BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akrilamida. 2.1.1 Sifat Fisikokimia Akrilamida (sinonim: 2-propenamida, etilen karboksi amida, akrilik amida,vinil amida) merupakan senyawa kristalin bening hingga putih dengan bobot molekul 71,09; tidak berbau; larut dalam air, metanol, etanol, dimetil eter dan aseton, serta tidak larut dalam benzene dan heptan. Akrilamida akan meleleh pada suhu 87,5o C dan mendidih pada suhu 125o C (Otles, 2004). Akrilamida memiliki rumus molekul C3H5NO dan rumus bangun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Rumus Bangun Senyawa Akrilamida
2.1.2 Kegunaan Umum Akrilamida digunakan pada proses pengolahan plastik, pengemasan makanan, produksi karet síntesis, dan sebagai pemurni air. Gel akrilamida berperan pada proses elektroforesis sedangkan kopolimer akrilamida berfungsi juga sebagai bahan flokulasi dan pengental (Otles, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Farmakokinetika. Akrilamida dapat diabsorbsi melalui saluran pernafasan, saluran cerna, dan kulit. Pada pendistribusiannya, akrilamida terdapat dalam kompartemen sistem tubuh dan dapat menembus placenta. Berdasarkan data bioavailabilitas absorbsi akrilamida tercepat diperoleh melalui rute oral, di dalam tubuh akrilamida didistribusi melalui cairan tubuh dan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 lalu diekskresikan melalui urin dan empedu. Waktu paruh eliminasi akrilamida pada tikus sekitar 2 jam, sedangkan pada manusia belum diketahui secara jelas waktu eliminasi yang dibutuhkan (FAO dan WHO, 2002; Friedman, 2003). 2.1.4 Toksikologi Akrilamida merupakan senyawa toksik dalam bentuk monomer sedangkan poliakrilamida yang merupakan polimernya tidak lagi bersifat toksik. Akrilamida telah diklasifikasikan sebagai senyawa yang mungkin menyebabkan kanker atau berpotensi sebagai karsinogen pada manusia (Friedman, 2003).. Akrilamida dapat menyebabkan tumor pada saraf pusat, kelenjar susu, kelenjar tiroid, uterus, dengan dosis letal 50-500 mg/kg setiap harinya. Akrilamida berpotensi menyebabkan neurotoksik yang berakibat kepada sistem saraf pusat dan perifer, toksisitas akut menyebabkan gangguan emosional, halusinasi, turunnya
tingkat
kesadaran,dan
hipotensi,
sedangkan
toksisitas
kronik
menyebabkan iritasi pada kulit, pengeluaran keringat yang berlebihan, kelelahan, dan turunnya berat badan (Friedman,2003; Info POM, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Proses Pembentukan Akrilamida dalam Minyak Goreng Bekas Pakai.
Lipid umumnya trigliserida dapat membentuk akrilamida pada pemanasan suhu tinggi. Tahap awal adalah hidrolisis trigliserida membentuk gliserol dan asam lemak. Gliserol selanjutnya dapat melepaskan molekul air dan selanjutnya teroksidasi membentuk akrolein. Akrolein selanjutnya dapat mengalami oksidasi membentuk asam akrilat atau membentuk senyawa antara berupa radikal akrilat. Kedua senyawa tersebut, dengan adanya sumber nitrogen (umumnya gugus amina dari asam amino) dan kondisi yang sesuai, dapat membentuk akrilamida (Lingnert, et.al., 2002). Hipotesis pembentukan akrilamida dari lipid dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Hipotesis mekanisme pembentukan akrilamida dari lipid. ( Yasuhara, 2003 ) 2.1.6 Ekstraksi akrilamida dalam Minyak Goreng Bekas Pakai. Proses pengekstraksian akrilamida dalam sampel minyak goreng bekas pakai dilakukan dengan ekstrasksi cair – cair dengan cairan pengekstrak adalah fase gerak (Napitupulu, 2008). Diklorometan merupakan pelarut organik yang sedikit melarutkan akrilamida dan zat – zat nonpolar sehingga penambahan etanol dapat
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kelarutan akrilamida sewaktu proses ekstraksi. Akrilamida sebenarnya memiliki kelarutan yang tinggi dalam air (Gökmen dan Senyuva, 2008), namun dalam proses ekstraksi tidak menggunakan air dikarenakan banyaknya senyawa polar yang mungkin ikut terekstraksi bersama akrilamida yang akan mengganggu analisis, sehingga digunakan campuran diklorometan dan etanol sebagai larutan pengekstraksi. Akrilamida memiliki kelarutan yang besar dalam air, sehingga dapat ditarik lagi dari diklorometana tanpa terbawanya senyawa organik yang tidak larut dalam pelarut polar. Adanya kemungkinan bahwa tidak seluruh akrilamida tertarik ke dalam fase air, maka fase diklorometan harus diuapkan hingga habis sehingga sisa akrilamida yang tertinggal akan larut ke dalam fase air (Castle, 2006). Lapisan diklorometan akan berada di bawah lapisan cairan pengekstraksi yaitu fase gerak sehingga dapat diuapkan di atas penangas air namun diklorometana bersifat relatif toksik dan berpotensi mencemari lingkungan bila dilakukan penguapan secara langsung. Penguapan dilakukan dalam sistem tertutup menggunakan proses destilasi. Proses destilasi memungkinkan untuk dikerjakan karena titik didih diklorometan yang relatif jauh dari air yakni 40°C. Selain itu, pengamatan titik akhir destilasi juga mudah dilakukan karena fase air tidak bercampur dengan fase diklorometana. Larutan destilat disentrifugasi, kemudian dibekukan di dalam freezer lemari pendingin selama 3 jam hingga minyak di bagian atas memadat. Setelah itu, minyak yang telah memadat diambil secara fisik dan fase air yang membeku dibiarkan mencair kembali (Tanseri, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Analisis Akrilamida dalam Makanan Analisis akrilamida dalam makanan sudah pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kadar akrilamida dalam sampel makanan, antara lain seperti kromatografi gas spektrometri massa, kromatografi cair-spektrometri massa tandem dan kromatografi cair kinerja tinggi (Harahap,2006; Tanseri,2009). Analisis akrilamida yang ditambahkan ke dalam keripik kentang simulasi secara kromatografi cair kinerja tinggi dilakukan oleh Harahap (2006). Fase gerak yang digunakan yaitu asetonitril : aquabidest : asam fosfat (5:94:1) dengan pelarut asam fosfat 10 % dan detektor UV-VIS. Kolom yang digunakan yaitu C-18, panjang gelombang 230 nm, laju alir 1,2 ml/menit, waktu tambat 3,1 menit dan volume injeksi 20 µl. Keripik kentang dibuat sendiri dengan cara memanaskan di oven pada suhu 100o C selama 3 jam. Kemudian ditambahkan akrilamida yang sudah diketahui kadarnya. Setelah itu diekstraksi dengan 3 cara yaitu ekstraksi cair – cair antara diklorometan dengan air, penguapan diklorometan kemudian penambahan air, dan diklorometan ditambahkan air kemudian diklorometan diuapkan. Metode ekstraksi yang terbaik yaitu diklorometan yang ditambahkan air kemudian diklorometan diuapkan dengan persen perolehan kembali 97 %. Akrilamida juga terbentuk dari lipid. Napitupulu (2008) telah meneliti akrilamida pada pembuatan minyak kelapa dengan cara panas. Kemudian dilakukan variasi suhu dan lama pemanasan Variasi suhu yang dilakukan yaitu 90 C, 100 C, 110 C serta variasi waktu pemanasan masing –masing 15, 25 dan 35 menit. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tidak terdeteksi akrilamida dalam minyak kelapa pada suhu pemanasan 90 C dan 100 C setelah 15 menit waktu
Universitas Sumatera Utara
pemanasan, tidak terdeteksi akrilamida dalam minyak kelapa. Pembentukan akrilamida yang paling banyak yaitu pada suhu 110 C setelah 35 menit dengan kadar sebesar 336,30 ± 16, 57 µg/kg. Analisis ini dilakukan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi dengan fase gerak asetonitril dan larutan asam fosfat (95:5), waktu tambat 7,64 menit, kolom C-18 dan detektor UV pada 210 nm. Tanseri (2009) meneliti tentang pengaruh suhu terhadap pembentukan akrilamida dalam kentang goreng secara kromatografi cair kinerja tinggi. Fase gerak yang digunakan yaitu metanol dan larutan asam fosfat (10:90). Kolom yang digunakan yaitu C-18, detektor UV 210 nm dan laju alir 1,5 ml/menit.. Ekstraksi yang digunakan yaitu dengan diklorometan dan etanol. Kentang digoreng dengan peningkatan variasi suhu dari 110o C, 130o C, 150o C, 170o C dan 190o C. Sehingga diperoleh kadar akrilamida yang tertinggi yaitu 1,98 µg/g pada suhu 190o C. Penelitian tentang akrilamida juga dilakukan oleh Dewi (2010) terhadap kentang goreng pada beberapa restoran cepat saji secara kromatografi cair kinerja tinggi. Fase gerak yang digunakan yaitu asetonitril dan larutan asam fosfat (5:95), laju alir 1 ml/menit, kolom C-18 dan detektor UV pada 230 nm. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar akrilamida masih berada di bawah dosis letal yaitu 50-500 µg/kg dengan rentang kadar 0,4-11 µg/kg.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi dan detektor yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai analit secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Depkes, 1995). Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, ananlisis ketidakmurnian dan analisis senyawa – senyawa yang tidak mudah menguap. KCKT sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa – senyawa tertentu seperti asam – asam amino, asam – asam nukleat dan protein – protein dalam fisiologis, menentukan kadar senyawa – senyawa aktif obat dan lain – lain (Rohman, 2007).
2.3.1 Jenis – jenis KCKT Hampir semua jenis campuran solut dapat dipisahkan dengan KCKT karena banyaknya fase diam yang tersedia dan selektifitas yang dapat ditingkatkan dengan mengatur fase gerak. Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase balik tergantung pada polaritas fase diam dan fase gerak. Pada KCKT fase normal ( fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak biasanya non polar, seperti dietil eter, benzen, hidrokarbon lurus seperti pentana, heksana, heptana maupun iso-oktana. Halida alifatis seperti diklorometana, dikloroetana, butilklorida dan kloroform juga digunakan. Umumnya gas terlarut tidak menimbulkan masalah pada fase normal.
Universitas Sumatera Utara
Pada KCKT fase terbalik paling sering digunakan fase diam berupa oktadesilsilam (ODS atau C18) dan fase gerak campuran metanol atau asetonitril dengan air atau dengan larutan buffer. Untuk solut yang bersifat asam lemah, peranan pH sangat krusial karena bila pH fase gerak tidak diatur maka solute akan mengalami ionisasi atau protonisasi. Terbentuknya spesies yang terionisasi ini menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lebih lemah dibanding jika solute dalam bentuk spesies yang tidak terionisasi akan terelusi lebih cepat (Rohman, 2007).
2.3.2 Instrumen KCKT Instrumen KCKT tersusun atas 6 bagian dasar, yaitu wadah fase gerak (reservoir), pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detektor (detector) dan perekam (recorder). Ilustrasi instrument dasar KCKT dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Instrument dasar KCKT
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.1 Wadah Fase Gerak Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah pelarut kosong ataupun labu dapat digunakan sebagai wadah fase gerak dan biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing ( penghilangan gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama dipompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisi (Rohman, 2007).
2.3.2.2 Pompa Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/menit (Rohman, 2007).
2.3.2.3 Injektor Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup Teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) (Rohman,2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.4 Kolom Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok : •
Kolom analitik : garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.
•
Kolom preparatif : umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dari panjang 25-100 cm.
Kolom hampir selalu terbuat dari baja nirkarat. Kolom biasanya dipakai pada suhu kamar, tetapi pada suhu yang lebih tinggi dapat juga dipakai (Johnson,1991).
2.3.2.5 Detektor Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor – detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan ( noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh. Detektor yang paling banyak digunakan dan merupakan tulang punggung kromatografi cair kinerja tinggi ialah detetktor UV 254 nm (Johnson,1991). 2.3.2.6 Perekam Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, rekorder dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu mem-plotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Parameter Penting dalam KCKT. 2.3.3.1 Tinggi dan Luas Puncak Tinggi dan luas puncak berkaitan secara proporsional dengan kadar atau jumlah analit tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif). Namun demikian, luas puncak lebih umum digunakan dalam perhitungan kuantitatif karena lebih akurat/cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi puncak (Ornaf dan Dong, 2005). Hal ini dikarenakan luas puncak relatif tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi, kecuali laju alir. Sementara itu, tinggi puncak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti misalnya faktor tambat, suhu kolom serta cara injeksi sampel (Miller, 2005). Hal ini akan menyebabkan tinggi puncak relatif labil selama analisis. Namun demikian tinggi puncak masih dapat digunakan dalam perhitungan kuantitatif bila puncak analit simetris (Dyson, 1990).
2.3.3.2 Waktu Tambat Periode waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang terekam oleh detektor disebut sebagai waktu tambat. Waktu tambat dari suatu komponen yang tidak ditahan oleh fase diam disebut sebagai waktu hampa/void time (t0). Waktu tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak dan panjang kolom. Jika fase gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panjang, waktu hampa dan waktu tambat akan semakin besar, dan sebaliknya bila fase gerak mengalir lebih cepat atau kolom semakin pendek, maka waktu hampa dan waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3.3 Faktor Kapasitas Waktu tambat dipengaruhi oleh laju alir, ukuran kolom dan parameter yang lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran derajat tambatan dari analit yang lebih independen yakni faktor kapasitas (Ornaf dan Dong, 2005). Dalam beberapa literatur lain, faktor kapasitas juga disebut sebagai faktor tambat (k). Idealnya, analit yang sama jika diukur pada dua instrumen berbeda dengan ukuran kolom yang berbeda namun memiliki fase diam dan fase gerak yang sama, maka faktor tambat dari analit pada kedua sistem KCKT tersebut secara teoritis adalah sama (Kazakevich dan LoBrutto, 2007). Faktor tambat yang disukai berada di antara nilai 1 hingga 10. Jika nilai k terlalu kecil menunjukkan bahwa analit terlalu cepat melewati kolom sehingga tidak terjadi interaksi dengan fase diam dan oleh karena itu tidak akan muncul dalam kromatogram. Sebaliknya, nilai k yang terlalu besar mengindikasikan waktu analisis akan panjang (Meyer, 2004). Nilai k’ dari analit yang lebih besar dari 20 akan menjadi masalah dalam analisis KCKT karena waktu analisis yang terlalu panjang dan sensitifitas yang buruk sebagai akibat dari pelebaran puncak yang berlebihan (Ornaf dan Dong, 2005).
2.3.3.4 Selektifitas Proses
pemisahan
antara
dua
komponen
dalam
KCKT
hanya
memungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang berbeda dalam melewati kolom (Ornaf dan Dong, 2005). Kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan/membedakan analit yang berbeda dikenal sebagai selektifitas (α). Selektifitas umumnya tergantung pada sifat analit itu sendiri, interaksinya dengan
Universitas Sumatera Utara
permukaan fase diam serta jenis fase gerak yang digunakan (Kazakevich dan LoBrutto, 2007). Nilai selektifitas yang didapatkan dalam sistem KCKT harus lebih besar dari 1 (Ornaf dan Dong, 2005). Selektifitas disebut juga sebagai faktor pemisahan atau tambatan relatif (Meyer, 2004).
2.3.3.5 Efisiensi Kolom Salah satu karakteristik sistem kromatografi yang paling penting adalah efisiensi atau jumlah lempeng teoritis. Bilangan lempeng (N) yang tinggi disyaratkan untuk pemisahan yang baik yang nilainya semakin kecilnya nilai H. Istilah H merupakan tinggi ekivalen lempeng teoritis atau HETP (high equivalent theoretical plate) yang mana merupakan panjang kolom yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lempeng teoritis. Kolom yang baik akan mempunyai bilangan lempeng yang tinggi dan nilai H yang rendah, untuk mencapai hal ini ada beberapa faktor yang mendukung yaitu kolom yang dikemas dengan baik, kolom yang lebih panjang, partikel fase diam yang lebih kecil, viskositas fase gerak yang lebih rendah dan suhu yang lebih tinggi, molekul-molekul sampel yang lebih kecil, dan pengaruh di luar kolom yang minimal (Rohman, 2007).
2.3.3.6 Resolusi Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode kromatografi direfleksikan dalam kromatogram yang dihasilkan, untuk hasil pemisahan yang baik puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna dari puncak lainnya. Resolusi adalah perbedaan waktu retensi 2 puncak yang saling berdekatan, dibagi dengan rata-rata lebar puncak, dengan rumus sbb:
Rs =
2∆t R (W1 + W2 ) Universitas Sumatera Utara
Ket:
∆t R = t R 2 − t R1
t = waktu retensi puncak
W = lebar puncak Nilai Rs mendekati atau lebih dari 1,5 akan memberikan pemisahan yang baik (Rohman, 2007).
2.3.3.7 Faktor Asimetri Adanya puncak, yang asimetris dapat disebabkan oleh hal –hal berikut: • Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna karenanya terjadi pengekoran atau tailing. • Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan solut sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang mengekor. • Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting) (Rohman, 2007).
2.4 Validasi Metode Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Berikut delapan karakterisitik utama yang digunakan dalam validasi metode analitik menurut USP:
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik Akurasi Presisi
Spesifisitas
Batas deteksi Batas kuantitasi
Linieritas
Rentang Kekasaran Ketahanan
Pengertian Kedekatan antara nilai hasil uji yang diperoleh lewat metode analitik dengan nilai sebenarnya. Ukuran keterulangan metode analitik, termasuk di antaranya kemampuan instrumen dalam memberikan hasil analitik yang reprodusibel. Kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradatif dan komponen matriks. Konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. Kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji yang secara langsung proposional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analitik menunjukkan akurasi, presisi dan linieritas yang cukup. Tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh dibawah berbagai kondisi yang diekspresikan sebagai % RSD. Kapasitas metode untuk tidak terpengaruh oleh adanya variasi parameter yang kecil.
(Rohman, 2007). 2.4.1 Akurasi Akurasi/kecermatan dapat ditentukan dengan dua metode, yakni spiked placebo recovery dan standard addition method. Pada spiked placebo recovery atau metode simulasi, analit murni ditambahkan (spiked) ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut dianalisis dan jumlah analit hasil analisis dibandingkan dengan jumlah analit teoritis yang diharapkan. Jika plasebo tidak memungkinkan untuk disiapkan, maka sejumlah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan langsung ke dalam sediaan farmasi otentik. Metode ini dinamakan metode standard addition method atau metode penambahan baku.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah keseluruhan analit kemudian diukur dan dibandingkan dengan jumlah teoritis, yaitu jumlah analit yang murni berasal dari sediaan farmasi otentik tersebut, ditambah dengan jumlah analit yg di-spiked ke dalam sediaan. Akurasi kemudian dinyatakan dalam persen perolehan kembali (%Recovery). Persen perolehan kembali ditentukan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dari analisis dengan hasil sebenarnya yang dihitung secara teoritis. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah metode kuantitasi yang digunakan dalam penentuan akurasi harus sama dengan metode kuantitasi yang digunakan untuk menganalisis sampel dalam penelitian (Harmita, 2004; Ermer, 2005).
2.4.2 Presisi Presisi diekspresikan dengan standar deviasi atau standar deviasi relatif (RSD) dari serangkaian data. Data untuk menguji presisi seringkali dikumpulkan sebagai bagian dari kajian-kajian lain yang berkaitan dengan presisi seperti linearitas atau akurasi. Biasnya replikasi 6-15 dilakukan pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Pada pengujian dengan KCKT, nilai RSD antara 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit RSD berkisar antara 5-15% (Rohman, 2007).
2.4.3 Spesifitas Penentuan spesifitas metode dapat diperoleh dengan dua jalan. Cara pertama adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa
Universitas Sumatera Utara
yang dituju≥ 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifitas adalah dengan menggunakan detektor selektif terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersama-sama sebagai contoh detektor elektrokimia hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa yang lainnya tidak terdeteksi. Penggunaan detektor UV pada panjang gelombang yang spesifik juga merupakan cara yang efektif untuk melakukan pengukuran selektifitas (Rohman, 2007).
2.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Batas deteksi dan batas kuantitasi dapat ditentukan dengan 2 metode yakni metode non instrumental visual dan metode perhitungan. Metode non instrumental visual digunakan pada teknik kromatografi lapis tipis dan metode titrimetri. Metode perhitungan didasarkan pada simpangan baku respon (SB) dan derajat kemiringan/slope (b) dengan rumus perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi sbb: LOD =
LOQ =
3 x SB Slope
10 x SB Slope
Simpangan baku respon dapat ditentukan berdasarkan simpangan baku blanko, simpangan baku residual dari garis regresi atau simpangan baku intersep y pada garis regresi (Rohman, 2007). 2.4.5 Linearitas Lineritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasilhasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Linearitas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva
Universitas Sumatera Utara
kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Linearitas dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbeda-beda. Data yang diperoleh selanjutnya diproses dengan metode kuadrat terkecil, untuk selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan koefisien korelasinya (Rohman, 2007).
2.4.6 Rentang Rentang atau kisaran suatu metode didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linearitas yang mencukupi. Kisaran-kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan kegunaannya (Rohman, 2007).
2.4.7 Kekuatan Kekuatan/ketahanan dievaluasi dengan melakukan variasi parameterparameter metode seperti persentase pelarut organik, pH, kekuatan ionik, suhu, dan sebagainya. Suatu praktek yang baik untuk mengevaluasi ketahanan suatu metode adalah dengan memvariasi parameter-parameter penting dalam suatu metode secara sistematis lalu mengukur pengaruhnya pada pemisahan (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara