BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti akan mengalami atau menghadapi yang namanya masalah dalam usaha untuk mencapai tujuan hidup yang dikehendaki serta secara terus menerus melakukan penyesuaian diri sebagai proses yang seiring dengan perubahanperubahan yang terjadi terus menerus terjadi di dalam kehidupannya. Menurut Runyon dan Harber (1984), penyesuaian diri adalah proses yang berlangsung dalam kehidupan individu, yang merupakan akibat dari situasi dalam kehidupan yang terus berubah, sehingga individu akan mengubah tujuan dalam hidupnya, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Pendapat serupa tentang penyesuaian diri dikemukakan oleh Gunarsa dan Singgih (2012) yang menyebutkan penyesuaian diri merupakan pola aktivitas dan sikap lain yang sesuai dengan keadaan baru yang dibentuk manusia sejak kecil, dimana pola-pola yang dibentuk disebut dengan mekanisme penyesuaian, yaitu individu berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar dapat disetujui oleh umum. Lubis (2009) menyebutkan bahwa penyesuaian diri sebagai kemampuan individu untuk individu bereaksi terhadap adanya tuntutan yang dibebankan kepadanya, mampu mempelajari sikap atau tindakan baru yang memerlukan adanya respon-respon mental, mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta menghasilkan kualitas keselarasan dari dalam diri individu dengan tuntutan lingkungan,
sehingga individu mendapatkan ketentraman secara internal dengan hubungannya dengan dunia sekitarnya. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, peneliti memutuskan untuk menggunakan pengertian penyesuaian diri menurut Lubis (2009) yang menyebutkan bahwa penyesuaian diri sebagai kemampuan individu untuk individu bereaksi terhadap adanya tuntutan yang dibebankan kepadanya, mampu mempelajari sikap atau tindakan baru yang memerlukan adanya respon-respon mental, mampu menghadapi kebutuhankebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta menghasilkan kualitas keselarasan dari dalam diri individu dengan tuntutan lingkungan, sehingga individu mendapatkan ketentraman secara internal dengan hubungannya dengan dunia sekitarnya. Alasan peneliti menggunakan definisi milik Lubis (2009) karena, penyesuaian diri menurut beliau dapat mewakili dimensi penyesuaian diri yang peneliti gunakan sebagai dasar alat ukur dan lebih sesuai dengan kondisi dan keadaan dari subjek yang diteliti.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuian diri menurut Chauhan (1978) adalah sebagai berikut: a. Keadaan fisik Keadaan fisik individu merupakan faktor yang dapat memengaruhi penyesuaian diri, karena keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi penyesuaian diri yang baik. b. Jenis kelamin Lingkungan memberikan perbedaan perlakuan terhadap pria dan wanita. Pria mendapatkan kebebasan yang lebih aktif, cenderung lebih bebas menentang
peraturan, ataupun norma dalam masyarakat, sedangkan wanita lebih banyak mengikuti kebiasaan yang berlaku. c. Lingkungan Keadaan lingkungan sosial dan lingkungan keluarga yang baik, damai, tenteram, penuh penerimaan, dan mampu memberikan perlindungan ke anggota-anggotanya akan melancarkan proses-proses penyesuaian diri. d. Pendidikan Tingkat pendidikan dan intelegensi individu memengaruhi penyesuaian diri. individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan memiliki intelegensi yang tinggi cenderung dapat melaksanakan proses penyesuaian diri dengan lancar dibandingkan dengan individu dengan tingkat pendidikan dan intelegensi yang lebih rendah. e. Kebudayaan Kebudayaan merupakan faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu agar dapat menyesuaikan diri dengan baik, atau justru akan membentuk individu yang lebih sulit untuk menyesuaikan diri. f. Agama Faktor agama akan mempengaruhi kelancaran proses penyesuaian diri, sebab agama akan memberikan suasana yang tentram secara psikologis bagi individu, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi, dan ketegangan psikis lainnya. g. Psikologis Psikologis merupakan faktor paling yang memengaruhi dalam penyesuaian diri, sebab keadaan mental yang sehat merupakan syarat untuk tercapainya penyesuaian diri yang baik. Kelancaran dalam proses perkembangan individu
akan menyebabkan adanya kematangan dalam diri individu yang bersangkutan, karena dengan adanya kematangan tersebut menunjukan bahwa individu yang bersangkutan sudah mampu menyelaraskan dorongan-dorongan internalnya dengan tuntutan lingkungan. Sunarto
dan
Hartono
(2008)
menyebutkan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempngaruhi penyesuaian diri adalah sebagai berikut: a. Kondisi-kondisi fisik termasuk di dalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, sistem otot, kesehatan, penyakit, dan sebagainya. b. Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional. c. Penentu
psikologis,
termasuk
di
dalamnya
pengalaman,
belajarnya,
pengkondisian, penentuan diri, frustasi, dan konflik. d. Kondisi lingkungan khususnya keluarga dan sekolah. e. Penentu kultural, termasuk agama.
3. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri Menurut Schneiders (1999) dimensi penyesuaian diri dapat dijelaskan sebagai berikut: Karakteristik penyesuaian diri positif: a. Absence of Excessive Emotionality Terhindar dari ekspresi emosi yang berlebihan, merugikan, atau kurang mampu mengontrol diri. b. Absence of Psychological Mechanism Terhindar dari mekanisme-mekanisme psikologis, seperti rasionalisasi, agresi, kompensasi, dan sebagainya.
c. Absence of The Sense of Personal Frustration Terhindar dari perasaan frustasi atau perasaan kecewa karena tidak terpenuhinya kebutuhan. d. Rational Deliberation and Self-Direction Memiliki pertimbangan dan pengarahan diri yang rasional, yaitu mampu memecahkan
masalah
berdasarkan
alternatif-alternatif
yang
telah
dipertimbangkan secara matang dan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang di ambil. e. Ability to Learn Mampu belajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah sehari-hari. f. Utilization of Past Experience Mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu, bercermin ke masa lalu, baik yang terkait dengan keberhasilan, maupun kegagalan untuk mengembangkan kualitas hidup yang lebih baik. g. Realistic-Objective Attitude Bersikap objektif dan realistik, mampu menerima kenyataan hidup yang dihadapi secara wajar, mampu menghindari, merespon situasi, atau masalah secara rasional, tanpa didasari oleh prasangka buruk atau negatif. Karakteristik penyesuaian diri negatif: a. Defense Reaction Dalam reaksi ini individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak
menghadapi
kegagalan.
Individu
akan
selalu
menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan.
berusaha
untuk
b. Escape Reaction Dalam reaksi ini individu mempunyai penyesuaian diri yang salah, yaitu menunjukkan tingkah laku yang bersifat menyerang untuk menutupi kegagalannya, dimana dalam hal ini individu tidak mau mengakui kegagalannya. c. Aggressive Reaction Individu memiliki penyesuaian diri yang salah. Dalam hal ini individu akan menunjukan hal-hal seperti melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya, reaksinya akan nampak dalam hal tingkah laku, yaitu berfantasi seolah-olah tercapai, seperti menjadi banyak tidur, minum-minuman keras, dan regresi (kembali kepada tingkah laku pada tingkat perkembangan yang lebih awal). Aspek penyesuaian diri menurut Darlega (1978) dapat dijelaskan sebagai berikut ini : a) Kemampuan untuk menerima kenyataan yang ada b) Kemampuan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama c) Kemampuan untuk dapat memilih pekerjaan yang dapat memuaskan dirinya dan sesuai dengan kemampuan dan minat yang dimilikinya d) Kemampuan untuk bekerja sama dan hidup bersama dengan individu lain dalam suasana menyenangkan e) Kemampuan untuk mengendalikan luapan emosi, sehingga tidak mudah marah, iri, mengalami ketakutan berlebih, cemas, dan memiliki toleransi yang tinggi f) Kemampuan untuk menerima diri apa adanya g) Kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain
Berdasarkan dari dua aspek-aspek yang telah dijelaskan diatas yaitu aspek penyesuaian diri menurut Scheineders (1999), dan Darlega (1978), peneliti memutuskan untuk menggunakan aspek penyesuaian diri menurut Scheineders setelah melihat pertimbangan kondisi subjek yang lebih pas apabila diukur menggunakan aspek tersebut serta tahun dari aspek yang dibuat lebih baru sehingga asumsinya aspek tersebut lebih cocok untuk digunakan pada era serta kondisi saat ini.
B. Coping Strategy
1. Pengertian Coping Strategy Coping berasal dari kata cope (bahasa inggris) yang dapat diartikan sebagai menghadang, melawan. Coping strategy atau strategi koping sendiri memiliki banyak definisi yang menjelaskan makna dari kalimat tersebut yang telah di buat oleh ahli maupun peneliti, diantaranya pendapat dari Lazarus dan Folkman (1991), menjelaskan pengertian dari coping strategy adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang pekerja seks gunakan dalam menghadapi stressfull event. Coping strategy menekankan pada usaha atau suatu proses, dimana individu berupaya untuk menyelesaikan atau menghadapi suatu peristiwa atau kejadian yang dianggap penuh tekanan, dengan cara mengubah kognisinya, sehingga mampu menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisirkan keadaan penuh tekanan atau untuk mencari rasa aman (Mu’tadin, 2002). Pendapat serupa di definisikan oleh Rustiana (2003) yang menjelaskan coping strategy sebagai usaha kognitif serta behavioral yang dilakukan oleh individu; yaitu usaha
untuk mengatur tuntutan tersebut, meliputi usaha untuk menurunkan, meminimalisir, serta menahan. Lazarus (dalam Pestanjee, 1992) mengungkapkan bahwa coping strategy memiliki dua konotasi, yaitu menunjukan suatu cara menghadapi tekanan dan menunjukan suatu cara untuk mengatasi kondisi yang menyakitkan, mengancam, atau menantang ketika respon yang rutin muncul tidak bisa digunakan. Berdasarkan dari beberapa pendapat dari beberapa peneliti diatas maka peneliti memutuskan untuk menggunakan definisi coping strategy menurut Lazarus dan Folkman (1991), yaitu coping strategy merupakan suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang pekerja seks gunakan dalam menghadapi stressfull event. Definisi tersebut dipilih peneliti dikarenakan aspek-aspek penyesuaian diri yang peneliti pergunakan dibuat oleh Lazarus dan Folkman sehingga peneliti harap terdapat kesinambungan antara definisi dengan alat ukur penelitian.
2. Macam-Macam Coping Strategy Menurut Lazarus dan Folkman (1991) bentuk-bentuk coping strategy antara lain: a. Problem Focused Coping: Coping Strategy yang berpusat pada masalah atau situasi yang menyebabkan stres. Strategi ini meliputi cara-cara yang dilakukan individu secara konstruktif terhadap stres yang dialami individu yang bersangkutan, sehingga individu tersebut dapat bebas dari masalah tersebut, dimana orang-orang yang menggunakan coping strategy ini dapat diketahui dari indikator perilaku sebagai berikut (Lazarus & Folkamn, 1987):
1. Excercised caution (menahan diri) Tindakan yang disadari dengan adanya pertimbangan bahwa individu cenderung melakukan tindakan yang memerlukan tantangan daripada tindakan atau yang mampu menyelesaikan masalah dengan cepat. 2. Instrumental action (tindakan instrumental) Tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung, serta menyusun rencana-rencana apa yang akan dilakukan. 3. Negotiation (negosiasi) Usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat, atau yang menjadi penyebab masalah yang sedang terjadi, untuk memikirkan dan menyelesaikan masalahnya. 4. Support mobilization Meliputi usaha untuk mendapatkan informasi, nasihat, dan dukungan secara emosional dari seseorang. Individu akan cenderung menggunakan problem focused coping dalam penyelesaian masalah apabila individu yakin atau merasa bahwa dirinya dapat mengubah situasi yang ia alami sekarang, atau setidaknya dapat mengontrol keadaaan, contohnya masalah yang berhubungan dengan pendidikan, atau pekerjaannya (Bharatasari, 2008). b. Emotional Focused Coping Strategi ini mengikutsertakan usaha untuk mengubah emosi, berdasarkan pengalaman, yang disebabkan oleh peristiwa yang menimbulkan stres, sedangkan untuk coping strategy yang berfokus pada emosi ini, dapat dilihat dari indikator perilaku sebagai berikut (Lazarus & Folkaman, 1987):
1. Escapism (Pelarian dari masalah) Dapat diartikan bahwa individu menghindari masalah dengan cara berkhayal, atau membayangkan seandainya individu yang bersangkutan berada pada situasi yang menyenangkan. 2. Minimization (Pengabaian) Usaha untuk menolak merenungkan suatu permasalahan, serta bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa, dengan strategi ini individu mempunyai kemampuan dalam mengendalikan nafsu. 3. Self Blame (Menyalahkan diri sendiri) Suatu tindakan pasif yang berlangsung dalam batin, yaitu individu cenderung untuk menyalahkan dan menghukum diri sendiri, serta menyesal dengan apa yang telah terjadi. 4. Seeking Meaning (Pencarian arti) Mencoba untuk menemukan jawaban masalah melalui kepercayaan yang dianut, seperti halnya berdoa. Individu akan cenderung menggunakan emotional focused coping apabila individu merasa dihadapkan pada keadaan atau permasalahan yang menurut mereka tidak dapat dikontrol atau individu merasa tidak mampu untuk merubah keadaan yang menjadi sumber stressfulnya, contohnya adalah individu yang mengalami penyakit-penyakit yang berat dan tidak dapat disembuhkan (Bharatasari, 2008), tetapi terkadang kedua buah fungsi coping, baik problem focused coping maupun emotional focused coping dapat bekerja bersamaan dalam suatu waktu, bahkan menurut Lazarus dan Folkman, suatu strategy coping akan lebih berguna apabila dilakukan dalam waktu yang bersamaan (dalam Taylor, 2003).
3. Dimensi Coping Strategy Berikut adalah dimensi dari coping strategy berdasarkan Lazarus dan Folkman (1984): A. Dimensi Problem Focused Coping: a. Confronting merupakan suatu usaha yang dilakukan individu secara tegas berupa tindakan asertif untuk mengubah situasi dan menimbulkan permusuhan. Confronting juga dapat didefinisikan suatu cara individu untuk mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan kemarahan atau mengambil risiko untuk merubah situasi. b. Accepting Responsibility merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menerima kenyataan dari suatu peristiwa yang terjadi dan berusaha berbuat lebih baik kedepannya sehingga memunculkan suatu pengembangan dalam diri individu. c. Planfull Problem Solving merupakan suatu upaya aktif untuk menghilangkan sumber stres dengan menganalisa masalah untuk mendapatkan solusi dan melakukan tindakan langsung mengatasi stressor. Planfull problem solving mengharuskan individu untuk melakukan suatu perencanaan strategi dan perencanaan menghilangkan dan mengatasi stres, dengan melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis. d. Positive Reappraisal merupakan suatu upaya individu dalam mengatasi stresor dengan menanamkan makna yang positif. B. Dimensi Emotional Focused Coping: a. Distancing adalah suatu upaya dengan menjauhkan diri dari stressor dan berusaha memandang dari sudut yang positif. Distancing juga dapat didefinisikan merupakan suatu penyelesaian masalah yang dilakukan individu melalui
kemampuan kognitif yang bertujuan untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi atau menciptakan pandangan yang positif terhadap masalah yang dihadapi. b. Self controlling adalah suatu upaya yang dilakukan untuk lebih berusaha mengontrol perasaan dan tindakannya dalam menghadapi stressor. c. Escape-Avoidance adalah suatu upaya menghindari stressor seperti dengan menghentikan upaya mengatasi stres, tidak mau menerima kenyataan dan lari dari masalah. Escape-avoidance juga dapat didefinisikan sebagai upaya individu untuk menghindari dari masalah dengan cara berkhayal atau berpikir dengan penuh harapan tentang situasi yang dihadapi atau mengambil tindakan untuk menjauhi masalah yang dihadapi.
Dimensi coping strategy menurut Carver (1989) adalah sebagai berikut: A. Dimensi Problem Focused Coping: a. Keaktifan diri adalah suatu tindakan yang mencoba menghilangkan penyebab stres atau untuk memperbaiki akibat yang ditimbulkan, atau dengan kata lain bertambahnya usaha seseorang untuk melakukan coping. b. Perencanaan adalah memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres, seperti memikirkan langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah. c. Kontrol diri adalah individu membatasi keterlibatannya dalam aktifitas persaingan dan tidak bertindak terburu-buru dalam mencari alternatif lain. d. Mencari dukungan adalah mencari nasihat, pertolongan, informasi, dukungan moral, empati, serta pengertian.
B. Dimensi Emotional Focused Coping a. Mengingkari adalah suatu penghindaran atau pengingkaran terhadp suatu masalah b. Penerimaan diri adalah situasi yang penuh dengan tekanan sehingga keadaan ini memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut c. Religiusitas adalah sikap individu untuk menenangkan dan menyelesaikan masalah-masalah secara keagamaan
Dimensi coping strategy menurut Aldwin dan Revernson (1987) dapat dijelaskan sebagai berikut: A. Dimensi Problem Focused Coping a. Kehati-hatian adalah merencanakan dengan baik sebelum bertindak atau melakukan sesuatu b. Tindakan instrumental adalah usaha-usaha yang secara langsung dilakukan untuk memecahkan masalah c. Negosiasi adalah usaha yang memusatkan pada perhatian dan taktik untuk memecahkan masalah secara langsung dengan orang lain B. Dimensi Emotional Focused Coping a. Pelarian diri dari masalah adalah usaha dari individu untuk meninggalkan masalah dengan membayangkan hal-hal yang baik b. Pengurangan
beban
masalah
adalah
usaha
untuk
mengurangi,
merenungkan suatu masalah dan bertindak seolah-olah tidak terjadi masalah yang diakibatkan oleh diri sendiri
c. Penyalahan diri adalah suatu tindakan pasif yang berlangsung dalam batin, kemudian baru pada masalah yang dihadapinya dengan jalan menganggap bahwa masalah tersebut terjadi karena kesalahannya. d. Pencarian arti adalah usaha untuk mencoba menemukan kepercayaan baru atau sesuatu yang penting dari hidupnya e. Apati adalah bentuk apatis atau bersikap pasrah, atau menyerah Berdasarkan dari dimensi-dimensi coping strategy yang di paparkan diatas yaitu menurut Lazarus dan Folkaman (1984), Charver (1989), serta Aldwin dan Revernson (1987), peneliti memutuskan untuk menggunakan dimensi yang dibuat oleh Lazarus dan Folkman, hal tersebut dikarenakan dimensi yang diungkap oleh beliau paling lengkap dibandingkan yang lain sehingga dirasa mampu mengungkap variabel coping strategy dengan lebih baik serta jelas.
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Coping Strategy Reaksi individu dalam menghadapi stressor tentunya akan berbeda-beda, sehingga akan berpengaruh terhadap pemilihan coping strategy yang akan dipilih untuk mengatasi stressor, untuk itu berikut adalah beberapa faktor yang dirasa memengaruhi coping strategy menurut Yulihananto (2005): a. Usia Dalam rentang waktu tertentu, individu memiliki tugas perkembangan yang berbeda, ini juga tentunya berpengaruh terhadap pola pikir dan cara adaptasi dari individu tersebut.
b. Pendidikan Pendidikan juga memengaruhi dalam pemilihan strategy coping menghadapi stres. Individu yang berpendidikan lebih tinggi, akan menilai segala sesuatunya lebih realistis, dibandingkan dengan individu berpendidikan lebih rendah. c. Status sosial ekonomi Status sosial ekonomi disini berperan dalam coping yang digunakan, karena apabila seseorang berada dalam situasi sosial ekonomi yang rendah, maka ia akan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, terutama dalam masalah ekonomi mereka. d. Dukungan sosial Jika seseorang merasa didukung lingkungan, maka segala sesuatu akan dirasakan lebih mudah untuk dijalani, terutama untuk kejadian-kejadian yang menegangkan. Ada 4 jenis dukungan sosial yaitu: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, serta dukungan informatif. e. Jenis kelamin Terdapat perbedaan dalam menghadapi suatu masalah antara pria dan wanita, hal tersebut dikarenakan wanita lebih menunjukan reaksi emosional dibandingkan dengan pria. f. Karakteristik kepribadian Suatu model karakteristik yang berbeda akan memiliki cara coping yang berbeda pula. g. Pengalaman Pengalaman yang dimiliki individu akan membentuk tindakan-tindakan yang diambil oleh individu untuk mengatasi masalahnya.
C. Infeksi Menular Seksual (IMS)
1. Definisi Infeksi Menular Seksual (IMS) Infeksi menular seksual atau yang disingkat dengan IMS merupakan infeksi yang berhubungan dengan organ seksual manusia. Sebenarnya penyakit ini telah dikenal sejak lama dengan sebutan penyakit kelamin (veneral disesase), dimana saat itu jenis infeksi kelamin dikenal hanyalah syphilis dan gonorrhea saja dan baru disebut sebagai infeksi menular seksual sejak adanya penemuan jenis penyakit baru selain dari kedua jenis yang diatas (Muryanta, 2010). Menurut UNICEF (2012), definisi dari infeksi menular seksual adalah penyakit yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin, ada banyak sekali jenis infeksi yang ditularkan melalui hubungan seks, bahkan jenis-jenis infeksi atau penyakit tertentu dapat menular ke orang lain melalui pakaian, handuk, bahkan sentuhan kulit dengan orang yang telah terinfeksi. DepkesRI (2007), menjelaskan bahwa infeksi menular seksual adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, dimana infeksi ini akan lebih berisiko pada individu yang melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral, maupun anal. Berdasarkan beberapa pandangan mengenai definisi infeksi menular seksual, maka peneliti memutuskan menggunakan definisi yang di buat oleh DepkesRI (2007), yang menyebutkan bahwa infeksi menular seksual adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, dimana infeksi ini akan lebih berisiko pada individu yang melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral, maupun anal. Hal tersebut dilakukan peneliti dikarenakan penelitian ini sendiri dilakukan di Indonesia
(khususnya di Bali) sehingga akan lebih pas apabila definisi yang dipergunakan dibuat oleh lembaga resmi terkait kesehatan yang dimiliki oleh negara.
2. Penularan Infeksi Menular Seksual Banyak media yang menjadi jalur dalam penularan infeksi menular seksual sehingga patut untuk kita mengetahui bagaimana-bagaimana saja cara dalam penularan infeksi tersebut, yang dimana menurut Yayasan GAYa Dewata terdapat beberapa cara penularan dari infeksi menular seksual diantaranya: a. Hubungan seks lewat liang senggama tanpa kondom b. Hubungan seks lewat dubur tanpa kondom c. Penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah digunakan oleh penderita IMS d. Prostitusi e. Berganti-ganti pasangan seksual
3. Jenis-Jenis Infeksi Menular Seksual Terdapat beberapa jenis infeksi menular seksual menurut Saraswati (2000): a. Infeksi genital non-spesifik Merupakan infeksi pada kelamin yang disebabkan oleh penyebab yang non-spesifik dan yang tersering adalah bakteri Chlamydia Trachomatis. Pada wanita gejala sering tidak khas atau sangat ringan. Bila ada gejala, itu pun berupa keluarnya cairan dari dalam vagina berwarna kekuningan. Pada laki-laki gejala yang muncul adalah keluarnya cairan berupa lendir yang jernih sampai keruh dan muncul pada pagi hari. Gejala lain berupa nyeri kencing, gatal di saluran kencing pada ujung kemaluan.
b. Sifilis Disebut juga sebagai raja singa, yaitu infeksi yang disebabkan oleh Treponema Pallidum. Sifilis dapat menular melalui kontak seksual, jarum suntik, atau tranfusi darah. Sifilis dapat menyerang seluruh anggota tubuh termasuk selaput lendir, anus, kemaluan, dan mulut. Gejala yang ditimbulkan adalah luka yang tidak nyeri disekitar alat kelamin, anus, dan mulut yang muncul 2-3 minggu setelah infeksi. c. Gonorhe Disebut juga kencing nanah, yaitu infeksi kelamin yang disebabkan oleh bakteri Neisseria Gonorrhoeae. Pada laki-laki masa tunas umumnya berkisar antara 2-5 hari, kadang lebih lama. Gejala yang timbul berupa rasa gatal dan panas pada saat buang air kecil, keluarnya cairan dari ujung kemaluan, yang kadang disertai darah dan nyeri saat ereksi. Pada wanita, masa tunas umumnya berkisar antara 7-21 hari. Gejala yang timbul sangat ringan, sehingga menjadi sumber penularan yang tersembunyi. Gejala yang timbul dapat berupa nyeri di daerah perut bagian bawah, kadang-kadang disertai keputihan dengan bau yang tidak sedap. Apabila dibiarkan menahun, infeksi dapat menjalar ke rahim, saluran indung telur, sehingga menyebabkan penyakit radang panggul yang dapat mengakibatkan infertilitas. d. Kondilomata Akuminata Disebut juga kutil kelamin atau jengger ayam, yaitu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus Papilloma Humanus. Masa inkubasi berlangsung antara 1-8 bulan. Penyebarannya melalui hubungan kelamin yang mempunyai 2 bentuk yaitu Genital Warts (kutil) di daerah alat kelamin yang
banyak terjadi pada heteroseksual serta Anorectal Warts yang banyak terjadi pada homoseksual. e. Kandidosis vulvovaginal Adalah infeksi vagina dan vulva (bagian luar alat kelamin wanita) yang disebabkan oleh virus Candida Albicans. Gejala pada wanita adalah rasa gatal dan iritasi dengan mengeluarkan cairah putih susu yang masam, sedangkan pada lakilaki ditandai dengan rasa gatal disekitaran alat kelamin dan lipatan paha. Sumber penularannya adalah melalui hubungan seksual dengan penderita, dan apabila ibu sedang mengandung akan menularkan kepada bayinya. f. Ulkus Mole Sering disebut chancriod yaitu penyakit infeksi alat kelamin akut yang disebabkan oleh bakteri Haemophilus Durecyl. Masa inkubasi pada pria berkisar antara 2-35 hari. Pada wanita masa inkubasi sering kali tidak dapat ditentukan karena tidak munculnya gejala yang spesifik atau sukar tampak. Gejala khasnya berupa luka kotor yang mudah berdarah dan sangat nyeri, dengan tepi yang tidak merata pada alat kelamin, yang muncul kira-kira 1 minggu setelah infeksi. g. Herpes Genitalis Adalah infeksi pada alat kelamin yang disebabkan oleh virus Herpes Simplex. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 1-7 hari tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat yaitu terjadi pembesaran limfe, tetapi bisa juga tanpa adanya gejala. Selain ditularkan melalui hubungan seksual, infeksi ini dapat pula ditularkan kepada janin dalam kandungan ibu yang terinfeksi, akibat yang timbul adalah terjadinya abortus, keluarnya janin prematur, bayi mengalami kelainan pada organ tubuhnya, serta bayi tidak dapat tumbuh secara normal.
h. Trikomoniasis Adalah infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas Vaginalis. Masa inkubasi pada wanita sulit dipastikan, namun diperkirakan sekitar 3-28 hari. Gejala yang timbul berupa keluarnya cairan vagina yang banyak, bau, dan sering menimbulkan rasa gatal dan perih pada organ kelamin terluar. Masa inkubasi pada pria biasanya tidak melebihi 10 hari, gejala yang timbul adalah rasa sakit dan panas pada saat buang air kecil. i. Limfogranuloma Venereum Disebut juga dengan Clamydia adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Clamydia Trachomatis. Masa inkubasi 3-20 hari, kadangkadang dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat berupa demam, menggigil, mual, hilangnya nafsu makan, sakit kepala, nyeri pinggang bawah, nyeri bagian perut, nyeri saat buang air besar, dan diare. Selain melalui hubungan seksual, infeksi ini dapat ditularkan melalui handuk dan pakaian yang terkontaminasi. j. Vaginosis Merupakan sindroma klinik akibat pergantian bakteri flora normal vagina yaitu Lactobacillus Spp, dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti, Gardnerella Vaginalis, Mycoplasma Hominis, dan kuman anaerob. Gejala yang khas yaitu bau vagina seperti bau ikan, terutama saat berhubungan seksual. Cairan yang keluar dari vagina berwarna putih ke abu-abuan. Akibat yang ditimbulkan dari infeksi ini adalah infeksi cairan ketuban, penyakit radang panggul, bayi prematur, dan infeksi setelah melahirkan. k. HIV/AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat terinfeksi dari virus Human
Immunedefeciency Virus. Penyebaran penyakit ini meliputi 3 media utama yaitu darah, cairan sperma serta cairan vagina. Akibat dari infeksi ini adalah penurunan sistem kekebalan manusia yang dapat menyebabkan kematian.
D. Pekerja Seks Komersial (PSK)
1. Definisi Pekerja Seks Komersial Dikutip dari Kristanto (2005), pekerja seks komersial memiliki definisi yaitu perempuan yang memiliki kebiasaan melakukan hubungan intim di luar pernikahan baik dengan imbalan jasa maupun tidak, dimana seks dijadikan sebagai “bahan dagangan”, sehingga terjadi komersialisasi seks, berupa penukaran kenikmatan seksual dengan bendabenda, materi dan uang. Pekerja seks komersial adalah sebutan bagi seseorang yang memberikan pelayanan jasa pemuasan kebutuhan seksual yang hidup dalam konsep dunia prostitusi. Prostitusi sendiri berarti gejala kemasyarakatan dimana pekerja seks menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian (Kartono, 2011). Koentjoro (2004), menjelaskan bahwa pelacur adalah seseorang dengan jenis kelamin perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberikan kepuasan pada kaum laki-laki dan alasannya dilatar belakangi oleh 5 hal yaitu materialisme, modelling, dukungan orangtua, lingkungan yang permisif, dan faktor eknomi. Ada banyak sekali istilah yang dipergunakan untuk menyebut pekerja seks komersial antara lain, sundal, wanita tuna susila, balon, pelacur, perek atau perempuan eksperimen dan masih banyak lagi. Setiap nama tersebut sebenarnya mengandung makna yang sama, hanya saja lebih diperhalus untuk memanusiawikan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka (Prastiwi, 2007).
Peneliti sendiri memilih menggunakan sebutan pekerja seks komersial dibandingkan pelacur dikarekan ungkapan tersebut lebih diperhalus dibandingkan sebutan pelacur (Prastiwi, 2007), sehingga definisi pekerja seks komersial yang digunakan adalah menurut (Kartono, 2011) yang mendefinisikan pekerja seks komersial adalah sebutan bagi seseorang yang memberikan pelayanan jasa pemuasan kebutuhan seksual yang hidup dalam konsep dunia prostitusi. Prostitusi sendiri berarti gejala kemasyarakatan dimana pekerja seks menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
2. Jenis-Jenis Pekerja Seks Komersial Berikut adalah penggolongan dari pekerja seks komersial menurut Jajuli (2010): a) Pekerja Seks Komersial Jalanan (Street Prostitution) Pekerja seks yang termasuk dalam tipe ini, sering pula disebut dengan streetwalker prostitution, dimana di banyak ibu kota yang ada di provinsi-provinsi di Indonesia, PSK tipe ini sering terlihat berdiri menunggu pelanggan di pinggir-pinggir jalan tertentu. b) Pekerja Seks Komersial Panggilan (Call Girl Prostitution) Pekerja seks tipe ini sering disebut dengan call girl, dimana psk tipe ini umumnya melalui perantara, perantara disini berfungsi sebagai mucikari, germo, ataupun “pelindung” si PSK, salah satu ciri khas dari tipe ini adalah tempat untuk berhubungan seksualnya selalu berubah-ubah. c) Pekerja Seks Komersial Lokalisasi (Brothel Prostutitution) Di Indonesia, tipe pekerja seks lokalisasi ini cukup dikenal luas oleh masyarakat. Pelacuran di lokalisasi sendiri dapat dibagi menjadi 3 jenis: 1. Lokalisasi yang terpencar dan biasanya bercampur dengan rumah penduduk.
2. Lokalisasi yang berpusat pada satu tempat yang biasanya merupakan komplek, dimana di dalam komplek ini juga masih terdapat satu sampai dengan 2 rumah penduduk biasa. 3. Lokalisasi yang terletak di daerah khusus, yang letaknya agak jauh dari perumahan penduduk dan penempatannya ditunjuk berdasarkan surat keputusan pemerintah daerah. d) Pekerja Seks Komersial Terselubung (Clandestine Prostitution) Di Indonesia sendiri telah menjadi rahasia umum tempat-tempat seperti klab malam, panti pijat, beberapa pusat kebugaran serta salon kecantikan yang digunakan sebagai tempat prostitusi. e) Pekerja Seks Komersial Amatir Bentuk pelacuran ini bersifat rahasia, artinya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja, serta umumnya bayaran PSK ini bisa dibilang tergolong tinggi sampai dengan sangat tinggi. Disebut amatir karena disamping melacurkan diri yang mereka lakukan sebagai selingan, mereka juga memiliki profesi lainnya yang dikenal masyarakat.
3. Motif yang Melatarbelakangi Seseorang Menjadi Pekerja Seks Komersial Kartono (2011) menyebutkan beberapa motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita yaitu sebagai berikut: a. Adanya
kecenderungan
melacurkan
diri
pada
banyak
wanita
untuk
menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek.
b. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria atau suami. c. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan pada individu. d. Aspirasi materiil pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaianpakaian indah dan perhiasan mewah. e. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Terdapat adjustment yang negatif, terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolescence. Ada keinginan untuk melebihi kakak perempuan, ibu sendiri, teman putri atau wanita lainnya. f. Gadis-gadis dari daerah slums atau perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan immoral yang sejak kecilnya melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar, lalu menggunakan mekanisme promiskuitas atau pelacuran untuk mempertahankan hidup. g. Bujuk rayu para calo atau kaum laki-laki terutama yang menjanjikan pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi misalnya sebagai bintang film, peragawati tetapi kemudian ditempatkan di rumah-rumah bordil. Dan ajakan teman sekampung atau sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran. h. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami. Misalnya suami berkerja ditempat yang jauh dan lama tidak pulang. i. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau ibu tiri, kawin lagi, sehingga anak gadis merasa sengsara batin dan lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran. j. Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan dagang.
k. Adanya ambisi besar pada wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau keterampilan khusus.
E. Hubungan Antara Coping Strategy dengan Penyesuaian Diri pada Pekerja Seks Komersial yang Terinfeksi Infeksi Menular Seksual
Pekerja seks komersial merupakan suatu bentuk peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan tubuh, serta kehormatan individu kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seksual dengan uang/barang sebagai imbalannya (Kartono, 2011). Selain disebut sebagai pekerja seks komersial terdapat beberapa sebutan lain untuk perempuanperempuan yang bekerja sebagai PSK antara lain, pelacur, sundal, wanita tuna susila, balon, perempuan eksperimen, dan lonte (Kartono, 2011). Penyebab pekerja seks memilih menjajakan dirinya dinilai disebabkan oleh beberapa faktor, namun yang paling berpengaruh adalah tuntutan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat saat ini, dimana semakin hari pemenuhan kebutuhan hidup dirasa semakin meningkat serta mahal (Ningsih, 2010). Keputusan untuk masuk ke dunia prostitusi tidak lepas dari berbagai dampak buruk yang mengikuti dibelakangnya, seperti merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, pelanggaran terhadap moral serta norma, pelanggaran terhadap hukum dan agama, serta yang tak kalah penting kemungkinan untuk penyebaran serta terinfeksi infeksi menular seksual (Setiawan, 2013). Infeksi menular seksual adalah bagian dari infeksi saluran reproduksi yang disebabkan oleh kuman, seperti jamur, virus, dan parasit yang masuk lalu berkembang biak dalam tubuh manusia yang ditularkan melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi salah satu dari jenis infeksi menular seksual (Mamonto, 2014).
Seorang pekerja seks yang terinfeksi infeksi menular seksual akan merasakan dampak dari infeksi tersebut, yang akan mempengaruhi kondisi mereka baik secara fisik maupun psikologisnya. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2011 dampak fisik dari infeksi menular seksual adalah menurunkan kualitas ovulasi sehingga akan mempengaruhi siklus menstruasi serta kesuburan, peradangan alat reproduksi di oragan yang lebih tinggi sehingga dapat menyebabkan kehamilan di luar rahim, melahirkan anak dengan cacat bawaan, kanker leher rahim, bekas bisul/nanah di daerah alat kelamin yang dapat memengaruhi kepuasan berhubungan seksual, nyeri sewaktu buang air kecil, gangguan neurologi, lebih mudah terifeksi HIV/AIDS, serta kemandulan (Kristina, 2014). Dampak psikologis yang akan ditimbulkan apabila seseorang terjangkit infeksi menular seksual menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2011 adalah munculnya perasaan rendah diri, malu dan takut sehingga tidak mau berobat atau bahkan mencoba mengobati sendiri dengan obat-obatan/dosis yang tidak tepat, gangguan dalam berhubungan seks, bahkan stres yang berkepanjangan tak jarang pula berakibat depresi karena harus kehilangan pekerjaan (Kristina, 2014). Dampak psikologis serta fisik yang diakibatkan oleh IMS akan membuat para pekerja seks menghadapi tuntutan-tuntutan serta perubahan-perubahan dalam kehidupan mereka, individu pun dituntut harus berusaha untuk mencari cara yang berorientasi pada tindakan intrapsikis sehingga mereka mampu melalui hal-hal diatas, adapun cara-cara tersebut disebut dengan coping strategy (Lazarus & Folkman, 1991). Coping dapat dijelaskan sebagai proses dimana individu mencoba mengelola jarak yang ada di antara tuntutan-tuntutan yang ada, baik yang berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan dengan sumber daya yang korban gunakan dalam menghadapi stressfull event, sehingga individu mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Lazarus & Folkman, 1991). Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari
White dan Watt (1981) yang mengatakan bahwa coping merupakan bagian dari strategi adaptasi atau penyesuaian diri. Berikut akan disajikan diagram yang menunjukan hubungan antara coping strategy dengan penyesuaian diri: Pekerja Seks Komersial
Infeksi Menular Seksual
Dampak Psikologis
Dampak Fisik
Coping Strategy
Penyesuaian Diri
Gambar 1. Skema hubungan antara coping strategy dengan penyesuaian diri pada pekerja seks komersial yang terjangkit infeksi menular seksual.
Dari uraian diatas maka peneliti menduga, bahwa terdapat hubungan antara coping strategy dengan penyesuaian diri pada pekerja seks komersial yang terjangkit infeksi menular seksual.
Keterangan Gambar: : Garis pengaruh yang akan diteliti : Garis yang mempengaruhi variabel, yang tidak diteliti : Variabel yang akan diteliti f. Hipotesis Penelitian : Variabel yang tidak diteliti
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian yang berjudul coping strategy dan penyesuaian diri pada pekerja seks komersial yang terjangkit infeksi menular seksual adalah sebagai berikut: Ha : Ada hubungan antara coping strategy dengan penyesuaian diri pada pekerja seks komersial yang terjangkit infeksi menular seksual Ho : Tidak ada hubungan antara coping strategy dengan penyesuaian diri pada pekerja seks komersial yang terjangkit infeksi menular seksual