BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Balok Laminasi Balok laminasi atau glulam pertama kali digunakan di Eropa pada konstruksi auditorium di Basel, Switzerland tahun 1893. Balok laminasi dipatenkan sebagai Sistem Hertzer dan penggunaan bahan perekat, untuk standarisasi penggunaan pada masa itu tidak tahan terhadap air. Dengan demikian, penggunaan balok laminasi terbatas hanya untuk kondisi penggunaan kering. Kemajuan bahan perekat semasa perang dunia I, menstimulasi penambahan daya tarik di Eropa mengenai penggunaan balok laminasi pada bingkai bangunan dan pesawat (Moody et al. 1999). Balok laminasi adalah salah satu produk rekayasa perekatan kayu tertua. Balok laminasi adalah produk tekanan yang terdiri dari dua atau lebih lapisan kayu yang direkatkan menjadi satu dengan arah serat semua lapisan kayu. Balok laminasi didefinisikan sebagai sebuah bahan yang terbuat dari papan kayu yang berbentuk lurus atau dibengkokan, dengan arah serat semua potongan kayu sejajar ke sumbu longitudional. Ketebalan maksimum laminasi yang diperbolehkan adalah 50 mm dan standar ketebalan kayu untuk tipe laminasi 25 atau 50 mm. Balok laminasi merupakan kayu gabungan antara akhir dengan akhir, pinggir dengan pinggir, dan muka dengan muka (Moody et al. 1999). Balok laminasi adalah salah satu komponen kayu komposit yang berfungsi untuk mengontrol atau mengatur sifat produk balok laminasi melalui desain yang telah dipraktekkan selama beberapa tahun. Struktur balok laminasi dibuat untuk meningkatkan penggunaannya di dalam struktur perencanaan (Bodig & Jayne 1993). Ada beberapa jenis balok laminasi. Berdasarkan posisi pembebanan, balok laminasi dibedakan menjadi balok laminasi horizontal dan vertikal. Sedangkan berdasarkan penampangnya balok laminasi dibagi menjadi balok I, balok T, balok I ganda, balok pipa atau kotak, dan stressed skin panel (Bodig & Jayne 1993).
4
2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Balok Laminasi Moody et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa kelebihan balok laminasi dibandingkan kayu gergajian serta bahan struktural lain adalah dalam hal ukuran, bentuk arsitektur, pengeringan, penampang lintang (cross section), efisiensi, dan ramah lingkungan. Sedangkan Canadian Wood Council (2000) menyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi elemen struktural yang besar dalam berbagai bentuk dan ukuran. Balok laminasi juga memiliki kelemahan yaitu jika kayu solid tersedia dalam ukuran yang diperlukan maka proses tambahan dalam pembuatan balok laminasi akan meningkatkan biaya produksinya melebihi kayu gergajian. Pembuatan balok laminasi memerlukan perakitan khusus, fasilitas pabrik, dan keahlian dalam pembuatannya dibandingkan dengan memproduksi kayu gergajian. Semua tahap dalam proses pembuatan memerlukan perhatian untuk menjamin
produk
akhir
yang
berkualitas
tinggi.
Faktor
yang harus
dipertimbangkan dalam desain balok laminasi berukuran besar, lurus atau lengkung adalah penanganan dan pengapalan (Moody et al. 1999). 2.1.2 Penggunaan Balok Laminasi Balok laminasi merupakan produk struktural yang digunakan untuk rangka, balok, kolom, dan kuda-kuda (Canadian Wood Council 2000). Moody dan Hernandez (1997) menyatakan bahwa meskipun penggunaan utama balok laminasi adalah pada sistem atap dari bangunan-bangunan komersial, namun balok laminasi juga sudah digunakan pada sistem atap dan lantai rumah. Berbagai penggunaan balok laminasi diantaranya adalah: a.
Bangunan-bangunan komersial dan rumah: sebagai balok persegi, balok lengkung, kuda-kuda, balok struktur, bangunan kayu bertingkat, kubah dan tiang.
b.
Jembatan: untuk bagian-bagian dari struktur bagian atas seperti balok penopang dan decking.
5
c.
Penggunaan struktur lain: untuk tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan bentuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional.
2.2 Perekat Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Blomquist et al. 1983; Forest Product Society 1999) diacu dalam Ruhendi et al. (2007). Perekat isosianat berdasarkan pada perekat reaktifitas radikal, (-N=C=O). Isosianat bergabung dengan senyawa polar yang kuat sehingga menghasilkan senyawa radikal yang baik dan mempunyai potensi untuk membentuk ikatan kovalen subtrat yang memiliki hidrogen aktif. Isosianat yang biasa digunakan karena volatil yang rendah adalah diphenylmethane diisocyanate (MDI) (Marra 1992). Kelebihan dari perekat isosianat diantaranya adalah membutuhkan lebih sedikit MDI untuk produk papan yang sama, dapat menggunakan suhu pengempaan rendah, siklus pengempaan lebih cepat, lebih toleran terhadap kadar air flake, energi yang diperlukan untuk pengeringan lebih sedikit dan tidak ada emisi formaldehida (Marra 1992). 2.3 Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu Rakyat 2.3.1 Manii (Maesopsis eminii Engl) Kayu manii memiliki nama botanis Maesopsis eminii Engl. ini merupakan penghormatan kepada Emin Pasha (1840-1892) seorang penyidik Afrika, administratur dan sebagai seorang ahli botani (Gastan 2002). Kayu manii tumbuh alami pada 2o LS – 8o LS yang termasuk daerah tropis. Tempat tumbuh kayu manii aslinya di Afrika. Penyebaran kayu manii melalui Uganda, dan daerah Nyanza yang termasuk koloni Kenya, Tanganyika, Barat Laut melalui Kongo sampai ke teluk Guinea, dari Kamerun sampai Liberia dan juga terdapat di Fernando Po (Eggeling and Harris 1939 diacu dalam Gastan 2002). Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1800 mdpl. Penanaman biasanya dilakukan di
6
dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 mdpl. Cocok tumbuh pada daerah dengan curah hujan 1200-3600 mm/tahun dengan musim kering sampai 4 bulan (Direktorat Pembenihan 2002 diacu dalam Gastan 2002). Kayu manii tumbuh pada tanah dengan tekstur medium sampai ringan pada pH netral sampai asam serta bebas drainase dan lebih bagus pertumbuhannya pada tanah subur dengan solum yang dalam (Balai Teknologi Perbenihan, 2000 diacu dalam Gastan, 2002). Kayu manii memiliki kerapatan 0,38 sampai 0,48 dan mudah digergaji. Selain itu kayu manii mempunyai kandungan kimia berupa kadar selulosa 47,19% dan kadar lignin 20,45%. Kegunaan kayu gergajinya adalah untuk konstruksi ringan, furniture, kotak dan lain-lain. Sedangkan kayu bulatnya dapat digunakan untuk tonggak bangunan, pulp serat pendek dan kayu veneer. Kayu manii termasuk kelas awet V dan kelas kuat III/IV, bertekstur kasar dan kayunya mudah menyerap zat-zat cair. Kayu ini banyak dimanfaatkan untuk konstruksi ringan di bawah atap, peti kemas, box, dan kayu lapis. 2.3.2 Jabon (Anthocephalus cadamba (Lamk.) Kayu jabon memiliki nama botanis Anthocephalus chinensis (Lamk.) A. Rich. Ex Walp. syn. Anthocephalus cadamba Miq., Famili Rubiaceae, dengan nama daerah: jabon, jabun, hanja, kelampenyan, kelampaian (Jawa); galupai, galupai bengkal. Selain itu daerah penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya (Martawijaya et al. 2005). Habitus: tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter sampai 160 cm. Batang lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir dengan ketinggian 1,50 cm, kulit luar berwarna kelabu-cokelat sampai cokelat, sedikit beralur dangkal (Martawijaya et al. 2005). Kayu jabon memiliki ciri umum pada warnanya, kayu teras memiliki warna putih semu-semu kuning muda, lambat laun menjadi kuning semu-semu gading, kayu gubal tidak dapat dibedakan dari kayu teras. Dari segi tekstur jabon memiliki teskur kayu yang agak halus sampai agak kasar. Kemudian jabon memiliki arah serat yang lurus, kadang-kadang agak berpadu dan memiliki kesan raba pada
7
permukaan kayu licin atau agak licin. Selain itu terdapat permukaan kayu yang mengkilap atau agak mengkilap (Martawijaya et al. 2005). Sifat kimia yang dimiliki jabon berupa kadar selulosa sebesar 52,4%, lignin 25,4%, dan silika 0,1%. Sifat fisis yang dimiliki jabon untuk berat jenis rata-rata 0,42 dengan interval nilai 0,29 sampai 0,56 dan termasuk kedalam kelas kuat IIIIV. Keawetan kayu jabon dimasukkan kedalam kelas awet V, demikian juga berdasarkan percobaan kuburan, jenis kayu ini termasuk kelas awet V. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas II dan keterawetan kayu jabon termasuk kelas sedang. Kegunaan kayu jabon dapat digunakan untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp, kelom, dan konstruksi darurat ringan (Martawijaya et al. 2005).
2.3.3 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn) Kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn) memiliki nama daerah jeunjing dan sengon laut untuk di Jawa. Sengon memiliki penyebaran di daerah Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya. Habitus sengon memiliki tinggi pohon sampai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m, diameter sampai 80 cm, kulit berwarna putih atau kelabu, tidak berbanir, tidak beralur dan tidak mengelupas (Martawijaya et al. 2005). Sengon memiliki warna teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu kecokelatan atau putih merah kecokelatan pucat. Memiliki tekstur yang agak kasar sampai kasar, arah seratnya terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak. Tingkat kekerasan yang dimiliki agak lunak dan beratnya ringan (Pandit dan Kurniawan 2008). Sifat kimia dari kayu sengon mempunyai kandungan selulosa sebesar 49,4%, lignin 26,8%, dan silika 0,2%. Kayu sengon memiliki berat jenis rata-rata 0,33 dengan interval nilai antara 0,24 sampai 0,49. Kelas awet yang dimiliki termasuk kedalam kelas IV sampai V. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Berdasarkan percobaan kuburan jenis kayu ini termasuk kelas awet IV-V. Keterawetan kayu jeunjing termasuk kelas sedang dan memiliki kelas kuat IV sampai V (Martawijaya et al. 2005)
8
Kayu sengon digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan (papan, balok, tiang, kaso, dan sebagainya). Selain itu dapat juga digunakan untuk pembuatanpeti, venir, pulp, papan semen wol kayu, papan serat, papan partikel, korek api (tangkai dan kotak), kelom, dan kayu bakar. Dahulu di Maluku, kayu sengon biasa dipakai untuk perisai, karena ringan dan liat serta sukar tertembus (Martawijaya et al. 2005).
2.3.4 Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vr) Nama botanis; Pinus merkusii Jungh et de Vr., Famili Pinaceae. Nama daerah; damar batu, damar bunga, huyam, kayu sala, kayu sugi. Daerah penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, seluruh Jawa. Habitus tinggi pohon 20-40 cm dengan panjang batang bebas cabang 2-23 m, diameter sampai 100 cm, dan tidak berbanir. Kulit luar kasar berwarna cokelatkelabu sampai cokelat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam. Ciri umum; warna: kayu berwarna cokelat-kuning muda dengan pita dan gambar yang berwarna lebih gelap, kayu yang berdamar berwarna cokelat atau cokelat tua. Kayu gubal berwarna putih atau putih kekuningan, tebal 6-8 cm. Sifat fisis : berat jenis dan kelas kuat : 0,55 (0,40-0,75); III. Keawetan : kayu pinus dimasukkan ke dalam kelas awet IV, namun berdasarkan percobaan kubur keawetannya termasuk kedalam kelas awet III-V. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas V. Keterawetan: keterawetan kayu tusam termasuk kelas mudah (Martawijaya et al. 2005). Sifat kimia dari kayu pinus mempunyai kadar selulosa sebesar 54,9%, lignin 24,3%, dan silika 0,2%. Venir: kayu pinus dapat dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan dengan sudut kupas 900, tebal venir 1,5 mm dengan hasil baik. Kayu lapis; perekatan venir kayu pinus dengan urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persayaratan standar Jerman. Kegunaan kayu tusam dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel kotak dan tangkai korek api, potlot (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan), papan wol kayu dan kayu lapis (Martawijaya et al. 2005).
9
2.3.5 Akasia (Acacia mangium Wiild) Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), kayu akasia memiliki teras yang berwarna cokelat pucat sampai cokelat tua, kadang-kadang cokelat zaitun sampai cokelat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai jerami. Memiliki corak yang polos atau berjalur-jalur yang berwarna gelap dan terang yang bergantian pada bidang radial. Selain itu kayu akasia memiliki tekstur yang halus sampai agak kasar dan merata, arah serat yang lurus, kadang-kadang berpadu dan memiliki permukaan yang agak mengkilap dan licin. Kayu akasia juga memiliki tingkat kekerasan dari agak keras sampai keras. Kemudian untuk nilai berat jenis yang dimiliki rata-rata 0,61 dengan interval nilai berkisar antara 0,43-0,66. Kelas awet kayu akasia memiliki nilai III dan untuk nilai kelas kuat berkisar antara kelas kuat II sampai III. Menurut Pasaribu dan Roliadi (1990) diacu dalam Malik et al. (2000) kandungan sifat kimia kayu akasia memiliki kandungan selulosa sebesar 46,39%, lignin 24,%, dan silika 0,24%. Kayu akasia memiliki kegunaan untuk bahan konstruksi ringan sampai berat, seperti rangka pintu dan jendela, almari, lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas, selain itu baik juga untuk kayu bakar dan arang (Pandit dan kurniawan 2008). 2.4 Keawetan Kayu Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan (Martawijaya 1981). Menurut Seng (1990) klasifikasi keawetan kayu di Indonesia terdiri dari lima kelas awet yaitu; kelas awet I, kelas awet II, kelas awet III, kelas awet IV, dan kelas awet V. Klasifikasi keawetan kayu Indonensia akan dijelaskan pada Tabel 1.
10
Tabel 1 Klasifikasi keawetan kayu Indonesia menurut Seng (1990) Kondisi tempat Selalu berhubungan dengan tanah Hanya dipengaruhi cuaca, tetapi dijaga supaya tidak terendam air dan tidak terendam udara Dibawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kurang udara Seperti di atas tetapi dipelihara dengan baik dan dicat teratur Serangan rayap tanah Serangan bubuk kayu kering
Kelas Awet I 8 tahun
Kelas Awet II 5 tahun
Kelas Awet III 3 tahun
Kelas Awet IV Sangat pendek Beberapa tahun
Kelas Awet V Sangat pendek Sangat pendek
20 tahun
15 tahun
10 tahun
Tidak terbatas
Tidak terbatas
Sangat terbatas
Beberapa tahun
Pendek
Tidak terbatas
Tidak terbatas
Tidak terbatas
20 tahun
20 tahun
Tidak
Jarang
Cepat
Tidak
Tidak
Hampir tidak
Sangat Cepat Tidak berarti
Sangat cepat Sangat cepat
Sumber : Seng (1990)
2.5 Rayap Menurut Sigit dan Hadi (2006), rayap merupakan serangga primitif yang sangat dekat kekeluargaannya dengan kecoa. Di alam, rayap sangat berguna mengubah kayu mati dan bahan organik lainnya yang mengandung selulosa untuk dijadikan humus. Dari aspek tersebut, rayap merupakan serangga yang sangat berguna, namun apabila manusia mulai membangun gedung dengan komponen kayu sebagai bahan bakunya, maka rayap dapat merusak bangunan tersebut sebagai habitat dan makanannya. Rayap mempunyai mikroorganisme di dalam ususnya yang dapat mengubah selulosa menjadi bahan-bahan lain yang dapat dicerna oleh tubuh rayap. Rayap merupakan serangga sosial, dan terdapat pembagian kerja di antara kastanya. Hampir setiap jenis rayap mempunyai kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja yang mempunyai tugas yang sangat spesifik yaitu membangun sarang, mengumpulkan makanan dan memberi makan kasta reproduktif dan prajuritnya (Sigit dan Hadi 2006). Menurut Nandika et al. (1996) dalam setiap koloni rayap pada umumnya terdapat tiga kasta yang diberi nama menurut fungsinya masing-masing yaitu
11
kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif yang terdiri atas kasta primer (raja dan ratu) serta kasta reproduktif suplementer: a)
Kasta pekerja mempunyai jumlah anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hipognat tanpa mata majemuk. Mandibelnya relatif kecil jika dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah mencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.
b)
Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga–serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Masa bersialang (swarming) ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu selanjutnya dengan segera menanggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai didalam tanah atau kayu. Pekerjaan semasa hidupnya hanya menghasilkan telur, sedangkan untuk makanannya dilayani oleh para pekerja. Seekor ratu dapat hidup 6 sampai 20 tahun, bahkan sampai berpuluh–puluh tahun.
c)
Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya besar dengan penebalan kulit yang nyata. Anggota–anggota kasta ini mempunyai rahang (mandibel atau rostum) yang besar dan kuat. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. Selain itu, dalam hidupnya rayap memiliki beberapa sifat khusus seperti
(Nandika et al. 2003): 1. Sifat Trofalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan. 2. Sifat Kriptobiotik, yaitu sifat rayap untuk menyembunyikan diri dan tidak menyenangi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama periode yang pendek dalam hidupnya memerlukan cahaya. 3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini menonjol jika rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan. 4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.
12
C. curvignatus mampu menyerang suatu bangunan melalui berbagai cara yaitu, (a) melalui lubang atau retakan kecil pada pondasi, celah-celah dinding dari semen/beton, lantai ubin/keramik, tiang-tiang, pipa-pipa saluran air maupun kabel (b) lewat bagian bangunan dari kayu yang berhubungan dengan tanah (c) rayap menembus penghalang fisik seperti plat logam, plastik dan lain-lain. Jenis ini merupakan rayap perusak dengan tingkat serangan paling ganas. Tidak mengherankan mereka mampu menyerang hingga ke lantai atas suatu bangunan bertingkat. Meskipun tidak bersentuhan langsung dengan tanah, selama sarang rayap sesekali memperoleh kelembaban misalnya lewat tetesan-tetesan air hujan dari atap bangunan yang bocor atau saluran air dekat instalasi pendingin ruangan, rayap perusak ini akan memperluas serangannya dengan membuat sarang yang cukup lembab, karena rayap perusak ini merupakan jenis rayap yang paling memerlukan air dan tanah (kelembaban yang cukup sebagai kebutuhan mutlak dalam koloninya) (Sigit dan Hadi 2006). Menurut Nandika et al. (2003), rayap tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat; antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya, mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata; panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm; lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm; dengan panjang badan 5,5-6,0 mm; bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri; abdomen berwarna putih kekuningan. Adanya rayap tanah dalam suatu bangunan kemungkinan tidak dapat di ketahui, hingga bagian-bagian kayu yang parah serangannya mulai terlihat adanya kerusakan. Namun ada juga tanda-tanda tertentu seperti terdapatnya saluransaluran dari tanah pada fondasi-fondasi bata, batu, beton, pipa-pipa pemanas, atau sejenisnya, serta munculnya laron secara musiman menunjukkan adanya rayap tanah sebelum memimbulkan kerusakan yang lebih besar. Adanya rongga didalam tiang-tiang dan kayu-kayu besar lainnya yang terserang dapat diketahui dengan menurunnya resonansi kayu bila dipukul dengan palu atau alat sejenisnya (Hunt & Garrat 1986).
13
2.6 Berat Jenis Berat jenis kayu merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air (air bersuhu 4,40C). Sebagian besar jenis kayu dalam keadaan kering terapung dalam air yang membuktikan bahwa sebagian volume dari kayu berisi rongga-rongga udara dan pori (Forest Product Laboratory Technical 1999). Hubungan antara berat jenis dengan keawetan kurang berlaku umum dan juga kurang nyata dari hubungan antara berat jenis dengan kekuatan kayu. Hubungan itu umumnya terbatas pada jenis-jenis dalam suatu suku (genus) misalnya pada suku Shorea, Pterocarpus, Artocarpus, kadang-kadang batas itu diperluas sampai beberapa suku dari suatu keluarga (Famili) seperti lauraceace (Seng 1990). Variasi dalam keawetan kayu dari jenis atau suku yang sama dapat disebabkan oleh : perbedaan banyaknya ekstraktif dan kerapatan kayu. Selain itu faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi berat jenis adalah sebagai berikut; umur pohon, kecepatan tumbuh, pertumbuhan eksentrik (dari luar ke pusat), kayu cabang, dan terjadinya teras kayu (Seng 1990).