika gel
Sistem umum untuk produk dengan polaritas sedang
Benzena:aseton
Silika gel
n-butanol:asam asetat:air
Silika gel
n-butanol:air:piridin: toluen
Silika gel
Berguna untuk pemisahan produk aromatik Sistem polar untuk flavonoid dan glikosida Perbandingan 10:6:6:1 untuk analisis gugus gula
MeOH:air
C18
Dimulai dengan MeOH 100% dilanjutkan dengan penambahan konsentrasi air
Asetonitril:air
C18
Sistem umum fase terbalik
16
Fase gerak untuk kromatografi lapis tipis harus bersifat inert, berbeda kepolarannya dengan adsorben dan terdiri dari 1 jenis pelarut atau campuran dari lebih 1 jenis pelarut (Budhiraja, 2004; Hahn-Deinsotrop, 2007). Pemilihan fase gerak dilakukan berdasarkan perkiraan nilai Rf yang akan dimiliki oleh komponen hasil pemisahan sampel tersebut. Rf adalah nilai hasil pembagian jarak tempuh komponen berbanding dengan jarak tempuh fase gerak (Gibbons, 2006). Sistem pemisahan KLT untuk produk bahan alam ditampilkan pada tabel 2.1. Pendeteksi yang dapat digunakan adalah lampu UV254, UV366 dan pereaksi semprot. Pereaksi semprot yang dapat digunakan untuk sistem pemisahan KLT ditampilkan pada tabel Tabel 2.2. Tabel 2.2
Beberapa Jenis Pereaksi Semprot untuk Deteksi Senyawa Bahan Alam Pada Plat KLT (Gibbons, 2006; Harborne, 2006; Jones and Kinghorn, 2006)
Golongan Senyawa
Terpen
Gugus karbonil
Jenis Pereaksi Pendeteksi Vanillin H2SO4
Warna merah atau biru
Anisaldehid H2SO4
Warna merah-ungu
Asam fosfomolibdat
Warna biru dengan latar belakang kuning
Uap NH3
Fluorosensi terang pada 366 nm
Uap NH3
Fluorosensi kuning, hijau-kuning, hijau-biru, lembayung gelap, biru muda, merah, jingga, biru muda, murup biru muda, kuning, jingga, merah, atau biru pada UV366
Uap NH3
Kuning murup, kuning, hitam redup, hijau-kuning, jerau, jingga, merah, hijau-kuning muda, lembayung lemah, atau kuning lemah
Flavonoid
2.6
Tuberkulosis
Hasil Positif Setelah Dideteksi
17
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis (Departemen Kesehatan RI, 2006). Bakteri M. tuberculosis akan menyebabkan pembentukan granuloma pada jaringan. Adanya hipersensitifitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity) pada saat yang bersamaan akan menyebabkan kronisitas dan nekrosis pada jaringan (Amin dan Bahar, 2009). Bakteri ini umumnya menyerang paru, akan tetapi dapat menyerang organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2006). M. tuberculosis yang menyerang organ paru disebut dengan tuberkulosis paru sedangkan M. tuberculosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut dengan tuberkulosis ekstra paru (Smith, 2003). 2.6.1 Epidemiologi Tuberkulosis menginfeksi sebanyak 185 per 100.000 penduduk di dunia pada tahun 2012 (World Health Organization, 2013). Pada tahun yang sama di Indonesia, tuberkulosis mampu menginfeksi sebanyak 700.000 penduduk. Hal ini menyebabkan Indonesia menduduki urutan penderita tuberkulosis terbanyak ke tiga di dunia, setelah India dan Cina. Selain itu, penduduk Indonesia dilaporkan meninggal sebanyak 27 per 100.000 penduduk pada tahun tersebut (World Health Organization, 2013) 2.6.2 Etiologi Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri intraseluler fakultatif yang tumbuh di dalam makrofag dan berproliferasi di ruangan ekstraseluler dari jaringan yang terinfeksi. Bakteri ini mampu tumbuh secara in vitro di dalam sistem biakan bebas sel pada suhu 35-37oC. M. tuberculosis tidak menghasilkan
18
spora, berbentuk basilus dengan dinding yang banyak mengandung lipid dan tidak bergerak (Smith, 2003).
2.6.3 Terapi Penanggulangan tuberkulosis dilakukan dengan mencegah terjadinya penularan maupun infeksi. Pencegahan tuberkulosis adalah mencegah penularan dari penderita terinfeksi dan menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya penularan. Contohnya adalah pemberian obat antituberkulosis yang benar dan cukup sesuai dengan ketentuan penggunaan (Departemen Kesehatan RI, 2005). Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan). Jenis obat lini pertama yang digunakan adalah rifampisin, INH, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. Sedangkan obat lini kedua yang dapat digunakan antara lain kanamisin, amikasin, kuinolon serta obat lain yang masih dalam penelitian yaitu makrolid, amoksilin dan asam klavulanat (Departemen Kesehatan RI, 2006).
2.7
Bakteri Uji
2.7.1 Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis memiliki ukuran 0,5-3 µm. Bakteri ini tampak lurus atau sedikit melengkung apabila diamati dibawah mikroskop. Bakteri hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN). Setelah pewarnaan ZN dengan carbolfuchsin maka warna bakteri tidak akan hilang terhadap pengaruh asam atau alkohol, sehingga dinamakan basil tahan asam.
19
Bakteri ini tidak memberikan hasil yang baik pada pewarnaan gram (Raviglione and O’Brien, 2004). Bakteri ini juga memiliki sifat yang cenderung resisten terhadap agen kimia daripada bakteri lain karena bakteri ini memiliki sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Hidrofobik disebabkan oleh kandungan lipid dan asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90) yang banyak. Bakteri ini juga resisten terhadap kekeringan dan dapat bertahan hidup pada sputum kering dalam waktu yang lama (Brooks et al., 2005; Peloquin, 2005). Bakteri ini tumbuh dengan lambat, yaitu 2 kali lipat pertumbuhan setiap 20 jam (Raviglione and O’Brien, 2004). Grafik pertumbuhan M. tuberculosis ditampilkan pada gambar 2.3. Tampak pada gambar 2.3 bakteri ini masih mengalami fase lag hingga hari ke-9. Fase lag merupakan fase dimana bakteri sedang menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru dan mengumpulkan nutrisi untuk tumbuh. Pada fase ini M. tuberculosis mengalami peningkatan ukuran sel. Lama fase lag M. tuberculosis berbeda-beda sesuai dengan media dan lingkungan tumbuh yang digunakan bakteri tersebut. Lama fase lag yang dialami M. tuberculosis dapat berlangsung selama 2-9 hari (Cardona, 2006; Urquides et al., 2013). Apabila nutrisi yang diperlukan M. tuberculosis sudah cukup, bakteri ini akan mengalami pertumbuhan yang cepat. Fase dimana bakteri mengalami pertumbuhan yang cepat ini disebut dengan fase eksponensial. Mycobacterium tuberculosis pada fase eksponensial mengalami pertumbuhan yang optimal. Kebanyakan bakteri ini mampu mengalami fase eksponensial dalam waktu yang lama hingga 3,5 minggu (Cardona, 2006; Urquides et al., 2013). Apabila nutrisi yang digunakan oleh
20
bakteri tersebut untuk tumbuh sudah berkurang, maka bakteri ini akan berada pada fase stasioner dan mengalami pertumbuhan yang stabil. Mycobacterium tuberculosis memiliki lama waktu fase stasioner yang panjang. Menurut Cardona (2006), fase stasioner M. tuberculosis masih tampak pada pengamatan di minggu ke-9. Media kultur yang dapat digunakan untuk bakteri ini adalah medium Lowenstein-Jensen. Media tersebut disusun atas garam, asam oleat, gliserol, kuning telur, tepung kentang dan malachit green. Malachit green tersebut digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak diinginkan. Setelah dikultur, akan dihasilkan koloni M. tuberculosis berbentuk bulat, kering, permukaan kasar dan berwarna putih kekuningan, seperti ditampilkan pada gambar 2.4.
Fase Eksponensial
Fase Lag
Gambar 2.3 Grafik Pertumbuhan M. tuberculosis Selama 21 Hari yang Terdiri atas Fase Lag dan Fase Eksponensial (Urquides et al., 2013).
21
Koloni M. tuberculosis
Gambar 2.4 Koloni M. tuberculosis yang Berwarna Putih Kekuningan pada Medium Lowenstein-Jensen Yang Berwarna Putih Kehijauan (Amin dan Bahar, 2009). 2.7.2 Mycobacterium tuberculosis Multi Drug Resistance Mycobacterium tuberculosis MDR mampu tumbuh secara in vitro di dalam sistem biakan bebas sel yang memiliki suhu 35-37oC (Smith, 2003). Mycobacterium tuberculosis MDR telah mengalami mutasi di luar region rifampicin reistance-determining region (RRDR) pada gene rpoB. Mutasi M. tuberculosis MDR di luar RRDR ini merupakan penyebab terjadinya resistensi M. tuberculosis MDR terhadap rifampisin. Sedangkan mutasi pada gen katG dan gen inhA yang dialami oleh M. tuberculosis MDR menyebabkan M. tuberculosis MDR mengalami resistensi INH (Chen et al., 2014). Mycobacterium tuberculosis MDR adalah bentuk resistensi dari Mycobacterium tuberculosis terhadap lebih dari 1 obat lini pertama tuberkulosis, yaitu rifampisin dan isoniazid (World Health Organization, 2012). Regimen pengobatan pasien tuberkulosis MDR harus mencakup setidaknya pirazinamid,
22
fluorokuinolon, agen parenteral (etionamid atau protionamid) dan sikloserin atau asam p-aminosalisilat (World Health Organization, 2011). Efek samping dari pengobatan pada pasien tuberkulosis MDR memiliki dampak yang serius, seperti arthralgia, kelainan psikiatrik, epileptic seizure, hepatitis dan ototoksik (Torun et al., 2005).
2.8
Uji Antituberkulosis dengan Metode Proporsi Metode proporsi digunakan pada pengujian aktivitas anti tuberkulosis.
Metode ini dilakukan pada media agar Lowenstein-Jensen (L-J) yang ditempatkan pada botol McCartney lalu dinkubasi selama 4-6 minggu pada suhu 37°C (Gupta et al., 2010). Aktivitas penghambatan senyawa yang diuji sebagai anti tuberkulosis diamati melalui pengamatan perbedaan jumlah colony forming unit (CFU) pada media fraksi dibandingkan terhadap media kontrol. Aktivitas antituberkulosis fraksi diukur dengan menghitung % hambatan. Selanjutnya fraksi flavonoid dinyatakan memiliki aktivitas antituberkulosis apabila mampu memberi hambatan persentase hambatan lebih besar dari 90% (Gupta et al., 2010). Keunggulan media L-J adalah mudah dalam disimpan, relatif lebih murah, dapat disimpan pada pendingin bila botol penyimpan tertutup rapat dan kontaminasi relatif kecil dengan adanya malachite green pada media (World Health Organization,1998).